Chapter 9.

Tetesan hujan yang semula hanya berupa rintik-rintik ringan kini berangsur semakin deras diiringi sambaran kilat dan petir bergantian. Langit jam 8 malam yang sudah gelap terasa semakin gelap karena hujan besar. Bunyi tetesan air hujan yang beradu dengan kaca jendela kamarnya menemani Luna malam ini yang sedang beristirahat di atas kasur di apartemennya.

Hujan besar banget disini.

Kamu baik-baik kan? Hari ini belum ada kabar.

Selesai mengetik pesan untuk Hyunjae, Luna memfokuskan lagi pandangannya ke layar laptop yang sedang menayangkan serial detektif favoritnya di Netflix.

Ponselnya bergetar.

“Na, lagi apa? Hujannya gede banget ya.”

“Berani sendiri kan disana? Kalau butuh ditemenin kasih tau, gue kesana.”

Luna memandangi ponselnya dengan dahi mengernyit. Bukan balasan dari Hyunjae ternyata yang barusan masuk, tapi pesan baru dari Yeonjun.

Iya, gede banget hujannya, serem.

Thanks, Yeon. Gue berani dong sendirian hehe.

Lagi nonton Netflix.

“Untungnya nggak jadi lembur ya tadi.”

“Kalau lembur, kita kejebak di kantor nggak bisa pulang.”

Iya, feeling so good banget tadi tiba-tiba batalin lembur.

Lo lagi apa, Yeon?

“Sama gue juga lagi nge-Netflix.”

“Jangan lupa makan.”

Oke deh, lo juga jangan lupa makan.

Gue lanjut nonton ya.

“Oke, see you!

See you!

Setelah obrolannya dengan Yeonjun selesai, Luna kembali membuka chatroom-nya dengan Hyunjae. Masih belum ada balasan. Sekarang hari Senin, sudah hari ketiga sejak Hyunjae tiba di Jeju. Dari cerita-cerita Hyunjae lewat telepon dan video call, dan dari foto-foto yang Hyunjae kirim ke Luna, sepertinya memang Hyunjae yang tadinya malas-malasan berangkat ke Jeju ternyata jadi menikmatinya.

Iseng, Luna membuka akun Instagramnya dan langsung menelusuri akun Hyunjae. Seperti yang sudah Luna duga, tidak ada postingan apa-apa di akun pacarnya itu. Foto terakhir yang di*-post* Hyunjae di IG feeds-nya adalah foto mereka berdua yang diambil di hari ulang tahun Hyunjae, sesaat setelah mereka jadian.

Akhirnya Luna meninggalkan laman akun Hyunjae dan beralih ke akun milik Sunwoo. Karena hari ini belum ada kabar sama sekali dari Hyunjae, Luna memutuskan untuk mengecek situasi disana dari akun IG Sunwoo yang hampir selalu update semenjak hari pertama mereka tiba di Jeju.

Benar saja, IG story Sunwoo hari ini sudah penuh. Luna melihatnya satu-satu. Dari unggahan Sunwoo, terlihat mereka siang tadi saat hari masih cerah, berada di dalam bus entah menuju kemana. Luna bisa tahu Sunwoo di dalam bus duduk sederet dengan Sangyeon, Jacob dengan Kevin. Dia tidak bisa menemukan Hyunjae di dalam foto-foto itu. Sampai akhirnya di foto kelima, dia bisa melihat Hyunjae rupanya duduk di bagian depan, satu baris di belakang sopir dan hati Luna mencelos ketika sadar yang duduk di sebelah Hyunjae adalah Jisoo.

Foto berikutnya, mereka sedang makan siang di restoran. Grup mereka dibagi menjadi tiga meja besar dan lagi, Jisoo berada di meja yang sama dengan Hyunjae. Duduk berhadapan.

Begitu terus yang Luna lihat dari semua yang diunggah Sunwoo, dimana ada Hyunjae pasti ada Jisoo. Luna tidak nyaman melihatnya. Dan ketika akhirnya sampai di video terakhir yang rupanya baru diunggah Sunwoo 20 menit lalu, perasaan Luna semakin tidak nyaman. Mereka seperti sedang makan malam di area terbuka, dengan latar belakang city light kota Jeju. Dalam video itu tertangkap Hyunjae yang sedang berdiri memunggungi Sunwoo, menghadap ke arah city light dengan lagi-lagi, Jisoo di sebelahnya. Mereka seperti sedang berbicara intens.

Luna yang geram baru saja mau menutup ponsel flip-nya ketika getaran ponselnya menandakan pesan masuk. Dari Hyunjae.

