sereinata

bloom23

Kukira kereta kosmik hanyalah dongeng belaka buatan orang dulu untuk menenangkan mereka yang baru saja ditinggalkan. Dan, yang namanya dongeng pastilah hanya khayalan yang mustahil menjadi kenyataan. Tetapi, kala aku melihatmu turun dari sana, berdiri di peron sambil menyugar rambut jelagamu yang lembut, patah langsung perkiraanku. Hal itu benar-benar ada dan barusan kusaksikan dengan mata-kepala sendiri meskipun sama sekali tak bisa dipercaya. Peganganku pada gagang payung mengerat. Chenle di gendonganku memberontak, minta diturunkan untuk menghampirimu, seseorang yang ia sebut Papa. Sampai akhirnya aku menyerah dan membiarkan Chenle turun, melintasi rel dinaungi oleh hujan tanpa pelindung apapun dengan tujuan memelukmu erat.

Meringis. Hatiku nyeri. Kedua orang yang kusayang berpelukan—atau lebih tepatnya Chenle yang memeluk tetapi sama sekali tidak dibalas karena kamu kebingungan.

Hatiku semakin nyeri.

Chenle menangis di pelukanmu, tapi kamu sama sekali tidak mengidahkan dan tetap bungkam. Bahkan ketika aku tiba pun kamu tetap menatap lurus ke depan, seperti tak sadar akan keberadaanku. Benar-benar sakit rasanya. Tapi inilah konsekuensinya.

Siapapun yang turun dari kereta kosmik akan kehilangan ingatannya.

Karena ... kereta kosmik merupakan kendaraan milik surga yang digunakan untuk mengantar penghuninya menemui mereka yang belum selesai tugasnya di bumi; itu kita, yang masih bernyawa, dengan konsekuensi hilangnya ingatan ketika sampai. Memori mereka dihapus sepanjang jalan, menjadikannya percuma sekejap kembali namun tak ada yang diingat sama sekali.

Tapi, sayang, tenang saja. Aku akan membantumu mengingat-ingat saat-saat kamu masih menghela dan menghembuskan napas di tengah sakit yang melanda. Saat kamu masih berada di tengah-tengah kita. Saat kamu masih menemani Chenle bermain. Saat kamu mendampingiku dan mengecup bibirku saat aku terbangun dari tidur. Akan kubantu dirimu sampai kereta kosmik datang lagi untuk menjemputmu pulang ke surga.

“Papa, ayo pulang.”

Aku menuduk, menatap Chenle yang menarik tanganmu manja, selanjutnya melihatmu, yang termangu-mangu karena ajakan itu. Aku yakin di otakmu terdapat seribu pertanyaan yang memiliki inti: “Di mana aku sekarang?”

“Injun-ah.” Aku memanggilnya pelan. Memanggilnya dengan nama kesayangan yang aku buat saat kencan kelima kita. Aku masih ingat bagaimana malu-malunya dirimu saat aku panggil begitu. Bahkan sampai kita menikah pun kamu masih malu-malu. Tapi, untuk sekarang, tidak ada raut malu, melainkan takut. “Betul kata Lele, ayo pulang. Nanti hujannya makin deras.”

“Kamu siapa?” Mata itu akhirnya menatapku. Aku balas teduh. Kedua sudut bibir naik untuk membuktikan kalau aku merupakan orang baik. “Kamu tau namaku?”

Chenle menggoyangkan tanganmu lagi. Keningnya berkerut dalam-dalam. “Papa lupa sama Appa? Berarti Papa lupa aku juga dong! Ish, Papa jahat! Masa—”

Aku memotongnya, “Lele, jagoannya Appa, gak boleh bilang gitu, ya? Masa Papa dibilang jahat? Berarti Lele juga jahat dong?”

“Gak! Aku baik! Papa baik! Appa juga baik! Kita semua baik! Gak ada yang jahat.” Mata Chenle benar-benar warisanmu; cantik, jernih, dan berbinar-binar. Ocehannya juga persis dirimu. Atau bisa aku simpulkan, semua yang ada di dirinya persis dirimu. Chenle adalah kamu versi kecil. Sehingga ketika melihatnya rasa rinduku padamu semakin besar, sekaligus membuatku merasa kalau kamu tetap bersamaku selalu.

Good boy. Anak pintar.” Aku mengusak rambut Chenle, sesudahnya mendongak dan menatapmu. “Akan kuberitahu nanti saat tiba di rumah. Sekarang kita pulang dulu, ya? Nanti hujan makin deras dan kamu makin kedinginan. Bajumu itu tipis, lho.” Payung aku geser sedikit, melindungi kamu yang masih terpaku bingung. Aku menghela napas. “Atau sekarang aja? Tapi kamu pakai jaketku?”

