Reunited 1
▪️ BxB (Mingyu x Wonwoo)
▪️ Fluff, highschool life
▪️ Alur maju mundur
Suara klakson yang ditekan untuk ke sekian kalinya itu menyapa rungu si wira yang baru saja keluar dari apartemennya. Ia mendapati temannya yang sedang tersenyum lebar hingga matanya menghilang.
“Tolong sabar, ya. Lu yang ngajak gue, Soonyoung.” Wonwoo segera memasuki kendaraan roda empat milik Soonyoung.
“Harusnya gue bisa tidur di kosan. Beresin kamar, baca novel, tidur. Lu ngeganggu hari Sabtu gue.” Soonyoung terkekeh.
“Elah, Nu. Lu kan gak pernah ikut reuni angkatan, sesekali datang lah.” Wonwoo memutar bola matanya malas.
“Gak ada yang menarik. Gitu-gitu aja.” Wonwoo mengambil charger ponselnya, dan menyambungkannya di mobil Soonyoung.
Masih pukul tujuh pagi dan keduanya pergi ke Bandung untuk acara reuni SMA mereka. Wonwoo sempat menolak ajakan Soonyoung karena menurutnya membosankan. Soonyoung sih enak karena dia tipe yang ceria dan berisik, hampir semua murid pun mengenali pria itu. Sementara Wonwoo adalah kebalikan dari Soonyoung. Ia tipe yang kalem, pendiam, dan ia juga tidak memiliki banyak teman dekat. Hanya Soonyoung. Serta satu orang lelaki yang pernah mengisi hati dan harinya.
“Jihoon datang?” Tanya Wonwoo.
“Datang dong.” Jawab Soonyoung dengan senyum lebarnya. “Udah lama gak ketemu bebeb.” Lanjutnya. Wonwoo kembali memutar bola matanya. Pasalnya, Soonyoung baru satu minggu belum bertemu Jihoon karena kekasihnya itu sedang dikirim ke luar kota oleh kantornya.
“Lu sama Jihoon udah berapa lama sih?”
“Tujuh tahun.” Wonwoo sedikit melebarkan netranya, karena ia tidak menyangka jika hubungan sahabatnya itu sudah sangat lama.
“Loh udah lama. Perasaan kelas sebelas baru kemaren, waktu lu nembak Jihoon pas lagi upacara.” Keduanya terkekeh mengingat masa lalu mereka.
“Nih ya pasti dah anak angkatan pada kaget lu datang.” Wonwoo menolehkan kepalanya sambil memakan makanan ringan yang dibawa Soonyoung.
“Emang kenapa?”
“Ya bayangin aja, berapa kali kita reuni dan lu gak pernah datang sekalipun, terus sekarang lu datang.”
“Eksistensi gue kayaknya gak sepenting itu.” Soonyoung melirik sekilas ke arah sahabatnya.
“Lu masa gak tau sih kalau lu seterkenal itu?” Wonwoo menggelengkan kepalanya.
“Ih, padahal gue dulu udah sering nanya-nanya ke lu tentang si Kak Seungcheol, Rowoon, Jaehyun, terus siapa lagi, ya?” Soonyoung mengingat-ngingat.
“Oh si Seungyoun juga tuh sampe berkali-kali ngasih coklat.” Wonwoo terkekeh mengingatnya.
“Ah banyaklah yang deketin lu, tapi nanya-nanya lewat gue dulu.” Wonwoo menepuk kepala Soonyoung.
“Thanks, bestie.” Kemudian ia tertawa.
“Dari banyaknya yang deketin, untungnya ada yang jadi walaupun satu doang.” Wonwoo terdiam. Tempo kunyahannya menjadi lambat.
“Dia.... Datang?” Tanya Wonwoo. Soonyoung tersenyum, meledek sahabatnya.
“Liat aja nanti.” Wonwoo mendengus.
“Kalau datang kenapa, kalau gak datang kenapa?”
“Gak apa-apa, gue nanya doang.”
“Mau balikan lu kalau si Mingyu datang?” Wonwoo melempar makanan ringan yang ia makan.
Mingyu. Kim Mingyu. Satu-satunya lelaki yang berhasil menaklukan dinginnya seorang Jeon Wonwoo. Sifat keduanya tidak jauh beda. Kalem, tenang, dan tidak banyak berbicara. Hanya saja, Mingyu lebih supel dibanding dengan Wonwoo, dan karena sifat supelnya itu, ia berhasil lolos menjadi ketua osis saat SMA dulu.
“Mikirin apa sih, ganteng? Gue mau nyebat dulu, lu gak akan turun?” Tidak terasa, keduanya sampai di rest area.
“Mau beli Starbucks deh. Mana uangnya.” Wonwoo mengadahkan tangannya di hadapan Soonyoung.
“Elah, masa sampe Starbucks juga gue yang bayarin?” Salah satu syarat yang diberikan Wonwoo kepada Soonyoung agar ia ikut acara reuni itu adalah, Soonyoung harus membayar semua yang Wonwoo beli dan Soonyoung menyanggupinya.
“Nih.” Soonyoung memberikan uang seratus ribu kepada Wonwoo.
“Tekor dah gue.” Wonwoo tidak peduli dan berjalan untuk membeli kopinya.
15 menit keduanya beristirahat, akhirnya mereka kembali menyusuri jalanan menuju ke Bandung.
▪️▪️▪️▪️▪️
“Wonwoo!” Netra Jihoon membelo saat melihat Wonwoo.
“Biasa aja kali, Ji, orang sering ketemu juga di apartemen Soonyoung.” Kekeh Wonwoo saat keduanya sampai di Skyline, Bandung, tempat mereka reuni.
“Disogok apa sama Unyong sampe lu mau ikut reuni?” Tanya Jihoon.
“Dipaksa nih, Ji. Marahin pacar lu.” Adu Wonwoo.
“Itu Starbucks gue yang bayarin, ya, nyet.” Jihoon langsung mencubit bibir Soonyoung dan membuat Wonwoo tertawa puas melihat sahabatnya itu merengek.
“Udah banyak, Ji, yang datang?” Tanya Wonwoo.
“Udaahh. Kayaknya kalian yang terakhir deh.” Wonwoo sedikit merasa gugup, karena baru kali ini ia bertemu lagi dengan teman-teman masa SMA-nya.
“Wonwoo? Tumben ikut?”
“Akhirnya ketemu Wonwoo lagi.”
“Eh, Wonwoo apa kabar?”
Sekiranya itulah ucapan-ucapan yang dilontarkan ketika para insan itu menangkap Wonwoo dari jarak pandangnya.
“Eh, Wonwoo, makin cakep aja. Udah ada gebetan?” Seungyoun. Salah satu orang yang giat mendekatinya dulu.
“Hahaha, gak ada. Baru aja kelar koas, Youn.” Balas Wonwoo.
“Lu bukannya nanyain kabar, malah nanyain gebetan.” Sindir Soonyoung.
“Namanya juga usaha.” Wonwoo terkekeh.
Acaranya sudah dimulai semenjak pukul 10 pagi. Wonwoo berkeliling cafè tersebut sambil menyicip makanan yang ada. Enggan bergabung dengan kerumunan manusia lainnya. Merasa bosan, Wonwoo hanya duduk di balkon sambil membaca novelnya dengan earphone yang terpasang.
Sampai pukul 11 pun, Wonwoo tidak menyadari jika orang-orang disana semakin ramai dengan kedatangan mantan ketua osis mereka.
Bosan, Wonwoo melepas earphone kemudian melihat keadaan di bawah sana. Wonwoo mendapati Soonyoung yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Ia menghela nafas kemudian melirik cemilan yang ada disana. Kala ia berjalan untuk menghampiri cemilannya, ada bisik-bisik disana sambil menyebut namanya.
“Hey...” Suara bariton itu menyapa rungu si pemuda berkacamata. Saat ia memalingkan wajahnya, ada lelaki jangkung dengan senyum menawannya yang membuat Wonwoo sulit melupakannya.
Hanya butuh satu kata sapaan untuk Wonwoo dan seketika membuat semestanya terasa berhenti berotasi untuk sementara. Riuh dari sekitar seketika mereda. Hanya ada suara jantung yang dengan cepatnya berdegub.
