'Kau tahu, makhluk itu lagi-lagi muncul.'

'Benar. Tapi ia tak pernah membunuh dengan cara yang seharusnya.'

'Tapi luka cekikan itu benar-benar mengerikan walaupun bukan darah yang dihisap.'

'Bukankah ia hanya akan mengambil darah manusia yang akan dijadikan pasangannya?'

'Entahlah. Lagipula siapa yang mau jadi pasangan makhluk yang bukan manusia?'


Seungyoun kembali menutup laman yang menampilkan berita berisi kematian penduduk kota tempatnya tinggal. Satu persatu orang mati dengan luka-luka yang tidak wajar, seperti luka bekas cekikan atau tubuh yang tercabik-cabik dan bersimbah darah. Bahkan rekan-rekannya ikut membicarakan topik sensitif itu di tempat mereka bekerja seperti sekarang.

Seungyoun lelah mendengarnya. Bukan apa-apa, hanya saja ia merasa belakangan ini dirinya seolah-olah tengah diamati. Rasanya ada sesuatu yang mengancam keberadaannya. Bahkan tidak sekali dua kali Seungyoun merasa diikuti ketika ia pulang ke rumahnya di malam hari. Harapan satu-satunya sekarang adalah ia bukanlah manusia yang tengah mengalami kesialan dan bertemu makhluk itu lalu berakhir menjadi korban selanjutnya.

“Cho Seungyoun?”

Sebuah panggilan membuyarkan lamunannya. Seungyoun mendongak dan mendapati Han Seungwoo, senior sekaligus atasannya adalah sosok yang baru saja menyebut namanya.

“Ah, maaf. Ada yang bisa saya bantu?”

Seungwoo menjawab dengan sebuah senyum tipis namun terlihat sangat ramah.

“Hari ini, kau harus ikut perayaan tim kita, ok?”

“Tapi—”

“Tidak ada penolakan atau potong gaji.”

Sial.

Seungyoun tidak suka pesta yang mengharuskannya pulang larut malam.

Seungyoun tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa berada di sebuah ranjang besar dan hangat. Terakhir kali yang diingatnya adalah dirinya diminta bernyanyi dengan beberapa teguk alkohol yang dipaksa masuk ke kerongkongan oleh rekan-rekannya sesama budak korporat. Tapi bukan itu semua yang sedang ia coba petakan diotaknya yang masih keruh.

Benar ia bernyanyi, benar ia mabuk, benar ia menaiki pangkuan sang atasan sambil bernyanyi seperti orang putus asa, benar—oh sial! Benar-benar sialan. Inilah mengapa Seungyoun tidak pernah setuju diajak pergi ke bar dan minum-minum bersama teman-temannya. Seungyoun bukanlah Seungyoun jika darahnya sudah dialiri alkohol.

“Sudah bangun?”

Ruangan gelap itu sesikit diterangi cahaya ketika pintu kamar mandi terbuka dengan keberadaan sosok tinggi tengah mengeringkan rambut.

Mati kau, Cho Seungyoun.

Itu Han Seungwoo, sang atasan. Kepala divisi tempat Seungyoun bekerja. Orang yang sepertinya juga merupakan penguasa tempat dimana ia berada sekarang, sekaligus sosok yang menjadi korban kekacauan yang dibuat Seungyoun sebelum mereka berada di satu kamar ini bersama.

Seungyoun menyingkap selimut dengan tergesa lalu berdiri. Tapi sayang, efek alkohol masih menyandera tubuhnya hingga ia terjatuh ke lantai di samping tempat tidur. Kepalanya pening luar biasa.

“Seungyoun, kau ok?”

Seungyoun mengangguk pada Seungwoo yang sudah menghampiri dan membantunya bangkit untuk duduk di tepian ranjang. Sialan. Apa Seungwoo tidak bisa berada sedikit lebih jaih darinya? Aroma Seungwoo yang telah bercampur bau kayu manis dan madu semakin membuat Seungyoun pusing.

“Boleh aku pinjam kamar mandi?”

“Tentu. Kau bisa gunakan apapun yang ada di sini, Seungyounie.”

Tunggu.

Apakah kata 'Seungyounie' adalah sebuah mantra? Mengapa Seungyoun merasa ia harus segera mengangkat wajahnya untuk menangkap paras Seungwoo dalam pandangannya? Mengapa mata Seungwoo terasa begitu tajam seakan bisa menembus kepala dan mengendalikan pikirannya?

