setetesmatcha

Photoshoot

▪️ BxB ▪️ NSFW

Kim Mingyu, fotografer sebuah majalah ternama, kini sedang menatap satu sosok manusia tanpa mengedipkan matanya sama sekali.

Jeon Wonwoo, model papan atas dengan jam terbang tinggi, kali ini sedang melakukan pemotretan untuk clothing brand milik desainer ternama.

Sedari awal pandangan Mingyu dan Wonwoo bertemu, entah mengapa ada sebuah tension yang tiba-tiba berada dipuncak. Membuat jantung keduanya berdegub, dan diiringi dengan celana mereka yang kini terasa sesak. Apalagi ketika Wonwoo baru selesai mengganti setelan bajunya. Celana yang digunakan Wonwoo sama sekali tidak dapat menyembunyikan paha mulus dan ramping milik si model.

“Coba duduk nyender ke kitchen set, satu kaki ditekuk, satu lagi tetep selonjorin aja.” Mingyu mengarahkan pose untuk kliennya.

Mingyu menelan salivanya susah payah kala netranya menatap gundukan yang terlihat dari angle Wonwoo saat ini. Lelaki jangkung itu mencoba tetap profesional meskipun adiknya dibawah sana sudah meronta ingin dimanjakan.

Setelah setengah jam, mereka semua beristirahat sebentar. Meregangkan otot-otot yang tegang serta memonitor hasil pemotretan.

Diam-diam, Mingyu pergi ke toilet sebentar. Adiknya di bawah sana sudah semakin sesak memenuhi celananya. Ia segera masuk ke salah satu bilik dan membuka celananya, mengeluarkan isinya dan mengocoknya perlahan. Tangannya sesekali memijat batangnya itu, kemudian kembali mengocoknya cepat.

Shit.” Bisiknya. Ia terus mengocok penisnya hingga kepalanya mengadah ke atas. Urat-urat dilengannya semakin menonjol kala ia mempercepat tempo tangannya. Ada racauan yang berupa bisikan saat ia mempercepat gerakan tangannya. Libidonya tidak bisa ia tahan. Dalam kepalanya muncul bayangan Wonwoo dengan celana pendeknya dan paha mulus nan rampingnya.

“Ada orang?” Suara berat itu menyadarkan Mingyu dari titik kenikmatannya. Padahal tinggal sedikit lagi.

“A—ada.” Jawab Mingyu. Ia tidak bisa keluar sekarang. Adiknya itu masih berdiri dengan tegak.

“Oh, maaf.” Ujar suara itu dan Mingyu menghela nafasnya. Lelaki jangkung itu kembali mengocok penisnya lebih cepat agar putihnya bisa keluar segera mungkin.

“Ahh...” Bisiknya kala ia sudah mengeluarkan air maninya. Mingyu kembali memakai celananya, dan bergegas keluar dari kamar mandi untuk membersihkan tangannya.

Si fotografer itu terkejut saat ia melihat modelnya di depan wastafel sambil mencuci tangannya. Mingyu bisa melihat jika Wonwoo tersenyum melalui pantulan dari cermin.

“Hai, Gyu.” Sapanya.

“Eh... Hai, Won.” Balas Mingyu canggung. Ia menunggu Wonwoo mencuci tangannya, namun matanya sedari tadi melirik paha ramping Wonwoo.

“Oh, mau cuci tangan juga?” Tanya Wonwoo yang menatapnya melalui cermin. Mingyu segera membalas tatapannya, melalui cermin jugad an menganggukan kepalanya.

“Iya.” Mingyu gugup tanpa alasan. Ia kembali menelan salivanya kala Wonwoo membalikan badannya. Jarak mereka sangat dekat.

Smells like.... Sperm.” Wonwoo menatap Mingyu dengan intens. Sementara yang ditatap merasa ingin meledak karena jantungnya yang berdebar begitu cepat. Wonwoo melirik tangan Mingyu. Kemudian mengangkatnya. Kaki Mingyu terasa lemas saat cairan putih kental itu masih ada ditangannya. Wonwoo tersenyum, dan kegiatan selanjutnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Mingyu membelalakan matanya.

“Won...”

Nafas Mingyu terasa sangat berat melihat Wonwoo yang menjilat jari-jarinya yang masih berlumuran air mani. Foxy eyes-nya menatap netra Mingyu dengan seduktif lantas memasukkan jari-jarinya ke dalam mulutnya. Ia hisap-hisap kedua jari Mingyu dan memaju mundurkannya perlahan. Laki-laki tinggi itu menelan ludahnya dengan susah payah. Belum lagi ada yang kembali menegang di bawah sana.

Mingyu mendorong tubuh kurus itu ke arah pintu, mengukung yang lebih kecil dengan deru nafas yang tidak teratur. Keduanya saling bertemu pandang, dengan jarak yang sangat intim. Sexual tension antara mereka semakin memuncak. Obsidian Mingyu beralih ke ranum tipis merah muda milik Wonwoo. Tanpa mengucap sepatah kata, Mingyu segera melahap bibir Wonwoo. Ia memagutnya dengan kasar. Wonwoo mengalungkan tangannya pada leher Mingyu, menarik tengkuknya agar tautan bibir mereka semakin dalam.

Laki-laki yang lebih tinggi terus memagut, dan menghisap, dan kemudian gigi taringnya menggigit bibir sang lelaki yang lebih ramping hingga bibirnya terbuka. Mingyu segera menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Wonwoo. Menyapu langit-langit mulutnya dan membuat satu lenguhan berhasil lolos.

Mingyu menarik Wonwoo ke dalam bilik toilet saat mendengar suara mendekat ke arah kamar mandi. Mingyu dan Wonwoo menahan nafasnya, namun sedetik kemudian, Mingyu kembali meraup bibir Wonwoo yang sedikit terbuka. Sang submisif hampir saja meloloskan kembali lenguhannya saat Mingyu menggigit bibirnya dengan cukup kuat. Namun, Wonwoo hanya meremas lengan berotot Mingyu dengan kuat.

“Kaki.” Bisik Mingyu. Wonwoo melirik kakinya. Keduanya sempat lupa jika pintu bilik kamar mandi tersebut memperlihatkan kaki mereka. Keduanya bingung karena tidak mungkin mereka keluar sementara ada orang disana.

Mingyu melirik toilet dan segera duduk disana, lalu menarik Wonwoo agar duduk di atas pahanya. Lelaki yang lebih kecil menurut, kemudian duduk di atas paha dan melingkarkan kakinya ke pinggang Mingyu. Mereka segera menyadari jika jarak keduanya kini semakin intim. Suara nafas mereka saling beradu. Mingyu menatap Wonwoo, dan laki-laki yang sedang duduk di atas pangkuannya itu semakin mengikis jarak mereka.

No moans, baby.” Bisik Wonwoo tepat pada telinga Mingyu.

Dua gundukan milik mereka bertemu. Wonwoo dengan sengaja menggesekkan kemaluannya dengan milik Mingyu, membuat keduanya menggigit bibir menahan desahan. Tangan Mingyu mengelus pahan dalam milik Wonwoo. Mengusapnya perlahan. Kemudian tangannya mulai naik, menggerayangi tubuh bagian atas Wonwoo. Hingga pada bagian puting, Mingyu mulai memainkannya. Telunjuknya membuat gerakan memutar di sekitar puting Wonwoo.

No moans, baby.” Mingyu mengikuti perkataan Wonwoo kala ia melihat laki-laki itu memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya karena aktivitas jemarinya pada titik sensitif.

Mingyu menekan-nekan puting milik Wonwoo dari balik bajunya, lalu kembali mengusapnya, kemudian mencubitnya cukup keras dan membuat Wonwoo meremas bahunya kuat-kuat. Nafsu Mingyu semakin tinggi ketika Wonwoo menghembuskan nafas beratnya. Tangannya menelusup masuk ke dalam kaos putih polos Wonwoo kemudian ia meraba putingnya perlahan, menggeseknya dengan telapak tangannya yang selalu hangat, lalu kembali mencubitnya.

Kangen banget dah ah gue sama Aul. Udah wangi gini, tinggal ngapel. Bukan wangi lifebuoy matcha lagi, sekarang udah wangi axe, modal sedikit. Soalnya kalau beli parfum kayak Bang Cheol, gue gak makan sebulan.

Sekarang mau jemput Aul enak dah, deket soalnya di Arcamanik, ngesot juga jadi. Tapi gue bukan suster ngesot, jadi pake motor. Gue ngelewatin ruang tengah yang sepi. Jangan heran dah, emang banyak manusianya, tapi sepi kalau bukan jam makan. Pada ngedekem mulu di kamar manusianya. Mana ada yang gereja kan kalau Minggu gini. Padahal gue kan mau pamer kalau gue mau jalan sama Aul lagi setelah hampir sebulan gak ngapel. Akhirnya gue masuk ke kamar si Uji.

“Jik.” Dia cuma ngelirik doang, mana wajahnya kayak keganggu banget.

“Gue mau ketemu Aul.” Kata gue sambil nyengir abis itu tutup pintunya lagi soalnya si Uji balik main hp lagi. Gue masuk lagi ke kamar Wonu.

“Nu...” Si Wonu nengok.

“Gue mau ngapel.” Gue nyengir lagi.

“Gak penting.” Wajah gue datar lagi, terus nutup pintunya lagi. Gue harus ke kamar siapa lagi, ye? Oh, Bang Jeonghan.

“Bang...”

“Hmm?” Hamdalah dia masih nyaut gue panggil, gak kayak si Uji sama Wonu yang nengok doang.

“Gue mau ngapel.” Kata gue sambil nyengir.

“Hati-hati, ye.”

“Sip.” Oke, mendingan kan kalau pamer sama Bang Jeonghan.

Pas gue mau berangkat, ada Dikey turun dari lantai atas. Gak lain gak bukan, pasti nyari makan ini anak. Mana mukanya masih bantal banget.

“Rapi amat lu, mau kemana?” Tanya Dikey.

“Mau ngapel dong sama Aul.” Ini gue sampe pegel nyengir mulu dari tadi.

“WIHH... Cakep bener ye setelah sebulan lu kagak ngapel.” Emang harusnya tadi gue ke kamar si Dikey aja kalau mau pamer. Demen nih gue responnya.

“Yoi, brou. Otw menaikkan kasta pergaulan biar setara si Kiming.” Dikey ketawa.

“Awas aja, gue bakalan nyusul kasta pergaulan paling tinggi. Minimal ketigalah setelah si Kiming sama si Hao.”

“Eits, ada tuh yang diajaknya?”

“Anjir tertohok.” Gue ketawa kenceng.

“Ajak mantan lah, brou.”

“Bisa bisa.”

“Bisa digebug si Kiming.” Lanjut gue.

“Gak ada hak ntu bagong gebug-gebug gue.”

“Balikan lah makanya.”

“Hehehe. Nanti gue poligami dong.”

Gue cuma nepuk pundaknya aja. Gue tuh gimana ya... Mau ngasih tau Dikey buat putus, tapi gak enak gitu rasanya. Kayak bukan ranah gue buat ngasih solusi kayak gitu. Jadinya gue cuma bisa nepuk bahunya aja.

“Dah, berangkat dah lu. Nanti Teh Aul nunggu.”

“Berangkat dulu, ye, ketemu bebeb.”

“Jadiin dulu, baru tuh panggil bebeb.”

“Hari ini gue taken.”

“SERIUS LU?” Heboh bener ni orang.

“Kita lihat nanti. Dah ah, gue ngapel dulu, dadah.” Kali ini gue beneran keluar sambil pake helm. Terus manasin motor lima menit, dan langsung otw ke Arcamanik buat jemput Aul.

Enak dah, sepuluh menit juga sampe di kosannya Aul. Si doi udah nunggu di depan, kebiasaan dia biar guenya gak nunggu katanya. Emang anaknya tepat waktu banget dah.

“Ochiiiiiii.” Panggilnya sambil lari kecil.

