a slice of heart

Untuk Dina.

“Kenapa kaubawa aku kemari, Saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang biasa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti; hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel...

Sayup-sayup interkom di kejauhan, desing roda yang bergesekan, dan nyaring peluit yang memekakkan telinga. Segalanya terasa asing bagiku—aku memang bukan anak kereta dari sananya, tetapi kamu familiar. Ada kegembiraan dan antusiasme di balik kedua matamu setiap memandangiku, kilau yang berbinar-binar, dan aku tak bisa tidak tersipu. Bagaimana bisa hal kecil yang kau sebut pupil itu menopang segenap tata surya? Aku tak akan pernah tahu. “Stasiunnya jadi lengang karena kita dateng malam-malam begini,” kamu bilang, tetapi lagi-lagi, aku tidak mengerti. Dari segenap tubuhku kutafsir keramaian, gaduh dan gegap gempita, diiringi talu hati yang tak henti-hentinya berdebar setiap senyummu tertangkap mata. Aku hidup, dadaku seolah berkata, jangan kira aku tidak bisa berekspresi dan mengeluarkan suara.

Read more...

Untuk Bel.

sweetheart, you look a little tired, when did you last eat?

Menyayangi semua teman dan famili, memperhatikan setiap jadwal tidur serta kebiasaan mereka setiap hari. Makan, kau ingatkan aku dengan usap di dada dan hangat di telinga. Pelan-pelan, kamu genggam tanganku supaya kita berjalan seiringan. Istirahat, kamu bilang dengan senyum terpahat dan tangan menggenggam selimut penghangat.

Menghargai dan mengapresiasi desis angin dan segala yang hidup. Aku hidup. Tidakkah kau ingat bahwa kamu, juga? Hidup?

tell me, is something wrong? if something's wrong, you can count on me / you know I'll take my heart clean apart if it helps yours beat

Aku punya hati yang bisa kutumbuhkan lagi.

Lihat dan anggaplah ia seperti pohon tauge yang kamu hidup-matikan demi nilai biologi, seperti tanaman rambat yang menjalar tinggi meski tanah yang dipijakinya tidak ideal maupun bernutrisi tinggi. Hatiku bisa tumbuh seperti itu. Kamu bisa memerasnya hingga kopong dan lecak layaknya koran bekas, melahapnya saat lapar seperti hewan liar. Di penghujung hari, aku masih akan punya segalanya: hati dan cinta. Sebab aku bisa menumbuhkannya.

Read more...

Seperti kita, alam semesta juga menua. Alih-alih keriput dan presbiopi, antariksa menunjukkan pendobelan usianya lewat jarak. Benda-benda, dari meteor sampai matahari, berbondong-bondong lari menjauhi pusat galaksi. Mengapa? Kalau dunia memang bekerja sesuai Einstein’s theory of relativity, kita memang seharusnya mengembang. Tapi, mengapa? Bagaimana? Sampai mana?

Read more...

Untuk Lilu.

I’m just driving home thinking of you / I’m wondering if you miss me too

Aku mudah sekali merindu.

Ada yang bilang, kenangan itu seperti batu. Beratnya tidak tanggung-tanggung, memenuhi bahu sampai oleng dan membuat kaki jadi selentur tahu. “Memory is a way of holding on,” begitu ucap akun-akun kata mutiara, tetapi menurutku, memori sedikit-banyak membuatku gila. Sebagian besar dari mereka ingin kuhilangkan dan kurampas eksistensinya dari wangi kehidupan. Kurasa ini penyesalan.

Lalu, kamu. Aku ingat belai lembut jemarimu di pipiku ketika kita berbaring bersama di sofa, ingat senyummu ketika berkata. “Bukan begitu cara dunia bekerja,” tanpa menggurui maupun besar kepala. Aku ingat tautan jemari kita ketika kau mulai bercerita. “Kecil dulu, aku suka nyolong mangga tetangga. Sekarang ketika dewasa, kupikir itu bodoh,” kau terkekeh. Aku memainkan telunjukmu yang bernaung di bawah ibu jariku. “Apa aku menyesal? tidak. Sampai sekarang, aku masih tertawa-tawa. Kalaupun ingin membuat situasi lebih baik dari sebelumnya, aku akan minta maaf dengan yang punya mangga.” Kau masih tersenyum. Masih membelai. Masih bawa damai. “Damai,” kau mengutarakan isi pikiranku seolah punya superpower di luar kemampuan akal sehatku. “Berdamailah dengan semua bagian dari kamu, Soonyoung...”