“Oh... Hai.” Balas Wonwoo dengan senyum tipisnya.
“Akhirnya kamu datang juga.” Senyuman lelaki jangkung itu tidak lepas dari bibirnya.
“Ya... Dipaksa Soonyoung.” Wonwoo merasa canggung.
“Sampe dari Jakarta jam berapa?” Mingyu mengambil minuman yang ada di dekat mereka.
“Jam 10 tadi.” Mingyu menganggukan kepalanya.
“Kamu? Baru sampe?” Wonwoo ikut mengambil satu gelas minuman. Tenggorokannya terasa tercekat melihat sosok dihadapannya.
“Iya, tadi pagi ada urusan sebentar.” Wonwoo menganggukan kepalanya kemudian menyesap minumannya.
“Couple of the year jaman sekolah dulu akhirnya ketemu lagi.” Suara sorakan kemudian terdengar lagi, malah semakin meriah ketika Mingyu dan Wonwoo tersipu malu. Wonwoo menatap Jun galak, namun hanya dibalas kekehan.
“Tuh mantan ketua osis tiap tahun nanyain lu mulu, Nu.” Wonwoo melirik ke arah Mingyu, sementara yang dimaksud hanya menggaruk tengkuknya.
“Makanya ikut dong reuni, kasian mantannya kangen.” Celetuk Seokmin.
“Kalian makan aja. Kasian Wonwoo-nya jadi malu.” Ucap Mingyu. Tetapi teman-temannya itu masih saja menggoda kedua lelaki yang pernah berhubungan itu.
“Kamu dari tadi dimana? Kok aku gak liat?”
“Aku di atas, baca novel. Abisnya berisik.” Mingyu terkekeh. Lelaki itu benar-benar masih sama seperti Wonwoo-nya dulu. Tidak menyukai keramaian.
“Mau ke atas lagi? Aku temenin.” Wonwoo menatap Mingyu.
“Kamu gak kumpul sama temen kamu?” Tanya Wonwoo.
“Gak apa, tiap hari juga chat kok kalau sama mereka.”
Setelah itu, keduanya naik ke lantai atas. Tidak seramai lantai bawah. Mingyu dan Wonwoo duduk di balkon, menikmati lanskap yang terbentang.
“How's life?” Tanya Mingyu.
“So much busier, but still good tho.” Jawab Wonwoo.
“Kamu?” Giliran Wonwoo yang bertanya.
“Sama aja kayak kamu.” Wonwoo menatap Mingyu dengan alisnya yang naik.
“Elaborate sama aja kayak aku? Kayaknya bapak mantan ketua osis ini much busier than me?” Mingyu tersenyum.
“Tau darimana? Soonyoung?” Seketika Wonwoo terdiam. Rona kemerahan menghias wajahnya.
“Hahaha. Kamu masih gemes.” Wonwoo sedikit mengerucutkan bibirnya kemudian memalingkan wajahnya.
“Kamu kangen masa SMA gak sih?” Tanya Mingyu mengalihkan pembicaraan. Ia bisa menggila melihat mantan kekasihnya dengan wajahnya yang memerah, terlalu menggemaskan.
“Hmm.... Kangen sih, gak banyak beban kayak sekarang, haha.”
“Padahal kamu dulu pengen cepet-cepet kerja biar bisa nonton konser Taylor Swift pake uang sendiri.” Wonwoo sedikit terkejut karena Mingyu masih mengingat omongannya.
“Well... I still remember every little things of you.” Entah sudah keberapa kalinya Mingyu membuat jantung Wonwoo berhenti untuk sepersekian detik, kemudian membuatnya berdebar lebih cepat.
“Thanks.” Balas Wonwoo.
Kemudian Mingyu tertawa sendiri disaat keduanya tidak ada yang berbicara.
“Kenapa?” Tanya Wonwoo.
“Aku jadi inget, dulu pdkt sama kamu tuh kerjaannya cuma ke perpus sekolah, dispusipda, itu-itu aja.” Wonwoo tertawa mengingatnya.
“Hahaha, ya maaf. Siapa suruh deketin anak kutu buku.” Balas Wonwoo.
Keduanya tertawa bersama mengingat kenangan mereka semasa SMA dulu. Menceritakan hal-hal yang keduanya alami bersama. Pokoknya melakukan kilas balik kala keduanya remaja.
“Won...”
“Hmm...” Jawab Wonwoo pada Soonyoung yang sedang bermain ke rumahnya.
“Pemilihan ketos nanti, lu mau pilih siapa?”
“Yang orasinya bagus.” Balas Wonwoo masih fokus dengan novelnya.
“Mingyu gimana?”
“Kalau dia bagus, ya gue pilih dia.”
“Kalau dijadiin pacar gimana?” Wonwoo menghentikan aktivitas membacanya. Kemudian menatap sahabatnya itu.
“Lu nyerah dari Jihoon terus mau deketin Mingyu?” Soonyoung melempar bantal kepada wajah Wonwoo.
“Gue kadang heran, bisa-bisanya orang kayak lu begini kepilih olimpiade.”
“Ih, gak ada urusannya. Cepet cerita. Lu mau deketin Mingyu?”
“Begini nih kalau hidupnya cuma ada buku aja, gak merhatiin orang sekitar.”
“Apaan sih, gak jelas.”
“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo tersedak salivanya sendiri kemudian mengerutkan keningnya.
“Ngaco.” Balas Wonwoo.
“Seriusan, anjir. Tatap mata gue, apakah ada kebohongan?” Soonyoung melebarkan kedua matanya dan hanya dibalas toyoran pelan di keningnya.
“Udah ah, gue mau tidur.” Wonwoo menutup novelnya.
“Ih, jawab gue dulu.”
“Jawab apa sih?”
“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo terbangun dari posisi tidurnya.
“Nih ya, mana mungkin sih sekelas Mingyu suka sama gue? Dia dikelilingin banyak orang ganteng dan cantik yang cocok sama dia. Gak usah ngaco.”
“Lah emang kenapa? Emang sih lu jelek, tapi mungkin Mingyu emang suka yang jelek kayak lu karena bosen ada di antara orang good looking.” Wonwoo melempar bantal kepada Soonyoung.
“Balik balik. Males dengerin lu.” Wonwoo membelakangi Soonyoung.
“Yeee dibilangin. Pokoknya gue udah bilang kalau Mingyu demen sama lu. Dah ah, mau balik.” Soonyoung segera keluar dari kamar Wonwoo dan pulang ke rumahnya yang berada di samping rumah Wonwoo.
Sesaat setelah Soonyoung keluar, Wonwoo melamun, memikirkan omongan Soonyoung tadi. Memang sudah ada beberapa lelaki populer dan tampan yang mendekati Wonwoo, dan semuanya tidak membuat lelaki itu tertarik sedikitpun. Namun kali ini Kim Mingyu, si kandidat calon ketua osis. Otak yang cerdas, kepribadian yang menyenangkan, dan jangan lupakan rupanya yang tampan.
Wonwoo terkekeh, kehidupan SMA-nya sudah seperti remaja yang menjadi bintang utama dalam novel teenlit. Disukai lelaki populer, dari mulai seorang bad boy seperti Seungyoun, ketua basket seperti Rowoon, kapten futsal seperti Jaehyun, mantan ketua MPK seperti Seungcheol, dan sekarang calon ketua osis. Kim Mingyu.
Wonwoo mengambil ponselnya kemudian mencari username sang calon ketua osis. Ada 20 postingan pada akun dengan username mingyukim itu. Wonwoo melihatnya satu persatu.
“Great photographer.” Puji Wonwoo ketika melihat postingan Mingyu. Kemudian ada satu buah foto yang menarik perhatiannya.
“Ini kan gue?” Gumamnya kala melihat fotonya dari samping ketika acara ulang tahun sekolah di tengah kerumunan dengan smoke bomb berwarna-warni di sekitarnya sambil tersenyum lebar dan caption, 'life is full of shade of color, let's enjoy all the moment, because you only live once.'
