THE TRUTH UNTOLD

Seungzz. Minor Character Death. Criminal. Mild Violence. Dirty Words. 4,9k

Warning: typo, ooc(s), weird, lack of research so pardon me, fast-paced


Hari itu adalah hari yang cukup buruk untuk Seungyoun yang mau tidak mau akan memulai kehidupan barunya yang mungkin hanya sementara. Diawal usia tigapuluhan yang baru beberapa hari dicicipinya, sebuah peristiwa buruk menimpa dan di sinilah dirinya yang memakai baju tahanan dan berdiri di depan jeruji besi sambil memeluk bantal kesayangannya.

“Jinhyuk?”

Jangan lupakan seseorang yang tidak jauh berbeda perawakan dengan Seungyoun tengah menggamit lengannya santai, menanggapi panggilan itu dengan senyuman.

“Santai saja. Ini semua keinginanmu, bukan?”

Apakah sipir-sipir penjara yang mengantar narapidana ke sel mereka selalu bersikap sesantai ini? Kalau iya, ternyata luar biasa banyak yang tidak ia ketahui. Seungyoun tidak menyangka. Dikiranya ia akan disiksa, atau setidaknya diseret paksa sebelum dilempar ke ruangan penuh derita dibalik jeruji besi yang ada di depannya.

“Kau tidak lihat keributan itu?”

Jinhyuk, sipir jangkung itu hanya mengangguk.

Mata Seungyoun menatap nanar keributan yang ada dibalik pintu sel tempatnya berdiri. Beberapa orang yang berbaju sama seperti yang dipakainya saling memukul, menghantam bagian tubuh narapidana lain sekenanya. Sepertinya kepala adalah sasaran utama, jika luput masih ada dada atau tungkai yang bisa ditendang.

“Tidak dihentikan?”

“Nanti juga mereka lelah sendiri. Jadi, Seungyoun, kau boleh masuk sekarang. Aku tanya sekali lagi. Kau yakin ingin masuk ke sana? Bukan ke sel yang lain?”

Seungyoun mengangguk mantap pada Jinhyuk. Mengirimnya ke tempat yang seolah-olah menjadi simulasi neraka, atau mungkin bisa dibilang neraka kecil-kecilan dengan pertanyaan berulang bukanlah hal yang bisa membuat perasaan Seungyoun lega begitu saja. Yang ada, Seungyoun ingin pulang dan lebih memilih jadi tahanan rumah saja. Keraguan kembali menghampirinya.

Jinhyuk lalu mempersilahkannya masuk setelah berhasil membuka gembok besi yang mengalung di besi pintu penjara. Ditutupnya kembali ketika Seungyoun sudah berada di dalam sel—yang sekarang sudah terlihat lebih kondusif karena kedatangan Jinhyuk—dan dirinya tentu saja. Bahkan para tahanan yang babak belur itu kini terlihat pernasaran padanya. Well, Seungyoun hanya berdoa supaya salam perkenalannya nanti tidak seburuk yang ia bayangkan.

“Ini Cho Seungyoun, penghuni baru. Silahkan berkenalan dengannya menggunakan cara seperti biasa jika ada salah satu dari kalian yang ingin telinga atau jarinya dijadikan makanan pembuka makan malam olehnya.”

Setelah berujar lantang, Jinhyuk pergi menjauh dari sel tempat Seungyoun berada.

“Hei! Kau berlebihan, Jinhyuk-ssi!”

Seungyoun tidak bisa menahan teriakannya.

“Rupanya kau cukup punya nyali untuk meneriaki penjaga, Cho.”

Seungyoun yang merasa marganya dipanggil mengarahkan pandangan pada lelaki yang terduduk di ujung sel dengan sebuah buku usang di tangan. Sepertinya, rutinitas keributan di ruangan ini tidak mengganggu kegiatannya. Sejak ia berada di luar sel hingga sekarang berada di dalamnya, Seungyoun tak melihat sosok itu beranjak sedikitpun dari tempatnya duduk. Tapi malah kini keberadaan Seungyoun yang mampu mengalihkan perhatiannya.

“Duduk saja di sampingku jika kau ingin hidup tenang sampai akhir hukumanmu.”

Oh, sombongnya. Ingatkan Seungyoun untuk berhati-hati terhadap siapapun di sini. Walaupun sedikit berbeda dengan narapidana pembuat onar lainnya, bukan berarti Seungyoun bisa begitu saja akrab dengannya.

Itu adalah malam kedua yang dinikmati Seungyoun di dalam sel tahanan. Sejak pertama ia masuk, memang benar tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya apalagi menyentuhnya ketika jaraknya begitu dekat dengan sang tahanan 'istimewa'. Bahkan malam pertama di penjara, mereka tidur berdekatan dengan sebuah kejutan kecil di pagi hari saat ia bangun. Si tahanan 'istimewa' masih terlelap tidur dengan posisi menyamping dan satu kaki berada di atas tungkai Seungyoun.

Begitulah 'kedekatan' yang terbangun tanpa rencana antara Seungyoun dan tahanan tampan berhidung mancung itu hingga semakin membuat narapidana lain enggan mendekat bahkan bertegursapa. Kecuali, seseorang berperawakan kekar namun lebih pendek darinya. Kalau tidak salah ingat, Seungyoun diajak berkenalan dengan Hangyul setelah selesai dipukuli oleh tahanan-tahanan lain yang mengeroyoknya di hari Seungyoun berada di sana untuk kali pertama.

'Aku Hangyul, datang ke sini hanya karena dituduh mencuri jagung di ladang petani kaya di desaku. Sayangnya saat itu aku sedang sial hingga tanpa basa basi mereka menyeretku kemari.'