“Kangen banget kayaknya sama gue.” Gue nyengir sambil pakein helmnya.

“Hehehe.” Dia cuma nyengir doang.

“Yuk ah, udah mendung gini.” Aul langsung naik motor gue dan kita segera otw ke daerah Citarum. Hadeh jalannya macet, tapi gak apa-apa sih, biar lama sama Aul hehe.

“Ul, coba buka maps.” Pinta gue pas lagi lampu merah.

“Oke, bentar.” Aul segera keluarin hp-nya dan buka aplikasi penunjuk arah itu. Untungnya Aul nih cewek yang bisa baca maps, jadinya gue kagak takut nyasar. Sebenernya nyasar juga gak apa-apa sih kalau sama Aul hehe.

Kurang dari satu jam, gue dan Aul sampe di tujuan. Kita berdua segera masuk sambil bawa laptop. Vibes mahasiswa akhir banget gak sih? Gue doang sih yang mahasiswa, Aul kan dah sarjana. Kita pesen makanan dulu, terus cari tempat duduk yang enak. Untungnya masih banyak tempat kosong.

“Gimana nih Ibu Editor? Lancar kerjanya? Lancar lah ya, sampe jarang bales chat.” Aul terkekeh denger omongan gue.

“Padahal gue selalu bales, cuma agak late respon aja, gak sampe seharian juga tuh gue diemin chat lu.” Bales dia.

“Hehehe. Jadi gimana? Lancar?”

“Alhamdulillah, lancar sih sejauh ini. Semoga ke depannya juga lancar terus deh.”

“Aamiin.”

“Eh, tapi gak ada yang deketin lu kan?” Aul ketawa.

“Gak ada lah, Chi.”

“Kalau ada yang deketin bilangin punya maung galak.”

“Nanti nyakar?”

“Gigit.” Doi ketawa lagi.

“Ibu editor apa gak mau traktir gue?”

“Ih iya! Gue mau traktir lu tau, Chi. Gajian pertama kemaren, hehe.”

“Keren banget dah ah calon gue.”

“Calon apa? Pengisi hati?”

“Ralat dah. Kalau pengisi hati udah bukan calon lagi.”

“Tapi?”

“Penghuni tetap, ahayy.” Dia nyubit pipi gue. Emang dia hobi nyubitin pipi gue dah heran.

“Wisuda kapan?”

“Bulan depan! Datang, ya!”

“InsyaAllah dah kalau gak ada halangan, gue datang.”

“Asikk, semoga gak ada halangan.”

“Ngebet banget nih? Mau dikenalin ke orang tua lu, ye?” Tanya gue sambil nyengir.

“Iya.”

“Aduh anjir, serius? Gue belum mikirin maharnya.”

“Ihh, apaan sih? Mau ngenalin doang. Sebagai temen.”

“Denger ada yang patah tapi bukan ranting?” Aul gelengin kepalanya.

“Yap! Hati gue.” Dia ngerutin dahinya.

“Potek ah dikenalin sebagai temen doang.”

“Kan emang temen?”

“Bener sih. Tapi kok gak ikhlas ya dibilang temen.”

“Temen hidup.” Abis bilang gitu, wajahnya Aul merah banget karena malu, apalagi pas gue ledekin dia. Wajahnya makin merah.

“Cieee bucin maung, cieee.” Ledek gue. Aul tutupin wajahnya pake telapak tangan dia.

“Diem ih.” Katanya.

“HAHAHA.” Ini gue ketawa kenceng banget sampe ada beberapa yang nengok.

“Udah ih, Ochiiiiiii.” Gue masih aja ketawa.

“Hadah lucu.” Akhirnya gue berhenti ketawa.

“Diem ih.”

“Abisnya lu jarang kayak gitu, Ul. Kan gue jadi seneng.” Aul cemberut.

“Beneran kesurupan si Audrey.” Giliran dia yang ketawa pelan.

Waktu makanan kita datang, ya dimakan lah, sambil ngobrol. Aul punya banyak cerita di tempat kerjanya, maklum lah ya anak baru. Jadi masih excited anaknya.

“Ya udah kerjain dulu tuh kerjaan lu, Ul.” Kata gue setelah selesai makan.

“Heem. Lu juga kerjain dulu tuh skripsi.” Gue anggukin kepala.

Detik selanjutnya, ada gue dan Aul yang sibuk sama laptop masing-masing. Gue sesekali ngelirik Aul yang auranya udah beda. Udah bukan aura mahasiswa. Iya sih, emang udah bukan mahasiswa. Tapi jadi kayak cewek karir yang independen, ngerti kagak? Harus ngerti lah. Kayak udah dewasa. Tapi emang Aul mah dewasa sih dari awal ketemu juga.

“Heh, ngelamunin apa?” Yah ketauan deh.

“Gara-gara kekenyangan, hehe.” Aul ketawa kecil.

“Gemes banget bayik maung.” Katanya, terus balik lagi serius mantengin laptopnya. Ini gue kayak ada perasaan aneh, tapi gak tau apa. Selain perasaan sayang, ya. Ahay. Kalau perasaan sayang mah udah terlaksana semenjak berapa minggu ketemu ya, lupa.

Setelah kurang lebih dua jam, Aul ngeregangin badannya. Gue langsung nengok ke arah doi. Keliatan capek dah dia. Mungkin karena masih adaptasi kali ya, makanya belum kebiasa.

“Chi...”

“Napa, Ul?”

“Lu masih mau disini?”

“Kenapa? Lu mau balik?”

“Iya nih, mau diskusi gitu.” Gue anggukin kepala.

“Ya udah ayok balik aja.”

“Eh, kalau lu masih mau disini gak apa-apa kok, tapi gue harus balik duluan, maafin.” Katanya.

“Dih dih, kalau lu balik, gue juga balik. Takut digodain ah.” Aul ketawa.

“Yuk.” Gue sama Aul segera keluar terus otw balik. Selama di jalan gue ngerasa kayak ada yang ngeganjel, tapi gak tau apa. Gue cuma diem aja selama di jalan. Biasanya ngomong mulu sampe teriak-teriak gara-gara suaranya balapan sama angin.

“Maaf, ya, Chi.” Katanya pas udah sampe depan kosannya.

“Minta maaf mulu, mending minta cium.”

“Ih serius, maaf jadi sebentar jalannya.”

“Gak apa-apa, cingta. Gih masuk, katanya mau ada diskusi.”

“Maaf, yaaa.”

“Et dah, iya Aurelia, gue maafin. Dah ya, mendung banget ,takut keujanan.” Kata gue.

“Hati-hati, ya, Chiii.”

“Oke, cingta. Gue duluan.” Setelah pamit, gue gak langsung balik, beli cemilan dulu, sama kopi. Padahal gue baru aja kelar ngopi dah. Abis beli cemilan, baru balik.

“Lah udah balik aje lu, Chi.” Bang Jeonghan lagi nonton tv.

“Diterima gak, Bang?” Pertanyaan Dikey itu bikin beberapa orang yang ada di ruang tv nengok.

“Lah lu nembak Aul?” Tanya Wonwoo.

“Diterima?” Giliran Seungkwan yang nanya. Anjay berasa pemeran utama drama korea, pada nengok ke gue semua. Gue nyengir.

“Cie kepo ahay.”

“Cepet bilang sebelum gue lempar ini anduk.” Kata si Dikey, udah ancang-ancang mau lempar anduk abu-abu kesayangannya.

“Kagak jadi nembaknye, kepo amat lu pada.”

“Yah, kecewa.” Kata Bang Jeonghan.

“Takut ditolak, ye?” Emang si Wonwoo mulutnya lebih bagus diem aja.

“Kapan tuh ditembak? Udah deket satu semester, masih digantung.” Giliran Seungkwan yang bersabda.

“Au dah ah.” Gue minum segelas air. Kayak ada yang aneh dah sama gue setelah ketemu Aul.

“Napa lu, Chi?” Tanya Wonwoo. Jangan salah, doi keliatan cuek sama orang, tapi padahal mah peka.

“Kagak.” Jawab gue sambil bukain cemilan yang tadi gue beli.

“Lagi stres kalau beli cemilan, soalnya biasanya gak mau keluarin duit.” Emang sialan si Seungkwan, ngomong begitu mana sambil nyomot. Terus di Uji baru keluar dari kamarnya, langsung nyomot juga, enak banget ye idupnye.

“Kenapa lu, Chi?” Tanya Bang Jeonghan.

“Kagak ngape anjir.” Bales gue sambil ketawa.

“Wadul maneh mah.” Translet : boong lu mah. Bisa gue translet dikit-dikit.

“Biarin aja sih. Nanti juga ngomong.” Kata si Uji sambil mainin hp-nya. Abis itu kita semua diem-dieman sambil nyemil.

“Kalian...” Baru juga ngomong satu kata udah pada nengok, si Wonwoo aja sampe keluarin game-nya. Terharu banget gue lebih penting dari game. Biasanya disenggol dikit ngamuk.

“Kagak dah.”

“Gak jadi ngomong bisul di jidat lu segede péntil motor.” Anjir ye emang si Seungkwan ngedoainnya.

“Janganlah, hilang keperjakaan gue.”

“Tolol, abis menggauli anak orang?” Kata Uji sambil lempar cemilannya.

“Kagak anjir. Salah salah. Maksudnya keperkasaan.” Bales gue.

“Yang begini anak jurnalistik. Tutur katanya aja mencemaskan.” Kata Bang Jeonghan.

“Kata gue juga kalau dia keluarin berita, gue ngeri kampus bakal nyabut sarjana dia.” Bales si Wonwoo. Gue mah ketawa-ketawa aja denger ejekan mereka.

“Gak usah deh lu ngulur-ngulur. Cerita mah cerita aje.” Ini si Dikey.

“Kenapa ye gue pas ketemu Aul tadi kayak ada yang janggal?” Orang-orang yang denger pada ngerutin dahinya.

“Maksudnya? Janggal dalam segi apa?” Tanya Wonwoo.

“Apa ya? Bingung gue juga.” Gue garuk kepala gue yang gak gatel.

“Pas chat ngerasa janggal gak?” Tanya Uji.

“Kagak sih. Pas ketemu baru tuh ngerasa kayak gak enak gitu.”

“Gak enak? Lu ada utang sama Teh Aul?” Emang kagak beres kalau cerita sama si Dikey.

“Dari awal liat lu udah ngerasa gak enak?” Tanya si Uji lagi.

“Kagak sih. Pas tadi dia ngerjain kerjaannya kayaknya baru ngerasa gak enak.” Si Uji bangun dari posisi tidurnya. Natap gue agak lama. Aduh gue takut, takut dia tiba-tiba demen gue.

Insecure lu?” Gue diem aja, tapi gak tau kenapa ngerasa ketampar pas si Uji nanya gitu.

“Gak tau dah. Gue kagak ngarti.” Jawab gue.

Insecure gara-gara Aul udah kerja sementara lu masih skripsian?” Anjirrrrr tertohok bung. Ini yang lain cuma natap gue aja sambil diem-dieman.

“Emang lu gak salah masuk psikologi.” Bales gue sambil ketawa padahal mah nyes.

“Jadi bener?”

“Gimana ye... Gue mau nyangkal, tapi pas lu nanya gitu malah ketampar rasanya.” Jawab gue.

“Goblok.” Anjirlah kaget gue digoblokin si Uji.

“Gak penting banget pikiran lu.”

“Hina aku sepuasmu.” Bales gue.

“Elah, Chi. Gue kira gara-gara lu maling laptopnya si Aul makanya ada yang ganjel.” Kata Bang Jeonghan.

“Gue kira juga gara-gara pas ke café tadi makanannya Bang Ochi yang abisin, terus Teh Aul ngambek.” Gak usah deh gue cerita pas ada si Seungkwan.

“Tapi kalau menurut gue wajar aja sih.” Semuanya pada nengok ke Wonwoo.

Pride seorang cowok kan, ya wajar.” Nah kan, pengen gue cium si Wonwoo.