Memutuskan kontak mata mereka berhasil membuat Seungyoun kembali pada akal sehatnya, meskipun ia bersusah payah untuk itu. Dan dengan langkah terhuyung, ia memasuki kamar mandi Seungwoo. Tanpa tahu, jika pria itu menyeringai tipis menatap punggungnya sebelum menghilang dibalik pintu yang tertutup.

Kamar itu telah berubah menjadi terang ketika Seungyoun berhasil mencuci wajahnya dan menghilangkan pengar dari tubuhnya. Mulut dan perutnya juga sudah terasa lebih baik setelah mengeluarkan hal yang membuatnya mual dan menggosok giginya. Seungwoo sudah menyiapkan sikat gigi baru jika kalian ingin tahu. Handuk baru juga diberikan sang atasan, yang sekarang digunakannya untuk mengeringkan rambut yang basah sebagian.

“Sudah merasa lebih baik?”

Seungyoun lagi-lagi mengangguk canggung.

“Kemarilah, aku akan membantumu, Seungyounie.”

Lagi-lagi panggilan itu membuat Seungyoun bereaksi tak wajar. Tubuhnya tidak bisa bergerak normal, namun sanggup mengiyakan begitu saja ketika Seungwoo yang meminta. Kakinya begitu ringan melangkah mendekati Seungwoo yang duduk di ujung ranjang.

“Duduk dan berikan handukmu padaku.”

Tangannya menarik handuk dari kepalanya dan menyerahkan begitu saja pada Seungwoo yang disambut dengan sebuah senyuman tipis. Seungyoun menyilangkan kaki hingga terduduk di lantai dengan punggung lebarnya yang menghadap Seungwoo. Tubuh Seungyoun berada diantara kedua kaki pria yang duduk diranjang dibelakang tubuhnya.

“Seungwoo hyung, bisakah aku memanggilmu begitu?”

“Sesungguhnya aku tidak pernah keberatan dengan caramu menyebut namaku. Jadi, panggil aku sesukamu, Seungyounie.”

Lagi.

Namanya disebut, dan Seungyoun akan mengangguk patuh.

Seungyoun segera memejamkan mata ketika dua tangan Seungwoo berada di kepalanya, mengusap perlahan rambutnya dengan handuk. Dan yang membuatnya bergidik adalah ketika jari-jari panjang Seungwoo sesekali menyentuh helai rambutnya, atau bahkan mengenai cuping telinganya.

“Seungwoo hyung.”

“Hm?”

“Kau bukan manusia.”

Tangan Seungwoo berhenti menjelajah rambut Seungyoun. Dan sekalipun mereka tidak saling bertatapan, Seungyoun bisa merasakan sebuah seringaian muncul di paras tampan Seungwoo. Satu hembusan nafas menyapa telinga Seungyoun yang berarti wajah Seungwoo begitu dekat dengannya. Dengan segala keberanian yang tersisa, Seungyoun menoleh ke samping dan benar saja, Seungwoo begitu dekat hingga hidung mereka bertemu dan saling menyentuh.

“Kau pintar, Seungyounie.”

Sial. Kali ini Seungyoun yakin ia tidak akan lepas. Pandangannya terpaku pada iris kelam Seungwoo yang menatapnya bersamaan dengan sebuah seringai yang semakin lebar. Seungyoun takut, ingin lari. Tapi ia sadar dan tahu benar bahwa sudah sangat terlambat ketika Seungwoo memajukan wajahnya untuk berbisik pelan.

“Bagaimana bisa kau tahu?”

“Kau selalu mengamatiku. Kau terlalu dingin, kau sangat pucat, dan terlalu tampan untuk jadi manusia.”

Seungwoo lagi-lagi menyeringai. Bibirnya menyentuh telinga Seungyoun lalu menggigitnya perlahan hingga berdarah. Tidak puas sampai disitu, Seungwoo menjamah perpotongan lehernya dan menancapkan taring yang memanjang dengan tiba-tiba lalu menyesap darah Seungyoun dari sana.

“Kau pintar sekali. Jadi, Seungyounie, bisakah aku memberimu hadiah sekarang juga?”

Inginnya Seungyoun menolak tapi percuma. Kini Seungwoo menjauhi lehernya, kedua tangan dingin itu menangkup wajah Seungyoun yang semakin pucat. Dengan satu gerakan pelan, Seungwoo mendekat dan mengambil satu kecupan dari bibir Seungyoun yang mengering. Sebuah hadiah berupa ciuman kematian dari makhluk mitos yang menjadi legenda di tempatnya berada.


Maafkan untuk segala ketidakjelasan yang ada.