[photo received]

[photo received]

[video received]

“Disini nggak hujan, langit lagi bagus banget.”

“Aku lagi dinner, tapi sebentar lagi selesai mau langsung pulang ke vila.”

“Kamu udah makan?”

Udah makan kok, lagi nonton Netflix.

Ya udah kamu have fun ya.

Sebetulnya Luna sungguh ingin mencecar Hyunjae untuk menjelaskan apa yang tadi ia lihat dari unggahan Sunwoo, tapi Luna memutuskan untuk menahannya dan menanyakannya langsung saja ketika Hyunjae sudah pulang. Ia penasaran tapi takut memancing pertengkaran jika ia tanyakan sekarang pada Hyunjae.

Akhirnya untuk mengikis rasa penasarannya, Luna mencoba menghubungi Sunwoo lewat direct message Instagram.

Sunwoo, boleh tanya nggak?

Jangan bilang Jae ya aku chat kamu.

“Hai, Nuna! Ada apa, tumben?”

Luna kaget sendiri melihat balasan Sunwoo secepat itu. Anak ini 24 jam online terus apa ya…

Aku abis lihat postingan kamu di story.

Aku perhatiin kok kayanya Jisoo nempelin Jae terus ya? Bener begitu? Atau kebetulan pas di foto aja keliatannya begitu?”

“Apa nggak sebaiknya tanya langsung ke Kak Jae aja, Kak?”

“Takut salah ngomong, hehe.”

Mau sih, tapi nanti aja kalau udah pulang.

Kalau tanya di chat takut malah jadi berantem sama Jae.

“Jisoo nggak selalu bareng Kak Jae, kok. Dia kan ada temen sesama anak magang juga, jadi mereka bareng-bareng.”

“Kebeneran aja pas di foto, pas lagi deketan posisinya sama Kak Jae.”

Nuna tenang aja, ya. Kak Jae aman kok.”

Oh gitu ya..

Oke deh, makasih ya, Sunwoo.

Sorry aku ganggu. Have fun disana.

No probs. Glad to help, Kak.”

Selesai berbicara dengan Sunwoo, seharusnya Luna merasa lega tapi ternyata belum. Luna tahu saat ini dirinya tidak bisa berbuat banyak selain mengandalkan kepercayaannya pada Hyunjae. Luna mematikan laptopnya—sudah tidak bernafsu untuk melanjutkan tontonannya—lalu beranjak dari tempat tidur untuk mematikan lampu kamarnya.

Luna memutuskan untuk tidur cepat malam ini.


“…And I said yes!!!”

Hari itu saat istirahat makan siang, Luna, Nara dan Sarah memutuskan untuk makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih restauran sushi kali ini, dan makan siang hari ini ditraktir penuh oleh Sarah.

Luna dan Nara berseru tertahan ketika Sarah mengakhiri ceritanya sambil memamerkan jari manis di tangan kanannya. Tersemat sebuah cincin emas putih bermatakan berlian kecil yang simpel, tapi sungguh indah dan sarat makna. Sarah sendiri sambil berkaca-kaca matanya ketika memamerkan cincin itu kepada dua sahabatnya.

“Sarah… gue ikut bahagia banget denger kabar ini. Ga nyangka gue, Juyeon seberani itu. Kalian hebat, gue salut banget!” Luna berkata sambil memeluk Sarah erat-erat.

“Gue juga nggak nyangka, Na. Gue kira Juyeon mau ngajak jadian taunya malah langsung ngelamar. Gue nggak pernah sebahagia ini rasanya,” kata Sarah.

“Terus, udah kebayang kapan mau nikahnya?” Kali ini pertanyaan terlontar dari Nara. Jarinya mengelus cincin yang tersemat di jari manis Sarah.

“Belum lah, nanti mau diomongin dulu lebih lanjut sama keluarga kita masing-masing juga. Yang jelas cincin ini sebagai tanda aja sih, bahwa gue udah sepenuhnya milik Juyeon dan Juyeon milik gue.”

“Lo beruntung banget sih. Gue udah tahunan pacaran sama Younghoon belum dilamar-lamar. Lo sama Jae gimana, Na? Udah ada omongan kesana?”

“Eh? Ng—udah sih. Jaehyun udah declare memang tujuan dia macarin gue ya untuk nikah. Tapi guenya belum mau bahas lebih lanjut,” Luna berkata gugup sambil meneguk teh ocha hangatnya. “Lo juga sabar aja ya, Ra. Pasti banyak yang jadi pertimbangan Younghoon sebelum akhirnya dia ngelamar lo suatu saat.”