Begitu kurang lebihnya. Seungyoun sebenarnya tidak ingin peduli juga pada kasus-kasus yang menimpa mereka. Lagipula sudah kelihatan dan dihapalnya di luar kepala bagaimana kumpulan orang-orang yang menghirup udara yang sama di satu ruangan dengannya itu bisa berada di dalam penjara.

Kecuali yang satu ini—pria yang entah mengapa tiba-tiba mengambil tempat duduk di sampingnya saat makan di kantin khusus para narapidana.

“Boleh aku minta sedikit dagingmu?”

Dan yang tidak sopan ketika makan.

“Terima kasih.”

Oh, memang benar-benar tidak sopan. Diluar dugaan pria itu tanpa basa-basi dan persetujuan menyumpit satu potong daging yang ada di piring Seungyoun lalu mengunyahnya begitu cepat. Hal itu membuat Seungyoun geram dan membanting sendok tak bersalah di tangannya.

“Aku tidak akrab denganmu, bahkan namamu saja aku tidak tahu, dan kau berani-beraninya membuatku harus berbagi makanan denganmu.”

Lelaki di samping Seungyoun berhenti mengunyah untuk mengalihkan pandangannya pada Seungyoun yang begitu terlihat kesal. Senyum tipis ia hadiahkan untuk Seungyoun sebelum tangannya terulur ke depan dan mengusap ujung bibir Seungyoun lalu mencecap sisa kuah daging yang sidah berpinda ke ibu jari lelaki itu.

“Makan yang benar, bukannya mengomel.”

Dengan setengah tidak percaya dan bibir yang terbuka, Seungyoun melewatkan kesempatan untuk menendang tungkai si tahana spesial karena ia sudah mengangkat piring yang telah tandas isinya dan hendak mengembalikan pada bibi kantin penjara. Namun, belum genap sepuluh langkah pria itu berhenti dan dari balik bahunya ia menoleh pada Seungyoun dan berkedip jahil.

“Ngomong-ngomong namaku Han Seungwoo dan kita sudah sangat akrab karena sering tidur berpelukan sebelumnya.”

“Hei, berhenti kau, brengsek!”

Sel itu kembali ramai ketika Seungyoun hampir telelap. Semalaman ia benar-benar tidak tertidur mengingat perkataan Seungwoo. Benar saja, Seungwoo selalu memiringkan badan menghadap dirinya ketika tertidur, dengan berbantal satu lengan dan hanya beralaskan karpet tipis. Terkadang Seungyoun masih beruntung dengan nasibnya—kecuali nasib mengenai sebuah keharusan ia berada di dalam penjara bersama para narapidana yang sayangnya tak punya etika.

Baru saja membatin kelakuan para rekan satu selnya, Seungyoun harus membuka matanya ketika tubuh seseorang menimpanya.

“Maafkan aku hyung. Aku hanya terdorong—”

Seungyoun mendorong Hangyul menjauhinya dan dengan sigap berdiri mendekati salah seorang tahanan yang lagi-lagi merundung Hangyul di penjara. Satu kepalan Seungyoun arahkan ke wajah pengedar narkoba yang ia ketahui bernama Kookheon hingga jatuh tersungkur.

“Jangan ganggu tidur siangku, brengsek!”

Seungyoun hendak berbalik namun belum sempat ia meraih tangan Hangyul untuk membantunya berdiri, tepukan menghampiri bahunya. Dan saat menoleh, Yuvin—rekan Kookheon menghantamnya dengan keras. Seungyoun hendak membalas namun tidak bisa lagi karena kawanan narapidana berjumlah empat orang itu memukulinya habis-habisan.

Seungyoun rasanya hampir mati. Yang sekarang didengarnya hanyalah suara hantaman yang berusaha meremukkan tubuhnya dan teriakan Hangyul memanggil sipir. Mungkin ada beberapa rusuknya yang patah, atau bahkan tengkoraknya retak akibat tangan-tangan kotor itu menyentuh tubuhnya dengan kasar dan tidak sopan. Tapi Seungyoun sudah tak peduli. Rasanya lebih baik mati daripada merasa sakit seperti ini. Telinganya mulai berdenging nyaring. Apakah sudah saatnya ia menghadapi kematian sekarang?

“Berhenti memukulnya atau kubuat kalian kehilangan kepala!”

Tapi suara yang sangat dibencinya dan terlampau familiar itu membuatnya terjaga. Dengan mata yang berat, Seungyoun berusaha memusatkan pandangan pada sosok tinggi yang kini membalas perlakuan orang-orang itu padanya. Apa itu malaikat yang mau menjemput nyawanya? Mengapa malaikat maut berwajah tegas dan tampan?

“Seung-woo?”

“Oh kau sudah bangun rupanya? Kau ingin minum? Atau ke kamar mandi? Mau kuantar?”

Pertanyaan-pertanyaan bodoh Seungwoo yang baru saja masuk ruangan tempatnya dirawat membuat Seungyoun memilih pingsan saja lagi. Pria itu membawa sebuah piring dan segelas air putih. Seluruh tubuhnya terasa remuk ketika ia berusaha untuk bangun, namun dengan sigap Seungwoo menahannya dengan satu tangan berada di dada Seungyoun.

“Singkirkan tanganmu!”

“Oh, maaf. Aku refleks. Kukira kau suka kusentuh.”

“Apa katamu—ah!”

“Jangan bergerak dulu. Kau baru sekali ini tadi dikeroyok, bukan? Memang begitu rasanya. Mungkin kau sudah bisa mengomel lagi setelah seminggu.”