“Tapi ya udah gitu, lu gak usah pikirin banget. Emang Aul mikirin itu? Gue yakin kagak.” Lanjutnya.

“Chi... Chi... Dia sibuk mikirin gawean, lu malah sibuk overthinking.” Bales Bang Jeonghan.

“Setiap orang punya speed-nya masing-masing, Chi. Gak usah deh lu overthinking kayak gitu, gak akan bikin skripsi lu kelar.” Ayok terus hina aku saja. Si Uji kalau udah ngomong serius serem anjir. Lebih serem daripada pas dia mau gebug gue pake gitar.

“Lu mending fokus aja sama diri lu sendiri dulu, gak usah mikirin Aul dulu. Apalagi pikiran lu sekarang ini malah bikin lu makin stres.” Kata Wonwoo.

“Gue akan diam kalau Bang Uji sama Bang Wonu udah ngomong. Anggap saja aku seonggok laron.” Butuh si Dikey sih emang, biar lagak tegang.

“Iya ya. Bener kata lu pada, sebenernya gak perlu gue begini.”

“Sadar juga lu.” Bisa-bisanya si Uji sama Wonu ngomong barengan.

“Enak ye kita, kagak udah bayar psikolog mahal-mahal, ada si Uji.” Sempet-sempetnya lagi Bang Jeonghan.

“Nanti mah gue suruh bayar, perjam 500 rebu.” Canda aje si Uji.

“Mending lu mandi, Chi. Bau matahari.” Ledek si Wonu.

“Sekate-kate. Masih wangi axe yang coklat. Trust me, it works.” Kata gue bangga.

“Itu slogan L-Men, anying.” Emosi aje si Seungkwan.

Ya udah dah, kelar udah sesi insecure gue. Beginilah butuhnya seorang psikolog dalam pertemanan. Gak sih, butuh gue mah sama anak-anak kontrakan. Bisa banget bikin gue sadar diri. Iri kan lu pada gak punya temen kayak temen-temen gue? Irilah, masa kagak. Ujungnya mah gue sama yang lain pada ngobrol sambil nungguin yang lain keluar kamar.

Apa yang lebih manis dari gula? Jawabannya adalah Embun lah, apa lagi? Manis banget sampe bikin gue senyam senyum sendiri tiap bales chatnya. Apalagi pas doi bilang kalau orang tuanya udah percaya gue buat jagain princess satu-satunya itu. Apa gak makin bahagia tuh? Rela dah gue nemenin dia kesana kesini sambil dengerin rengekan-rengekan manja doi kalau udah mulai stres sama skripsinya. Nanti tuh dia bakalan pesen yang manis-manis, katanya biar good mood lagi. Terus nanti pas pulangnya, dia bakalan chat gue yang isinya tuh...

'AAAAA.... Berat badan gue naik lagi.'

Lengkap pake emot nangis wajib tiga kali. Sampe hafal kan gue kebiasaan doi. Tinggal ijab kobul gak sih? Udah saling memahami luar dalam. Padahal gue sendiri yang bilang jangan mikirin nikah-nikahan. Tapi guenya malah mikirin ijab kobul. Ketawa pake diafragma dah. BHAKS.

Terus gue kepikiran, iya juga kalau kagak jodoh tapi udah bucin gini gimana, ya? Apakah ini yang dinamakan jagain jodoh orang? Semoga jodoh gue sih. Gue harus sholawatin Embun tiap ketemu, biar jadi jodoh gue. Aamiin. Tolong aminin ya para jemaah.

Jam empat lewat lima, gue udah sampe depan rumahnya Embun, langsung gue telepon anaknya buat ngabarin. Tapi dianya bilang minta tolong izin ke bokap nyokapnya. Ketawa dah gue, lebih percaya gue daripada anak mereka sendiri. Akhirnya gue masuk dan seperti biasa, gue disambut sama penjaga rumahnya Embun yang udah konco banget sama gue, terus masuk ke halaman rumahnya yang ternyata udah ada tuan putri sama baginda ratu dan raja nunggu di depan rumah. Gue kan berasa pangeran yang mau menjadikan anak mereka sebagai permaisuri. Kayaknya gue kebanyakan nonton drama kolosal, dicekokin Seungkwan.

“Assalamualaikum, Om, Tante.” Gue salim ke orang tuanya Embun.

“Waalaikumsalam, Jun.” Bales kedua orang tuanya.

“Mbun, jawab kalau ada yang salam, dosa loh.” Kata gue.

“Iya nih, bukannya jawab malah diem.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Embun.

“Nah cakep.” Bales gue.

“Ya udah kalau udah liat Jun, mama gak khawatir lagi.” Gue terkekeh liat Embun yang udah manyun-manyun.

“Titip, ya, Jun. Kalau anaknya macem-macem, cubit aja.” Kata bokapnya.

“Masa dicubit Om, kasian ah anaknya.” Gue ketawa kecil.

“Udah ada tuh Jun-nya. Udah ah Embun mau berangkat.” Gerutu si princess.

“Jun jagain anaknya kok Om, Tante. Izin dulu ya, assalamualaikum.” Setelah salim lagi, gue segera bawa Embun ke Mana. Kepo juga gue sama itu tempat, abisnya anak-anak sering ngomongin.

“Bawa jaket kan, manis?” Tanya gue sambil kasihin helm.

“Bawa!” Balesnya semangat.

“Oke, manis. Markingeng. Mari kita ngeengg.” Embun ketawa sambil pake helmnya, terus segera naik ke motor gue. Gue sama Embun jadinya pergi ke Mana, abisnya kepo juga ini anak-anak udah pada pernah kesana. Terus gue kan mau gaul juga, jadi harus ikutin rekomendasi si Kiming.

Hawa dingin mulai nusuk kulit gue ketika memasuki area atas Bandung. Padahal gue udah pake hoodie masih aja kerasa dingin.

“Oh ini.” Gumam gue waktu liat café yang pernah bikin anak kontrakan adu urat gara-gara namanya.

“Dingin banget.” Embun eratin jaketnya.

“Yuk ah, keburu kedinginan.” Ajak gue.

Gue dan Embun disambut dengan ilalang-ilalang yang kayaknya emang jadi ikon dari café ini. Soalnya kalau gue liat foto anak kontrakan yang pernah kesini, fotonya tuh di ilalang itu.

“Situ aja, Mbun. Biar bisa liat pemandangan, asik.” Kata gue. Embun nurut. Kita berdua masuk ke salah satu bangunannya yang terbuka, bawahnya batu-batu kerikil.

“Mam dulu, ya, hehe.” Udah ketebak dah ini anak. Sengaja ngosongin perut dari rumah, biar makan di tempat, terus nanti pas udah kenyang, dia diem dulu sambil ngobrol, bilangnya turunin makanan dulu, setengah jam baru buka laptop.

“Mau pesen apa, princess? Biar gue yang pesenin.” Kata gue.

“Dori mentai deh sama matcha rose latte.” Katanya.

“Saya ulangi ya, Mbak. Dori mentai satu, matcha rose latte satu. Ada tambahan?”

“Gak ada, Mas. Makasih.” Dibales candaan gue.

“Baik, Mbak. Ditunggu, ya.” Si dia terkekeh, gue langsung pesen aja makanannya, soalnya gue juga laper.

“Pasti ngerjain abis makan.” Embun nyengir lebar.

“Udah ada panggilan?” Tanya Embun.

“Buset, udah kayak cowok panggilan.” Dia ketawa lagi.

“Kerja ih maksudnya.”

“Ada sih, minggu depan interview.” Mata Embun membelo.

“Ihh bagus dong! Terus terus?” Malah dia yang semangat, gemes amat.

“Ya udah atuh, Neng. Gue nunggu minggu depan.”

“Deg-degan gak?”

“Lebih deg-degan kalau dekat kamu sih, manis.” Embun nyentil jidat gue dan gue meringis, kenceng anjir.

“Serius ih.”

“Sekarang sih belum, gak tau kalau nanti, tunggu aja.” Dia natap gue galak. Hadah bukannya takut malah gemes.

“Hehehe. Beneran, sekarang masih belum gugup, gak tau pas hari-h. Doain aja.” Dia amggukin kepalanya.

“Nanti gue sekalian minta mama papa buat doain.”

“Cakep.”

“Tapi kayaknya papa mah gak mau aminin, papa maunya lu kerja sama papa kan.” Gue terkekeh.

“Kenapa dah? Gue merasa gak sekompeten itu buat jabatan setinggi itu.”

“Dih, insecure duluan.”

“Bukan insecure, tapi realistis aja.” Dia lipet tangannya depan dada sambil natap gue serius.

“Nih ya. Papa udah sering ngobrol sama lu kalau ke rumah, dan obrolan kalian pun tentang bisnis kan. Lu sering kasih insight baru buat papa tentang bisnis. Keluarin pendapat lu tentang berita-berita di tv. Kadang ngasih advice juga kan.” Katanya.

“Terus papa mau lu kerja sama dia, ya berarti lu udah lebih dari cukup buat menuhin kriteria di posisi itu. Ini yang punyanya langsung loh yang minta. Kan papa juga bukan asal minta lu ngisi posisi itu.” Gue diem. Ya bener sih kata Embun. Emang gue sering ngobrol sama papanya kalau lagi mampir. Malah lebih sering ngobrol sama bokapnya daripada Embun. Ngomongin bisnis sih, apa lagi coba. Tapi gue beneran masih ngerasa overwhelmed kalau langsung ditawarin gitu aja. Masih ngerasa kurang. Gak tau ini insecure atau realistis. Pastinya gue masih belum bisa kerja sama bokapnya.

Gak lama, makanan gue sama Embun datang. Kebiasaan gue sama Embun tuh suka nyicip makanan, makanya pesennya beda-beda. Tapi kayaknya bukan cuma gue sama Embun aja sih, yang lain juga pasti sering begini. Soalnya sama anak kontrakan juga begitu.

“Ih kok enakan yang lu sih?” Gue ketawa aja. Kebiasaan banget Embun tuh, lebih suka makanan yang gue pesen.

“Mau tukeran?” Tanya gue.

“Boleh?” Dia tuh nanya, tapi kayak nuntut. Tapinya gue nurut.

“Nih nih.” Gue tukerin makanannya dia sama gue. Gue pesen cheesy chicken kan, Embun suka banget sama keju-kejuan.

“Hehehe... Makasihhh.” Katanya seneng.

“Kayak bocah dah.” Ledek gue, tapi dia gak peduli, soalnya keenakan makan.

“Udah kenyang, Tuan Putri?” Tanya gue waktu doi udah abisin makanannya.

“Udah dong.”

“Paling nanti abis ngerjain juga misuh lagi pengen yang manis.” Dia nyangir lebar.

“Ya udah, kerjain aja dulu, cakep.” Gak lama, Embun buka laptopnya. Gue mah main hp doang sambil pamer ke anak kontrakan kalau gue udah gaul soalnya udah ke Mana. Ini sekarang ada tolak ukur kesuksesan pergaulan gara-gara Mingyu. Terus yang lain jadi kayak lomba buat nentuin siapa yang paling gaul. Pertemanan freak.

Gue pergi ke bawah sebentar setelah izin sama Embun, mau foto-foto bagian bawahnya mumpung lagi senja, asik. Biar ala-ala anak indie gitu kan. Udah ngopi, tinggal memotret senja.

“Lah udah main hp lagi aja nih anaknya Pak Rajendra.” Embun nengok terus nyengir.

“Istirahat dulu.”

“Baru juga setengah jam.”

“Buteekkk.” Rengeknya.

“Sini, biar gue jampe-jampe.” Gue megang kepalanya Embun, sok-sokan jadi dukun. Si doi cuma ketawa aja.

“Tentang yang tadi...” Gue nengok.

“Tadi apaan? Yang mana?” Embun natap gue.

“Ihh yang tadi di chat.” Gue ngerutin dahi.

“Sumpah ingetan gue pendek.” Bales gue.

“Ish... Itu... Yang kata lu gak jodoh.” Bibir gue refleks membentuk huruf 'o' waktu ngerti maksudnya Embun. Terus gue ketawa.