“Jangan di sini.” Renjun menggeleng. Chenle dilihatnya. “Lele ... dia kedinginan.”

Seperti ada yang tersetrum saat kamu menyebutkan nama anak kita. Aku senang, tapi Chenle tentunya merupakan pihak yang paling senang karena mendengar Papanya menyebutkan namanya lagi.

“Lele kedinginan, ya? Sini Appa gendong biar gak kedinginan.” Aku merentangkan tangan. Chenle berlari ke arahku dan memelukku erat. Langsung kugendong tubuhnya sementara tangan lain masih memegang payung. “Siap, kapten sudah naik pesawat! Sekarang kita pulang!”

“Tunggu.”

Langkahku seketika berhenti. Wajah ditolehkan ke arahmu. “Kenapa?”

“Payung.” Kamu menunjuk payung. “Berikan padaku. Biar aku yang memegangnya.”

“Tidak apa-apa?”

“Bukan masalah.”

Aku memberikan payung itu kepadamu.

Kita mulai melangkah, bernaung di bawah payung yang melindungi dari hujan, menuju rumah yang kita nantikan hangatnya—setelah setahun lamanya.

***

“Jeno-ya, aku akan mengunjungi kalian nanti. Aku janji.”

“Renjun–”

“Kereta kosmik. Stasiun lama. Peron kedua. Aku turun dari sana. Menemui kalian. Pulang ke rumah. Walau singkat waktunya. Sebagai permintaan maaf karena pergi duluan.”

“Injun-ah, Itu tid–”

“Ada. Aku ada di sana nanti. Hujan pertama di musim panas, aku mohon datang. Jemput aku.“  Punggung tangan Jeno ia kecup lembut. Renjun mulai merasakan matanya memberat. “Aku tidur dulu, ya. Ngantuk. Jangan berantem sama Lele.”

Suara denging lantas memenuhi ruangan luas berwarna putih itu. Genggaman tangan meluruh. Mata jernihnya tertutup rapat dan tak akan pernah terbuka lagi meskipun dibangunkan dengan cara apapun.

Huang Renjun, telah berpulang.

Jeno terisak. Jemari tak berdaya Renjun digenggam erat dan dikecupnya berulang-ulang. Berharap keajaiban, tapi kemustahilan faktanya.

Cintanya sudah pergi. Raga dan Jiwa Jeno sakit sekali.

Sekali lagi Jeno mengecup jemari dingin Renjun. “Injun-ah, aku tunggu kamu nanti di stasiun lama, peron kedua, di hujan pertama musim panas. Aku ada di sana, berdua dengan Lele. Jemput kamu. Sesuai permintaan kamu. Habis itu kita pulang ke rumah. Buat banyak makanan lalu piknik di belakang rumah.“  Wajah pucat Renjun ditatap lekat. Dahinya dikecup dalam-dalam, menyalurkan cinta yang besar skalanya. “Sampai ketemu nanti, sayang. Aku mencintaimu di setiap hembusan napasku.”

23 Maret 2021 – Sereinata

#BLOOM23

Koridor lantai satu begitu ramai dengan banyaknya murid-murid yang masih berada di luar kelas karena jam masih menunjukan pukul enam lewat empatpuluh lima, masih ada lima belas menit sebelum jam tujuh di mana bel masuk akan dibunyikan. Laki-laki dengan jam tangan biru yang melingkar di pergelangan tangan melangkah begitu cepat menaiki tangga untuk sampai di koridor. Saat itu juga suara obrolan perlahan mengecil dan atensi terpusat kepadanya seketika. Dalam cepatnya langkah kaki, laki-laki itu bisa mendengar suara bisik-bisik yang pasti membicarakan dirinya.

“Tuh, Jeno ganteng sebenernya. Cuma, dia tertutup banget. Temen aja cuma satu, si Jinyoung.”

“Kalau dia gak pendiem gitu, bisa kali gabung ke gengnya si Hyunjin.”

“Lo gak tau? Hyunjin pernah nawarin Jeno buat gabung ke gengnya, tapi Jeno langsung pergi itu aja. Gila gak sih?”

“Jeno ganteng banget, coba aja dia belum punya pacar. Pasti udah gue ̶ yah, pacarnya segala dateng.“

“Jeno!” laki-laki lain, bertubuh lebih kecil, berseru di bawah. Tangannya melambai semangat dan tersenyum sangat lebar. Mau tidak mau, Jeno, si laki-laki dengan jam tangan biru, berbalik badan cepat, membalas senyum meskipun sangat tipis dan hampir tidak terlihat. Seseorang yang tadi memanggilnya segera berlari untuk menghampiri. Masih dengan senyum di bibir, laki-laki itu mengaitkan lengannya pada lengan Jeno. “Jalannya jangan buru-buru, kenapa! Udah tau kaki kamu panjang!”