Ada beberapa komentar disana, termasuk Soonyoung.
Keesokannya, Wonwoo bertanya kepada Soonyoung ketika mereka berangkat sekolah.
“Nyong, kok lu gak kasih tau kalau ada foto gue di instagramnya Mingyu?” Soonyoung mencubit pipi Wonwoo.
“Gue waktu itu udah bilang, ya, anjir. Tapi lu gak peduli soalnya lagi baca novel.”
“Emang iya?” Tanya Wonwoo.
“Tau ah.” Soonyoung mendecak sebal.
“Lu ngestalk akun Mingyu?” Kemudian kembali bertanya penuh selidik.
“Hah? Iya.” Wonwoo ingin mengelak, tapi percuma, karena sudah jelas jika ia menanyakan perihal postingan Mingyu.
“Cieee.... Demen juga?”
“Nggak! Gue kemaren kepo doang. Soalnya gue ngerasa gak kenal dia.”
“Siapa sih yang lu kenal selain gue, Jihoon, sama temen sekelas?” Wonwoo hanya terkekeh.
“Semangatin dong nanti Mingyu-nya sebelum orasi ketua osis.”
“Dih ngapain? Sksd banget.” Bales Wonwoo.
“Nggak elah. Pasti seneng bocahnya.”
“Tiba-tiba gitu ngasih semangat?”
“Ya kan wajar ngasih semangat, gue aja ngasih semangat.”
“Lu kan temennya, Nyong. Wajarlah nyemangatin.”
“Nih ya, wajar kali nyemangatin. Gue nih bukan temennya satpam sekolah, tapi gue suka semangatin tuh.” Wonwoo cemberut.
“Semangatin doang mah gak apa-apa kali, mau sambil ngasih makanan juga gak apa-apa, pahala.” Wonwoo terdiam mendengarkan kata-kata Soonyoung.
Sesampainya di sekolah, lapangan dan panggung sekolah sudah didekor untuk persiapan orasi calon ketua osis nanti. Ada poster tiga kandidat juga disana, termasuk Mingyu dan pasangannya Chan.
Wonwoo pergi ke kantin, untuk membeli susu kotak, kebiasaannya setiap pagi. Saat ia akan kembali, ia tidak sengaja menabrak seseorang karena ia lupa memakai kacamatanya.
“Eh, maaf maaf. Gue gak liat. Sakit gak?” Wonwoo mendongak, tidak dapat melihat jelas siapa yang ditabraknya.
“Eh iya, gak apa-apa. Gak sakit kok.” Jawab orang tersebut. Wonwoo mencoba menyipitkan netranya, agar bisa fokus. Orang tersebut terkekeh.
“Gue Mingyu, haha.” Wonwoo sedikit terkejut saat mengetahui jika orang yang ditabraknya adalah orang yang katanya Soonyoung menyukai dirinya.
“Oh, Mingyu. Maaf, ya, gue gak liat tadi. Maaf banget.” Lagi-lagi Mingyu terkekeh.
“Santai aja, Wonwoo. Kenapa gak bawa kacamata?”
“Ketinggalan di kelas.”
“Oh...”
“Sebentar.” Wonwoo kembali membeli satu kotak susu coklat dan memberikannya kepada Mingyu yang masih berdiri di tempatnya.
“Ini.” Wonwoo menyodorkan susu kotaknya.
“Sebagai tanda permintaan maaf, terus....” Mingyu terdiam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Buat orasi nanti, break a leg. Bye.” Wonwoo tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Mingyu yang mematung di tempatnya. Diam-diam ada senyum yang terpatri pada wajah lelaki jangkung itu.
“Masa sih aku semangatin aja deg-degan?” Tanya Wonwoo sambil terkekeh. Pria jangkung yang ada di hadapannya mengangguk.
“Beneran tau, Nu. Aku deg-degan waktu kamu ucapin semangat pas mau orasi waktu itu.” Wonwoo tertawa.
“Itu alasan kamu menggebu-gebu banget waktu lagi orasi?” Mingyu tersenyum lebar.
“Iya. Terus aku liat kamu sebelahan sama Soonyoung Jihoon, sambil dengerin aku orasi. Aku waktu itu gak liat mata kamu, soalnya takut yang ada di kepala aku buyar semua.”
“Cheesy banget mantan ketua osis ini.”
“Ih seriusan tau.”
“Kenapa buyar sih? Aku kan diem aja?”
“Ya namanya juga abg kasmaran, segalanya diromantisasi.” Ucap Mingyu.
“Itu pertama kalinya kita ngobrol gak sih? Waktu aku gak sengaja nabrak kamu?” Tanya Wonwoo, dan dibalas anggukan oleh Mingyu.
“Dari situ aku berani deketin kamu.”
Wonwoo sedikit tersipu mendengar ucapan Mingyu. Terulang di kepalanya masa-masa pendekatannya dengan Mingyu.
“Nu, pdkt sama Mingyu, ya?” Tanya Jun sambil duduk di sebelah kursi Wonwoo sementara teman sebangkunya, Soonyoung, pergi ke kantin.
“Hah? Nggak. Ngaco ah.” Balas Wonwoo.
“Masa sih?” Jun tersenyum menggoda lelaki yang sedang sibuk dengan novelnya itu.
“Beneran. Ada juga lu kan yang lagi pdkt sama anak IPS 2?” Giliran Jun yang salah tingkah.
“Itu mah udah rahasia umum sih. Gak usah ngalihin pembicaraan ah.”
“Ternyata seleranya ketua osis.” Wonwoo memelototi Jun karena omongannya yang terlalu keras, takut menjadi gosip.
“Tuh kan bener.”
“Pergi sana, ganggu.” Ketus Wonwoo namun malah dibalas tawa oleh Jun.
“Berarti bener.” Wonwoo menatap Jun sebal.
“Soalnya dulu kalau gue godain lagi deket sama Seungyoun, Jaehyun, Rowoon, atau Bang Seungcheol, lu biasa aja responnya.” Wonwoo tidak sadar jika tingkah lakunya menimbulkan kecurigaan.
“Minggir minggir. Ngapain lu duduk di bangku gue?” Usir Soonyoung dengan jajanan ditangannya.
“Temen lu nih beneran pdkt sama ketua osis?” Tanya Jun.
“Beneran lah. Gak liat lu si Mingyu datang mulu kesini?”
“Apaan sih? Kapan coba kesininya?” Balas Wonwoo ketus.
“Oh, mau disamperin nih? Nanti gue bilangin.” Soonyoung tersenyum lebar.
“Apaan sih, Nyong? Gak usah ngaco!” Wonwoo tidak sadar jika wajahnya merona. Ketika Jun dan Soonyoung sedang asik menggoda Wonwoo, tiba-tiba Doyoung memanggilnya.
“Won, dicariin tuh.” Wonwoo mengerutkan dahinya.
“Siapa?” Tanya Wonwoo.
“Ketua osis.” Jawaban Doyoung itu membuat Jun dan Soonyoung semakin menggodanya. Wonwoo segera pergi untuk menemui Mingyu.
“Ada apa?” Tanya Wonwoo. Mingyu terlihat sedikit bingung.
“Loh, katanya Jun, lu pengen gue samperin?” Wajah Wonwoo merah padam. Ia berjanji akan mencubit Jun dengan keras.
“Nggak kok. Itu Jun aja iseng. Maaf, ya.” Wonwoo bingung harus mengatakan apalagi.
“Ya udah, nanggung udah disini.” Wonwoo menatap Mingyu.
“Ngobrol yuk?” Ajak Mingyu. Wonwoo tidak mengedipkan matanya.
“Eh sibuk gak? Kalau sibuk, gue balik lagi ke kelas.”
“Nggak, santai aja.” Padahal ada degup jantung milik Wonwoo yang kontradiksi dengan ucapannya.
“Disini aja?” Tanya Mingyu.
“Emang mau dimana?” Mingyu menggaruk tengkuknya.
“Disini aja deh, haha.” Ujar Mingyu sambil tertawa canggung.
“Oh iya, congrats. Wonwoo menyodorkan tangannya.