“Mau jodoh sama gue emang?”

“Menurut lu?”

“Mau lah, gue ganteng begini.” Percaya diri aja dulu ye kan.

“Nah itu tau.” Hampir aja gue keselek.

“Cie bucin abang ojol.” Ledek gue.

“Ihh seriusan. Kenapa ngomong gitu?” Gue diem sebentar.

“Nih ya, lu tau sendiri ada yang namanya jodoh, dan itu bukan ditentuin sama kita, udah ada yang ngatur. Kalau bisa ngatur mah gue juga maunya sama....” Dia natap gue. Kayak nungguin gue sebut namanya.

“Sama Pevita Pearce lah.” Detik selanjutnya ada si doi yang cemberut dan ngambek. Gue ketawa ngakak, lucu banget abisnya dia langsung ngotak ngatik laptopnya. Bibirnya manyun, ngetiknya kenceng banget buset, ngeri rusak itu keyboard.

Udah sepuluh menit dia ngambek, gue beneran ngeliatin Embun doang sambil senyam-senyum. Ini kali ya alesan temen-temen gue suka bikin ceweknya ngambek, gemes.

“Sholat dulu.” Aduh gue makin pengen ketawa pas dia masih tetep izin sholat walaupun lagi ngambek.

Kelar dia sholat, giliran gue yang sholat. Berdoa dah gue jodoh gue beneran Embun, gak mau yang lain selain Embun. Ahay bucin dah gue, padahal jadian aja belum. Selesai sholat, gue udah liat Embun yang lagi makan cake. Aduh ini anak beneran badmood dah, tapi lucu. Udahlah lemah banget gue.

“Bagi dong, manis.”

“Gak boleh.” Jawabnya galak. Pengen takbir rasanya gue, gue bucin parah ini gimana? Ngambek aja masih demen gue.

“Ngambek yang lama dah. Lucu.” Dia natap gue makin galak.

“Tuh kan, kayak kucing garong.” Bibirnya ditekuk, tapi tetep ngunyah.

“Beneran gak mau bagi kuenya?”

“Gak.”

“Bagi waktunya buat seumur hidup, boleh?” Kocak dah, dia ngunyah jadi slow motion gara-gara salting.

“Sama Pevita Pearce aja.” Gue terkekeh.

“Gak ah. Maunya sama Embun Fredella Ayudia anaknya Bapak Rajendra sama Ibu Nadya.” Bales gue.

“Katanya mau sama Pevita.”

“Kalau mau sama Pevita, gue udah daftar jadi artis biar ketemu doi. Tapi buktinya gue masih jadi abang ojol langganan princess Kiara Condong.”

“Nih. Jangan diabisin tapi.”

YA ALLAH, TOLONG JODOHKAN HAMBA DENGAN PEREMPUAN DEPAN HAMBA INI. GAK MAU NEGO, MAUNYA SAMA EMBUN AJA YA ALLAH.

Lucu banget gak sih dia langsung nyodorin kuenya pas udah gue puji-puji. Tapi minta kuenya jangan diabisin. Kata gue sih lucu, lucu banget, paling lucu sedunia. Bodo amatlah anjir dibilang alay, emang gue alay soalnya, baru jatuh cinta lagi ahay.

“Pengen gue unyel pipi lu, Embun.”

“Kok tiba-tiba?”

“Gemes gue sama lu.” Dia ngedelik, tapi wajahnya merah.

“Abis ini pulang ya, takut hujan, nanti kemaleman.”

“Yah...” Dia tuh suka gak mau balik. Heran banget. Padahal kalau gue punya rumah segede rumah Embun, maunya ngerem terus di rumah.

“Daripada nanti gue gak dibolehin lagi ngajak lu main.”

“Ya udah deh.”

“Yang tadi, gak usah dipikirin.” Dia ngangguk.

Dan akhirnya gue sama Embun balik setelah abisin kuenya, soalnya takut orang tuanya doi khawatir. Ya walaupun emang gue udah dikasih kepercayaan, tapi ya gue juga gak mau kepercayaan orang tuanya ilang. Nanti gue gak bisa main lagi sama tuan putri soalnya.

Gue cuma bisa ngehela nafas aja waktu Han pergokin gue senyum-senyum sendiri gara-gara chat Jingga. Daripada telinga gue panas kan, mendingan gue cepetan ketemu Jingga deh, udah kangen soalnya. Tapi emang dasarnya satu kontrakan sama anak-anak pamrih, sekarang mereka lagi inget-inget gue pernah pinjem apa aja ke mereka demi bisa titip makanan.

Gue pinjem motornya Mingyu, mumpung dia lagi betah di kontrakan, biasanya kan kelayapan terus. Soalnya hari ini Sabtu, makanya gue mau pake motor aja, soalnya pasti macet. Terus sayang aja gitu SIM C gue gak pernah kepake. Sekalian ngebiasain lagi, soalnya udah agak susah kelamaan gak bawa motor.

20 menit buat sampe di tempat kerja Jingga pake motor, jalanan juga lumayan macet tadi. Gue langsung masuk dan pesen kopi sama dessert. Soalnya gue udah makan sih sama anak kontrakan, ke café cuma karena kangen aja sama Jingga. Pas gue bayar, bukan Jingga yang jaga. Gue segera nyari kursi kosong dan ngedarin pandangan buat nyari Jingga. Senyum gue auto ngembang waktu pacar gue itu nengok dan liat gue.

“Loh dari kapan, Kak?” Tanya Jingga.

“Baru banget, aku aja baru bayar makanannya.” Jawab gue.

“Bentar, ya, Kak. Bentar lagi kok aku kelar, hehe.” Gue ngusap rambutnya.

“Iya, santai aja, dek. Aku asal liat kamu aja sebenernya. Gak apa-apa dilanjut aja kerjanya.”

“Bentar ya, Mas.”

Gue diem. Literally blank, without any thought. Just 'Mas'. Otak dan badan gue serasa ngalamin disfungsi buat sementara. Gue gak ngerti kenapa bisa sebeda ini kalau Jingga yang manggil gue 'Mas,' sementara yang lain gak ada yang bikin gue disfungsi otak cuma gara-gara satu kata doang.

“Ini, ya, Kak Shua.” Untungnya ada pramusaji yang bawain makanan gue, jadinya gue gak ngelamun kelamaan.

“Makasih, Dit.” Bales gue sambil senyum. Fyi, pegawai sini udah kenal sama gue, mungkin karena gue sering kesini plus pacarnya Jingga juga, jadinya pada tau.

“Udah, Kak!” Jingga senyum lebar sambil duduk sebrang gue. Gue bales senyumannya.

“Capek gak?” Tanya gue, dia gelengin kepala sambil minum strawberry smoothie-nya.

“Seneng deh, banyak yang datang hari ini, hehe.” Gue ikutan senyum pas dia nyengir.

“Tadi tuh ada mahasiswa deh kayaknya kesini, terus pesen cookies banyak banget, ternyata buat pacarnya ultah.” Ceritanya. Gue nopang dagu dengan mata gue yang fokus ke Jingga. Ikutan senyum selama dia cerita, soalnya lucu aja kalau lagi excited.

“Terus terus, tadi kayaknya ada yang lagi main-main tod gitu, terus kayaknya kena dare, tiba-tiba joget di tengah café masa, terus orang-orang pada ketawa.” Gue ikutan ketawa dengernya. Dan si dia terus cerita, dan gue tetap fokus, gak bosen sama sekali, seneng banget dia bawel. Lu tau gak sih pengen unyel itu pipinya.

“Hehehe, aku cerewet ya, Kak?” Gue terkekeh.

“Banget.” Dia nyengir.

“Gak apa-apa, aku suka kamu bawel. Lucu soalnya.”

“Hehehe.”

“Katanya Uji, kamu ditanyain Helen tuh.”

“Ihh iya. Aku udah lama gak main sama Helen. Mau uts kan, jadinya sibuk.”

“Aku juga bilang gitu sih ke Uji. Nanti aja kalau udah beres uts, baru main sama Helen.”

“Ihh tapi kasian Helen gak ada temen.”

“Ada kok, tenang aja. Audrey sering main, Binar juga sering. Kalau Aul udah agak jarang, soalnya udah kerja kan.”

“Binar tuh Kejora kan?” Gue anggukin kepala.

“Gak dibolehin tuh sama Mingyu panggil Kejora. Dia doang yang boleh.” Jingga ketawa dengernya. Padahal gak gitu sih aslinya. Mingyu kalem aja, cuma gara-gara candaan anak kontrakan, gue jadi ikutan manggil Binar.

“Lucu deh mereka, dua-duanya bongsor, tapi kayak anak kecil kalau udah berantem.”

“Lucuan kita sih, dek.”

“Hidih hidih, Om Shua gak mau kalah.” Kalau gue Mingyu, udah cemberut kayaknya gue dibilang gitu. Tapi gue Shua yang dewasa, gak akan gue begitu.

“Bener tau, dek. Katanya anak kontrakan, kita adem, lucu. Kan aku jadi mau pamer terus.” Jingga ketawa denger omongan gue.

“Gak boleh pamer tau, Kak.” Katanya.

“Tapi aku maunya pamer.” Jiwa riya gue suka kumat kalau anak kontrakan udah muji-muji hubungan gue sama Jingga.

“Sekali-sekali aja. Hahaha.” Gue ikutan ketawa mulu tiap dia ketawa. Apa ini yang namanya bucin?

“Bentar, ya, dek.” Gue ngejauh sebentar dari Jingga karena ada telepon masuk dari nomor gak dikenal.

“Halo?”

Gue langsung diem waktu denger suara di sebrang sana. Gue kenal suaranya. Kenal banget dan mood gue seketika anjlok waktu dengernya. Setelah diem beberapa detik, gue segera tutup sambungannya, dan matiin hp gue.

“Kenapa, kak?” Gue senyum sambil gelengin kepala.

“Beneran?” Tanyanya.

“Kantor, dek.” Jawab gue bohong.

“Oalah.” Balesnya.

“Jalan yuk, Dek? Kemana gitu, pengen nyari udara seger gitu. Bosen banget jalannya cuma Braga lagi. Asia Afrika lagi. Gatsu lagi.”

“Mau kemana?”

“Lembang, yuk?”

“Seriusan, Kak? Aku gak bawa jaket.” Katanya.

“Beli dulu aja ayok.” Udah pasti nolak sebenernya.

“Gak usah ih, ngapain coba.” Tuh kan.

“Dari pada kamu kedinginan.”

“Ya tapi sayang tau, Kak.”

“Kan nanti bisa dipake lagi, dek.”

“Tapi—”

“Yuk, keburu hujan.” Gue potong omongan Jingga dan segera ngegenggam tangannya, terus bawa dia ke mall paling deket dari café-nya buat beli sweater.

“Kak, beneran deh aku gak apa-apa.” Katanya waktu kita berdua udah sampe mall.

“Aku gak menerima penolakan.” Bales gue.

“Ih, kakkkk.” Rengeknya. Gue ketawa kecil.

Setelah beberapa menit gue muter-muter outlet yang ada disana, akhirnya dapet sweater yang menurut gue lucu kalau Jingga yang pake. Gue segera bayar dan balik lagi ke motor buat menuju ke Lembang.

“Kak, aku makasih banget kakak beliin aku, makasih banyak.” Katanya.

“Tapi lain kali jangan gini, ya, kakak. Ditabung tuh uangnya, kan lumayan lima ratus ribu.” Jingga tuh kalau masalah keuangan, rapi banget. Maksudnya dia suka bikin priority list biar uangnya lebih ke ordinir aja. Cocok dijadiin istri gak sih?

“Aku tuh kalau sama kamu love language-nya tuh jadi giving a gift.” Bales gue.

“Akunya gak enak tau, kak.”

“Gak apa-apa padahal, dek.”