“Maaf.”

Renjun, laki-laki bertubuh kecil sekaligus pacar dari Jeno, menipiskan bibir. Kepalanya mengadah untuk melihat wajah Jeno yang masih tak berekspresi meskipun di matanya tersirat rasa bersalah. Hal itu membuat Renjun luluh dan mengurungkan niatnya untuk mengomeli Jeno beserta kaki-kakinya yang panjang itu. Menghela napas, kemudian dihembuskan. Senyum pada bibir Renjun kembali terbit sampai matanya menyipit. “Oke, kali ini aku gak mau marahin kamu. Tapi, awas aja besok-besok tinggalin aku di parkiran lagi.” Pipi sedikit menggembung, Renjun menepuk lengan Jeno berulang kali sebagai simbol penegasan dan diangguki oleh Jeno.

Renjun mengacungkan jempol. Pandangannya kemudian beralih pada koridor. Masih terdapat murid-murid yang lain, menatap mereka dengan berbagai macam ekspresi di masing-masing wajah. Renjun terkikik geli, lupa kalau mereka masih di koridor. Pantas saja Jeno lebih minim ketika memberikan reaksi karena Jeno pernah mengatakan kalau ia tak suka menjadi pusat perhatian.

“Jeno, aku lupa kita masih di koridor.” Renjun meringis. “Gak nyaman, ya?”

Jeno perlahan melepas kaitan lengannya dengan Renjun, kemudian menggenggam jemari kecil Renjun begitu erat. Lantas, Jeno membawa Renjun berjalan begitu terburu untuk segera sampai ke kelas mereka yang berada di ujung koridor. Sepertinya Jeno lupa dengan perkataan Renjun tadi yang memintanya untuk tidak berjalan terburu-buru ̶sebab kaki-kaki panjangnya itu, yang tak bisa Renjun samakan langkahnya dan membuatnya kewalahan, seperti sekarang. Terpaksa langkah kaki dibuat lebar-lebar agar tidak tertinggal di belakang. Sampai akhirnya mereka sampai di dalam kelas dan Renjun bisa bernapas lega karena penderitaannya sudah berakhir. Laki-laki itu jatuh terduduk dengan napas terengah-engah. Jeno menatap Renjun sekilas, melepas genggaman, kemudian pergi begitu saja menuju bangkunya yang ada di barisan kedua deretan paling belakang. Renjun meringis miris. Jeno benar-benar tega padanya. Mendengus, Renjun lalu berdiri dan menuju bangkunya di barisan ketiga deret kedua. Teman sebangkunya, Haechan, sudah datang dan langsung memberikan tisu padanya. “Usap dulu itu keringetnya. Miris bener lo, Njun.”

“Tau.” Renjun mengusap pelipisnya yang basah oleh peluh. “Tega banget sama pacarnya.” Renjun menoleh pada Jeno yang ternyata juga sedang menatapnya. Tatapan keduanya bertemu. Jantung Renjun berdetak lebih cepat, tapi kesal nyatanya lebih terasa. “Udah tau kakinya panjang, gue malah diajak lari. Mana habis itu ditinggal di depan kelas lagi. Orang mah ya, anterin gitu sampai bangku.”

“Kasian.” Haechan malah makin meledeknya. “Mau tisu lagi gak?”

“Sini.” Tisu di tempat Haechan tarik kemudian diberikan pada Renjun. Ia kembali mengusap pelipis. “Gila, gue haus banget. Gak bawa minum lagi.” Renjun membuat ekspresi sedih. Lehernya yang juga basah diusap dramatis. Haechan paham kalau Renjun sedang kode untuk diberikan minum. Tapi, maaf-maaf saja, Haechan juga bisa pelit seperti Renjun.

“Gak. Gue pelit.”

Renjun cemberut. “Sama aja lo kayak Jeno, sama-sama tega. Satu kesatuan kali lo berdua.”

“Et, sori-sori aja gue gak kaku kayak pacar lo.”

Dengusan menjadi balasan atas jawaban Haechan. Renjun meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Tenggorokannya benar-benar terasa kering dan ia butuh minum. Sebenarnya kantin sudah buka namun Renjun malas untuk ke sana. Kaki sudah menempel erat pada lantai tempatnya berpijak dan tidak ingin berpindah sedikitpun. Sampai Renjun merasakan ada yang mencolek bahunya. Renjun mengeluarkan desahan kesal lalu berbalik ke belakang. Ada Chani, dengan botol minum di tangannya. “Mau punya gue?”

Ekspresi kesal berubah seketika. Mata Renjun membola dan tubuhnya makin sempurna menghadap belakang. “Seriusan?!”

Chani tersenyum. Botol minum berwarna merah disodorkan pada Renjun. “Minum aja. Habisin sekalian juga gak apa-apa.”