“Ih, kok lo aneh sih, Na? Kenapa nggak mau bahas nikah lebih lanjut sama Jae? Kurang apalagi dia, Na?” tanya Nara gemas.

“Nikah bukan perkara gampang, Ra. Gue belum siap aja. Iya gue tau harusnya inget umur dan memang nggak ada yang kurang lagi dari Jaehyun, tapi gue belum mantep aja ngomongin nikah. Makanya tadi gue bilang salut sama Sarah dan Juyeon, udah bisa semantep itu untuk nikah.”

“Nggak papa, Sayang. Take it slow, no need to rush it. Semua yang dipaksakan dan terburu-buru itu nggak pernah berakhir baik. Jadi, kalau lo belum sreg urusan nikah ya nggak papa. Cuma… jangan kelamaan, ya? Takutnya malah jadi nggak baik buat hubungan lo sama Jaehyun,” ujar Sarah. “Lo juga, Nara. Sabar yaa, gue yakin Younghoon sooner or later akan ngelamar lo. Kalian udah kurang langgeng apa coba, ya kan?”

“Iya, gue sama Younghoon udah setahu itu satu sama lain. Gue udah menyerahkan diri gue seutuhnya buat Younghoon,” kata Nara.

Same here,” Sarah mengangguk setuju.

“Lo sama Jaehyun… udah?” Nara bertanya lagi pada Luna.

“Udah apa maksudnya?” Luna balik bertanya, nggak paham.

“Yelah, lo nggak ngerti? Gemes ih anak ini.”

“Apa sih, Sar? Udah apa maksudnya?”

Nara memelankan suaranya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Luna dan berbisik, “Had sex.”

Luna terbatuk saking kaget dengan apa yang ia dengar dari Nara. “YA NGGAKLAH, GILA AP—”

“Sssh! Kenceng amat sih? Pelanin suaranya woy.”

“Nggak! Gue nggak ngapa-ngapain sama Jaehyun, ciuman pertama aja baru kok. Kalian emangnya udah..? OMG.”

“Udah, nggak tau berapa kali udah nggak kehitung, gue pacaran sama Hoon aja udah lama banget.”

“Gue sama Juyeon juga rutin sih, at least once a week. Na, lo beneran never had sex with Jaehyun? Tapi dia kan suka nginep di tempat lo, Na? Lah itu kalian ngapain semaleman?”

“Ya tidur lah, gila! Tidur as in literal meaning. Gue di kasur gue, dia di sofa ruang TV. Selama Jaehyun nginep gue nggak pernah tidur seranjang sama dia. Dari pertama kali nginep, dia yang minta tidur di sofa dan sama sekali dia belum pernah nyentuh bagian private gue, kalau kalian mau tau.”

And you’re okay with that?” tanya Nara hati-hati.

I agree with that,” sahut Luna. “Lo tau nggak, bahkan sebelum cium bibir untuk pertama kalinya aja dia izin dulu ke gue. Nggak langsung nyosor.”

“Ya ampun, Luna… Dimana hari gini nemuin cowok kaya Jaehyun? Dia seganteng itu mau dapetin cewek manapun dia bisa, diajak one night stand juga kayanya cewek-cewek pada antri kalau sama Jaehyun sih. Tapi dia sesopan itu ke lo. Ini gila sih, nggak nyangka gue.”

“Na, beneran deh kalian mesti langgeng, ya? Jaga banget hubungan kalian berdua ya.”

“Ih ini kenapa jadi bahas gue sama Jaehyun deh? Kita disini kan buat rayain tunangannya lo sama Juyeon, Sar.”

“Iya sih tapi gue gemes sama cerita lo dan Jaehyun, Na. Lucu banget kalian tuh.”

“Doain aja gue langgeng ya. Gue… sayang banget sama Jaehyun. Orangtuanya dia juga udah nerima gue dengan baik banget. Jadi yaa mestinya nggak ada halangan yang berarti sih untuk gue dan Jaehyun.”

“Kita aminin paling kenceng pokoknya buat lo dan Jaehyun yaa.”

Obrolan mereka terhenti oleh beberapa piring sushi yang kini disajikan oleh pelayan restauran. Belum semua pesanan keluar, tapi masing-masing dari mereka yang sudah lapar langsung mulai menyantap sushi yang sudah tersaji.

Baru menghabiskan suapan keduanya, ponsel Luna berdering dan ternyata mamanya yang menelepon.

“Lagi makan, Ma. Makan sushi, ini sama Sarah, Nara.”

“Hai, Tanteee…” Sarah dan Nara berseru berbarengan ke arah ponsel Luna supaya sapaannya terdengar oleh mamanya Luna.