“Ah... Makasih, ya.” Mingyu membalas jabatan tangan Wonwoo. “Itu juga berkat lu.” Alis Wonwoo terangkat, bingung.
“Kenapa gara-gara gue?” Tanya Wonwoo.
“Itu... Susu... Gue jadi semangat.” Wonwoo terkekeh.
“Makasih sama susunya berarti.” Balas Wonwoo.
“Tapikan lu yang kasih.”
“Emang kenapa kalau gue yang kasih?” Mingyu sepertinya hobi menggaruk tengkuknya ketika berada di dekat Wonwoo.
“Karena lu yang kasih, jadinya semangat.” Balas Mingyu pelan, namun masih bisa tertangkap rungunya.
Kemudian keduanya terdiam, membiarkan suara riuh mengisi kekosongan.
“Lu suka baca novel Tere Liye juga?” Bersyukur ada satu buah novel yang dipegang Wonwoo dan bisa menjadi bahan obrolan mereka.
“Oh... Iya. Lu suka juga?” Mingyu menganggukan kepalanya.
“Gue sebenernya baru baca sih yang Bumi ini, ternyata seru.” Ucap Wonwoo.
“Gue punya yang Bulan sama Matahari, mau pinjem?”
“Eh, gak apa-apa?”
“Gak apa-apa dong, makanya gue tawarin. Besok gue bawa.”
“Makasih, ya.” Wonwoo tersenyum senang dan sukses membuat Mingyu terhipnotis, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Wonwoo.
Tidak lama, bel masuk pun memenuhi seluruh penjuru sekolah, ada suara helaan nafas kecewa dari Mingyu. Wonwoo yang menyadarinya terkekeh.
“Gue masuk dulu, ya. Dadah.”
“Eh... Won.” Wonwoo membalikkan badannya lagi.
“Nanti... Pulang bareng mau?” Wonwoo mengedipkan matanya berkali-kali.
“Pulang bareng, ya?” Wonwoo terlihat berpikir sebentar.
“Gak mau, ya? Gak apa-apa kok.”
“Bukan gitu. Nanti pulang, gue ada latihan soal sama anak olim lain, takutnya kesorean.”
“Gak apa-apa kok, gue juga ada kumpul osis dulu.”
“Beneran gak apa-apa?”
“Beneran!” Jawaban Mingyu yang bersemangat itu membuat kekehan keluar dari bibir Wonwoo.
“Oke, nanti gue kabarin kalau udah selesai, ya.” Ucap Wonwoo.
“Oke.”
“See you.” Mingyu tersenyum lebar.
“See you.” Mingyu kembali ke kelasnya dengan wajah sumringah, membuat orang bertanya-tanya. Memang ketua osis itu murah senyum, namun ada yang beda dari senyumnya kali ini.
“Sumpah ya, wajah kamu waktu itu cerah banget sampe pulang. Orang udah lusuh, kamu masih keliatan seger.” Mingyu dan Wonwoo terkekeh mengingat masa remajanya.
“Ya kan seneng gitu pulang bareng gebetan.”
“Dari situ jadi banyak gosip.” Kata Wonwoo.
“Gara-gara Bu Ani sih itu. Soalnya pas balik dari kelas kamu tuh, ada Bu Ani kan, dia nanya kenapa senyam senyum abis ngobrol sama Wonwoo. Eh, digosipin deh.” Kekeh Mingyu.
“Ih, aku jadi diledekin di kelas tau waktu itu.”
“Gak apa-apa, aku seneng ada gosip itu. Jadi gak ada yang deketin kamu.”
“Emang gak ada yang deketin aku sih.”
“Dih... Padahal banyak banget tuh yang deketin. Aku sampe frustasi waktu itu.”
“Lebay deh. Kenapa frustasi coba?”
“Ya iya, aku sukanya dari kelas 10, tapi gak berani deketin. Tapi Kak Seungcheol sama Seungyoun tuh berani banget. Eh nambah lagi Rowoon sama Jaehyun. Mana semuanya anak terkenal. Ciut lah aku.” Wonwoo tertawa cukup kencang hingga hidungnya mengerut. Sebuah pemandangan yang Mingyu rindukan.
“Padahal kamu juga banyak yang suka tuh. Kayaknya dari setiap kelas ada deh yang suka kamu, Gu.” Mingyu dan Wonwoo terdiam.
'Gu.'
Wonwoo dulu memanggil nama Mingyu dengan sebutan 'Migu' ketika keduanya pdkt hingga berpacaran dan tidak ada yang mengetahui panggilan itu selain mereka berdua.
Wonwoo terlihat salah tingkah. Ia malu untuk menatap Mingyu yang kini sedang tersenyum lebar karena mendengar pet name-nya itu.
“Gu...” Panggil Wonwoo ketika keduanya sedang berada di sebuah cafè, berniat untuk belajar sekaligus photobox.
“Gu?” Tanya Mingyu bingung.
“Migu.” Cicit Wonwoo pelan, namun masih bisa terdengar oleh Mingyu.
“Apa apa?” Mingyu mendekatkan dirinya kepada Wonwoo, menggoda si pria berkacamata.
“Migu.” Mingyu menatap Wonwoo dengan senyum lebarnya.
“Gak pegel tuh senyum terus?” Mingyu menggelengkan kepalanya.
“Panggil lagi dong.”
“Ck. Gak mau.” Wajah Wonwoo sedikit merona.
“Gemes banget sih, Nu.” Ada debaran yang tidak normal dalam dada Wonwoo setiap Mingyu memujinya.
“Gue mau beli kopinya lagi.” Ucap Wonwoo. “Lu mau titip?”
“Lu tuh jangan keseringan ngopi, nanti maag loh, kan belum makan juga.” Namun Wonwoo tidak mendengarkan.
“Mau gak? Kalau gak, gue pesen punya gue aja.” Wonwoo membetulkan seragamnya yang sudah kusut.
“Ya udah boleh, sama kayak yang tadi.” Ucap Mingyu.
“Oke.” Wonwoo beranjak dari kursinya kemudian pergi untuk memesan lagi kopi yang sama untuk keduanya.
“Istirahat dulu, jangan terlalu diforsir. Tuh mata lu keliatan udah capek.” Wonwoo membuka kacamatanya kemudian menguceknya pelan. Bibirnya sedikit mengerucut ketika ia mengucek matanya, membuat lelaki yang ada di hadapannya berdebar karena gemas.
“Abis ini makan, ya? Gue bawa ke tempat bagus, biar gak butek.” Wonwoo menopang dagunya dengan tangan kanan, ia penasaran dengan ketua osisnya itu.
“Lu suka jalan-jalan, ya, Gu?” Mingyu masih belum terbiasa dengan panggilan barunya karena membuatnya ingin mengecup pipi Wonwoo.
“Bener, haha. Suka explore sih gue, doyan kelayapan.”
“Semua cafè di Bandung udah lu datangin?”
“Belum, Nu. Masih banyak banget yang belum gue datangin, soalnya harus ngumpulin uang dulu.”
'Dia anak mandiri.' Satu hal yang Wonwoo dapat tentang Mingyu hari ini.
“Suka fotografi juga?” Tanya Wonwoo.
“Suka banget.”
“Dari kapan sukanya?” Mingyu sedikit berdehem, mengingat-ngingat kapan ia mulai menyukai dunia fotografi.
“Kayaknya SMP deh. Waktu itu gue ditugasin jadi seksi dokumentasi pas mopd, terus banyak yang muji hasil foto gue bagus. Terus kan fotonya dimasukin ke buku mopd, ternyata ya lumayan lah bagus buat tingkat newbie.” Jawab Mingyu dengan sedikit menggebu.
Satu hal lagi yang ia tau dari ketua osisnya itu.
'Dia akan menggebu-gebu kalau nyeritain kesukaannya.'
“Terus sampe sekarang jadi suka?” Mingyu menganggukan kepalanya.
“Biar gue tebak hobi lu.” Wonwoo tersenyum sambil menunggu Mingyu berbicara.
“Belajar, ya?” Wonwoo mendengus.
“Kalau belajar kewajiban.” Mingyu terkekeh.