Seungyoun makin pusing dibuatnya. Seungwoo ini tipikal lelaki menyebalkan yang Seungyoun paling benci diantara 'teman' satu selnya. Apa yang diucapkan Seungwoo rasanya selalu membuat telinganya iritasi.

“Kau lapar, Seungyounie?”

Berani-beraninya mulut menyebalkan itu menyebut namanya dengan panggilan itu..

“Kau lapar tidak?”

“Apa itu makananku?”

Seungyoun menunjuk piring di atas nakas di samping ranjangnya yang sebelumnya dibawa oleh Seungwoo dengan dagunya.

“Bukan. Itu makan siangku.”

“Lalu kenapa menawariku, sialan!”

Seungwoo tergelak. Tawanya memenuhi ruang dimana Seungyoun dirawat. Heran, ia tidak memukan dokter atau perawat di sana, dan malah ditemani Han brengsek Seungwoo.

“Kalau kau lapar akan aku ambilkan sesuatu. Yang itu memang makan siangku. Kukira kau akan pingsan sampai malam jadi tidak kuambilkan.”

Lihat. Bahkan pria yang memakai baju tahanan ini begitu kurang ajarnya mengharapkan Seungyoun pingsan lebih lama. Bisa Seungyoun minta pindah sel saja sekarang?

Itu adalah keesokan hari setelah Seungyoun jadi bulan-bulanan para pengedar narkoba di dalam tahanan. Ada Jinhyuk yang kini duduk di kursi di samping ranjang Seungyoun yang sekarang sudah bisa bersandar. Sipir yang terlihat santai itu membawakan Seungyoun makan pagi dan menyuapkan padanya.

“Berterimakasihlah pada Seungwoo. Sekalipun dia pembunuh, rupanya ia memiliki belas kasihan juga padamu.”

Seungyoun berhenti mengunyah lalu memiringkan badannya untuk menghadap Jinhyuk.

“Apa aku tidak bisa pindah sel?”

“Kau takut dipukuli lagi?”

Seungyoun menggeleng cepat.

“Aku bahkan bisa mematahkan tulang-tulang mereka kalau tidak ingat aku adalah orang baik, Jinhyuk.”

Jinhyuk menatap serius Seungyoun lalu mendekat dan menepuk pelan bahu Seungyoun yang tertutup perban.

“Kau bisa pindah, tapi Seungwoo?”

“Bawa dia pindah bersamaku. Dan Hangyul juga.”

“Yo, Seungyoun!”

Bisakah Seungyoun pergi saja dari ruangannya sekarang? Rasanya berbagi udara di tempat yang sama dengan seorang Han Seungwoo membuatnya sesak napas. Lagipula mengapa penjahat kelas pembunuh seperti dirinya bisa begitu mudahnya keluar masuk ruang perawatan dan sel. Apa memang kebijakan penjara ini terlalu longgar?

“Jangan pasang tampang seolah-olah kau ingin aku dihukum mati sekarang.”

“Bukan seolah-olah tapi memang itu faktanya. Lagipula ada urusan apa denganku? Lebih baik kau kembali ke selmu, Seungwoo.”

Seungwoo yang diusir bahkan tidak beranjak untuk mendekati pintu ruangan. Sebaliknya, kaki jenjangnya melangkah mendekati jendela lalu membuka tirai yang menutupinya. Kemudian ia menoleh ke belakang, ke arah Seungyoun yang masih menatapnya sinis. Berharap Seungwoo cepat-cepat enyah dari sana.

“Sel baru kita maksudmu? Kau ingin lebih intim denganku, ya? Rindu tidak tidur di sampingku setelah sekian lama? Lalu mengapa harus mengajak Hangyul?”

“Tutup mulutmu atau—”

“Jalan-jalan keluar bersamaku ya? Kata sipir Jinhyuk kau perlu diajak cari udara segar supaya mulutmu tidak terus-terusan mengeluarkan kata-kata kasar.”

Jalan-jalan bersama Seungwoo? Keluar sel? Apa Jinhyuk ingin dilaporkan pada atasan untuk dipecat karena membuat Seungyoun harus dipapah pembunuh mengerikan ini?

Gila.

Seungwoo itu gila.

Seungyoun juga gila.

Jinhyuk si sipir sialan itu lebih gila.

“Mau tidak kusuapi?”

Lihatlah apa yang dilakukan Seungwoo padanya. Dengan dalih ingin menemani Seungyoun menyegarkan mata dan pikiran demi mempercepat kesembuhan, sekarang mulutnya dijejali beberapa potong buah lewat tangan Seungwoo. Bahkan mereka duduk sangat dekat di sebuah bangku di depan ruang pemeriksaan tersangka dengan Jinhyuk melihat dari kejauhan sambil bersender di pintu ruang kerjanya.

Yang sakit Seungyoun, yang menyuapi Seungwoo, yang memberi buah dan semua ide konyol ini Jinhyuk.

Triple sialan.

“Tadi Hangyul titip salam padamu dan rasanya telingaku sakit mendengarnya merengek meminta maaf berulang-ulang atas apa yang terjadi.”

Seungyoun menoleh ke samping untuk menangkap profil Seungwoo dari samping. Oh, apa benar lelaki yang dikenal sebagai penjahat ini masih bisa terlihat begitu tampan? Hidungnya. Ya, hidungnya memang bagus. Seungyoun jadi rindu ingin menyentuhnya.

“Cho, kau mendengarku?”

Tangan Seungyoun yang hampir menyentuh wajah Seungwoo berhenti di udara.

“Apa?”

“Ayo masuk, angin yang agak dingin tidak baik untuk tulang-tulangmu yang hampir patah.”

Brengsek. Seungyoun jadi ingin memberi bogem mentah pada Seungwoo. Persetan dengan hidungnya yang bagus, Seungyoun tidak peduli.

