BulanByours

Kadang, pernah nggak sih berpikir tentang bagaimana sesuatu yang sedang kita jalani saat ini berakhir? Atau tentang baimana cara dan sikap kita untuk mengakhiri hal itu? Apakah kita yang mengakhiri? Atau ada seseorang yang mengakhirinya? Atau bahkan waktu yang secara tidak sadar telah menghentikannya? Seketika hadir, lalu seketika lenyap.

Ingat, ketika kamu berada di garis awal? Entah saat itu kamu dalam keadaan bersemangat atau mungkin tidak bergairah untuk memulainya, tapi ingatkah? Saat akhirnya kamu mengambil kangkah, ya langkah pertamamu. Lalu langkah kedua, langkah ketiga, begitu seterusnya.

Ketika itu, di awal kamu melangkah dan melihat sekitar. Asing, takut, penasaran, sedikit senang, sedikit sedih. Masih awal. Melanjutkan jalan, dengan begitu banyak perasaan asing itu kamu mulai mengeksplor hal-hal yang kamu temui disepanjang perjalanan kamu. Satu-persatu hal-hal itu kamu resapi, ada yang membuatmu senang, ada yang membuatmu terharu, ada yang membuatmu begitu beruntung melwati jalan ini, namun tangisan kesal, rengekan amarahmu, kata-kata benci pun tak pernah absen menemanimu saat melewati jalan ini. Sadar kamu sudah terlalu jauh, namun tidak mungkin untuk berputar lalu kembali.

Di tengah jalan itu kamu terdiam, memikirkan segala keputusanmu di awal waktu itu, menarik kembali memori sebelum kamu mengambil dan menyusuri jalan ini, menghentikan perjalanan. Kamu merasa seperti orang paling bodoh di dunia pada titik ini, mengambil jalan yang sebelumnya belum pernah kamu telusuri. Bermodal penasaran dan nekatmu itu, namun pikiran positif dan angan-angan untuk menemukan keindahan yang belum pernah kamu rasakan begitu kuat memandumu untuk melewatinya. Bodoh, sungguh bodoh.

Di tempat pemberhentian itu, kala malam hari, seluruh beban di pundakmu terasa amat berat. Seperti kamu tak mampu lagi untuk menopangnya, ingin sekali kembali pada keadaan sebelumnya, kamu merindukan zona nyamanmu. Derai air matamu, pekikan suarmu yang memilukan, sesak napasmu menandakan beban itu sungguh amat menghimpitmu. Disela-sela tangismu, kamu mengutuk dirimu, berkata bahwa kamu mengambil jalan yang salah. Hingga rasanya kamu tidak ingin melanjutkan dan tidak pula ingin kembali, lebih baik berhenti disini, biar saja disiksa kesendirian yang memilukan ini. Toh tidak ada yang peduli, di sekitarmu seakan amat percaya padamu sehingga membiarkanmu dan menganggap kamu kuat.

Kamu berkata “Jika aku diambil disini, aku ikhlas.” Ya, sepasrah itu dirimu.

Telah lama kamu menunduk kebawah menangisi seluruh bebanmu, seseorang berhenti di jalan yang sama, melihatmu menunduk menangis tersedu-sedu. Dia menghampirimu, menepuk pelan bahumu. Kamu melihat wajahnya yang tersenyum hangat padamu, seraya berkata “Tenang saja, kamu tidak sendiri.” Dia menarikmu ke dalam rengkuhannya yang terasa hangat bagimu kala itu, tangismu pecah lagi. Tangnnya mengelus punggungmu halus, menyisipkan kenyamanan, membangkitkan semangat, kamu memujanya. Pangeran, katamu.

Mereda tangismu, “Terima kasih” kamu ucapkan padanya, menghindar dari tatapan matanya. Senyapnya malam itu menemani kamu berdua, duduk berdampingan di pinggir jalan itu menatap langit. Kerlap-kerlip bintang dan cahaya bulan terlihat indah, sejujurnya setiap malam namun kamu tidak menyadarinya. Kamu terlalu fokus pada jalan yang kamu tapaki, dan sekarang kamu baru menyadarinya, dan mengutuk dirimu lagi, bodoh.

“Jika lelah, berhentilah sejenak. Jika sedih, menangislah sejenak. Jika marah, luapkan dan lupakan.” Katanya tiba-tiba, masih asik menatap keindahan langit malam. Kamu menatapnya sekilas, dan kembali menatap langit.

“Mudah bagimu berbicara, aku sendirian disini. Sulit untukku melwati jalan ini, dan ingin sekali aku kembali. Atau berhenti disini saja, kurasa cukup.”

“Payah sekali,” Kamu menatap tajam, marah. “Apa? Betul kamu itu payah, jalan ini adalah jalanmu. Dari awal kamu memilihnya, ini jalanmu. Kau menyerah pada jalanmu sendiri?”

“Aku tak paham.”

“Semua orang memilih jalan yang sama pada awalnya, namun mereka mengambil persimpangan dengan nama mereka sendiri, kebanyakan memang tidak sadar. Bodoh.”

“Aku tidak melihat ada namaku di depan jalan yang aku lewati dulu, kamu sok tahu. Buktinya kamu disini, buat apa?”

“Kau bukannya tidak tahu, kau hanya tidak ingin tahu. Kau terlalu munafik dan naif, terima saja. Dan aku disini, untuk menemanimu, aku mengikutimu.”

“KAU SIAPA? KAU GILA? KAU SUNGGUH TIDAK JELAS!”

“Aku dari arah yang berbeda, menemukan persimpangan ini dan melihatmu. Aku penyemangatmu, aku yang ingin menemanimu, aku yang ingin bersamamu. Jangan menyerah!”

Kamu terdiam sangat lama, lalu tertawa. Sungguh aneh, ada yang menjadi pengikutnya, dan menyemangatimu, memintamu melanjutkan bahkan kamu tidak tahu siapa yang berbicara denganmu sekarang. Aneh, kamu merasa aneh. Terbiasa sendiri dan tak ada yang peduli padamu, menentukan jalan sendiri, memilih langkah sendiri, berkutat sendiri. Lalu tiba-tiba kamu mendapati teman, yang mendukungmu, yang menyemangatimu, yang mau bersamamu. HAHA, segalanya aneh, bagimu.

“Ayo, jalan bersamaku. Jika jatuh, aku akan menopangmu. Jika sedih, aku akan menghiburmu. Jika kamu bahagia, aku yang akan menjadi alasan kamu bahagia. Ayo, jangan menyerah!”

Kamu tergiur, langit malam yang gelap berubah menjadi langit pagi yang cerah, mentari yang terbit menghangatkan bumi, kicauan burung-burung yang keluar dari sarangnya, awan putih tebal menghiasi langit pagi. Sungguh indah hari ini, di jalan yang sulit ini, bagimu.

Jadi, bagaimana akhir jalanku ini? Berniat mengakhiri, malah menemukan awal. Mari temani jalanku, bersamaku. Dan menjadi kita.