“Chani baik banget deh!” Renjun menjentikan jari. Botol minum Chani sudah berpindah ke tangan dan segera membuka tutupnya.

Tetapi, sebelum air berpindah ke mulut, botol minum tersebut sudah terlebih dahulu direbut. Air seketika berceceran di lantai namun untungnya tidak membasahi seragam yang dikenakan Renjun.

“Jangan minum punya dia.” Renjun menghembuskan napas kasar karena suara orang ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Jeno, pacarnya yang ia cap sebagai pacar ter-tega sejagad raya. Jemarinya lantas dipaksa menggenggam botol minum yang Renjun amat hapal karena botol minum itu milik Jeno. Tidak hanya sampai disitu. Tangan Renjun Jeno tuntun sehingga mulut dari botol sudah mengenai bibir. Mau tidak mau Renjun meneguk air dalam botol sampai tersisa seperempat.

Renjun menjauhkan mulut botol dari bibirnya dengan kesal. “Kamu ngapain sih, No?”

“Kasih minum.” Setelah mengatakan itu, Jeno kembali ke bangkunya. Renjun tidak bisa berkata-kata. Sepertinya bukan hanya Renjun, tetapi satu kelas ikut bungkam. Mereka tahu bagaimana sikap Jeno pada Renjun karena hampir setiap hari menyaksikannya. Namun, mereka tidak tahu kalau Jeno yang cemburu bisa melakukan hal senekat itu. Merebut botol minum yang terbuka dan penuh air seperti kejadian tadi—jika boleh hiperbolis—adalah hal gila. Untung Renjun atau Haechan tidak tersiram air di dalamnya.

“Njun, untung lo gak kesiram.” Haechan menyadarkan Renjun dari keterkejutan. “Atau gue. Untung aja.”

“Gue gak paham lagi kenapa Jeno bisa senekat itu.” Renjun menghembuskan napas. “Sampai gue tadi kesiram, bakalan gue siram balik dia. Bodo amat gue dimarin Mama atau Bunda.” Ia berbalik badan. Botol minum merah tadi dikembalikan pada si pemilik. “Chani, maaf gak jadi. Makasih ya, udah nawarin minum.”

Chani mengangguk. “Santai aja. Maaf juga tadi buat pacar lo cemburu.” Pemuda itu membawa tubuhnya maju. “Btw, pacar lo serem juga pas cemburu. Gue kira dia bakal diem aja.”

“Ya, gue juga kaget tadi.”

Renjun mengedikan bahu. Matanya kembali bertemu dengan mata Jeno yang menatapnya begitu tajam. Mulai lagi cemburunya. Daripada Jeno melakukan hal yang lebih nekat dari sebelumnya, Renjun berbalik badan dan kembali pada posisi semula. Istirahat nanti ia harus membuat Jeno tidak marah lagi atau bisa-bisa Jeno akan seharian mendiamkannya. Renjun tidak bisa seperti itu meskipun sebenarnya Jeno adalah orang yang banyak diam.

(ini apa) (gue geli bacanya) (tapi tetep aja gue publish)

18 November 2019 – Sereinata

#BLOOM23

“Jika diibaratkan bunga, aku ini apa?”

Sekonyong-konyong Renjun bertanya kepada Jeno yang tengah menggunting tangkai bunga tulip ketika diri sudah menyentuh kursi. Iseng saja, sebab tidak ada pekerjaan lagi yang bisa dikerjakan. Urusan rumah sudah selesai. Chenle sedang main di luar. Ya sudah, sekali-sekali ganggu suami yang makin kelihatan tampan saat sedang serius.

Atensi Jeno seketika teralih, dari tulip menjadi Renjun, seseorang yang sudah menjadi pendamping hidupnya selama duabelas tahun. Gunting diletakkan di atas meja lalu dagu bertopang pada tangan. “Matahari,” jawabnya, sembari menatap seseorang di hadapannya lekat. “Cerah, ceria, optimis, bersemangat. Kamu persis bunga matahari.”

“Aku tau kamu bakal jawab begitu.” Renjun mengangguk-angguk. Satu kuntum bunga tulip diambil dan dihirup aromanya dalam-dalam. “Matahari ... ceria, cerah, optimis. Itu yang kamu sampaikan saat kencan kedua kita.”

“Kalau aku?” Jeno balik bertanya. “Jika diibaratkan bunga, aku ini apa?”

“Mawar ... biru.” Renjun ikut menopang dagu pada tangan. Balas menatap Jeno sama lekat. “Indah, namun di setiap kelopaknya bagai menyimpan misteri. Seperti kamu. Kamu itu penuh misteri. Sampai kadang aku berpikir, apa yang sedang kamu tutupi?”