“Apa aku harus kembali ke sel sekarang, Seung-woo?”

Mendengar Seungwoo yang tertawa tiba-tiba membuat kedua alis Seungyoun hampir menyatu dibarengi sebuah dengusan kesal.

Apa salah ia menyebut nama Seungwoo?

“Hei, Seungyoun, apa kau tahu?”

“Apa?”

Seungwoo tidak menjawab, tapi berdiri lalu mengulurkan satu tangannya, berniat membantu Seungyoun bangun dari duduknya. Sayangnya, yang diberi uluran tangan masih bergeming. Menunggu Seungwoo menjawab.

“Aku selalu suka bagaimana caramu menyebut namaku.”

Tanpa menunggu persetujuan, tangan Seungwoo meraih milik Seungyoun dan menariknya pelan. Mereka berjalan masuk ke dalam sel sebelum angin benar-benar membuat tulang Seungyoun ngilu. Jangan lupakan teriakan Seungyoun yang merintih kesakitan dan disertai tawa kecil serta permintaan maaf dari Seungwoo.

“Seungyoun hyung! Kau kembali!”

Tabrakan tubuh kekar Hangyul membuat Seungyoun yang baru saja masuk membuatnya oleng. Beruntung Seungwoo ada di belakangnya dan sanggup menahan tubuh Seungyoun hingga ia tidak perlu tersungkur dan harus kembali masuk ke ruang perawatan. Setelahnya, Seungyoun meninju pelan kepala Hangyul.

“Kau hampir saja membuatku tulangku yang retak jadi patah betulan, Hangyul!”

“Maaf, maaf hyung. Aku hanya terlalu gembira. Selama di sini gunakan aku dengan sebaik mungkin. Hyung sudah menyelamatkan hidupku dan membawaku kemari, jauh dari penjahat-penjahat betulan itu.”

Tapi satu tepukan keras kembali menyapa kepala Hangyul. Kali ini bahkan sampai membuatnya terdorong menjauh dari Seungyoun. Itu adalah perbuatan Seungwoo.

“Penjahat betulan kepalamu, Lee. Lalu kau anggap aku ini apa? Badut?”

“Tentu tidak, Seungwoo hyung. Kau adalah pembunuh paling kejam namun sangat tampan. Aku tidak akan melupakan fakta itu.”

Kemudian leher Hangyul dicekik Seungwoo dengan tiba-tiba. Sekalipun main-main, Hangyul terlihat benar-benar tersiksa. Seungyoun mendengus lelah melihat kelakuan dua rekan satu selnya. Rasanya ia ingin segera berbaring saja lalu tidur. Namun Hangyul masih sempat berceloteh ria tentang rasa syukur, terima kasih dan ucapan selamat beristirahat untuk Seungyoun walaupun dalan keadaan tercekik. Yang pasti Seungyoun malas mendengarnya.

“Seungyoun? Cho Seungyoun?”

“Diam, Seungwoo. Aku masih mengantuk.”

“Tapi kau memelukku terlalu kencang. Aku ingin ke kamar mandi.”

Detik itu juga mata Seungyoun terbuka lebar dan mendapati dagunya menempel di bahu Seungwoo dengan tangannya yang melingkari dada lelaki itu. Tak lupa melirik ke bawah, dua kakinya menjepit satu tungkai Seungwoo. Bukankah posisi ini sangat memalukan?

“Apa aku harus menggendongmu untuk ikut ke kamar mandi karena sepertinya kau tidak ingin melepasku?”

Sangat sigap, Seungyoun menjauhkan diri dari Seungwoo dan bangun dari posisinya. Sang narapidana istimewa itu tertawa cukup kerasa melihat ekspresi Seungyoun yang lucu. Seungyoun melihatnya berdiri dengan tangan yang lagi-lagi terulur, menunggu disambut olehnya.

“Ayo ikut aku ke kamar mandi.”

“Untuk apa?”

“Terserah. Cuci muka boleh, masturbasi juga tidak dilarang. Tapi Seungyounie, aku takut ke kamar mandi sendiri. Temani, ok?”

Seungyoun bergidik ngeri melihat ekspresi menjijikan Seungwoo yang merengek meminta ditemani bahkan hanya untuk ke kamar mandi. Lagipula, siapa yang mau menakut-nakuti pembunuh. Yang ada, setan saja tidak mau dekat-dekat. Namun ajaibnya Seungyoun mengangguk dan menerima uluran tangan Seungwoo.

“Baiklah.”

Seungyoun berjalan lebih dahulu tanpa tahu ada seringai yang muncul saat kedua orang itu menuju kamar mandi.

“Evan?”

“Hm?”

Seungyoun berhenti membasuh wajahnya ketika Seungwoo memanggilnya dengan sebutan lain. Dengan perlahan Seungyoun menoleh dan menemukan fakta bahwa tampan itu tengah menatapnya dalam. Rasanya berbeda. Tatapan itu luka, dingin, tapi penuh kerinduan. Seungwoo mendekat padanya. Setiap langkah yang mengikis jarak mereka membuat Seungyoun merasa tidak nyaman.

“Seungwoo?”

“Evan?”

“Huh? Tunggu—akh! Seung-woo!”

Tubuh Seungyoun tiba-tiba terdorong ke belakang hingga punggungnya menabrak dinding pembatas bilik kamar mandi dengan keras. Napasnya terputus-putus karena lehernya berada dalam genggaman Seungwoo. Jari-jari kokoh itu mencekiknya. Sakit. Seungyoun berusaha melepaskannya, namun tenaganya tidak cukup besar untuk menahan tekanan kuku-kuku Seungwoo pada kulitnya. Rasanya udara benar-benar tidak bisa lagi memasuki paru-parunya.

