Cosmic Railway
Kukira kereta kosmik hanyalah dongeng belaka buatan orang dulu untuk menenangkan mereka yang baru saja ditinggalkan. Dan, yang namanya dongeng pastilah hanya khayalan yang mustahil menjadi kenyataan. Tetapi, kala aku melihatmu turun dari sana, berdiri di peron sambil menyugar rambut jelagamu yang lembut, patah langsung perkiraanku. Hal itu benar-benar ada dan barusan kusaksikan dengan mata-kepala sendiri meskipun sama sekali tak bisa dipercaya. Peganganku pada gagang payung mengerat. Chenle di gendonganku memberontak, minta diturunkan untuk menghampirimu, seseorang yang ia sebut Papa. Sampai akhirnya aku menyerah dan membiarkan Chenle turun, melintasi rel dinaungi oleh hujan tanpa pelindung apapun dengan tujuan memelukmu erat.
Meringis. Hatiku nyeri. Kedua orang yang kusayang berpelukan—atau lebih tepatnya Chenle yang memeluk tetapi sama sekali tidak dibalas karena kamu kebingungan.
Hatiku semakin nyeri.
Chenle menangis di pelukanmu, tapi kamu sama sekali tidak mengidahkan dan tetap bungkam. Bahkan ketika aku tiba pun kamu tetap menatap lurus ke depan, seperti tak sadar akan keberadaanku. Benar-benar sakit rasanya. Tapi inilah konsekuensinya.
Siapapun yang turun dari kereta kosmik akan kehilangan ingatannya.
Karena ... kereta kosmik merupakan kendaraan milik surga yang digunakan untuk mengantar penghuninya menemui mereka yang belum selesai tugasnya di bumi; itu kita, yang masih bernyawa, dengan konsekuensi hilangnya ingatan ketika sampai. Memori mereka dihapus sepanjang jalan, menjadikannya percuma sekejap kembali namun tak ada yang diingat sama sekali.
Tapi, sayang, tenang saja. Aku akan membantumu mengingat-ingat saat-saat kamu masih menghela dan menghembuskan napas di tengah sakit yang melanda. Saat kamu masih berada di tengah-tengah kita. Saat kamu masih menemani Chenle bermain. Saat kamu mendampingiku dan mengecup bibirku saat aku terbangun dari tidur. Akan kubantu dirimu sampai kereta kosmik datang lagi untuk menjemputmu pulang ke surga.
“Papa, ayo pulang.”
Aku menuduk, menatap Chenle yang menarik tanganmu manja, selanjutnya melihatmu, yang termangu-mangu karena ajakan itu. Aku yakin di otakmu terdapat seribu pertanyaan yang memiliki inti: “Di mana aku sekarang?”
“Injun-ah.” Aku memanggilnya pelan. Memanggilnya dengan nama kesayangan yang aku buat saat kencan kelima kita. Aku masih ingat bagaimana malu-malunya dirimu saat aku panggil begitu. Bahkan sampai kita menikah pun kamu masih malu-malu. Tapi, untuk sekarang, tidak ada raut malu, melainkan takut. “Betul kata Lele, ayo pulang. Nanti hujannya makin deras.”
“Kamu siapa?” Mata itu akhirnya menatapku. Aku balas teduh. Kedua sudut bibir naik untuk membuktikan kalau aku merupakan orang baik. “Kamu tau namaku?”
Chenle menggoyangkan tanganmu lagi. Keningnya berkerut dalam-dalam. “Papa lupa sama Appa? Berarti Papa lupa aku juga dong! Ish, Papa jahat! Masa—”
Aku memotongnya, “Lele, jagoannya Appa, gak boleh bilang gitu, ya? Masa Papa dibilang jahat? Berarti Lele juga jahat dong?”