Renjun menyelami mata jelaga Jeno, mencari jawaban meski yang nampak hanyalah kehampaan. Ia menghela napas pada akhirnya.

Kendati sudah hidup bersama hampir duabelas tahun lamanya, baginya Jeno amat sulit untuk ditebak. Renjun tetap saja kebingungan dalam memahami lelaki itu walaupun telah berusaha.

Kompleks, satu kata yang menggambarkan seorang Lee Jeno. Dan, Renjun ingin menyelemami ke-kompleks-an itu hingga mendapat jawaban yang selama ini ia cari-cari.

Namun, untuk sekarang ia hanya dapat berucap, “Tapi, aku percaya padamu.” Sambil tersenyum.

Jeno juga tersenyum.

Dan, Renjun tahu kalau itu senyum palsu.

28 Agustus 2020 – Sereinata

#BLOOM23

I love you.”

Good night.

Renjun menghela napas. Sembari menyusupkan ponsel ke saku, matanya beralih pada Jeno. Lelah tersirat di sana, total mencubit relung yang tengah ditatap. “Balesannya gitu lagi.”

Jeno ikut menghela napas. Bahu sempit Renjun dirangkul erat berharap menghantarkan perasaan nyaman kepada seseorang di sebelahnya. “Kalau gitu, kenapa masih pertahanin dia?”

“Aku sayang dia.”

Jeno tersenyum kecil. Dan mirisnya aku sayang kamu. “Turun aja yuk? Ngantuk 'kan kamu? Aku anterin sampai depan kamar. Biar kamu gak ke mana-mana.”

“Emang aku ke mana?”

“Siapa tau ke rumah pacar kamu?”

Renjun akhirnya tertawa. Jeno lega luar biasa. “Siapa juga yang mau ke sana. Pasti bakalan gak diterima. Jadi, opsi turun terus nonton film sama kamu kayaknya seru.”

“Kemarin aku udah nginep. Masa nginep lagi?”

“Ya, kenapa emangnya? Lagian aku gak keberatan. Mama juga gak keberatan. Bunda gak bolehin ya? Aku deh yang minta izin nanti. Biar kamu nginep lagi. Terus nonton—”

Renjun diam setelah Jeno menempelkan telunjuk di bibirnya. “Bawelnya, astaga. Sahabatnya siapa, sih? Sahabatnya Jeno, ya? Pantes bawel.” Telunjuk Jeno menjauh. “Iya iya. Aku nginep lagi. Nemenin kamu nonton film lagi. Nemenin kamu ngoceh lagi. Nemenin kamu tidur lagi sampai pagi.” Tangannya dilipat di atas dada. “Baik gak aku? Baik banget dong pastinya. Bilang apa?”

Renjun mutlak tersenyum lebar. “Makasih, Jeno!”

“Udah seharusnya.” Jeno kembali menarik senyum. Rambut Renjun diacak pelan. “Ayo turun. Biar cepet nonton film. Kamu mau nonton apa emang?”

“Ada deh. Kamu gak boleh tau. Biar jadi suprise.”

“Segala suprise. Sok banget kamu.”

Wajah semringah Renjun berubah sebal. “Aku kesel banget kalau kamu udah ngomong gitu. Pukul boleh gak?”

“Ada ya, mau pukul tapi bilang-bilang?”

“Selama ini aku gimana?”

“Ya gitu. Kayak tadi. Bilang dulu. Kenapa sih emangnya?”

“Biar ada izin.”

“Biar ada izin atau biar aku gak marah?” Wajah Jeno mendekat. Renjun mendorongnya jauh-jauh, namun percuma karena wajah sahabatnya mendekat lagi. “Iya, Ren? Biar aku gak marah ya?”

“Gak tau.” Renjun mendengus. Kaki melangkah sebal meninggalkan Jeno yang tergelak hebat. “Aku duluan!”

“Pundungan!”

“Biar!”

“Ya udah aku pulang! Gak nginep!”

Kakinya yang hendak memijak tangga kedua terhenti seketika. Renjun berbalik badan dan menatap Jeno tajam. “Sana pulang!”

“Oke, aku pulang.” Jeno menyusul Renjun, menghampiri tangga, dan melewati sahabatnya itu. “Dadah, Renjun!” Tangannya melambai sementara kaki memijak tangga selanjutnya.

Renjun cemberut. Lidahnya berdecak keras. Kerah Jeno kemudian ditariknya sedikit-tak-minat-namun-kuat membuat laki-laki itu seketika terhuyung. Untungnya Jeno langsung berpegangan sehingga ia tidak jatuh lalu terguling-guling sampai ke bawah.

“Ups, sori. Sengaja.” Renjun menutup mulut, pura-pura terkejut.

Jeno berbalik badan. “Sengaja?”