“Salam buat Sarah, Nara,” kata Mama di ujung sana, yang langsung disampaikan oleh Luna ke kedua sahabatnya itu.

“Na,” kata Mama lagi. “Mama sama ayah mau kesana ya. Udah beli tiket, rencananya Jumat malam berangkat dari Changi, Sabtu pagi sampai Incheon. Nanti jemput ya?”

“Ehh beneran, Ma? Nggak hoax, kan?” tanya Luna antusias.

“Nggak dong, tiketnya juga udah dibeli. Emangnya kamu, hoax terus katanya mau kesini tapi nggak jadi terus.”

“Hehe maafin ya, Ma. Sibuk aku disini. Maaf ya?”

“Iya nggak papa, Sayang. Tapi nanti Sabtu beneran jemput, ya? Kamu libur kan? Ayah udah sengaja tuh ambil cuti demi ketemu anak tunggalnya.”

“Siap, aku pasti jemput. Boleh sekalian ajak Jaehyun nggak, Ma?”

“Eh iya dong, ajakin Jaehyunnya, ya. Ayah juga mau ketemu, mau ngobrol katanya sama Jaehyun.”

“Ma, tapi bilang Ayah ya. Jangan ngobrolin nikah. Ayahnya mana coba, aku pengen ngomong.”

“Ayah kan di kantor, ini Mama di rumah. Ya nggak tau nanti Ayah mau ngobrol apa, terserah Ayah. Mungkin cuma mau tau aja hubungan kalian mau dibawa kemana.”

“Jaehyun sih udah ngomong. Dia serius sama aku, Ma.”

“Oh, ya udah bagus. Tinggal kamunya nih jangan plin plan. Giliran dapet yang baik begini kamunya ragu, gimana sih? Padahal orangtua Jaehyun udah sebaik itu ke kamu.”

“Iya, ini Nara sama Sarah juga barusan persis ngomong gitu ke aku.”

“Tuh kan. Tapi ya Mama sih nggak maksa, ya. Toh kalian yang ngejalanin. Mama, Ayah, dan orangtuanya Jaehyun juga Mama yakin, cuma bisa mendukung aja apapun itu keputusan kalian. Dan mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

“Iya, Ma. Makasih ya. Ma, nanti ngobrol lagi, ya? Aku mau lanjut makan dulu boleh ya, Ma? Laper banget.”

“Oke, Sayang. Nanti telepon Ayah jangan lupa, kangen dia sama kamu.”

“Iya, Ma. Nanti Luna telepon Ayah. Daaah, Ma. Love you.

“Kyaaa orangtua gue mau kesini nanti weekend. Duh, tegang banget. Doain lancar ya, Ayah mau ngobrol-ngobrol katanya sama Jae,” Luna berkata setelah menyudahi obrolannya dengan Mama.

“Ya bagus dong, jadi sama-sama enak, lo udah pernah ketemu orangtua Jae dan Jae bakalan ketemu orangtua lo secepetnya,” Nara menanggapi yang diikuti anggukan setuju dari Sarah.

Sebelum melanjutkan makan, Luna menyempatkan untuk mengabari Hyunjae dulu tentang rencana kedatangan mama dan ayah.

Yang, mama barusan telpon. Mau kesini sama ayah, sabtu nanti.

Ikut jemput ya, Yang? Ayah mau ngobrol juga katanya sama kamu.

Ayah yang mau ngobrol, aku yang mules.

Karena Luna tahu Hyunjae tidak akan memberikannya balasan yang cepat, Luna memasukkan lagi ponselnya ke dalam tas dan melanjutkan makan siangnya yang tertunda.


Akhirnya hari Rabu yang ditunggu tiba, Hyunjae hari ini kembali ke Seoul setelah menghabiskan lima harinya di Jeju. Luna sudah menunggu di bandara sejak jam 6 sore, masih lengkap dengan setelan kerjanya—rok span di atas lutut warna baby pink dan atasan blouse lengan pendek warna putih dengan ornamen manik-manik kecil bertabur disekeliling bagian leher blouse-nya. Karena cuaca musim gugur yang mulai dingin, nggak lupa Luna membalut tubuhnya dengan outer coat yang tidak terlalu tebal, berwarna baby pink senada dengan rok spannya.

Sekitar dua puluh menit setelah pengumuman mendaratnya pesawat yang ditumpangi kantor Hyunjae, pintu gerbang kedatangan terbuka dan satu-satu penumpang mulai berhamburan keluar.