Aku tersadar dari lamunanku ketika klakson mobil belakang berseru-seru. Di tepi persimpangan ini, kulihat ada pohon mangga yang buahnya telah ranum. Aku jadi ingat kamu. Kali ini, aku bisa mengidentifikasi gelenyar di darahku. Aku yakin ini rindu.

Read more...

Untuk Bel.

Segalanya masih akan bersamamu: awan yang suka terserak, warna senja yang selalu baru, wajah telaga di belakang rumah, bahkan angin, yang tak pernah kausapa tetapi yang suka menyombongkan diri sebagai yang paling setia.

Aku sempat kebingungan atas hal apa yang ingin kuasosiasikan denganmu. Kau hadir dalam berbagai spektrum—aku kewalahan mengkategorikan kamu. Kupikir kau panadol: bermanfaat dan tak perlu diragukan lagi kegunaannya, satu untuk semua, cocok menjadi pendamping di segala suasana. Namun, kutarik lagi kata-kataku tak lama setelahnya. Kau tidak sombong seperti panadol, yang sering merasa superior dibandingkan obat penangkal pusing lain yang tak sepopuler ia. Kau baik hati. Aku mencintaimu.

Aku pernah menyangkutpautkan kamu dengan matras tidur ibuku: lembut, nyaman, setia, dan tak pernah absen dalam membalutku dengan hangat. Setelah beberapa waktu kupikir-pikir, aku berakhir membuang juga pendapatku yang satu itu. Kau tidak lelah seperti matras yang telah bertahun-tahun jadi tempat berbaring dan berguling-guling. Kau bersemangat. Aku mencintaimu.

Read more...

Untuk Bel.

Ketika kaucoba menyusun wajahku, kau seakan-akan membaca puisi Sylvia Plath pada pukul tiga pagi. Kau tidak bisa tidur dan aku satu-satunya nyawa yang kauhirup sebelum berangkat ke kantor.

Aku tak mengerti. Durasi kita tinggal bersama sudah tak lagi masuk dalam kategori sedikit, tetapi hatiku masih saja menggedor-gedor rongga perutku ketika kau membalurkan kayu putih ke bagian-bagian dari aku yang barusan kukeluhkan sakit. Kau membiarkan jemarimu menari di sana, melukis, seolah punggungku adalah kertas dan tulang belakangku easel yang menyangganya.

Tak tahan dengan rasa penasaran yang menggelora atas ujung telunjukmu yang terus-menerus membentuk pola, aku bertanya. “Lagi nulis apa, sih?”

Kau mendengung, lalu terkekeh. “Buku resep,” celetukmu. Aku bisa membayangkan lengkung yang tengah menghiasi bibirmu, kurva yang sama seperti setiap kali kau bermain dengan mangkuk-mangkuk kecil penuh dengan bumbu. “Kamu nanti siang mau makan apa?”

Read more...

Kau menyukai bulan. Aku menyukaimu.

“Dia bawa tenang,” jawabmu ketika aku bertanya pada suatu waktu. “Diam-diam menghadirkan terang di langit malam, tanpa selebrasi maupun perayaan.”

Aku berpikir keras dalam hati. Tenang? Mengapa membutuhkannya ketika kau sendiri punya segudang?

Kau membaca air mukaku dalam sekejap mata, sekilas mengingatkanku pada kemampuan bunda yang bisa memahami isi hati puterinya tanpa sepatah pun kata. Kau tersenyum. “Di sini,” kau mengambil telapak tanganku dan menempatkannya di puncak kepala. “Berisik sekali. Terkadang, aku perlu yang tenang-tenang supaya mereka reda.”

Oh, iya.

Read more...