“Mengapa kau mengkhianatiku?”

Apa?

“Katakan padaku, Evan! Mengapa?”

Satu titik air mata jatuh dari kelopak mata Seungwoo. Seungyoun bisa melihatnya, sekalupun pandangannya mulai mengabur. Apa ini akhirnya? Apakah Seungyoun akan mati di sini? Apakah dia akan jadi seorang yang kehilangan nyawa untuk sebuah misi?

“Mengapa kau kembali? Kau sudah mati!”

“Aku—bukan pengkhianat, Woo. Le-pas!”

Seungyoun sudah tidak kuat, dan ketika semuanya mulai menggelap, cengkeraman tangan Seungwoo terlepas dengan teriakan panik dari lelaki itu.

'Aku bukan Evan.'

Seungyoun membuka mata dan disambut dengan pemandangan familiar yang sempat akrab dengannya beberapa waktu lalu. Ya, ia kembali lagi ke sini, di ruang perawatan penjara yang sebelumnya ia tempati karena pengeroyokan para bandar narkoba. Setidaknya Seungyoun bersyukur. Dengan keberadaannya di sini, ia tahu bahwa ia masih hidup. Bahkan setelah hampir meregang nyawa ketika—

—tunggu!

Han Seungwoo!

“Seungyounie?”

Ada Jinhyuk di sana, dengan raut khawatir tercetak jelas di wajah lelaki itu saat menatapnya. Seungyoun paham, mungkin Jinhyuk sekarang sedang merasa bersalah menempatkannya dalam keadaan bahaya bersama Han Seungwoo sekalipun itu permintaan Seungyoun sendiri. Tapi ia tak bisa berhenti begitu saja. Tekadnya untuk berada di sekitar Seungwoo benar-benar sudah bulat, apapun yang terjadi.

“Jangan pasang tampang seperti itu. Lihat, aku masih hidup, Jinhyuk. Oh ya, Han Seungwoo—di mana?”

Jinhyuk menghela napas berat sebelum menjawab.

“Sel isolasi?”

“Boleh aku berkunjung?”

Kedua bola mata Jinhyuk melebar mendengar pernyataan Seungyoun. Tidak. Seungyoun tidak menyangkal jika Jinhyuk berpikiran bahwa Seungyoun gila atau semacamnya ketika ia bahkan ingin mendatangi sosok pembunuh yang hampir menjadikannya mayat di dalam kamar mandi penjara.

“Kau yakin? Han Seungwoo itu—“

“Pembunuh? Aku tahu. Tapi aku yakin, kali ini ia tidak akan berani membunuhku untuk kedua kali.”

Jinhyuk tidak akan bisa menolak kali ini. Ini masalah Seungyoun yang sayangnya ia tidak bisa campuri dengan menghentikan keinginan Seungyoun untuk bersama Seungwoo yang terang-terangan mengancam hidup lelaki itu. Beruntung saja Seungyoun punya privilese. Jika tidak, Jinhyuk tidak mungkin membiarkannya.

“Baiklah. Tapi jika pembunuh itu menyentuhmu lagi, aku bisa saja memasukkannya ke ruang penyiksaan dan menghabisinya dengan tanganku sendiri.”

Seungyoun berada di depan sebuah pintu besi yang berbeda dari sel lainnya dengan tulisan ‘isolasi’ di atasnya. Juga ada Jinhyuk di sebelahnya, menggenggam tangannya erat dengan segala raut kekhawatiran yang tercetak jelas di wajahnya. Seungyoun melempar senyum untuknya.

“Aku akan baik-baik saja. Kau bisa kembali bertugas.”

“Aku akan menunggu di sini.”

Seungyoun menggeleng pelan sebelum melepaskan genggaman tangan Jinhyuk padanya dan mendorong pelan kedua bahu sang sipir hingga jarak diantara mereka melebar.

“Kau akan pergi memeriksa para tahanan. Siapa tahu ada Cho Seungyoun kedua yang hampir mati karena dihajar tahanan lain.”

“Tapi—“

“Aku akan baik baik saja, Lee Jinhyuk.”

Ketika pintu itu ditutup Seungyoun dari dalam, dari sudut matanya ia bisa melihat Seungwoo duduk di sudut ruangan dengan lutut tertekuk dan lengan yang memeluk kedua tungkainya. Ruangan itu hanya diterangi satu lampu dan seberkas cahaya yang masuk dari sebuah jendela kecil berjeruji. Di sudut lain terlihat sebuah nampan berisi piring kosong dan gelas yang isinya tinggal setengah.

Baguslah. Makanan itu habis ditelan. Setidaknya Seungwoo masih ingin hidup sekalipun ia baru saja hampir menghabisi nyawanya, pikir Seungyoun.

Jangan lupa bahwa Seungwoo masih perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Aku senang kau masih hidup.”

Seungyoun tertawa sarkas mendengarnya. Kakinya melangkah maju, mengikis jarak dan mendekati Seungwoo. Ada satu tikar tipis yang biasanya digunakan para tahanan untuk tidur. Dan Seungyoun memilih melewatinya untuk duduk di samping Seungwoo dan menirukan posisi duduknya.

“Aku tahu kau bukan penjahat yang seharusnya menghuni bui bersamaku dan para penjahat lain, Seungyoun. Aku tidak tahu alasanmu berada di sini. Tapi aku berharap kau memaafkanku untuk kejadian semalam. Aku hanya—“

“Apa kau melihat Evan di diriku?”

Satu pertanyaan Seungyoun membuat Seungwoo tercekat hingga ia menoleh pada lelaki di sampingnya itu setengah tidak percaya.