“Ish... Pokoknya nanti lagi jangan impulsif kayak tadi.” Gue senyum sambil nyubit hidungnya. Soalnya mau ngelus kepala, tapi dianya udah pake helm. Asli deh, tau mau ke Lembang, pake mobil aja. Emang bener kata Jingga, gue impulsif kalau jalan-jalan gini. Gak direncanain dulu.

Selama di jalan, gue diem aja. Biasanya tuh ngobrol banyak kalau naik mobil. Tapi ini gak bisa, soalnya gak kedengeran. Terus pikiran gue juga bercabang gara-gara telepon tadi.

“Kak... Jalan.” Katanya Jingga waktu udah lampu hijau. Gue kaget sendiri gara-gara ada yang klakson, dan segera jalanin motor.

Kurang lebih setengah jam, gue sampe ke Lembang. Gak tau sebenernya mau kemana. Asal jalan aja dulu. Gue rasanya butuh banyak asupan oksigen sama liat pemandangan biar otak gue bisa jernih lagi.

“Coba tolong dek, cari tempat makan yang bagus.” Kata gue.

“Bentar.” Jingga buka hp-nya, terus nyari rekomendasi tempat makan sekitar situ.

“Ini aja, ya?” Kata Jingga sambil liatin suatu tempat.

“Boleh boleh. Gak jauh juga dari sini.” Dan gue segera lajuin motor ke tempat yang direkomendasiin Jingga. Gak sampe sepuluh menit buat sampe. Gue dan Jingga segera masuk dan pesen cemilan, soalnya kita berdua udah makan.

“Abis uts mau pulang gak?” Tanya gue.

“Pulang! Aku udah janji ke ibu bapak mau pulang.” Katanya.

“Aku anter, ya?”

“Ih gak usah, kak. Capek tau.”

“Gak capeklah kalau sama kamu, sekalian bikinin cookies.” Gue terkekeh.

“Suka banget kayaknya sama cookies.”

“Suka yang bikinnya sih.”

“Omongannya kayak template buaya banget.” Cibir Jingga, lagi-lagi gue ketawa.

“Diajarin Seungcheol sama Mingyu kan.”

“Nyalahin terus dih.”

“Kayaknya kalau udah masalah gombal gitu, emang yang ahli ya mereka berdua. Kamu tau sendiri mereka berdua gebetannya dua. Mingyu sih banyak.” Jingga ketawa.

“Aku kira cuma sama Binar.”

“Gak tau deh, gak jelas Mingyu tuh.”

“Jadi ghibah.” Kita berdua sama-sama ketawa.

Gak lama, makanan kita datang. Gue sama Jingga makan-makan doang, pelan-pelan, soalnya emang masih kenyang, tapi ya masa gak pesem makanan kan. Kita berdua makan sambil ngobrol-ngobrol. Ngobrolin orang tua Jingga, adek-adeknya, temen-temennya juga, gue juga ngomongin anak kontrakan. Waktu kita gak ada lagi topik, kita berdua sama-sama diem.

“Kak.” Jingga manggil gue. Gue nengok dan dia keliatan serius.

“Kenapa, dek?”

“Aku tau kakak mungkin gak suka ceritain hal-hal yang gak ngenakin ke aku.” Katanya. Gue diem, nunggu omongan dia selanjutnya.

“Tapi, kak, aku disini bukan cuma sekedar pacar kakak aja. Aku juga mau jadi support systemnya kakak, mau dengerin keluh kesahnya kakak. Kak Shua gak perluk bahagia terus depan aku, kalau lagi capek, aku bisa kasih kakak bahu aku, bisa kasih pelukan, nanti aku puk-puk kepalanya.” Katanya dia sambil senyum. Emang bener sih, selama ini gue gak pernah ceritain hal-hal yang menurut gue ngebebanin pikiran gue ke Jingga.

“Kakak boleh kok ngebagi bebannya ke aku. Aku seneng kalau kakak bisa terbuka sama aku masalah apapun itu. Walaupun mungkin aku gak bisa kasih solusi, tapi seenggaknya kakak gak pusing sendirian.” Gue diem sebentar, terus senyum dan nyubit pipinya.

“Udah gede ternyata.”

“Aku emang udah gede, ya, Kak.” Gue ketawa.

“Iya, adek.”

“Iya apa?”

“Iya, nanti kalau ada yang bikin pusing, aku cerita ke kamu.”

“Janji?” Jingga nyodorin kelingkingnya.

“Janji.” Bales gue.

“Masalah tadi yang ditelepon? Mau cerita sekarang?” Gue natap dia.

“Ketauan, Kak. Tadi pas kakak selesai telepon, wajah kakak agak kusut. Terus kakak banyak diemnya. Walaupun kakak sembunyiin, tapi lumayan keliatan kalau telepon tadi bikin kakak kepikiran.” Bisa ya ada orang baru kenal lima bulan, tapi udah bisa baca ekspresi orang.

“Gak sekarang, ya, dek?” Jingga diem sebentar, terus senyum.

“Iya, Kak. Take your time. Asal inget aja, aku selalu ada buat kakak. I'm all ears, Kak.” Gue usap rambutnya, diem-diem bersyukur karena Tuhan kirimin Jingga buat gue.

What Kind of Future

Mingyu senyum lebar waktu dia akhirnya menghirup udara Amerika. Dia segera duduk di salah satu kursi, nunggu seseorang datang menjemputnya.

Kurang dari sepuluh menit, Jeonghan menghampiri Mingyu. Lelaki yang lebih jangkung tersenyum lebar kemudian meluk laki-laki dengan rambut berwarna honey brown.

Miss you.” Ucap Mingyu sambil memeluk Jeonghan erat.

Same here.” Balas Jeonghan.

Let's go home. Panas banget.” Keluh Jeonghan dan membuat Mingyu terkekeh. Lelaki jangkung itu menggeret kopernya menuju ke Mobil Jeonghan.

Are you used to driving on the left?” Jeonghan memutar bola matanya.

I had lived for two years, sir. In case you forget that.

Teach me then.

If you live here for the rest of your life, I'll teach you.

With you? Okay.” Goda Mingyu, dan lagi-lagi membuat Jeonghan memutar bola matanya.

Ugh... Still the old Kim Mingyu I used to know.

The old Kim Mingyu? Elaborate it, baby.

The flirty one.” Kekehan keluar dari bibir Mingyu.

“Seokmin gimana?” Tanya Jeonghan.

“Makin stres.” Jawab Mingyu.

“Bucin?”

“Dih tau-tauan bucin.”

“Taulah.”

“Heeh, anaknya bucin banget. Padahal belum jadian.” Cibir Mingyu.

“Sama aja kayak kamu dulu.” Mingyu memalingkan wajahnya.

“Aku dulu gimana?”

“Suka flirting padahal belum jadian, bucin lagi.” Mingyu tertawa kencang.

“Masa yang cakep gini dianggurin?” Jeonghan mendengus.

“Di apartment aku kan nginepnya?”

“Iya, Han. Kan ada yang minta ditemenin.”

Shut up.

Gak lama, keduanya sampai di kediaman Jeonghan. Mingyu langsung keluarin kopernya dan bawa masuk ke apartment tipe studio itu. Apartemen dengan teman monokrom itu keliatan rapi dan semua barangnya tertata

“Satu kamar doang?” Tanya Mingyu.

“Kamu di ruang tengah.”

“Kalau gitu mending aku cari hotel.”

“Gih cari.”

“Gak deh, kangen mantan.” Mingyu ngeluarin baju-bajunya terus dia simpen di lemari Jeonghan.

Take a shower. Aku mau beli makanan.” Ujar Jeonghan.

“Oke. Cepet, ya. Laper nih, hehe.” Mingyu segera bersihin badannya di kamar mandi yang ada di dalam kamar Jeonghan. Ngebasuh badannya yang udah kerasa lengket setelah satu hari perjalanan.

“Gyu, lama banget. Katanya laper?” Teriak Jeonghan dari luar kamar mandi.

Wait!” Gak lama, Mingyu keluar dari kamar mandi dengan anduk yang ngelilit bagian bawah tubuhnya. Jeonghan diam sambil natap mantan kekasihnya itu.

You're much buff, sir.” Ucap Jeonghan sambil terus natap tubuh atas Mingyu yang gak ketutup apapun.

“Dih, diliatin mulu. Mesum.” Ledek Mingyu. Kemudian ia jalan buat ambil kaos dan celana pendeknya.

“Beli apa?” Tanya Mingyu.

“Sekalian buat dinner.” Ada banyak makanan di atas meja makan.

“Mau disuapin dong.” Rengek Mingyu.

You're not baby.” Mingyu ngerucutin bibirnya.

“Makan sendiri.” Jeonghan udah nyuapin makanan ke mulutnya sendiri. Mingyu mendekat dan segera buka mulutnya. Laki-laki itu bakalan terus ngeganggu kalau Jeonghan gak juga suapin dirinya makan.

“Kamu tuh...”

“Aaaa...” Jeonghan akhirnya nyuapin Mingyu dan bikin laki-laki itu senyum lebar sambil ngunyah makanannya.

“Udah kabarin Seokmin kalau kamu udah sampe?” Mingyu gelengin kepalanya.

“Bukannya kabarin dulu.”

“Udah update twitter.” Jawab Mingyu dengan mulut penuh.

“Males buka WA lagian. Mau liburan aja selama disini, gak akan buka WhatsApp dulu.”

“Bagus.” Balas Jeonghan.

“Kangen banget kayaknya nih?” Jeonghan nyubit pinggang Mingyu, sementara lelaki yang dicubit cuma terkekeh.

Setelah acara makan mereka selesai, Mingyu udah berniat buat istirahat, karena perjalanan selama satu hari bikin dia ngantuk dan capek.

“Han... Bobok dong bareng aku.” Jeonghan gelengin kepalanya. Dia malah duduk di sofa ruang tengah dan ngotak-ngatik remot buat cari serial Netflix.

Mingyu cemberut, lelaki bongsor itu deketin Jeonghan dan tidur dipahanya. Jeonghan gak protes, dia masih sibuk nyari film yang mau dia tonton.

Selama film diputar, Mingyu tidur dan Jeonghan tetep nonton tanpa terganggu sama sekali. Sesekali Jeonghan mainin rambut Mingyu sambil nonton. Setelah filmnya selesai, Jeonghan terkekeh gara-gara denger dengkuran Mingyu selama tidur. Dia usapin pipi Mingyu yang keliatan capek banget. Sampai Jeonghan cubit-cubit pun, Mingyu tetep bergeming, nandain kalau laki-laki itu tidur nyenyak.

▪️▪️▪️▪️▪️

Udah dua hari Mingyu gak ngabarin Wonwoo dan bikin dia jadi kayak orang gak ada gairah hidup. Wonwoo daritadi cuma mainin hp-nya, ngescroll twitter sampe dia bosen sendiri.

Wonwoo ngedarin pandangannya dan cuma ada Joshua disana sambil senyum-senyum sendirian liatin hp-nya.

“Gak pegel tuh pipinya, Kak? Lebar banget senyumnya.” Joshua nengok ke arah Wonwoo dan dia cuma ketawa aja.

“Pasti chat sama Seokmin.” Lagi-lagi Joshua senyum lebar.

“Dih, gue telepon Seokmin ah, mau ngadu kakak gue senyum-senyum sendiri.”

“Ihh jangan! Biarin aja.”

“Greget abisnya. Gemes banget kalian tuh.”

“Hahaha, gemes gimana?”

“Pokoknya gemes. Seokminnya manja, kakaknya suka manjain. Lucu jadinya.”

“Kayaknya kalau lu sama Mingyu juga gitu sih. Mingyu kan manja banget.”

“Iya tuh, Mingyu tuh manja banget anaknya. Sukanya ditemenin terus, kalau lagi sakit tuh ya, gak mau ditinggal.” Celotehan Wonwoo itu dibales kekehan sama Shua.

“Terus lu manjain dia?” Wonwoo terlihat salah tingkah.

“Ya.... Biar cepet kan. Soalnya dia berisik.” Ujar Wonwoo. Shua cuma anggukin kepalanya sambil senyum penuh arti.