“Becanda becanda. Baca novel kan?” Wonwoo tersenyum sambil mengangguk.
“Seratus buat bapak ketua osis.” Keduanya tertawa bersama.
“Gue ada hobi lain, mau tau gak?” Tanya Mingyu dan membuat Wonwoo penasaran.
“Hobi gue yang lain tuh, ehm...” Mingyu menggantung kalimatnya, berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
“Stare at someone who loves to read his novel at the library with the chocolate milk.” Wonwoo terdiam mendengar ucapan Mingyu.
“I like to stare at how he chuckles or smiles when he read the metro pop-type or comedy novel, or when his eyes are a little bit teary because of the sad novel.“
“And I frequently loved to see when he fixes his glasses or rubbed his eyes because tired after reading the novel.“
Wonwoo speechless ketika mendengar segala statement dari Mingyu. Ia tahu, itu dirinya. Dirinya yang sedang dibicarakan Mingyu. Wajahnya sekarang merah padam karena pengakuan dari ketua osisnya.
“Kamu masih inget aja aku pernah ngomong gitu.” Sepertinya kilas balik mereka berdua dipenuhi dengan kekehan dan tawa geli ketika mengingatnya.
“Setelah dipikir-pikir, kamu kayak stalker.” Ujar Wonwoo.
“Permisi, perpus sekolah kan bukan punya kamu aja, ganteng.” Balas Mingyu.
“Aku juga kan sering ke perpus. Terus sering liat kamu baca novel disana sambil minum ultramilk coklat kesukaan kamu itu.”
“Hahaha. Lagian kamu liat aja.”
“How can I skip it when there's a beautiful creature right in front of my sight?” Untuk kesekian kalinya Wonwoo merona.
“Aku juga tau tuh waktu acara pensi, kamu malah pergi ke perpus sambil abisin dua series Omen-nya Lexie Xu. Gak takut ada setan beneran apa?”
“Gak lah. Lagian itu genre thriller bukan horor!” Koreksi Wonwoo.
“Oke, maaf. Aku kan gak tau.”
“Penakut sih.” Cibir Wonwoo.
“Bukan penakut sih, was-was aja.” Wonwoo menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Mingyu.
“Iya deh, takut.” Deretan gigi Wonwoo terlihat ketika ia tersenyum lebar.
“Oh kamu juga pernah tuh waktu yang lain sibuk nonton basket, kamu malah abisin novel four season-nya Ilana Tan.”
“Tuh kan, kamu stalker. Bisa-bisanya tau semua buku yang aku baca.”
“Waktu itu kan aku nanya Soonyoung, ya dia jawab jujur.”
“Terus besoknya kita nonton basket, soalnya aku udah gak ada bacaan lagi.” Ucap Wonwoo.
“Terus aku cemburu.” Kedua insan yang sedang bernostalgia itu tertawa kencang mengingat hal tersebut.
“Nonton hayuk, ada Mingyu juga tuh.” Ajak Soonyoung. Wonwoo mendengus sebal. Tapi dia juga tidak tau harus apa di kelas sendirian. Sudah tidak ada novel yang bisa ia baca.
“Ayok, Won, ikut yuk? Nanti sebelahan sama gue, soalnya Soonyoung rusuh banget kalau nonton.” Ujar lelaki mungil yang diketahui sebagai kekasih Soonyoung. Jihoon, baru tiga hari yang lalu keduanya berpacaran.
“Ya udah.” Soonyoung dan juga Jihoon tersenyum senang. Akhirnya mereka turun ke lapangan, melihat jika lapangan sudah dipenuhi dengan murid sekolahnya dan sekolah tetangga.
Dari banyaknya manusia disana, netra Wonwoo langsung terfokus pada laki-laki tinggi yang sedang tersenyum kepadanya.
“Mingyu tuh wajahnya langsung cerah kalau udah liat lu.” Bisik Jihoon dan membuat Wonwoo tersenyum senang.
Wonwoo segera duduk di sebelah Mingyu, kemudian ada Jihoon, kemudian Soonyoung. Pertandingan dimulai, suara murid-murid memenuhi lapangan indoor itu. Wonwoo tidak mengerti aturan permainan basket. Dia hanya ikut tertawa melihat teman-temannya yang bersemangat.
Suara penonton semakin heboh saat kapten dari tim basket sekolahnya terjatuh. Rowoon, kapten tim basket, segera mengambil bolanya untuk melakukan free throw, sebelum melemparnya, Rowoon sempat melirik ke arah Wonwoo dan dibalas oleh senyuman dengan tangan yang mengepal, memberikan semangat kepada Rowoon. Mingyu yang berada di samping Wonwoo merasa sedikit panas melihatnya. Apalagi ketika bolanya masuk, dan Rowoon mendekat ke pinggir lapangan kemudian melakukan high five dengan Wonwoo. Kemudian ada Wonwoo yang akhirnya ikut berteriak menyemangati Rowoon.
Seusai pertandingan dengan kemenangan ditangan sekolah mereka, Rowoon kembali menghampiri Wonwoo hanya untuk mengucapkan terimakasih. Wonwoo tersenyum lalu memberi botol air minumnya yang belum dibuka.
“Semangat finalnya, ya!” Rowoon menepuk kepala Wonwoo pelan.
“Nonton dong nanti waktu final.” Pinta Rowoon.
“Pasti!” Bales Wonwoo sambil menganggukan kepalanya semangat.
“Hahaha. Ya udah gue pamit dulu, ya. Takut bau. See you.” Wonwoo melambaikan tangannya kepada Rowoon.
Soonyoung dan Jihoon yang sedari tadi hanya menonton saling melirik satu sama lain kemudian terkekeh pelan ketika melihat ekspresi Mingyu yang sarat kecemburuan.
“Panas, brou.” Soonyoung menyindir Mingyu sambil mengipasi dirinya sendiri.
“Panas gak, beb?” Kali ini Soonyoung mengipasi kekasihnya yang tertawa.
“Iya deh panas gara-gara teriak-teriak.” Balas Wonwoo.
Memang tidak peka.
“Padahal awalnya gak mau nonton tuh, tapi tadi paling kenceng nyemangatin KAPTENNYA.” Soonyoung sengaja menekan kata 'kaptennya dan membuat Mingyu menoleh sebal.
“Eh, gue duluan, ya. Ada kumpul osis dulu.” Mingyu pamit dengan senyumnya.
“Oke, Gyu.” Balas Wonwoo dan lagi-lagi Soonyoung dan Jihoon tertawa, membuat Wonwoo bingung.
“Sumpah, ya, kamu tuh gak peka banget.” Ucap Mingyu gemas.
“Hahaha. Udah sering denger sih.”
“Emang kamu gak liat apa wajah aku udah suram banget?” Wonwoo menggeleng sambil tertawa, Mingyu mencubit hidung bangir Wonwoo.
“Iya sih, fokusnya kan sama kapten basketnya.” Sindiran Mingyu membuat Wonwoo kehabisan nafasnya karena terus tertawa.
“Aku juga gak ngerti kenapa aku gak peka. Soonyoung aja sampe sebel sama aku.”
“Aku juga sebel sih.” Wonwoo dengan refleksnya menepuk pipi Mingyu pelan.
“Mana aku mau nembak gak jadi terus.” Lanjut Mingyu.
“Hahaha, maaf dong, kan akunya sibuk latihan olimpiade.”
“Sabar banget aku dulu.” Mingyu menghela nafasnya jika ia mengenang bagaimana susahnya ia menyatakan perasaan kepada Wonwoo.
“Dispen lagi?” Tanya Soonyoung kepada teman sebangkunya. Wonwoo mengangguk.
“Jangan ketiduran lu, soalnya gak ada gue yang bangunin lu kalau Bu Neneng udah ngeliatin.” Wonwoo sudah siap untuk pergi ke ruang perpustakaan sekolahnya untuk persiapan olimpiade biologi yang akan digelar sekitar satu bulan lagi.
Lelaki berkacamata itu pasti akan sulit dihubungi ketika menjelang olimpiade, karena Wonwoo akan benar-benar fokus dan tidak mau ada yang mendistraksinya. Termasuk Mingyu.