“Kau—sebenarnya kau siapa?”

“Aku adalah bagian dari Evan yang masih hidup yang akan menghantuimu sampai kau menjelaskan semua perbuatan yang telah kau lakukan.”

Seungwoo terlihat kesulitan menggerakkan bibirnya ketika melihat wajah Seungyoun yang menatapnya sendu. Ada air mata yang terkumpul disudut mata kedua lelaki yang kini berhadapan dengan kenyataan dan takdir yang sudah menanti mereka. Seungyoun lalu berdiri dan mengulurkan tangan, mengajak Seungwoo kembali berkenalan.

“Aku Cho Seungyoun, adik kembar Evan Cho, kekasihmu yang kau bunuh, Han Seungwoo.”

Kalimat itu begitu lancar keluar dari mulut Seungyoun. Tidak peduli jika hal itu bisa saja menjadi pelatuk yang mengaktifkan emosi Seungwoo yang sangat memungkinkan dirinya kembali berada dalam bahaya. Seungyoun hanya ingin menyelesaikan semua sekarang. Mencari kebenaran dibalik kematian kakak kembarnya, Evan.

Setelah mengungkap identitas aslinya pada Seungwoo, Seungyoun meminta Jinhyuk mengeluarkannya dari penjara. Tentu dengan senang hati sang sipir yang notabene adalah kekasihnya menyetujui. Namun, sekalipun Seungyoun sudah kembali pada kehidupan normalnya, bukan berarti ia berhenti mendatangi penjara. Urusannya dengan Seungwoo belum selesai.

Dan hari ini, ia berkunjung kembali untuk pertama kali semenjak Seungyoun keluar dari bui.

Seungyoun memasuki ruang kunjung tahanan dan menduduki satu kursi. Di depannya ada meja yang memisahkannya dengan kursi lain. Kursi yang mungkin saja akan ditempati Han Seungwoo jika lelaki itu mau menemuinya.

Setelah beberapa menit menunggu, ia melihat Jinhyuk yang tersenyum padanya sambil menggandeng lengan seseorang yang ditunggunya sejak tadi. Han Seungwoo terlihat lebih kurus dan pucat sejak terakhir kali ia melihat pria itu. Pandangannya tertunduk lesu, dengan kantung mata besar dan menghitam.

Dan ada rasa tidak suka menggelitik hatinya saat Seungwoo terlihat menyedihkan.

“Apa aku perlu menemanimu di sini, Seungyounie?”

Jinhyuk meletakkan tangannya di bahu Seungyoun yang dibalas sebuah senyum dan genggaman pada jemari Jinhyuk.

“Tidak. Kau bisa tinggalkan kami berdua, Jinhyuk.”

Setelah menepuk bahu Seungyoun sekali lagi dan melirik Seungwoo untuk memastikan keadaan mereka nanti baik-baik saja, Jinhyuk pergi dari sana, menyisakan Seungyoun yang sekarang meletakkan sebuah kantong berisi kotak bekal di atas meja. Seungwoo yang mendengar suara benda bertemu permukaan meja mendongak. Detik berikutnya ia menatap Seungyoun penuh tanya.

“Aku hanya tidak mau kau sakit lalu cepat mati begitu saja, Seungwoo. Jangan berpikir aku sedang berbaik hati padamu dengan membawakanmu makanan. Habiskan dulu sekarang lalu kita bicara. Santai saja, aku sudah meminta Jinhyuk waktu yang lama agar kita bisa meluruskan semuanya.”

Seungyoun membuka kotak-kotak makanan berisi nasi,sayur dan segala lauk lalu mendorongnya mendekat pada Seungwoo. Tak lupa sumpit dan sendok juga ia siapkan agar Seungwoo bisa makan. Dari sisinya, Seungyoun bisa melihat Seungwoo tersenyum kecil namun jelas terlihat kesedihan dari raut wajahnya.

“Kau benar-benar terlihat seperti Evan, Seungyoun. Bahkan sekarang aku ragu, apakah ia benar-benar mati waktu itu sejak kau datang kemari dan menemuiku.”

“Aku senang melihatmu semakin menderita oleh kehadiranku yang terus mengingatkanmu pada Evan.”

Dengusan kecil Seungwoo terdengar sebelum tangannya meraih sumpit dan mulai makan. Satu suapan dan Seungyoun melihat sebuah airmata menuruni pipi Seungwoo yang sedikit menggembung saat mengunyah. Bibirnya begitu gatal ingin bertanya.

“Cho Seungyoun?”

“Ya?”

“Apa kau yakin kau bukan Evan?”

“Tentu saja.”

“Atau kau mengganti namamu?”

Satu gebrakan meja menghentikan kegiatan Seungwoo. Dan tawa lepas terdengar. Lama kelamaan semakin terdengar kencang memenuhi ruang kunjung itu.

“Kau tahu, Seungyoun? Aku tidak pernah lupa bagaimana Evan, rasa masakan buatannya, senyumnya, kebiasannya, bahkan bagaimana aroma dan bentuk tubuh juga betapa halus kulitnya saat kusentuh. Aku tidak pernah lupa, Seungyoun. Evan adalah kau.”

“Hentikan ucapanmu yang terdengar merendahkan kakakku atau kurobek mulutmu, Han Seungwoo.”

Seungwoo lagi-lagi tertawa.

“Oh, atau jangan-jangan yang selama ini menjadi kekasihku adalah kau? Yang selalu tidur denganku, yang selama aku kenal sebagai Evan yang asli adalah kau? Dan nasib sial menimpa kakakmu ketika aku melihatnya sedang berciuman dengan orang lain dan aku mengiranya dirimu? Lalu kuseret dirinya dan—“

Satu pukulan menghantam wajah Seungwoo sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimatnya. Seungyoun membuatnya tersungkur jatuh dari kursi. Wajah Seungyoun merah padam menahan amarah.