“Yang lain kemana deh?” Tanya Wonwoo, karena hanya ada mereka berdua sedari tadi.

“Ochi Uji biasalah, mojok. Seungkwan kayaknya tadi tuh ada yang samperin, kayaknya lagi makan.”

“Sepupu Kak Cheol?” Tanya Wonwoo.

I guess yes. Soalnya bule gitu.” Wonwoo menganggukan kepalanya karena sudah pasti itu adalah Hansol, sepupu Seungcheol.

“Kakak temenin gue disini.” Bukannya jawab, Shua malah nyengir lebar bikin Wonwoo curiga.

“Jangan bilang mau ketemu Seokmin?”

“Hehe. Kalau mau ikut ayok aja.”

“Gak deh. Gak mau jadi nyamuk, thanks.

“Emang gak mau tau kabarnya Mingyu?” Wonwoo diem sebentar denger penawaran Joshua.

“Gak deh. Mau balik aja. Mau tidur.”

“Yakin?”

“Ihh, Kak Shua tengil gini pasti ketularan Ochi.” Protes Wonwoo.

“Hahaha. Ya udah kalau gitu, gue mau ketemu Seokmin dulu, ya. Dadah.”

“Hmm... Hati-hati, kak.”

“Lu juga, Won.”

Tinggal Wonwoo sendirian di ruangannya. Laki-laki berkacamata itu ngehembusin nafasnya. Gak tau kenapa dia kesel sendiri sama Mingyu. Rasanya pengen marah-marah, tapi kenapa juga dia harus marah? Mingyu aja gak ngelakuin kesalahan apa-apa. Waktu Wonwoo lagi sebel sendiri, ponselnya berdering dengan nama Seungcheol di layarnya.

“Halo, Kak?” Jawab Wonwoo.

Sibuk gak? Jalan yuk kalau gak sibuk.

“MAU!” Balas Wonwoo antusias dan menimbulkan kekehan dari sebrang sana. Setelah itu, Wonwoo putusin sambungan teleponnya dan siap-siap buat ketemu Seungcheol.

Kurang dari 20 menit, Seungcheol udah sampe depan kantornya Wonwoo. Laki-laki itu senyum lebar waktu liat Wonwoo dadah ke arahnya.

“Yuk.” Seungcheol bukain pintu buat Wonwoo dan halangin atas mobilnya biar Wonwoo gak kebentur.

“Mau kemana, Kak?” Tanya Wonwoo.

“Jujur, aku gak tau sih mau kemana.”

“Yeuuu dasar.” Wonwoo terkekeh.

“Kamu mau kemana gak gitu?”

“Kakak tau Mercusuar Cafe gak?”

“Tau tau, yang di Dago itu kan?”

“Iya! Mau kesana gak?” Seungcheol ngelirik sebentar ke arah Wonwoo, terus terkekeh karena matanya berbinar-binar.

“Oke, ayok kita kesana.”

“Yes! Oke, Kak!” Wonwoo senyum lebar, dia ngerasa seneng banget udah kayak mau study tour.

Meskipun hari kerja, jalanan menuju ke Dago Pakar tetep aja cukup padat. Mungkin karena banyak café disana, jadinya orangpun milih destinasi di area situ.

“Ih, penuh.” Ujar Wonwoo waktu keluar dari mobil Seungcheol dan liat kalau café itu penuh.

“Liat dulu aja yuk, dek.” Wonwoo anggukin kepalanya dan ngelangkah bareng Seungcheol ke dalam cafénya. Beruntung masih ada tempat kosong buat mereka. Wonwoo beneran keliatan seneng. Daritadi dia foto-foto spot cafénya dan gak berhenti ngucap kagum.

“Kayaknya karena masih baru ya, jadinya penuh gini.” Kata Seungcheol waktu keduanya udah duduk.

“Iya sih, Kak. Ini belum ada seminggu kan.” Bales Wonwoo.

“Iya. Pantes sih rame. Pasti banyaknya mahasiswa deh.”

“Pastilah, liat aja tuh rombongan.” Kekeh Wonwoo.

Keduanya ngobrol-ngobrol sampai makanan mereka datang. Wonwoo dan Seungcheol segera ngelahap makanannya sampai habis. Gak lama, hujan turun, bikin udara disana semakin dingin. Wonwoo keliatan sedikit menggigil. Seungcheol segera ulurin tangannya dan ngegenggam tangan laki-laki itu.

“Dingin banget, ya?” Tanya Seungcheol. Wonwoo anggukin kepalanya.

“Mau pulang sekarang aja?”

“Sebentar lagi deh, Kak. Hehe.” Laki-laki yang lebih tua ketawa kecil karena gemes. Seungcheol masih betah ngegenggam tangan dan pandangin wajah Wonwoo. Gak ada pemandangan yang lebih indah daripada makhluk di hadapannya sekarang. Sementara Wonwoo masih betah natap ke sekitarnya.

Setelah hampir tiga jam mereka ngobrol, akhirnya kedua insan itu milih buat pulang karena matahari udah digantiim sama bulan. Wonwoo pake hoodienya Seungcheol selama di mobil, karena laki-laki itu gak tahan dingin. Wonwoo banyak ngomong selama di jalan, tanda kalau dia excited. Seungcheol cuma bagian denger aja sambil senyum karena gemes dengerin Wonwoo yang antusias.

“Makasih banyak, ya, Kakkk. Aku seneng deh, hehe.” Seungcheol gak bisa buat gak ngusap ramburnya Wonwoo.

“Aku juga seneng kalau kamu seneng.”

“Ya udah, kakak pulang gih, udah malem gini. Nanti aku balikin hoodienya kalau udah dicuci.”

“Santai aja, Won. Gak dicuci juga gak apa-apa, aku suka wangi kamu.” Wonwoo terkekeh sampe hidungnya ngerut bikin dia keliatan gemes berkali-kali lipat.

“Ya udah, aku pamit, ya.”

“Iya, hati-hati, ya, Kak.”

Wonwoo segera masuk apartmentnya, dan lagi-lagi dia balik murung. Dia segera cek ponselnya, tapi tetep ana gak ada notif dari orang yang dia tunggu. Wonwoo ngehembusin nafas sedih. Setelah itu dia langsung pergi mandi dan tidur biar lupa sama yang lagi di US sana.

Udah seminggu semenjak kejadian sidang Nada alias kejadian dimana gue tau kalau dia sebenernya udah punya tunangan. Empet banget rasanya gue. Kalau punya tunangan bisa kali bilang gitu ke gue. Kalau misalnya ada yang bilang, 'kan bisa aja dia gak tau kalau gue suka?'

LEDIG. MANA MUNGKIN DIA KAGAK TAU? ORANG GUE SERING NGAJAK DOI SERIUS, TAPI DIA CUMA KETAWA AJA.

Ya okelah awalnya gue mikir, mungkin dia gak mau serius soalnya masih 20-an juga kan, masih muda lah doi, bisa ngerti gue.

YA UDAH SIH INTINYA GUE EMOSI AJE KALAU INGET ITU KEJADIAN. NGERASA GOBLOG BANGET NGERTI GAK?

Astagfirullah. Emosi kan hamba. Mana masih sekantor. Gue pengen dipindahin ke kantor lain rasanya. Males banget dah anjir. Jujur aje, sepet gue liat mukanya. Gue sering ketemu kalau lagi istirahat. Nafsu makan gue jadi ilang. Gak deh canda, gue mah tetep makan walaupun sepet juga. Orang kantor juga banyak yang nanyain kenapa gue udah jarang sama Nada. Gue selalu bilang,

“Gue bau jigong kali.”

Terus yang nanya malah ngeiyain. Sialan. Mana ada gue bau jigong? Wangi pepsodent gini juga.

Nih pagi ini, gue baru liat kejadian cringe yang bikin gue empet, sepet, pengen lempar telor pokoknya. Apa coba yang gue liat?

Adegan si Nada dikecup pipinya sama tunangannya.

Anjeng emang, kenapa gue harus diperlihatkan? Minus gue langsung nambah sih ini mah. Mana semakin anjeng karena tunangannya itu malah manggil gue.

“Eh, abang yang waktu itu datang ke sidangnya Nada kan?” Gue senyum sementara si Nada keliatan mati kutu.

“Iya, haha. Gimana kabarnya? Sehat, bro?” Sksd aja gue mah, padahal empet.

“Sehat. Abang sehat?”

“Hamdalah sehat.”

'Hati gue yang kagak sehat, anying.'

“Kapan nih nikahannya?” Tunangan si Nada ketawa, sementara si Nada keliatan kaget gara-gara pertanyaan gue.

“Doain aja secepetnya, ya, Bang.”

“Aamiin. Jangan lupa undang gue, yak.” Gue nepuk pundak tunangan Nada. Gue lupa namanya siapa, padahal mau gue tulis di death note. Canda. Gak penting juga sih inget namanya.

“Gue duluan.” Gue segera masuk kantor.

“Kak!” Sebelum gue naik lift, Nada manggil gue. Ekspresi gue udah gak friendly kayak tadi. Langsung datar pas berdua sama Nada di lift. Plis lah ini kenapa kerasa lama bener lift-nya.

“Kak.”

TING.

Gue langsung keluar begitu lift kebuka. Ninggalin Nada yang jalan sambil manggil gue. Hadeh, kenapa juga satu lantai gue sama dia.

“Pagi, Pak.” Gue cuma anggukin kepala gue ke karyawan-karyawan baru.

“Gue ada gawean gak?” Tanya gue ke Minhyun, partner gue.

“Gak ada sih, Han. Kenapa?”

“Mau cabut, empet banget gue diem di kantor. Kayak ada hawa negatif.” Minhyun ketawa denger omongan gue. Iya, itu anak tau gue sama Nada kenapa.

“Lu aja kali yang hawa negatif, yang lain biasa aja tuh.” Ledek dia.

“Berisik lu ah. Udah ya, gue cabut.”

“Jangan dulu lah, nanti aja siangan dikit, istirahat noh. Sekarang mana boleh.”

“Boleh aja sih. Hirup aing kumaha aing.” Minhyun nepuk bahu gue, kebiasaan dia kalau lagi ketawa.

Ketika jam udah nunjuk diangka 10, gue segera pergi dari kantor. Tolong jangan ditiru, ya, anak-anak. Gue adalah contoh yang tidak baik. Setinggi apapun jabatan lu, jangan disalah gunakan.

Jujur aja nih gue bingung mau kemana. Kalau jalan ke café gitu, males ah, sayang duit. Kalau ke kontrakan, gak ada siapa-siapa.

Oh iye, ke kantor si Shua lah, sekalian ketemu abang. Gue segera otw ke kantor Shua yang ada di daerah Sukajadi. Bandung gak macet, soalnya ya lagiweekday dan jam kerja. Jalanan lumayan lengang, gue bisa ngebut, tapi gak ngebut banget, gue bukan Mingyu yang suka caper.

Setelah kurang lebih 20 menit, gue sampe di kantornya Shua. Gue telepon aja anaknya, cuma nanya aja dia ada di kantor apa nggak, gak bilang kalau gue udah di kantornya.

Gue pun masuk setelah dapet jawaban kalau Shua lagi di ruangannya. Gue tau sih ruangan dia dimana, akhirnya gue masuk aja. Gak tau diri emang gue.

“Pak Shua, ada panggilan.”

“Dari siap... Ngapain lu disini?” Et dah, bukannya disambut.

“Gabut. Jajanin dong.” Cowok keturunan Amerika itu natap gue datar.

“Gak tau diri.” Balesnya sambil main hp-nya.

“Gawe, malah bucin.” Ledek gue. Tapi Shua gak jawab, dia malah cekikikan sambil liatin hp-nya. Perasaan gue gak enak dah. Gue langsung cek hp dan bener aje curut-curut lagi pada ghibahin gue.

“Udah puas ghibah gue?” Sindir gue.

“Gak akan ada rasa puas.” Bales Shua terus sibuk lagi ketawa-ketiwi.