“Abisnya kesel,” balas Renjun bersungut-sungut.

“Kesel kenapa lagi? Aku?”

“Jangan pulang.” Renjun sedikit merengek. “Gak boleh pulang. Harus nginep. Temenin aku.”

“Pacar kamu pernah kamu suruh kayak gini gak?”

Pertanyaan Jeno tadi sangat tiba-tiba. Renjun terperajat. Matanya menyorot tak suka. “Kenapa jadi ke dia sih?”

Jeno mengangkat bahu, mencoba tak acuh berlawanan dengan jantungnya yang sedang ribut, berdebar keras; takut sekaligus gugup. “Ya aku penasaran aja. Pernah gak pacar kamu disuruh kamu kayak gini? Disuruh nginep sama kamu. Disuruh nemenin kamu nonton film. Disuruh nemenin kamu cerita sampai pagi buta. Pernah gak dia?”

Renjun menghela napas. Kepalanya menggeleng pelan. “Gak pernah.”

“Kalau gitu, apa gunanya dia jadi pacar kamu?” Pertanyaannya tajam. Jeno menatap Renjun lamat-lamat.

Pertanyaan ini sudah Jeno simpan cukup lama. Sejak minggu pertama Renjun berpacaran malah. Karena, alih-alih membuat Renjun tersenyum bahagia, orang itu justru membuat Renjun menangis semalaman dengan kelakuannya yang membuat Jeno berang bukan kepalang. Mengacuhkan seperti tidak ada rasa tega. Jadi untuk apa mengajak Renjun berpacaran kalau seperti ini akhirnya? 

“Kamu kenapa sih, No?”

Jeno berdecak. “Aku siapa kamu?”

“Kenapa kamu nanya gitu?” Nadanya menuntut, tercampur tak percaya.

“Jawab aja, Ren. Biar aku sadar diri.”

Renjun sekilas memejamkan mata. Napas ditarik dalam-dalam. Kemudian Jeno ditatapnya. “Sahabat aku. Kamu sahabat aku.”

Satu kata itu terputar bagai kaset rusak. Seperti ditekankan. Mutlak.

Desah dilepaskan lirih. “Betul, kamu sahabat aku.” Jeno menganggukkan kepala lemah dan mendengus geli, sedih akan dirinya sendiri. “Aku juga sahabat kamu, sekaligus orang yang suka kamu.”

Bukan, sekali atau dua kali. Namun sudah diungkapkan berulang kali. fakta itu ... fakta bahwa dia menyukai Renjun, sahabatnya sejak kecil, amat menyakitkan. Karena perasaannya hanyalah sepihak, hanya searah, tak berbalas. Renjun tidak suka padanya atau mungkin tidak akan pernah suka padanya.

“Sayangnya aku kurang beruntung, kamu suka orang lain, udah pacaran malah. Kasian, ya aku? Cuma sepihak.”

“Jeno—”

“Tapi itu gak masalah. Selama kamu masih di sebelah aku, itu bukan masalah. Selama kamu masih jadi sahabat aku, itu bukan masalah. Selama kamu gak keberatan aku suka kamu, itu bukan masalah.” Jeno mengulum senyum. Senyum sarat ketegaran yang membuat Renjun mengalihkan mata, tak mampu melihatnya. “Iya, kan? Kamu gak keberatan 'kan aku suka kamu?”

Angin malam berhembus menyapu wajah. Renjun terpejam sekilas sekaligus menarik napas. Kemudian mengutarakan isi hatinya. “Gak. Gak keberatan. Asal kamu jangan berubah.”

“Liat aja aku sekarang. Berubah gak padahal udah ditolak kamu?” Jeno begitu santai, seperti habis melayangkan pertanyaan 'berapa hasil dari satu tambah satu?'. Padahal nyatanya pertanyaannya sangat sensitif, tentang keadaan yang pernah terjadi di antara mereka, tentang Jeno yang pernah menyatakan perasaan kepada Renjun namun ditolak karena Renjun tak merasakan perasaan yang sama.

Renjun berpaling, menatap mata jernih Jeno yang begitu tenang sama sekali tak beriak. Semakin dewasa, mata itu semakin teduh apalagi ketika menatapnya. Teduh ditambah penuh afeksi. Sayangnya afeksi itu tidak bisa sampai di hati sebab sudah tertutup rasa untuk orang lain, pacarnya, yang selalu Jeno bilang tidak pantas untuknya.

Jeno membalas tatapan Renjun yang bagai menariknya tenggelam dalam pesona sehingga ia kembali jatuh akan cinta. Pun membuatnya bertanya-tanya, sebahagia apa Tuhan saat menciptakan seseorang di hadapannya ini hingga sebegini indahnya. Renjun terlalu indah. Mungkin itu sebabnya Tuhan tidak membiarkan Renjun membalas perasaannya. Tak pantas.