“Hentikan, Han Seungwoo! Kau gila!”

“Aku gila karenamu, Seungyoun. Jika kau tidak memiliki wajah yang sama dengan kakakmu yang sedang sial hari itu pasti ia masih hidup sekarang. Bahkan kita bisa melakukan kencan bersama.”

Senyum tipis Seungwoo muncul dari bibirnya yang berdarah ketika ia berusaha berdiri. Dari tatapan matanya bisa Seungyoun lihat ada kerinduan di sana. Bahkan hal itu membuat Seungyoun bergeming saat jarak mereka semakin lenyap dan tangan Seungwoo menyentuh kedua pipinya.

“Mengapa aku harus mencintaimu, Han Seungwoo?”

“Karena memang begitulah seharusnya.”

Kedua wajah itu semakin dekat.

“Mengapa kau harus membunuhnya?”

“Karena memang kau yang seharusnya hidup, bersamaku.”

Detik berikutnya Seungyoun tahu kesalahan telah diperbuatnya kala bibir mereka bertemu dan saling berbagi dan mencecap rindu bercampur rasa perih dan karat darah.

‘—dan aku tidak bermaksud membunuh Evan, Seungyoun-ah.’

“Seungyounie, kau baik-baik saja?”

Suara Jinhyuk di sampingnya membuyarkan lamunan Seungyoun. Mereka tengah berada dalam perjalanan pulang. Tadinya Seungyoun bersikeras ingin pulang menggunakan taksi saja, namun Jinhyuk terlanjur memaksa bahkan sudah meminta ijin pada atasannya untuk bisa mengantar Seungyoun kembali ke rumahnya.

“Hm? Tentu.”

Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara pendingin udara dan deru mesin yang mengiringi perjalanan mereka pulang. Namun itu tidak bertahan lama ketika Jinhyuk kembali membuka suara.

“Apa yang terjadi antara kau dan Han Seungwoo?”

“Tidak ada. Kami hanya mengobrol.”

Tiba-tiba Jinhyuk membanting stir dan berbelok ke tepi jalan lalu mengerem mendadak hingga tubuh Seungyoun terdorong ke depan hampir terbentur dasbor mobil.

“Lalu kau pikir aku bodoh? Dengan noda darah di bibirmu? Juga pelukan perpisahan?”

“Jinhyuk—“

“Aku tahu kau ingin mencari tahu segala hal tentang kematian Evan, Seungyoun-ah. Tapi bukan berarti kau harus kembali pada pembunuh itu.”

Seungyoun diam, membiarkan Jinhyuk mengungkapkan apa yang selama ini dipendamnya.

“Aku tahu kau masih mencintainya. Begitu juga sebaliknya, Han Seungwoo masih berharap padamu.”

Pemuda itu diam dan mengalihkan pandangan ke luar jendela, tak berani menatap Jinhyuk yang terlihat kesakitan dan putus asa.

“Tapi jika kau memaafkannya dan kembali pada pembunuh itu, semua itu tidak adil bagiku, Seungyoun-ah. Bisakah kau membiarkannya menjalani hukuman dan kita hidup tenang bersama?”

Genggamannya pada sabuk pengaman mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. Seungyoun tahu, di sini bukan hanya ia yang kehilangan Evan. Ada orang lain yang begitu mencintai sang kakak yang sudah tiada.

“Mungkin kau masih bisa memaafkan Seungwoo karena ia kekasihmu, tapi tidak untukku karena dia yang telah membuat Evan pergi dariku.”

“Oh aku tidak menyangka tamu langgananku berubah.”

Seungwoo duduk di kursi kosong yang berada di seberang Jinhyuk dengan santai. Kedua lengannya diletakkan di atas meja. Tidak ada suara yang keluar dari bibir keduanya untuk beberapa saat. Jinhyuk menatap datar Seungwoo, sebaliknya Seungwoo menatap Jinhyuk dengan senyum tipis.

“Aku tahu aku berhutang maaf padamu, Jinhyuk-ssi.”

Seungwoo membuka percakapan. Mungkin memang ini saatnya ia mengakui kesalahannya, sekalipun Jinhyuk jelas sudah mengetahui betapa jahatnya dirinya. Bagaimanapun juga Seungwoo telah menjalani hukumannya. Tinggal ia meminta pengampunan dari seseorang yang paling menderita akibat perbuatannya—selain Cho Seungyoun.

Jinhyuk masih diam, belum ingin berbicara apalagi menanggapi apa yang Seungwoo katakan.

“Seungyoun—tidak pernah mengaku punya saudara kembar. Kekasihku itu juga mengaku bernama Evan sejak berkenalan hingga akhirnya menjalin hubungan denganku. Dan entah permainan macam apa yang Tuhan inginkan hingga kita harus berada dalam keadaan seperti ini. Temperamen dan rasa cemburu yang terlampau berlebihan pada diriku, kecerobohan Seungyoun, dan entah—kesialan Evan atau memang takdirnya, juga kau dan jadwalmu yang super sibuk kala itu, Jinhyuk-ssi.”

Seungwoo tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Kalau saja Seungyoun berkata jujur tentang identitasnya, kalau saja kau bersama Evan lebih lama, mungkin semua akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.”

“Kau menyalahkan kami?”

Seungwoo menggeleng pelan.