Luna memicingkan matanya mencari sosok yang sangat dirindukannya itu dan senyumnya mengembang ketika matanya beradu dengan mata kekasihnya. Senyuman Luna dibalas oleh Hyunjae yang terlihat berjalan tergesa menghampiri Luna. Ketika jarak diantara keduanya akhirnya terkikis, Hyunjae memeluk Luna erat. Dia lupa, adegannya ini menjadi tontonan segar bagi rekan-rekan kerjanya.

“Yang, kenalan dulu ya sama temen kantorku yang lain? Mumpung ketemu. Sekalian ada atasanku.”

Luna mengangguk. Tangannya digenggam oleh Hyunjae ketika berjalan mendekati rombongan anak-anak kantor Hyunjae.

Setelah Luna dikenalkan pada atasan-atasannya, Hyunjae juga mengenalkannya pada teman-teman di luar divisinya—selain Sangyeon, Jacob, Kevin dan Sunwoo—termasuk pada Jisoo dan teman magangnya.

Ini aslinya yang namanya Jisoo, kata Luna dalam hati. Setelah berkenalan, Luna dan Hyunjae pun pamit untuk berpisah dari rombongan.

“Makasih udah jemput aku. Gantian aku yang nyetir, ya? Capek kamu pasti pulang kerja,” kata Hyunjae sesampainya mereka di parkiran. “Sini kunci mobilnya.”

Mobil yang dipakai Luna untuk menjemput di bandara adalah mobil Hyunjae, yang memang disimpan di basement apartemen Luna selama Hyunjae tidak ada.

“Beneran kamu mau nyetir? Aku nggak capek, kok. Malah lebih capek kamu kayanya.”

“Nggak papa sayang, aku tadi di pesawat tidur.”

“Jadi, Sabtu nanti kita ketemu Mama sama Ayah, ya? Aku nggak sabar,” lanjut Hyunjae lagi ketika mobilnya sudah meninggalkan lahan parkir bandara. Bersiap menembus jalanan besar kota.

“Iya, aku juga nggak sabar. Kangen mereka.”

“Kamu sih, aku ajakin ke Singapore tapi nunda-nunda terus. Nggak enak jadinya Mama-Ayah deh yang nyamperin kesini.”

“Hehe iya, Mama juga tadi protes gitu. Mmh, Yang, aku boleh tanya sesuatu nggak?”

“Boleh, tanya apa?”

Lalu Luna pun yang sudah nggak kuat kepalang penasaran langsung menanyakan perihal Jisoo yang dilihatnya nyaris selalu berdekatan dengan Hyunjae di postingan Sunwoo beberapa waktu lalu.

“Jisoo memang belum terlalu dekat banget sama anak-anak kantor selain divisiku. Dia cuma punya satu temennya yang sesama anak magang. Jadi selama gathering kemarin memang dia mau nggak mau ngintilin tim aku terus. Temennya juga sesekali sih ikutan gabung di tim aku. Tapi kayanya temennya dia lebih supel, jadi temennya itu udah bisa gabung kemana-mana sebenernya. Jisoo-nya nih pemalu banget.”

“Oh gitu. Yaa, nggak papa sih, aku nggak gimana-gimana cuma agak kaget aja jujur, pas lihat tiap ada kamu pasti ada Jisoo di foto-fotonya Sunwoo.”

“Maklumin ya, Yang? Namanya juga satu tim.”

“Kamu ngerasa ada gelagat aneh nggak dari Jisoo? Ngerasa dia genit nggak ke kamu?”

“Nggak, genit gimana dia pemalu banget gitu.”

“Soalnya dia cantik banget—”

“Terus kenapa, cemburu lagi kamunya? Yang, kurang-kurangin deh cemburu nggak berdasar kaya gitu. Kesannya kamu jadi nggak yakin sama aku kalau kamu masih aja ada curiga atau ketakutan.”

“Maaf sayang. Nggak bermaksud curigaan ke kamu. Makasih ya, udah jelasin soal Jisoo. Maafin aku salah paham.”

“Jangan tanya yang aneh lagi kaya gitu ya? Janji?”

“Iya, janji.”

Mobil Hyunjae berhenti ketika lampu merah menyala. Hyunjae yang belum menyalurkan rasa rindunya pada Luna, menoleh ke samping kanannya. Dia menikmati menatap wajah mungil dan cantik milik Luna, yang sedang menatap lurus jalanan di depannya. Luna yang merasa sedang diperhatikan, menoleh ke arah Hyunjae.

Luna mencondongkan tubuhnya mendekati Hyunjae saat sebelah pipinya dielus halus oleh jari-jari Hyunjae. Ketika ibu jari Hyunjae menyentuh bibirnya, Hyunjae bertanya pelan padanya, “Cium, ya? Boleh?”

