What if I wasn't done loving you?

cw: cheating


Kesempatan kedua tidak pernah ada dalam kamus seorang Renjun. Sekarang atau tidak sama sekali. Apalagi mengenai sebuah kata kutukan—pengkhianatan. Renjun mungkin sudah banyak dosa, sangat. Tapi berkhianat pantang ia lakukan.

Karena memang sesakit itu dikhianati.

Karena memang semenyedihkan itu menjadi yang dilukai.

“Renjun?”

Rambut hitam legam itu bergerak lembut bersamaan dengan kepala yang menoleh ketika namanya dipanggil. Matanya menyipit karena seulas senyum yang muncul dari lengkungan bibirnya. Sudah datang rupanya sosok yang ia tunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kemudian Renjun berdiri, membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, hendak menawarkan pelukan. Dan itu semua bersambut. Di dekapannya ada lelaki yang merindu dan dirindukan dirinya.

“Aku merindukanmu, Hyuck.”

Bibir itu begitu mudahnya mengatakan kalimat keramat itu, kini. Kemarin-kemarin saja mana berani Renjun berkata rindu?

“Apa aku boleh berucap hal yang sama?”

Kekehan kecil Renjun mengalun indah di telinga sang lawan bicara. Tangannya membuat gesture mempersilahkan Donghyuck—orang yang baru saja melepas pelukan dari tubuh mungilnya, untuk duduk di seberang meja. Ada secangkir Americano yang mulai samar kepulan asapnya akibat dinginnya suhu kafe tempat mereka melepas rindu, kalau Renjun boleh menyebutnya begitu.

“Kenapa tidak? Aku sudah terbiasa dengan rayuan dan kalimat manismu sejak kau mulai mendekatiku, Hyuck.”

“Senangnya kebiasaanku selalu ada diingatanmu.”

Senyum kecil Renjun lagi-lagi muncul. Sayangnya kali ini tidak secerah tadi ketika keduanya menyambut raga masing-masing. Helaan nafasnya terdengar ketika Donghyuck menyesap Americano di dalam cangkir yang ia genggam.

“Termasuk keinginan dadakanmu bertemu denganku di awal musim semi begini. Ada hal penting apa?”

Suara deheman Donghyuck tertangkap oleh telinga Renjun. Tanda sang lelaki tengah gugup. Renjun sudah bilang bukan jika ia sudah terlampau hafal dengan kebiasaan lelaki di depannya?

“Setidaknya biarkan aku bertanya dulu mengenai kabarmu, Renjun.”

“Aku baik. Sangat sangat baik, Hyuck. Jadi bisa ke inti pertemuan kita?”

Renjun menegakkan punggungnya yang sedari tadi menempel pada sandaran kursi dan menumpuk kedua lengannya di meja. Tandanya ia sedang menjadi Renjun yang serius. Donghyuck hanya bisa menghela nafas dan mengumbar senyuman.

Tangan Donghyuck merogoh saku jaket yang ia kenakan lalu mengeluarkan sebuah benda yang membuat kedua alis Renjun terangkat bersamaan.

“Aku tahu kau akan menganggapku terlampau kurang ajar karena hal ini tapi aku harap kau akan berkata iya, Renjun.”

Renjun mengambil benda itu, menyentuhnya perlahan. Jemarinya hampir saja tremor, tapi dengan satu helaan nafas yang dalam Renjun kembali bisa menguasai dirinya. Itu adalah momen kedua dimana jantungnya hampir berhenti berdetak dan meloncat keluar dari rusuknya.

“Menikah, ya?”

Donghyuck mengangguk ragu. Muncul ketakutan akan reaksi Renjun selanjutnya. Tapi semua itu lenyap, ketika Renjun mengulas senyum dan mengangguk mantap.

“Nanti aku akan datang bersama Jaemin, Hyuck. Dan sampaikan salamku pada Mark hyung. Semoga persiapan kalian lancar, ya.”


“Menurutmu, apakah aku akan baik-baik saja jika nekat datang ke pernikahan Donghyuck dan Mark hyung?”

Lengan besar itu mendekap Renjun lebih dekat hingga mampu mendengar ritme jantungnya yang berdetak teratur. Rasanya nyaman dan hangat. Dan saat mata itu mulai terpejam, Renjun merapal doa. Doa agar pengkhiatan tak akan lagi menghampirinya.

“Tentu, Injun. Kau sudah bilang akan datang denganku yang artinya semua akan baik-baik saja. Kau tidak akan sakit hati untuk kedua kalinya.”

Ucapan Jaemin selalu menenangkan. Dingin dan hangat secara bersamaan, memberikan kenyamanan dalam hati dan pikiran Renjun. Tak menyangka ia akan kembali merasa percaya dan baik-baik saja.

Dulu pernah ada Donghyuck yang juga memberikannya kenyamanan. Sayangnya semua cinta itu sudah selesai saat ia mengetahui sang mantan kekasih bermain api bersama sahabat kecilnya, Mark. Dua orang yang berharga dihidup Renjun, berjamaah merenggut kebahagiannya dalam satu waktu. Cepat dan kejam. Donghyuck pernah meminta kesempatan kedua, namun Renjun menolak dengan tegas. Lebih suka mengobati dirinya sendiri tanpa orang yang membuatnya terluka terlampau parah, Renjun meminta berpisah. Jika saja ia mengiyakan, mungkin undangan itu akan bertuliskan namanya dan Donghyuck. Tapi Renjun tak mau ambil resiko karena suatu penyakit bisa saja kambuh tiba-tiba dan membuatnya sakit lagi dengan luka yang sama—ketika ia terus memikirkan jika Donghyuck bisa saja kembali mengkhianatinya.

Tapi, Renjun sekarang bukanlah orang yang menyedihkan. Renjun memaafkan dirinya yang sudah terlampau menyalahkan diri sendiri perihal pengkhianatan itu. Semua itu bukan salahnya. Hanya ikatan jodoh yang terputus sebelum sampai pada tujuan karena ada sebuah persimpangan di tengah perjalanan. Dan Renjun tahu, di ujung jalan yang ia pilih, kebahagiaan sedang merentangkan tangan untuk menunggunya dipeluk.

“Jaemin?”

Gumaman menjadi jawaban panggilan Renjun untuk orang yang mendekapnya.

“Bagaimana jika nanti aku selesai dengan cintaku padamu? Bagaimana jika aku—berkhianat?”

Renjun meringkuk, khawatir dengan jawaban yang akan Jaemin berikan untuknya. Topik ini begitu sensitif untuk keduanya. Ya, Jaemin juga sangat sensitif karena menyangkut Renjun-nya. Itu adalah sesuatu yang menghancurkan kesayangannya begitu parah. Kemudian dengan tenang, Jaemin mengeratkan pelukan, meyakinkan Renjun jika selanjutnya hanya akan ada kebahagiaan yang melingkupi dirinya. Tanpa luka dan kesedihan.

“Tidak mungkin, Injun. Kau sudah terlalu bucin padaku.”


FIN