Semenjak satu minggu yang lalu Wonwoo hanya membalas paling banyak lima bubble saat Mingyu mengirimkannya pesan. Jujur saja Mingyu sedikit khawatir, takut Wonwoo sakit karena sering kali Wonwoo begadang.
“Nu...” Mingyu mencegat Wonwoo sebelum laki-laki itu kembali ke perpustakaan. Kantung matanya semakin menggelap. Pipinya semakin tirus. Mingyu juga bisa lihat jika kacamatanya sedikit lebih tebal.
“Nih. Lu tuh makin kurus tau gak?” Mingyu memberi susu ultramilk coklat dan tupperware yang berisi roti.
“Eh, ini buat gue? Serius?” Mingyu menghelas nafasnya, kemudian senyum.
“Iya, Wonu. Makan, ya. Awas aja sampe gak dimakan.”
“Terus tupperware-nya gimana dong balikinnya?”
“Nanti aja waktu pulang.”
“Tapi...”
“Iya, tau. Pulangnya lebih lambat, nanti gue tungguin.” Wonwoo speechless. Entah mengapa jantungnya berdesir karena perlakuan Mingyu padanya.
“Ya udah gih ke perpus. Udah mau bel.” Ucap Mingyu.
“Makasih, ya.” Wonwoo tersenyum dan menularkannya pada Mingyu.
“Semangat, ya!” Wajah Wonwoo merona saat Mingyu mengelus rambutnya pelan. Lelaki berkacamata itu mengangguk kemudian segera berjalan menuju perpustakaan.
Pulangnya, Mingyu sudah menunggu Wonwoo sambil bermain basket di lapangan sekolah. Hingga semua orang pergi, Mingyu masih setia menunggu lelaki yang masih berkutat dengan soal-soal biologi di perpus sana. Mingyu sudah bertekad untuk menyatakan perasaannya kepada Wonwoo.
Tepat pukul setengah enam sore, anak-anak yang akan mengikuti olimpiade keluar dari perpustakaan. Netra Mingyu menelisik, mencari Wonwoo. Kedua sudut bibirnya terangkat kala melihat Wonwoo yang membawa banyak buku ditangannya.
“Sini.” Mingyu mengambil alih buku-buku tebal itu.
“Eh... Itu berat.” Ujar Wonwoo.
“Gue kuat kok.” Wonwoo mendengus karena menganggap Mingyu lucu.
“Lewat ruang osis, ya. Tas gue masih disana.” Wonwoo hanya menurut dan mengikuti Mingyu.
Setelah Mingyu mengambil tasnya, keduanya segera menuju parkiran, Wonwoo kembali membawa buku-bukunya karena Mingyu harus memutar motornya terlebih dahulu.
“Yuk.” Ucap Mingyu setelah ia siap. Wonwoo memakai helm-nya dan segera menaiki motor Mingyu.
Lelaki yang sedang menyetir merasa gugup, tidak sabar ingin mengutarakan perasaannya. Sepanjang jalan, ia menarik nafasnya dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan, begitu terus selama lima kali.
Sesampainya di rumah Wonwoo, Mingyu mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya.
“Makasih, ya, buat susu, roti, sama udah dianterin pulang. Ini tupperware-nya.” Wonwoo mengembalikan tupperware berwarna biru itu kepada Mingyu.
“Nu...” Sebelum Wonwoo sempat berpamitan, Mingyu memanggilnya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenapa?” Tanya Wonwoo.
“Ehm... Gue mau ngomong.” Wonwoo diam, menunggu Mingyu.
Namun, Mingyu mengurungkan niatnya ketika melihat wajah lelah Wonwoo. Foxy eyes yang biasanya penuh binar itu kini meredup. Meskipun Wonwoo sudah mencoba agar terlihat penasaran, tetapi Mingyu tau jika lelaki itu sebenarnya hanya ingin pulang, dan beristirahat.
“Semangat olimpiadenya, ya. Gue yakin lu pasti bisa. Makan yang bener, minum air putih yang banyak, jangan ngopi terus. Break a leg.” Wonwoo mengumpulkan sisa energinya untuk tersenyum membalas ucapan Mingyu.
“Thanks. Mending lu pulang, Gu. Udah gelap.” Ujar Wonwoo.
“Oke. Gue duluan, ya.”
“Hati-hati! Gue masuk dulu!” Mingyu menganggukan kepalanya. Matanya terus menatap punggung Wonwoo sampai lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Hembusan nafas keluar dari bibirnya. Gagal sudah rencananya.
Selama seminggu ini Mingyu terus memberikan susu coklat dan juga roti untuk Wonwoo, dan ia akan menunggu pujaan hatinya itu sampai menjelang maghrib.
Olimpiade biologi sudah semakin dekat, tinggal tiga hari. Wonwoo semakin ketat belajar, bahkan ia tidak pernah memegang ponselnya kecuali untuk mencari sumber bacaan terkait olimpiadenya. Pesan dari Mingyu pun tidak ada yang dibalas. Namun Mingyu bisa mengerti, dan ia tetap mengirimkan pesan kepada Wonwoo untuk sekedar mengingatkan makan dan memberikan semangat.
“Gu...” Seperti biasa, Wonwoo keluar perpustakaan pada pukul setengah enam sore. Mingyu yang sedang mengobrol dengan salah satu rekan osisnya segera berpamitan dan bergegas mengantar Wonwoo pulang.
Selama di perjalanan, Wonwoo menyandarkan kepalanya pada punggung Mingyu. Bukannya senang, justru Mingyu khawatir. Wonwoo terlihat pucat saat keluar dari perpustakaan tadi. Mingyu menarik tangan Wonwoo agar lebih erat memeluknya. Bukan, bukannya Mingyu mengambil kesempatan, namun ia benar-benar khawatir. Tangan Wonwoo pun sangat dingin. Mingyu mengarahkan motornya ke pinggir jalan. Memeriksa keadaan Wonwoo.
“Nu, lu menggigil.” Kata Mingyu panik. Ia segera mengambil hoodie-nya dari dalam tas, dan memakaikan pada tubuh Wonwoo. Pelipisnya mengeluarkan keringat. Mingyu memegang kening Wonwoo.
“Lu demam, Nu. Ke klinik, ya?” Wonwoo menggeleng lemah.
“Pulang aja, Gu.” Pinta Wonwoo.
“Gak, lu sakit. Menggigil gini. Gue hubungin orang tua lu, ya?” Wonwoo kembali menggeleng.
“Nu, tolong banget.” Wonwoo memegang perutnya yang tiba-tiba terasa panas.
“Perutnya sakit?” Wonwoo tidak menjawab melainkan segera turun dari motor Mingyu dan berlari kecil ke pinggir jalan kemudian memuntahkan isi perutnya yang hanya keluar cairan bening.
“Nu... Gue anter ke klinik, gak boleh nolak. Deket kok dari sini. Tahan, ya.” Gelengan lemas dari Wonwoo diabaikan oleh Mingyu. Lelaki yang lebih jangkung segera menaiki motornya lagi, Wonwoo pasrah, dan menaiki motor Mingyu lagi. Selama di jalan, Mingyu sesekali melirik Wonwoo dari spion. Wajahnya benar-benar khawatir dan panik melihat orang terkasihnya lemas dan pucat.
Beruntungnya ada klinik di dekat mereka, tidak sampai sepuluh menit dari tempat mereka berhenti tadi. Mingyu memapah Wonwoo memasuki klinik tersebut. Mingyu menemani Wonwoo diperiksa. Dokter menyarankan agar Wonwoo beristirahat dulu. Lelaki berkacamata itu terkulai lemas di atas kasur klinik. Mingyu segera menghubungi Soonyoung, memberi informasi jika Wonwoo sakit, dan meminta tolong agar Soonyoung menyampaikannya kepada kedua orang tua Wonwoo.
Kurang dari 30 menit, kedua orang tua Wonwoo dan juga Soonyoung tiba di klinik tersebut. Ibu dan ayah Wonwoo segera menengok keadaan anak tunggalnya, sementara Soonyoung menemani Mingyu.