“Gak! Aku baik! Papa baik! Appa juga baik! Kita semua baik! Gak ada yang jahat.” Mata Chenle benar-benar warisanmu; cantik, jernih, dan berbinar-binar. Ocehannya juga persis dirimu. Atau bisa aku simpulkan, semua yang ada di dirinya persis dirimu. Chenle adalah kamu versi kecil. Sehingga ketika melihatnya rasa rinduku padamu semakin besar, sekaligus membuatku merasa kalau kamu tetap bersamaku selalu.
“Good boy. Anak pintar.” Aku mengusak rambut Chenle, sesudahnya mendongak dan menatapmu. “Akan kuberitahu nanti saat tiba di rumah. Sekarang kita pulang dulu, ya? Nanti hujan makin deras dan kamu makin kedinginan. Bajumu itu tipis, lho.” Payung aku geser sedikit, melindungi kamu yang masih terpaku bingung. Aku menghela napas. “Atau sekarang aja? Tapi kamu pakai jaketku?”
“Jangan di sini.” Renjun menggeleng. Chenle dilihatnya. “Lele ... dia kedinginan.”
Seperti ada yang tersetrum saat kamu menyebutkan nama anak kita. Aku senang, tapi Chenle tentunya merupakan pihak yang paling senang karena mendengar Papanya menyebutkan namanya lagi.
“Lele kedinginan, ya? Sini Appa gendong biar gak kedinginan.” Aku merentangkan tangan. Chenle berlari ke arahku dan memelukku erat. Langsung kugendong tubuhnya sementara tangan lain masih memegang payung. “Siap, kapten sudah naik pesawat! Sekarang kita pulang!”
“Tunggu.”
Langkahku seketika berhenti. Wajah ditolehkan ke arahmu. “Kenapa?”
“Payung.” Kamu menunjuk payung. “Berikan padaku. Biar aku yang memegangnya.”
“Tidak apa-apa?”
“Bukan masalah.”
Aku memberikan payung itu kepadamu.
Kita mulai melangkah, bernaung di bawah payung yang melindungi dari hujan, menuju rumah yang kita nantikan hangatnya—setelah setahun lamanya.
***
“Jeno-ya, aku akan mengunjungi kalian nanti. Aku janji.”
“Renjun–”
“Kereta kosmik. Stasiun lama. Peron kedua. Aku turun dari sana. Menemui kalian. Pulang ke rumah. Walau singkat waktunya. Sebagai permintaan maaf karena pergi duluan.”
“Injun-ah, Itu tid–”
“Ada. Aku ada di sana nanti. Hujan pertama di musim panas, aku mohon datang. Jemput aku.“ Punggung tangan Jeno ia kecup lembut. Renjun mulai merasakan matanya memberat. “Aku tidur dulu, ya. Ngantuk. Jangan berantem sama Lele.”
Suara denging lantas memenuhi ruangan luas berwarna putih itu. Genggaman tangan meluruh. Mata jernihnya tertutup rapat dan tak akan pernah terbuka lagi meskipun dibangunkan dengan cara apapun.
Huang Renjun, telah berpulang.
Jeno terisak. Jemari tak berdaya Renjun digenggam erat dan dikecupnya berulang-ulang. Berharap keajaiban, tapi kemustahilan faktanya.
Cintanya sudah pergi. Raga dan Jiwa Jeno sakit sekali.
Sekali lagi Jeno mengecup jemari dingin Renjun. “Injun-ah, aku tunggu kamu nanti di stasiun lama, peron kedua, di hujan pertama musim panas. Aku ada di sana, berdua dengan Lele. Jemput kamu. Sesuai permintaan kamu. Habis itu kita pulang ke rumah. Buat banyak makanan lalu piknik di belakang rumah.“ Wajah pucat Renjun ditatap lekat. Dahinya dikecup dalam-dalam, menyalurkan cinta yang besar skalanya. “Sampai ketemu nanti, sayang. Aku mencintaimu di setiap hembusan napasku.”
23 Maret 2021 – Sereinata