Luna mengangguk. “Lain kali, nggak usah nanya lagi. Kamu selalu boleh.”

Hyunjae mendaratkan ciumannya di bibir perempuan terkasihnya itu dengan hati-hati. Ketika akhirnya bibir mereka bersentuhan, Hyunjae merasa seperti ingin meluruhkan rasa rindunya yang terpendam dan belum sepenuhnya tercurah. Hyunjae sangat ingin Luna merasakan betapa ia menyayanginya dengan sepenuh hati. Dan pesannya itu tersampaikan. Luna tahu Hyunjae bersungguh-sungguh dengan perasaannya, dan Luna juga sadar bahwa dirinya pun sungguh amat menyayangi Hyunjae.

Tepat ketika lampu merah berganti menjadi kuning, Hyunjae melepaskan ciumannya perlahan, mengecup kening Luna dan kembali memusatkan konsentrasinya untuk menyetir.


Hari Jumat pagi, tubuh Hyunjae yang masih terbalut selimut perlahan bergerak ketika ia terbangun dari tidurnya. Rasanya semalam Hyunjae sudah tidur cepat, bahkan tidak kuat menuruti permintaan Luna yang minta ditemani mengerjakan laporan sambil video call, tapi rasanya pagi ini Hyunjae terbangun dengan badan yang luar biasa lelah. Bukannya segar, bangun tidur pagi ini Hyunjae merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia merasakan pegal menjalar hampir di tiap sendinya, kepalanya berat dan pening, matanya terasa panas dan saat ia mencoba berdeham, tenggorokannya terasa luar biasa kering, perih.

Sepulang dari gathering kantor di Jeju hari Rabu malam, Hyunjae memang mulai merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi ia hanya mengira dirinya kelelahan dan kurang istirahat. Nyatanya hari Kamis pagi—beruntung kantornya diliburkan pasca acara *gathering—*Hyunjae terbangun dengan tubuh meriang, tapi setelah mengkonsumsi paracetamol dan istirahat seharian, Hyunjae merasa baikan. Ia juga tidak bercerita apa-apa pada Luna soal kondisinya karena dirasa sudah baikan.

Kamis malam, mendadak tubuhnya kembali meriang kali ini ditambah dengan kepalanya yang terasa begitu berat, pening. Hyunjae memutuskan untuk tidur cepat, dengan masih tidak memberitahukan Luna kondisinya. Selain tidak ingin membuat Luna khawatir, Hyunjae masih berharap ini hanya efek kelelahan dan kurang tidur karena acara gathering. Tapi ternyata sampai Jumat pagi ini tubuhnya malah semakin drop dan Hyunjae sadar, dia sepertinya bukan hanya kelelahan. Hyunjae sakit.

Susah payah Hyunjae berusaha meraih laci meja di samping kasurnya, ingin mengambil thermogun untuk mengecek suhu tubuhnya. Setelah berhasil, Hyunjae tertegun melihat angka digital di layar thermogun-nya. Tiga puluh sembilan koma lima derajat celcius. Pantas matanya terasa begitu panas. Hyunjae merapatkan lagi selimut di tubuhnya dan memejamkan matanya, mencoba menghilangkan rasa pening di kepalanya. Ia harus bisa bangun untuk sekedar membuat sarapan agar dirinya bisa makan dan minum obat.

Akhirnya setelah memaksakan diri untuk bangun, Hyunjae berjalan keluar kamarnya menuju dapur. Ia hanya mampu mengambil selembar roti tawar dan sekotak biskuit, dan kembali ke kamarnya dengan tertatih. Selesai sarapan seadanya, Hyunjae minum obatnya lagi dan merebahkan dirinya di kasur. Kali ini ia menyerah, ia butuh Luna.

Yang, aku sakit.

Kalau kamu nggak capek, pulang kerja ke tempatku ya? I need you.

Tidak lama setelah mengetikkan pesannya untuk Luna, Hyunjae tertidur.

***

“Sayang, hei ini aku. Bangun dulu yuk, makan dulu. Kamu tidur dari jam berapa?”

Hyunjae mengerjapkan matanya saat ia merasakan sapuan lembut menjalar di keningnya. “Na? Kapan nyampe?”

“Setengah jam lalu deh kayanya. Badan kamu panas banget, Yang. Aku udah dua kali ganti kompres tapi kamu masih belum bangun. Maaf ya, aku bangunin. Kamu pasti belum makan yang bener, ya?”

“Na, ini masih jam 4 sore kok kamu udah disini?”