“Kalem kalem. Sembuh kok, butuh istirahat aja sama harus dimarahin itu anak biar gak minum kopi terus.” Soonyoung menepuk-nepuk bahu Mingyu yang masih cemas.
“Cepet kan ya sembuhnya? Gak akan lama?”
“Cepet kok cepet. Nanti kalau anaknya udah bangun, gue marahin. Kalau perlu gue pantau 24/7 biar gue tau apa aja yang masuk mulutnya.” Mingyu sedikit terhibur dengan omongan Soonyoung.
“Tenang aja Pak Ketos, Unyong hadir sebagai tukang marahin si Wonu.”
“Jangan dimarahin ah.”
“Weits, terpantau semakin protektif nih.” Lagi-lagi Mingyu terkekeh sambil memukul lengan Soonyoung pelan.
“Eh, nyokap bokap lu gak nyariin apa? Udah maghrib gini.”
“Tadi gue udah bilang nyokap gue anterin temen ke klinik.”
“Temen tapi mesra maksudnya?” Goda Soonyoung.
“Hahaha. Udah ah, titip Wonu, ya. Suruh dia makan yang bener. Jangan ngopi terus. Oh iya, jangan terlalu diforsir, kasian badannya dia. Gue pamit.”
“Mending lu pamit ke orang tua Wonu juga.” Seketika Mingyu merasa gugup.
“Elah, minta izin pulang, bukan minta izin ngelamar. Tegang amat.” Soonyoung menyadari perubahan ekspresi Mingyu.
“Gak deh. Gue pamit. Salamin buat Wonu, bilangin ke orang tuanya, gue buru-buru, udah ditanyain orang tua. Dadah.” Soonyoung tertawa melihat tingkah laku ketua osis. Baru kali ini Soonyoung melihat Mingyu gugup. Padahal saat orasi dulu, Mingyu sangat bersemangat dan tidak terlihat gugup sama sekali meskipun dilihat satu sekolahan.
“Makasih banyak loh waktu itu kamu maksa aku buat dibawa ke klinik.” Wonwoo tersenyum tulus.
“Udah panik banget aku, takut kamu pingsan pas di motor.”
“Udah biasa padahal aku kayak gitu setiap mau olimpiade.”
“Penyakit kok dibiasain.” Mingyu menyindirnya.
“Hahaha. Ampun deh bapak ketos.” Wonwoo terkekeh.
“Udah balikan?” Obrolan Mingyu dan Wonwoo terpotong karena Soonyoung menginterupsi keduanya.
“Kalau kayak gini mah, ikutan nginep gak sih, Nu?” Bujuk Soonyoung. Memang acara reuninya diadakan satu hari, namun banyak yang berencana untuk menyewa villa di kawasan Lembang dan melanjutkan acaranya disana dan tentunya menginap. Sejujurnya Wonwoo tidak ada niat untuk menginap, namun karena kehadiran lelaki di hadapannya saat ini mengubah pikirannya.
“Tapi gak bawa baju ganti.” Wonwoo tidak ingin mengiyakan bujukan Soonyoung secara instan. Terlalu ketara jika ia masih ingin menikmati waktunya dengan sang mantan.
“Nih, baik gue mah. Beli aje kaos I love Bandung noh di alun-alun sama kolor. Cukup seratus rebu.” Wonwoo mendengus sebal, tapi tetap mengambil uangnya.
“Emang sekitar Lembang gak ada? Jauh banget kalau ke alun-alun dulu.” Protes Wonwoo.
“Aku temenin.” Wonwoo menolehkan kepalanya.
“Eh, gak usah.” Balas Wonwoo cepat.
“Anterin dah, keliling Bandung sekalian. Balik-balik gue harus dapet pajak balikan. Bye.” Soonyoung segera turun dari lantai itu, namun beberapa detik kemudian kepalanya kembali menyembul dari balik tangga.
“Nanti gue shareloc. Pokoknya di Villa Istana Bunga seperti biasa.” Soonyoung kembali turun.
Cafè itu perlahan semakin sepi, dan setelah beberapa menit, teman-teman keduanya sudah pergi dari sana. Tinggal Mingyu dan Wonwoo.
“Yuk?” Ajak Mingyu.
“Eh ini beneran kamu mau anterin?”
“Bener dong. Sekalian keliling Bandung. Kamu udah lama kan gak keliling?” Tanya Mingyu.
“Mau!” Balas Wonwoo semangat.
Keduanya bergegas pergi dengan mobil Mingyu, menyusuri jalanan Kota Kembang yang seakan membuka kotak memori keduanya. Mereka akan kembali menceritakan kisah-kisah di masa remaja dulu ketika melewati suatu tempat yang mereka kunjungi, atau saat keduanya hanya melewati suatu jalan yang bersejarah untuk keduanya.
Senyuman tidak pernah luntur dari wajah Mingyu dan Wonwoo. Mereka menikmati waktu berdua dengan saling membagi cerita yang mampu menghangatkan hati.
Ketika waktu menunjukan pukul setengah enam sore, keduanya sampai di jalan Braga. Jalanan yang selalu mereka lewati dulu. Secara otomatis kepala mereka melakukan kilas balik dan kemudian tertawa bersama.
“Inget banget waktu kita photobox di Toko Kopi Djawa. Aku masih simpen fotonya.” Ujar Mingyu saat melewati tempat yang disebut.
“Aku juga masih ada.” Balas Wonwoo sambil tertawa.
“Pertama kalinya kamu panggil aku Migu.” Wonwoo tersipu malu.
Keduanya kembali berjalan menyusuri jalanan Braga yang sudah dihiasi oleh lembayung, menemani sesi kilas balik kedua orang yang pernah bersinggungan masa lalu itu.
“Setiap nungguin kamu pulang latihan olimpiade, jam segini nih.”
“Sekarang upgrade, dulu pake motor sekarang bapak ketosnya udah sukses diganti sama mobil.” Untuk kesekian kalinya Mingyu terkekeh menanggapi omongan Wonwoo.
“Gu, ke Gramed Merdeka, yuk?” Mingyu menatap Wonwoo yang terlihat salah tingkah saat mengajaknya. Tangannya tidak bisa untuk tidak mencubit pipi Wonwoo karena gemas.
“Yuk. Kita ke mobil dulu.” Mingyu dan Wonwoo memutar jalan untuk kembali ke mobil.
Akhirnya mereka sampai di tempat paling bersejarah dan tidak akan dilupakan oleh keduanya, Gramedia yang berada di jalan Merdeka.
Mingyu terkekeh melihat Wonwoo yang masih saja terlihat senang ketika mengunjungi Gramedia. Matanya berbinar melihat rak-rak berisikan berbagai jenis buku. Dan Mingyu sudah bisa menebak jika Wonwoo akan menghampiri rak dengan deretan buku fiksi.
“Udah lama deh aku gak beli novel.”
“Yah, dicuekin ini mah akunya.” Wonwoo tertawa kemudian menepuk kepala Mingyu.
“Gak lama kok, aku udah ada wishlist, jadi gak lama pilih-pilihnya. Janji.” Mingyu sebenarnya tidak masalah jika harus menunggu Wonwoo. Ia senang bisa menghabiskan waktunya bersama seseorang yang pernah— Ralat.
Seorang yang masih mengisi hatinya meskipun sudah sempat terpisah beberapa tahun lamanya.
“Udah!” Mingyu menatap lima buah novel yang Wonwoo bawa.
“Masih sama, ya, hobinya.” Pria yang lebih kurus hanya memarken deretan giginya.
“Kamu gak mau beli apa-apa?” Tanya Wonwoo.
“Ehm.... Kesana yuk?” Wonwoo tau rak yang dimaksud Mingyu. Tiba-tiba saja debaran jantungnya kembali tidak normal. Ia menganggukan kepalanya dan mengikuti Mingyu yang berjalan ke arah rak dengan jajaran buku yang biasanya laris untuk kalangan siswa kelas 12. Yap, buku UN.
Keduanya terdiam sambil menatap buku-buku yang tebalnya bisa sampai 500 halaman itu. Kemudian saling menatap. Ada tawa yang malu-malu di antara kedua insan itu.