“Gak ada hormat-hormatnya lu sama yang lebih tua.”

“Biasanya juga gak mau dibilang tua.”

“Kalau dalam keadaan terdesak, gue mau.”

Shua gak nanggepin gue. Bener-bener dah ini om-om. Gue liat-liat ruangannya Shua. Keren juga ini orang kalau diliat-liat. Banyak penghargaannya.

“Abang ada gak?” Tanya gue. Bosen dah malah dicuekin.

“Gak tau deh. Coba tanya Dynar.” Gue gelengin kepala.

“Ogah. Deket juga kagak.”

“Jangan gitulah sama calon kakak ipar.” Nih si Shua gaul sama sape sih sampe tengil begini?

“Laper dah. Makan makan. Lu gak istirahat apa?”

“Ya udah deh makan.”

Kita berdua segera turun ke resto yang ada di deket kantornya Shua. Sebelum pergi, ada Dynar, gebetan apa pacarnya abang, ya? Gak tau dah udah jadian apa belum.

“Loh, Han? Ngapain?” Kayaknya gue harus kebiasa sama nada dia yang galak. Katanya Shua, wajar aja kalau Dynar tuh keliatan galak, sebenernya bukan galak, tegas. Soalnya dia kan HRD, ya. Mungkin kebiasaan interview anak magang.

“Gabut.” Bales gue.

“Abang kemana?” Lanjut gue.

“Ke Jakarta kan.” Jawab Dynar.

“Oh, cabang baru?” Pertanyaan Shua itu dibales anggukan sama Dynar. Keren dah abang gue.

“Ya udah, gue sama Jeonghan mau makan di resto sebelah, mau ikut?” Dynar ngelirik gue dulu. Kayaknya ini cewek tau kalau gue rada gedeg sama dia gara-gara pertemuan awal kita berdua gak ngenakin.

“Ikut aja sih. Belum makan kan, lu?” Tanya gue.

Akhirnya kita bertiga makan bareng di resto samping kantor mereka. Mahal anjrit, biasa beli warteg 10rebu kenyang.

“Lu gak kerja?” Tanya Dynar.

“Gak ada kerjaan. Makanya kesini.”

“Gak ada kerjaan apa ngehindar?” Pengen gue sumpel tisu mulut si Shua. Dynar ngelirik gue dengan alisnya yang naik sebelah.

“Yang bikin lu marah waktu di Telkom?” Gue lupa kalau gue ke Telkom kan boncengin Dynar.

“Iya.” Jawab gue. Dia cuma nganggukin kepala. Kayaknya gak enak mau nanya-nanya lagi.

Dynar nih kalau diliat elegan banget anjir auranya. Dari cara makan, ngomong, sama jalan. Emang bagus aja kali ya manner-nya, mana orang hotel kan. Shua juga sama sih. Di kontrakan juga dia doang yang kalau makan pake sendok garpu, padahal makannya nasi padang. Hao aje kalau makan nasdang mah tetep down to earth, pakenya tangan, walaupun abisnya ngeluh gegara tangannya masih bau.

“Halo?”

Shua pergi ngejauh sebentar buat terima telepon, dari atasannya, gue ngintip tadi, kirain dari ponakannya alias Jingga.

Gue sama Dynar lanjut makan sambil diem-dieman, soalnya bingung mau ngobrol apa. Tapi kagak enak banget anjir, awkward dah.

“Gimana sama abang?” Akhirnya setelah mikir keras, dapet juga topik.

“Baik aja.” Anying, jawab apa kek gitu buat memperpanjang percakapan enih.

“Oh.” Gue diem lagi. Dia juga diem.

“Belum dipacarin?” Tanya gue lagi setelah beberapa detik diem.

“Belum.”

ASTAGFIRULLAHALADZIM. Abang gue ngobrolin apa dah kalau lagi berduaan sama ini cewek. Gue emosi sendiri. Akhirnya gue diem lagi. Daripada gue kesel kan gegara dia kagak komunikatif. Mana si Shua lama lagi teleponnya pengen gue ketok jidatnya pake sendok.

“Ada apa?” Tanya Dynar setelah Shua kelar nelepon.

“Ini ada audit yang ditanyain, gue harus ke kantor lagi. Sorry ya, Han, gue tinggal. Dah.” Keliatannya Shua buru-buru. Gue cuma ngangguk aja.

Whoosh.... Lebih gede suara angin daripada meja gue sama Dynar. Kagak ada yang ngomong abisnya. Mana restonya lagi gak penuh. Cuma ada lima sampe delapan pelanggan.

“Lu... Gak apa-apa?” Gue nengok ke Dynar, natap dia bingung.

“Itu... Telkom...” Gue buka mulut gue, ngucap 'oh' tanpa suara, terus ketawa miris.

“Gak apa-apa sih.” Jawab gue. Padahal mah... LEDIGGGGGG. GUE KENAPA-NAPA ANJINGGG.

“Masa sih? Kemaren keliatannya marah banget sampe merah tuh wajahnya.” Aduh cara bicaranya sarkas banget.

“Dih, gak percayaan. Kan waktu itu doang marahnya.” Dynar natap gue dengar satu alisnya naik. Sekarang tangannya pindah ke dagu, punggungnya nyender ke kursi. Anjir gue merasa terintimidasi sama gestur dan tatapannya sekarang.

“Pertama, lu jawabnya gak langsung, mikir dulu, padahal tinggal jawab iya atau nggak. Kedua, sebelum lu jawab, lu ngehembusin nafas. Ketiga, lu ketawa yang gue yakin itu ketawa miris karena keadaan lu. Terakhir, lu gak natap gue waktu jawab.”

Buset dah, bisa-bisanya dia merhatiin sebegitunya. Gue semakin terintimidasi kalau kayak begini. Dia cenayang apa gimana sih.

“Gue HRD kalau lu lupa job gue di tempat kerja.” Gue sekarang ketawa beneran, Dynar ikut ketawa.

Aduh, gagal gue nyembunyiin emosi gue kalau gue sebenernya kenapa-napa. Emang kagak usah dah lu punya temen HRD, ketauan lu kalau boong. Ini gue di kontrakan aja udah sering ketauan boong sama mahasiswa psikologi alias si Uji. Eh maap, dia udah sarjana.

“Jadi? Kenapa-napa?”

Anyingggg. Mencelos hati gue ditanya begitu. Tepat sasaran, bung.

“Menurut lu gimana? Tebak lagi dong.” Dynar natap gue sambil micingin matanya sambil megang jidat gue.

“Ngapain lu?”

“Membaca aura.”

Gue speechless. Ternyata bener kata anak kontrakan, Don't judge a book, gedebak gedebuk. Bisa konyol juga ini cewek. Shua juga pernah bilang kalau Dynar sebenernya asik kalau udah kenal, ternyata bener dah.

“Bagaimana, mah? Sudah bisa menerawang?”

“Aura kamu suram, dek.” Et dah, becanda aja nak gadis.

“Itu kayaknya udah dari lahir.” Bales gue.

“Aura tertekan. Ada banyak hawa negatif di sekitarmu. Sebaiknya kamu mencari hiburan.” Gue ketawa, dia juga ketawa. Udahan cosplay peramalnya.

“Koplak juga lu.” Kata gue.

“Makanya jangan dulu asal nilai orang dalam beberapa kali pertemuan.” Anjir, dia tau lagi kan kalau gue emang awalnya gedeg sama dia.

“Lu nih HRD apa cenayang sih?”

“Dua-duanya bisa.” Dia terkekeh.

“Keliatan dari wajah lu kalau ketemu gue, judgy.” Gue terbahak gara-gara kata terakhirnya.

“Ya maap, settingan muka gue kayak begini.” Bales gue, dia cuma ngedelik.

“Lu masih satu kantor sama ceweknya, ya?” Tanya Dynar.

“Gak ada yang kasih tau, dari tadi gue kan disini dengerin lu sama Shua ngobrol.” Emang bener sih gue suudzon, gue kira dikasih tau abang atau Shua.

“Hahaha, iya, masih sekantor. Miris gak sih?”

“Banget.” Gue ketawa denger jawaban dia.

“Mana tadi gue liat cipika cipiki lagi. Mata gue ternodai.” Dynar nepuk pundak gue, tapi wajahnya tuh ketawa ngeledek.

“Gue punya banyak temen cakep kalau lu mau.” Ini gak tau Dynar serius apa nggak, gue gak bisa bedain.

“Tunangan orang bukan? Kalau iya, skip. Luka lama terbuka kembali.” Kata gue mah gue cocok main drama Korea kedemenan si Seungkwan.

“Istri orang mau?”

“Tawaran lu sangat ekstrim, Nar. Thanks.” Dynar ketawa lagi, gue berasa seperti badut.

Cewek itu ngelirik jam tangannya. Gue ikutan ngelirik, kayaknya udah jam masuknya deh.

“Jam masuk, ya?” Tanya gue.

“Iya.” Jawab dia.

“Ya udah balik sono, masa HRD telat.”

“Duluan, ya. Nanti gue kenalin ke temen gue.” Gue terkekeh.

“Iye dah. Jagain abang!” Dynar cuma angkat jempolnya dan segera pergi.

Udah dua minggu ini gue stres sama kerjaan. Tim gue gagal buat masarin produk paling baru yang udah di develop selama kurang lebih tiga tahun. Gue sebagai ketua tim pastinya punya beban paling berat. Asli deh gue stres banget. Sedikit anxious juga karena hal ini, soalnya baru sekali gue ngalamin kegagalan kayak gini.

Jeonghan pernah nanyain gue kenapa akhir-akhir ini keliatan stres, tapi gue cuma ketawa aja terus ngalihin pembicaraan. Dino juga pernah bilang kalau dia jarang liat gue dua minggu terakhir ini. Terharu sih gue sama perhatian anak-anak kontrakan. Tapi gue beneran gak bisa cerita ke mereka.

Satu orang yang gue butuhin saat ini adalah Gyanda. Gue segera ngechat dia. Jujur gak ada niat ketemu, tapi Gyanda maksa buat ketemu karena gue yang bandel soalnya suka skip makan kalau lagi sibuk. Seneng sih gue waktu Gyanda bilang dia mau ke kantor abis maghrib nanti. Seenggaknya gue bisa makan bener walupun sehari.

Waktu jam 3 sore, tiba-tiba aja Pak Yahya datang sambil ngasih satu kotak tupperware dan bikin gue bingung. Gue cuma ucapin makasih dan segera masuk ruangan lagi. Gue mikir itu dari Gyanda. Tapi gue sama dia mau ketemu nanti maghrib. Pas gue buka kotak makannya, ada sticky note disana yang sedikit basah karena embun dari kotak makannya.

'Katanya Mingyu, kamu gak pernah makan sehat kalau lagi sibuk. Jadi, saya bikinin ini buat kamu. Dimakan, ya. Have a great day, Cheol.'

Gue yakin ini dari Kinan. Soalnya pake pake kata 'saya' dan dia taunya dari Mingyu. Gue senyum lebar waktu bacanya. Lalu gue segera kirim chat buat Kinan dan Mingyu.

Gue iseng bacain room chat gue sama Kinan sambil makan makanan dari Kinan. Setelah gue baca-baca, ternyata gue sama Kinan deket juga. Udah kayak kenal lama, padahal baru beberapa bulan, itu juga gara-gara gak sengaja nawarin duduk. Terus lanjut chat juga gara-gara Kinan yang lupa bawa dompet waktu beli Starbucks. Lucu juga pertemuan gue sama dia.

Setelah selesai makan, gue balik lagi sama kerjaan. Jujur aja, udah mumet banget. Pengen pensiun dini rasanya. Tidur gak nyenyak, makan gak nafsu. Udah kayak zombie dah gue. Mana kusem banget ini wajah. Kantong mata gue beler lagi. Gak mirip lagi dah gue sama Irwansyah.