“Aku izin pulang cepet. Maaf ya, Jae, chat kamu baru aku baca pas mau makan siang tapi aku nggak bisa langsung kesini, aku ada meeting dulu tadi. Baru selesai jam 3 dan aku langsung izin pulang. Terus kesini.”

Mata Hyunjae menyendu, ia merasa tidak enak sudah membuat Luna meninggalkan kantor sebelum waktunya. “Maafin aku, kamu jadi repot begini. Maaf kamu jadi harus pulang cep—”

“Ssssh,” Luna memotong kalimat Hyunjae sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir Hyunjae yang kini terasa hangat di jarinya. “No need to be sorry, Sayang. Yuk, bangun sebentar ya? Senderan aja di kasur, aku udah bikinin chicken soup sama teh ginseng merah.”

Hyunjae menurut. Dengan dibantu Luna, ia mengerahkan semua sisa tenaganya untuk menegakkan tubuhnya dan bersandar di sandaran kasur.

Luna duduk di tepi kasur Hyunjae dengan semangkuk chicken soup buatannya di tangan. Ia menyendokkan supnya, setelah sebelumnya meniupinya pelan agar supnya tidak terlalu panas di mulut Hyunjae.

“Ih malu banget, masa disuapin gini. Kaya anak kecil.”

“Hilangin dulu coba gengsinya, kamu lagi lemes gitu. Bisa emang makan sendiri?”

“Galak banget sih, pacar lagi sakit juga.”

“Kamunya gemesin sih, lagi sakit masih aja tetep tsundere-nya nggak ilang.”

Satu suap, tiga suap, lima suap.

Nggak butuh waktu lama, mangkuk di tangan Luna kini kosong. Isinya habis tidak bersisa.

“Supnya enak banget.”

“Masa? Enak atau kamu terpaksa makan karena kelaperan?”

“Yang, ih!”

Luna tertawa. Dalam hati ia senang juga sup buatannya dihabiskan oleh Hyunjae dalam sekejap.

“Sekarang tehnya diminum ya.”

Hyunjae meraih cangkir dari tangan Luna dan menyesap tehnya sedikit-sedikit. Ia memejamkan matanya sejenak dengan kepala bersandar di sandaran kasur. Teh ginseng merah ini memang enak sekali dikonsumsi apalagi ketika tubuh dalam keadaan meriang seperti ini.

Hyunjae membuka matanya lagi dan melihat Luna beranjak dari duduknya, berjalan ke arah lorong walk-in closet sebelum akhirnya berhenti di depan lemari baju Hyunjae, membukanya dan mengambil handuk kecil dan satu set baju tidur dari dalam lemari.

“Seka ya badannya? Biar segeran kamunya. Aku siapin air hangatnya dulu,” kata Luna setelah melihat Hyunjae menghabiskan tehnya.

“Aku lemes, nggak kuat di kamar mandi lama-lama.”

“Nggak usah di kamar mandi, kamu di kasur aja. Aku sekain.”

Hyunjae baru akan melanjutkan argumennya ketika Luna keburu menghilang ke dalam kamar mandi, dan muncul kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.

Dengan telaten, Luna melepaskan kaos Hyunjae yang sudah basah dan lembab terkena keringat dingin. Dengan tangan kanan terbalut washcloth yang sudah dibasahi dengan air hangat, disekanya mulai dari wajah Hyunjae hingga seluruh tubuh bagian atas, termasuk kedua lengan Hyunjae. Selesai seka, Luna mengeringkan dengan handuk kecil yang tadi sudah disiapkan, membalurkan eucalyptus oil di bagian dada, perut dan punggung Hyunjae, lalu memakaikan kaos ganti yang diambilnya di lemari baju tadi.

Selesai bagian atas, kini Luna menyingkap selimut yang menutupi area pinggang Hyunjae ke bawah, dan menyeka bagian lutut hingga ujung jari-jari kaki Hyunjae. Setelah dikeringkan dengan handuk, Luna menyerahkan celana pendek ganti berikut dengan underwear-nya pada Hyunjae.

“Ganti sendiri ya celananya, bisa kan? Aku beresin air bekas seka sama cuci piring dulu. Panggil aku kalau ada apa-apa, ya.” Selesai berkata begitu, Luna mencium pucuk kepala Hyunjae sekilas, dan dengan gesit segera mengangkat baskom berisi air bekas seka di tangan kanan dan mangkuk serta cangkir bekas di tangan kiri.