Angin berhembus lagi. Menyapu pipi menghantarkan hawa dingin. Renjun mengulum bibir. “Gak berubah. Kamu tetep kamu.”

“Gak berubah, kan? Aku terus di samping kamu. Aku terus temenin kamu. Aku terus jadi objek kesel kamu. Pokoknya selalu balik ke kamu. Sama sekali gak ada niat jauhin kamu. Atau udahin ini semua karena aku gak terima ditolak kamu.”

Kelopak mata Renjun melebar. Gelengan kencang ditunjukkan. “Jangan gitu.”

“Gak, kok. Tenang aja.”

“Janji, ya?”

“Iya, Renjun.” Jeno mengulurkan tangan. “Ayo, turun? Katanya mau nonton film?”

Renjun membalasnya.

Genggaman Jeno hangat. Dadanya ikut hangat.

Jeno benar tidak berubah.

Tapi rasanya sangat bersalah.

8 Agustus 2020 – Sereinata

#BLOOM23

Di langit sana bulan penuh bersinar terang sayang tak bisa sampai pada bangku serta dua orang yang mendudukinya. Januari masih musim dingin sehingga angin yang berhembus tadi membuat keduanya menggigil meski sudah membalut diri dengan coat juga syal hampir dua lapis. Cangkir berisi kopi pahit dibalut telapak tangan, sejajar dengan dada, kemudian disesap tak tentu waktu. Angin lagi-lagi berhembus, tak terdengar, kalah oleh lagu yang terputar di ponsel.  Salah satu dari mereka, yang memakai coat coklat, bersenandung mengikutin nada, sebelum menyesap kopi kembali. Hangatnya menguar, hingga yang di sebelahnya tersenyum sama hangat, padahal angin baru saja berhembus lagi cukup kencang.

Tidak, bersama dia akan selalu hangat, tak peduli berapapun derajatnya.

“Pernah kamu bertanya-tanya,” ada jeda, bersamaan dengan habisnya lagu. Saat lagu berikutnya terputar, dia juga melanjutkan. Suaranya melebihi lembut gemerisik daun saat musim semi yang kehadirannya delalu ditunggu. “Tentang, kenapa kita hidup? Atau, kenapa aku hidup?

Tidak ada satu pun manusia yang tak pernah memikirkan hal itu. Yakin, pasti, mereka pernah—kita pernah.

Syal dibenarkan, jangan sampai ada bagian yang tak tertutup hangat. Malam semakin dingin, tapi keinginan beranjak dari keduanya tak terpikirkan—mungkin untuk sekarang. “Pernah kamu berpikir mengapa matahari ada? Untuk apa dia bersinar?” Seperti senyumnya tadi, dia melatunkan suara begitu hangat. Seperti ketika api unggun menyala, seperti ketika tangan saling bertautan.

“Sumber kehidupan? Menerangi bumi?”

“Pernahkah kamu berpikir mengapa air ada? Untuk apa dia mengalir di sungai?” Cangkir ditaruh di samping. Tangan meraih tangan lain dan membawanya dalam genggaman. Cangkir kopi memang hangat, tapi tak ada yang lebih hangat dari genggaman ini. Bahkan menyerbak sampai keseluruhan. Pipi sudah memerah makin merah.

“Sumber kehidupan juga? Seperti matahari.”

“Bukankah mereka bermanfaat?”

Satu anggukkan diterima. “Ya.” Setelahnya menyenandungkan nada lagi. Tangan masih saling menggenggam, bertaut, hangat.

“Sama seperti mereka, itulah mengapa kita hidup.” Yang mengenakan coat hitam membawa tangan lain digenggamannya untuk dikecup buku-buku jarinya satu per satu. Di sana, di dalam dada yang mengenakan coat coklat, lantas berdebar. Layaknya salju, dia jatuh—semakin jatuh. “Injun-ah, tanganmu semakin hangat.”

Secara impulsif seseorang yang dipanggil 'Injun-ah' oleh yang mengenakan coat hitam itu menarik tangan dan menyembunyikannya di dalam saku. Kepala juga menoleh ke sembarang arah asal tak tertangkap oleh dia yang sedang terkekeh.

“Ada yang sedang malu di sini.” Kekehannya usai sebab hendak menyesap kopi yang sudah lebih dingin. Angin terus berhembus seiring makin larutnya malam. Saat kopi tersisa seperempat dari seharusnya, cangkir diletakkan kembali.

“Bukan aku.” Hela napasnya membuat uap, menyebar lalu terpecah di udara dan dibawa angin. Bibirnya kering, dibasahi dalam satu detik. Debaran itu tetap ada, bahkan semakin terasa karena seseorang di sebelahnya tak henti menatapnya. Napas dihela lagi pun dia akhirnya menoleh, membalas tatapan yang lebih lembut dari hujan kala sore itu. “Baiklah, aku.”