“Tentu saja kesalahan terbesar ada padaku. Kalau saja aku berpikir dengan kepala dingin ketika Evan bertanya siapa diriku dan mendengar penjelasannya, mungkin ia masih ada bersamamu dan membuatkanmu secangkir kopi saat kau berkunjung ke rumahnya.”

Jinhyuk tiba-tiba berdiri dan menghampiri Seungwoo. Dicengkeramnya baju tahanan milik Seungwoo. Lalu dilayangkan satu pukulan di wajah tampang Seungwoo hingga hidungnya berdarah dan tersungkur di lantai. Seungwoo menerima begitu saja, tidak ada perlawanan dan merasa pantas mendapatkannya.

“Mungkin kau ingin aku mendapat hukuman mati atas perbuatanku, Jinhyuk-ssi. Aku juga tidak melakukan pembelaan apapun ketika hakim menjatuhkan hukuman untukku. Kau boleh mengajukan peninjauan kembali atas kasus ini jika memang merasa tidak adil. Bagiku, hukuman seumur hidup sekalipun tidak mungkin bisa membuat Evan hidup lagi dan kembali padamu.”

Seungwoo terkekeh pelan, terdengar menyedihkan di telinga Jinhyuk.

“Kalau tidak ingat Seungyoun yang sayangnya masih mencintai pembunuh sialan sepertimu, aku yang akan menghabisimu dengan tanganku sendiri. Jadi, jalani hukumanmu dan kembali padanya.”

“Evan, apa kabar?”

“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.”

Seungwoo menoleh ke samping, melihat wajah kekasihnya yang tetap terlihat cantik sekalipun uban mulai tumbuh di sela-sela rambut hitamnya. Meski tidak sebanyak Seungwoo, lelaki manis itu sering protes mengenai penuaan yang menurutnya datang terlalu cepat.

“Aku bicara pada Evan, bukan padamu.”

“Tapi aku saudaranya, dan aku bisa merasakan jika ia baik-baik saja di sana.”

Seungwoo tersenyum lalu mengelus kepala Seungyoun pelan sebelum meletakkan bunga pada sebuah nisan di hadapan mereka.

“Aku telah menjalani hukumanku. Dan sekarang, aku harap kau memaafkanku.”

“Sebagai gantinya kau harus menjagaku seperti yang selalu Evan lakukan.”

Seungwoo mengangguk lalu kedua telapak tangan ia satukan. Permohonan pada Tuhan ia ucapkan dalam hati, meminta pengampunan dosa dan juga menitipkan salam untuk seseorang yang telah celaka dan menghadap Yang Maha Kuasa di usia muda karenanya.

“Oh, Jinhyuk? Menjenguk Evan? Cepat ia sudah menunggu.”

Seungwoo menghentikan acara berdoanya ketika Seungyoun menyebut nama orang lain. Kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati Jinhyuk membawa sebuket bunga di satu tangan dan menggandeng seseorang dengan tangannya yang lain. Seungwoo kemudian berdiri dan menyusul Seungyoun yang berlari menghampiri Jinhyuk yang telah menyelesaikan doanya lebih dulu.

“Hai, Wooseok-ssi.”

Lelaki mungil itu menunduk sopan menjawab sapaan Seungwoo.

“Akhirnya Jinhyuk bisa menemukan seseorang yang ia cintai lebih dari kakakku. Terima kasih, Wooseok-ah.”

“Kalau saja adiknya mau kujadikan kekasih pengganti Evan, mungkin Wooseok masih sendiri sekarang—aw, sakit Wooseok!”

Seungwoo dan Seungyoun tertawa melihat Jinhyuk mengaduh kesakitan akibat cubitan pedas Wooseok pada pinggangnya sebelum berpamitan dan pergi dari kompleks makam tempat Evan beristirahat. Keduanya bergandengan tangan, menggenggam satu sama lain. Enggan melepaskan lagi dan saling berjanji untuk hidup penuh kejujuran dan saling membimbing dan memperbaiki kesalahan.

FIN.

OMAKE:

“Evan!”

“Ya?”

“Maaf, tapi tadi aku memakai namamu saat berkenalan dengan seseorang.”

“...”

“Kau marah?”

“Tidak,Youn-ah. Kau hanya pinjam nama. Asal bukan Jinhyuk yang kau pinjam.”

“Tidak, terima kasih. Dia terlalu cerewet untukku. Ambil saja semua yang ada padanya.”

“Aku harus kembali bertugas, Evan.”

“Padahal aku masih ingin berlama-lama denganmu, Jinhyuk.”

“Aku janji minggu depan ambil cuti tiga hari. Pakai aku selama itu sampai kau puas.”

“Baiklah. Kemari dan aku akan memberimu ciuman selamat jalan.”

“Evan!”

“Maaf, anda siapa—akh!”

“Siapa pria yang kau cium baru saja?”

“Itu, Jinhyuk kekasihku, lepaskan! Aku tidak mengenalmu!”

“Evan! Berhenti! Jangan lari!”

Brak!

“Masukkan aku ke dalam sel yang sama dengannya, Jinhyuk!”

“Tidak lagi. Aku sudah kehilangan Evan. Tidak denganmu.”

“Tapi ia kekasihku dan aku ingin mencari tahu semuanya.”

“Bagaimana jika ia ingin membunuhmu juga, Seungyoun?”

“Tidak akan.”

“Evan—aku hanya menariknya untuk ikut denganku.”

“Kau yakin tidak mendorongnya hingga ia tertabrak mobil dan meregang nyawa saat itu juga?”

“Aku hanya—tidak sengaja menampar wajahnya dan ia jatuh tersungkur ke jalan setelah aku berhasil mengejarnya karena lari dariku.”

“Mengapa kau tidak pernah bisa mengontrol emosimu, Seungwoo?”

“...”