Setelah Luna meninggalkan kamarnya, Hyunjae mengganti underwear dan celana pendeknya dengan setelan baru yang tadi disiapkan Luna. Walaupun masih lemas, tapi Hyunjae bisa merasakan tubuhnya agak enakan dan sedikit segar setelah seka dan ganti baju. Sebelum merebahkan tubuhnya lagi di kasur, Hyunjae meminum obat yang juga sudah disiapkan Luna di meja samping kasurnya.

Luna yang sudah kembali ke kamar, memunguti baju kotor Hyunjae di lantai dekat kasur dan membawanya ke keranjang cucian. Kebiasaan Luna dan Hyunjae yang tinggal sendirian adalah mencuci baju satu minggu sekali, di hari Sabtu. Tapi ketika dilihatnya keranjang cucian Hyunjae sudah penuh karena banyak baju kotor dari acara gathering kemarin, Luna memutuskan untuk mencucikannya malam ini karena tahu Hyunjae pasti masih terlalu lemas untuk sekedar mengurus cucian baju.

Setelah mesin cuci mulai bekerja, Luna kembali menghampiri Hyunjae di kamar. Tangannya menyentuh dahi dan leher Hyunjae, masih agak panas. Luna mengarahkan thermogun ke dahi Hyunjae, kali ini angka tiga puluh delapan tertera di layar. Masih agak panas. Luna memutuskan untuk mengompres dahi Hyunjae lagi.

“Kalau besok masih belum baikan, kita ke dokter, ya?” Luna berkata lembut. Buku jarinya mengusapi kepala Hyunjae.

Masih dengan mata terpejam, Hyunjae mengangguk. Tangannya lalu bergerak meraba kasur, mencari tangan Luna untuk digenggam. “Maafin aku besok batal jemput mama dan ayah kamu di bandara. Aku nggak enak banget, Na.”

“Udah, jangan dipikirin. Mama ayah bakal agak lama kok di sini, kamu masih bisa ketemu kalau udah sehat. Yang penting sekarang kamu sehat dulu, ya?”

“Na…”

“Ya sayang?”

“Tidur sini ya malam ini? Temenin aku, ya?”

“Iya, aku nginep malam ini. Besok pagi aku tinggal dulu tapinya ya? Mama jam 1 malam ini take off, besok jam 8 pagi mendarat. Aku jemput dulu ke bandara. Aku udah minta tolong temen-temen kamu besok kesini, yang bisa pagi Kevin sama Jacob. Mereka jam 9 kesininya. Nanti siangan gantian antara Sangyeon atau Sunwoo yang nemenin. Katanya sih Eric juga mau ikut, panik dia kakak kesayangannya tiba-tiba sakit.”

Hyunjae kaget mendengar penuturan Luna. Dia nggak menyangka Luna sampai menghubungi teman-temannya. “Na, kamu segitunya sampe hubungin mereka buat nemenin aku?”

“Iya, aku bingung soalnya. Nggak tega ninggalin kamu sendiri, tapi aku harus pergi jemput mama ayah. Akhirnya tadi aku coba tanya deh barangkali temen-temen kamu pada bisa nemenin, untungnya bisa.”

“Makasih, Sayang. Nggak ada yang sebaik kamu memang.”

“Aku pengen sayangku cepet sembuh. Sedih lihat kamu yang biasanya bawel sekarang lemes gini.”

Hyunjae terkekeh pelan, menampilkan jajaran gigi-gigi putihnya yang berderet rapi. Luna berdecak dalam hati, bahkan dalam kondisi sakit dan tidak mandi seharian pun Hyunjae masih tetap terlihat tampan.

“Aku mau mandi dulu ya. Kamu masih laper nggak? Kalau mau makan lagi habis mandi aku bikinin bubur ikan.”

“Nggak, Yang, makasih ya. Aku mau tidur aja. Selesai mandi kamu jangan lupa makan malam. Nanti tidur di samping aku, ya? Jangan di sofa. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, lemes gini akunya juga.”

“Hahaha iya iya. Kamu sehat aja nggak pernah ngapa-ngapain aku, apalagi kamu lagi lemes.”

Setelah membantu Hyunjae menyamankan posisi tidurnya, Luna membenahi selimut supaya menutupi tubuh Hyunjae dengan sempurna. Selesai dengan Hyunjae, Luna mengambil emergency handbag-nya—beruntung di mobilnya Luna selalu sedia tas darurat yang berisi satu set dalaman, baju tidur, dan baju pergi bersih sekaligus toiletries travel-sizedan membawanya ke kamar mandi. Luna ingin segera membersihkan dirinya dan beristirahat di kasur. Menyadari betapa lelahnya ia hari ini, Luna berencana ingin mengandalkan food delivery saja untuk makan malamnya.