“Nu...” Mingyu menarik nafasnya dalam-dalam. Merasa gugup untuk sebuah alasan.
“Aku mau ngomong.”
'Aku.“
Pertama kalinya Mingyu mengubah kata ganti menjadi aku.
“Kenapa, Gu?” Entah mengapa, Wonwoo tiba-tiba merasa gugup.
“Aku tau sih ini masih awal kita kelas 12, tapi....” Mingyu menggantungkan omongannya, kembali menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian.
“Aku... Aku sayang sama kamu.” Wonwoo sudah tau selama ini ihwal perasaan Mingyu, tapi tetap saja ia merasa ingin meledak saat mendengarnya secara langsung.
“As I said before, I loved to stare at you when you read the novel, fix your glasses, or rubbing your eyes gently.“
“I was truly immersed by your peaceful personality, you're captivating smile, or when your nose got scrunch when you laughing. And I always find myself falling for you even deeper and much more everyday.“
“So, I decided to confess to you. No need to answer asap, you can think about it first.“
Suara bising dari pengunjung lain seketika lenyap. Wonwoo hanya bisa mendengar suara Mingyu yang sedang menyatakan perasaannya dengan ekspresi gugup yang tidak dapat disembunyikan.
Manik Mingyu menatap tepat pada foxy eyes Wonwoo yang sedari tadi tidak berkedip selama mendengarkan pengakuannya.
“Ini...” Mingyu memberikan satu buah buku UN yang ada di dekat mereka. Wonwoo menatap Mingyu dan buku UN tersebut bergantian.
“Buat?” Tanya Wonwoo bingung.
“Gini deh. Kalau kamu terima aku, aku beliin buku UN.” Kedua alis Wonwoo terangkat.
“Kalau gak diterima?” Tersirat kekecewaan dari sorot mata Mingyu.
“Ehm...” Wonwoo terkekeh.
“Boleh aku pinjem dulu uang kamu? Nanti aku bayar bukunya waktu udah sampe rumah, aku gak bawa uang banyak.”
Hati Mingyu terasa mencelos ketika Wonwoo menolaknya secara tidak langsung. Wajahnya menjadi murung. Namun ia tetap membayar buku UN-nya, dan mengantar Wonwoo pulang dari Gramedia Merdeka.
Sesampainya di depan rumah Wonwoo, Mingyu terlihat lesu. Wonwoo adalah patah hati pertamanya.
Lelaki yang dibonceng itu turun dari motor dengan buku UN yang masih ia peluk didadanya.
“Gu...” Panggil Wonwoo pelan. Hari sudah semakin gelap. Matahari telah bersiap untuk beristirahat.
“Kenapa, Nu?” Mingyu memaksakan senyumnya. “Oh iya, soal confess tadi, jangan dijadiin beban, ya. Aku cuma mau sampein aja biar gak ngeganjel terus.” Nada bicaranya memperjelas ada jutaan desperasi di dalam sana.
“Migu.” Panggil Wonwoo.
“Iya, kenapa, Nu?” Wonwoo tidak langsung menjawab, melainkan menatap obsidian Mingyu dengan lekat.
“Kalau aku gak mau bayar bukunya gimana?”
“Gak apa-apa, buat kamu aja.” Balas Mingyu lesu. Wonwoo terkekeh.
“Tadi kata kamu kalau aku terima kamu, kamu beliin buku UN-nya, ya aku pengen buku ini jadi milik aku, boleh? Sekalian sama yang beliinnya.”
Mata Mingyu membelo mendengar ucapan Wonwoo. Mingyu turun dari motornya dan menghampiri Wonwoo.
“Seriusan? Kamu serius kan, Nu?” Wonwoo terkekeh sambil menganggukan kepalanya.
“Iya, Migu, serius banget.” Wonwoo sedikit berdehem. “Sekarang giliran aku yang ngomong, ya. Listen this carefully, I won't say it twice.” Mingyu terdiam sambil menatap Wonwoo dan memasang telinganya dengan baik.
“Honestly, I cherish every moment that we through together.
With you, I always feel something that I never felt before. There are always tingles in my stomach whenever you pat me.” Wonwoo mengucapkan setiap katanya dengan perlahan dan lembut.
“You give me a spark whenever I spend my time with you. Everything you've done to me is memorable.” Foxy eyes milik Wonwoo tidak sedetikpun beralih dari obsidian Mingyu.
“Little thing I know, I often find myself adore your personality and how you treat other people. And I don't know why you always make me curious and wanna know yourself further. Then I realized that I already falling for you.” Seulas senyum terpatri di bibir Wonwoo.
“So... Today is our first day.” Ucap Wonwoo malu-malu. Mingyu mengusap wajahnya. Kemudian mengacak rambutnya.
“Kenapa?” Tanya Wonwoo.
“Aku mau peluk kamu boleh gak sih? Aku seneng banget.” Wonwoo terkekeh dengan semburat merahnya yang menghias.
“Boleh, tapi jangan kelamaan, takut ada ibu ayah.” Jawab Wonwoo pelan. Mingyu menghampiri Wonwoo, menatap pria yang lebih kecil dengan penuh binar kebahagiaan, kemudian membawanya ke dalam pelukan. Mingyu mengusap punggung Wonwoo pelan, rasanya ia tidak ingin melepas pelukan itu.
“JIAKH... JADIAN YA?” Wonwoo refleks mendorong tubuh Mingyu ketika mendengar suara Soonyoung dan membuat keduanya salah tingkah.
“Sumpah Soonyoung nyebelin banget waktu itu. Ngeganggu moment banget.” Wonwoo tertawa mendengar Mingyu mendengus.
“Lucu banget kalau inget-inget kamu nembak pake buku UN.” Kekeh Wonwoo. Mingyu menggaruk tengkuknya.
“Aku juga gak tau kenapa ngide banget nembak sambil kasih buku UN, padahal itu tuh baru seminggu kita jadi anak kelas 12.”
“Gak apa-apa, preventif, hahaha.” Wonwoo tertawa renyah, membuat Mingyu ikut tertawa.
“Inget banget tuh pas besoknya heboh banget gara-gara Soonyoung bocor.” Ujar Mingyu.
“Iya ish. Waktu kita datang, disorakin, kan malu akunya. Mana guru-guru juga pada tau.”
“Iyalah pada tau, anak paling pinternya tiba-tiba pacaran setelah dua tahun fokus olimpiade doang.” Sindir Mingyu.
“Dih, bukan gara-gara aku tuh. Tapi gara-gara ketua osis teladan pacaran.” Balas Wonwoo.
“Waktu kita jadian, udah kayak hari patah hati para fans kamu.” Mingyu menggelengkan kepalanya.
“Ada juga cowok-cowok yang pernah deketin kamu tuh yang patah hati.” Ucap Mingyu. “Tapi, setelah dipikir lagi, saingan aku berat-berat. Soalnya mereka juga punya banyak fans, idaman semua murid. Tapi ujungnya aku sih yang dapet.” Wonwoo bisa mendengar nada bangga dan sombong saat Mingyu mengucapkannya.
“Jadi bapak ketos bangga?”
“Banggalah bisa dapetin murid most wanted.” Mingyu memainkan alisnya, menggoda Wonwoo.
“Kamu kali yang most wanted.
“Iya iya. Dua-duanya aja yang most wanted biar gak gelut.” Keduanya tertawa.
“Tapi kok orang-orang tau, ya, pas kita putus juga?” Pertanyaan Wonwoo itu membuat Mingyu terdiam, mengingat bagaimana sedihnya ia ketika Wonwoo memilih untuk mengakhiri hubungan keduanya.
“Wonu! Gimana?” Mingyu tersenyum lebar setelah mendapat pernyataan jika ia lulus snmptn di UGM. Namun ketika melihat ekspresi sang kekasih, senyumnya hilang. Wonwoo terlihat sangat lesu dan tidak bersemangat.
“Nu?” Panggil Mingyu pelan. Laki-laki berkacamata itu masih menundukan kepalanya. Semakin lama, suara isakan masuk ke dalam rungu Mingyu, membuat laki-laki jangkung itu refleks memeluknya erat.