Tawanya juga membuat uap. Pecah di udara dan angin membawanya.

Kini hanya lagu dari ponsel yang terdengar, keduanya diam, menatap bintang-bintang yang setia berdampingan dengan bulan. Terkadang ada tepukan mengikuti ketukan atau dehaman kecil mengikuti nada.

“Ada jawaban lain sebenarnya, mengapa kamu hidup.“  Celetukan itu membuat yang mengenakan coat coklat menoleh. Keningnya sedikit berkerut. Penasaran terpancar dari bola matanya.

“Apa?”

Kamu hidup, karena aku hidup.”

Sebelah alis naik spontan. Tak lama tawa pecah dari si coat coklat. Jemari yang agak kaku menutup bibir, sedang yang lain mendarat pada bahu si pemberi jawaban. “Astaga, kamu mulai lagi.”

Lagu berhenti bersamaan dengan tawa. Si coat hitam menarik napas, hendak menghembuskannya panjang, namun tiba-tiba tubuhnya dibawa menghadap samping, menghadap seseorang yang wajahnya benar-benar merah sehingga dia hampir tercekik. Matanya melebar kala menyadari betapa dekatnya dia dengan yang ada di hadapannya. “Baik, aku hidup karena kamu hidup. Begitu juga sebaliknya, bukan?”

“Y-ya, begitu.”

Kecupan di hidung. Alhasil merah menular padanya. “Lucu.” Yang mengenakan coat coklat menjauh setelah berkata, meninggalkan si coat hitam dalam kehampaan.

“Lantas,” dia melanjutkan, “Mengapa kita bertemu?” Suaranya serupa bisikan, walau begitu masih jelas terdengar. Halus, sehalus angin. Seketika menggelitik perut.

“Untuk membuat sempurna apa yang kurang—dari kita. Arti pertemuan kita, adalah itu.”

Tak ada tawa kali ini, tapi perasaan penuh; penuh kelembutan, kehangatan, kebahagiaan, kemudian pecah menjadi senyum lebar. Segera tubuhnya ditabrakan pada yang menggunakan coat hitam, tak pelak membuat laki-laki itu terkesiap juga membulatkan mata. Akan tetapi dia refleks menangkap, lalu memeluknya erat. Lembut, hangat, bahagia, menular.

“Ah, aku benar-benar bahagia. Sangat bahagia. Kalimat sesederhana itu membuatku bahagia.” Suaranya agak pecah. Jemarinya mencengkram coat hitam erat. Wajah benar-benar disembunyikan di bahu seseorang itu, seseorang yang tak pernah gagal membuatnya jatuh—jatuh dalam cinta. “Lee Jeno, sekarang aku bahagia.”

Dengan sedikit usaha, Lee Jeno akhirnya dapat mengecup pipi gembil seseorang di pelukannya, Huang Renjun, kekasihnya. Berulang kali, ada yang sedikit menyentuh ujung bibir. “Kalau kamu begitu, maka aku juga.”

Huang Renjun menjauh tetapi tangan terus melingkar di leher Lee Jeno. “Betulkah?”

Kecupan bibir dicuri. “Itu jawabannya.”

Huang Renjun, dia tersenyum lebar. Wajah mendekat guna mengecup bibir tipis Lee Jeno. Mengambil kembali kecupannya yang telah dicuri. “Bibirmu hangat,” ungkapnya dengan bibir satu inci dari bibir Lee Jeno, sebelum mengambil kecupan lain lalu memperdalamnya.

Usai saling mengecup, mereka berpelukan lagi. Lebih erat dari tadi. Dua bayangan pada aspal menjadi satu. Huang Renjun memeluk Lee Jeno seperti laki-laki itu akan menghilang. Lee Jeno membalasnya, seperti Huang Renjun akan menjauh pergi darinya. Ada sedikit kecupan pada pipi masing-masing yang sudah semerah mawar. Mengantarkan afeksi yang membuncah sudah tumpah ruah.

Malam itu adalah malam terakhir di bulan Januari, di mana udara masih begitu dingin. Di mana udara masih membuat kaku jemari. Hanya coat juga syal yang melindungi diri. Tidak ada penghalang apapun. Tidak dibatasi apapun. Namun alih-alih kedinginan, Huang Renjun tak merasakan itu semua. Lee Jeno bersamanya, Jeno di hadapannya, Jeno dipelukannya, membuatnya percaya walau sedingin apapun udara, bersama Lee Jeno hangat akan terus terasa bak dimandikan sinar mentari pukul delapan pagi tanpa henti.

31 Januari 2021 – Sereinata

#BLOOM23