Waktu gue kelar sholat maghrib, ada telepon dari Gyanda. Gue senyum lebar sambil ngangkat teleponnya. Gyanda ngabarin kalau dia udah di depan kantor gue. Gue segera turun ke lantai dasar dan langsung nemu perempuan dengan celana kulot warna putih dan turtle neck warna milo sambil nenteng kotak makan.

“Nda!” Panggil gue. Gyanda noleh sambil micingin matanya ke gue.

“Kenapa?” Tanya gue.

“Ya Allah, kamu kurus banget, Cheol. Mana ini nih kantong mata item banget, jelek.” Ucapnya sambil ngusap pipi gue. Deg-degan cuy.

“Masakin dong tiap hari biar gembul lagi pipi aku, biar bisa kamu cubitin lagi.” Gyanda langsung nyubit pipi gue.

“Maunya kamu itu mah.” Gue cemberut.

“Udah deh, udah tua gini, jangan cemberut gitu. Gak cocok.” Dia nyubit bibir gue anjrit. Untung aja gue sayang, eh...

“Ya udah masuk aja, yuk. Kantor aku udah sepi.” Gyanda ngikutin gue masuk ke kantin kantor. Dia segera buka kotak makannya dan jujur gue kaget. Makanannya sejenis sama yang Kinan kasih tadi siang.

Nasi plus daging teriyaki. Kalau Kinan ada egg roll-nya, kalau Gyanda ada tempura-nya. Makan enak dah gue hari ini.

“Kamu bikin sendiri?” Tanya gue.

“Iya dong.” Bales doi.

“Suapin.” Rengek gue.

“Ya Allah, gak mau.” Tolaknya. Gue cemberut lagi.

“Sekali aja, abis itu makan sendiri.” Gue anggukin kepala. Sebenernya pengennya disuapin sampe abis, tapi daripada gak disuapin sama sekali kan, mayanlah disuapin satu suap doang juga.

“Enak gak?” Doi natap gue penasaran.

“Enak banget. Aku kira beli dari hokben.” Puji gue. Gyanda senyum seneng denger pujian dari gue dan ujungnya dia suapi gue lagi. Yes! Menang banyak dah gue.

“Nih, tadi pas otw sini, aku liat lagi promo beli satu gratis satu.” Gyanda ngasih satu cup Kopken ke gue, yang katanya lagi ada promo.

Update ya ibu satu ini kalau soal promo.” Gyanda ketawa kecil.

“Iya dong. Namanya juga pejuan cuan, pak. Nyarinya promo biar hemat.” Bales Gyanda sambil ketawa. Cakep bener dah ah jodoh gue.

“Kamu masuk lagi jam berapa?” Tanya Gyanda.

“Jam 19.15.” Jawab gue. Dia segera ngelirik jam di ponselnya.

“Sepuluh menit lagi. Aku pulang, ya?” Lagi-lagi gue cemberut, gak mau dia pulang.

“Kamu abis ini sholat, berdoa sekalian biar kerjaan cepet selesai, jadi gak perlu tuh begadang sampe item gitu kantong matanya. Kopinya jangan diminum sekaligus, minum dikit-dikit aja. Pake jaket atau sweater, dingin kan tuh kena AC.”

“Siap, ibu negara. Nanti saya laksanakan semua permintaannya.” Jawab gue.

“Yaudah kalau gitu, aku pamit, ya.”

“Hati-hati, ya, Nda. Makasih juga buat makanannya.”

Anytime, Cheol. Dadah.” Akhirnya Gyanda pulang lagi dan gue berkutat lagi sama kerjaan-kerjaan gue yang bikin gue stres terus.

Reunited 2

“Aku... Aku gak masuk, Gu.” Isak Wonwoo. Mingyu terkejut saat mendengarnya. Bagaimana mungkin seorang juara provinsi olimpiade biologi tidak masuk?

“Aku bodoh, Gu. Aku bodoh banget.” Mingyu ikut tersayat mendengar isakan yang keluar dari bibir Wonwoo.

“Aku bodoh banget, ya, Gu, sampe gak diterima?” Air mata Wonwoo berderai semakin deras, membuat Mingyu tidak tega.

Mingyu segera menarik Wonwoo kepelukannya. Mengusap-ngusap punggung kekasihnya. Membiarkan Wonwoo menumpahkan kesedihannya. Mingyu bisa mendengar tangisan Wonwoo begitu pilu, membuatnya ingin terus merengkuh jiwa yang rapuh itu. Setelah setengah jam Wonwoo menangis, akhirnya lelaki itu berhenti. Mingyu melepas pelukannya, menatap Wonwoo dengan lembut sambil menghapus jejak air matanya yang masih tersisa dipipi Wonwoo.

“Maaf, Gu, kamu jadi liat sisi aku yang lemah.” Mingyu menggelengkan kepalanya. Ia menarik dagu Wonwoo kemudian tersenyum lembut.

“Hey, denger aku, ya.” Kedua tangan Mingyu terulur untuk mengusap pipi Wonwoo. Obsidiannya menatap Wonwoo dengan penuh kasih sayang.

“Kamu gak bodoh, gak, Wonwoo. Kamu jangan bilang gitu, nanti Tuhan ambil semua kecerdasan kamu loh.” Ucap Mingyu.

“Wonwoo, kamu ini juara provinsi olimpiade biologi. Kamu udah kalahin ribuan orang di luar sana, kamu tuh pinter, Wonwoo. Tapi mungkin emang Tuhan belum ngehendakin keinginan kamu. Tuhan tau ada yang lebih baik buat kamu, dan aku yakin kamu pasti akan ketemu dengan jalan kamu, jalan yang emang bakal jadi garis takdir kamu.” Ibujari Mingyu mengelus pipi Wonwoo pelan.

“Wonwoo... Sometimes you have to slow down and take a moment to breathe deeply and say 'I'm sorry I can't do that right now' or 'I'll do it later.” Air mata Wonwoo kembali terjatuh, membasahi celana abu-abunya.

There's so many twist in this life, and it's written by the The owner of the universe, and what we should do is living this life and survive all the phase.” Wonwoo kembali menundukan kepalanya.

Please don't let any negativity control yourself, it'll be suffocating. Itu yang akan bikin kamu semakin terpuruk, Wonwoo.” Mingyu kembali menghapus air mata Wonwoo yang perlahan mulai membasahi pipinya lagi.

Wonwoo... I promise, you can rise up, achieve your goals, and I believe that you can striving to persevere. I know you're capable. I trust you, really.” Wonwoo tersenyum tipis mendengar segala ucapan Mingyu. Meskipun sebenarnya ia masih merasa hancur karena hasil yang ia dapatkan sangat tidak memuaskan, namun setidaknya ia harus menghargai Mingyu yang susah payah menghiburnya.

“Gu...” Panggil Wonwoo pelan. Tangisnya sudah benar-benar berhenti untuk saat ini.

“Iya, Nu?” Mingyu menggenggam tangan Wonwoo lembut.

“Makasih banyak. Your words give me a comfort. Really.” Mingyu tersenyum, diusapnya kepala Wonwoo dengan penuh afeksi.

“Sama-sama. I'll do anything that can makes you feel better.

Hari-hari selanjutnya, Wonwoo sama sekali tidak datang ke sekolah. Ponselnya sengaja ia non-aktifkan. Ia hanya fokus belajar, belajar, dan belajar. Ia tidak akan membiarkan hal lain mendistraksinya, termasuk Mingyu. Wonwoo bahkan mengabaikan semua pesan dari kekasihnya itu.

Jujur saja, Mingyu benar-benar khawatir kepada Wonwoo. Ia takut kejadian saat menjelang olimpiade terulang. Untuk memikirkan Wonwoo yang terbaring lemas di klinik saja ia tidak sanggup, apalagi jika hal itu kembali terjadi. Sebenarnya Mingyu sering pergi ke rumah Wonwoo, namun hanya sekedar menatapnya dari luar, mendoakan segala hal baik untuk Wonwoo, dan pergi begitu saja. Sebenarnya Mingyu sering bertanya kepada Soonyoung, namun sahabat dekatnya itu pun tidak pernah bertemu Wonwoo. Soonyoung hanya bisa menanyakan keadaan Wonwoo kepada kedua orang tuanya.

Hingga pada suatu hari, Soonyoung mengunjungi rumah Wonwoo, dan melihat sahabatnya itu sedang memakan kue. Soonyoung merasa sedih melihat Wonwoo yang semakin kurus. Soonyoung tau persis bagaimana strict-nya Wonwoo jika sudah menyangkut dengan studinya.

“Tante gak ngasih lu makan apa gimana? Kalau kagak dikasih, noh di rumah gue ada opor.” Wonwoo terkekeh. Ia tau jika Soonyoung mengkhawatirkannya.

“Sedih dah ah gue liat lu begini. Udahan dong, gue kangen ngerecokin lu baca novel.” Wonwoo mencubit pipi Soonyoung. Dan selanjutnya ada adegan Soonyoung yang menangis.

“Eh, gue nyubit terlalu kenceng, ya? Maaf, Nyong. Sumpah gue minta maaf.” Soonyoung menoyor kepala Wonwoo.

“Lu mah emang gak peka.” Wajah Soonyoung semakin merah karena tangisannya.

“Hah? Kok gak peka?” Tanya Wonwoo yang masih panik.

“Nu, gue kangen lu. Kangen ngerecokin lu lagi baca novel. Kangen gelut di bioskop cuma gara-gara mau popcorn asin atau caramel. Kangen motoran sore-sore ke alun-alun cuma buat beli cimol. Gue kangen banget.” Bibir Wonwoo bergetar. Ia sangat paham jika ia terlalu keras pada dirinya sendiri.

“Maaf, ya, Nyong. Gue janji kalau masuk sbmptn, gue bakal traktir lu cimol, bakal ngalah kalau mau beli popcorn, gue janji.” Ucap Wonwoo yang akhirnya menumpahkan air matanya.

“Awas lu ya kalau boong. Gue samperin ke UI.” Wonwoo terkekeh disela tangisnya.

“Oh iya...” Sebelum pulang, Soonyoung ingin menyampaikan sesuatu.

“Mingyu. Dia sedih banget, gue tau kalau dia kangen banget sama lu. Sekarang Mingyu udah jarang senyum kayak dulu. Lesu banget keliatannya.” Wonwoo mematung mendengarnya.

“Kalau lu ada waktu, coba bales chat dia. Dia dibales satu bubble aja pasti seneng banget. Udah, gue cuma mau sampein itu. Dadah. Kalau mau makan, di rumah banyak opor!” Wonwoo tertawa kecil dan kembali murung setelah Soonyoung pergi dari rumahnya.

Wonwoo menghela nafasnya. Jujur saja ia juga merindukan sosok sang kekasih. Sudah hampir dua minggu Wonwoo tidak membalas pesan Mingyu. Ia segera mengambil ponselnya kemudia mengaktifkannya. Benar saja, pesan Mingyu membanjiri notifikasinya. Wonwoo segera mengetik balas untuk Mingyu. Tidak sampai satu menit, kekasihnya itu langsung membalas pesan Wonwoo. Lelaki berkacamata itu terkekeh pelan, karena itu berarti Mingyu menunggu pesan darinya.

Keesokannya, Wonwoo datang ke sekolah. Hanya ada satu tujuan yang membuatnya berangkat. Mingyu. Lelaki itu adalah alasan mengapa Wonwoo sekarang ada di depan kelasnya.

“Gyu, ada yang nyariin tuh.”

“Berisik ah.” Mingyu duduk membelakangi pintu sambil menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan.

“Nu, Mingyunya gak mau ketemu katanya.” Saat mendengar kata 'Nu', Mingyu segera mengangkat kepalanya dan menatap ke arah pintu kelasnya. Disana berdiri laki-laki yang begitu ia rindukan. Mingyu dengan terburu-buru menghampiri Wonwoo dengan senyum sumringahnya.

“Hai...” Sapa Wonwoo. Mingyu tidak membalas. Ia sibuk menatap setiap inch wajah Wonwoo.

“Ngobrol, yuk? Tapi jangan disini, banyak orang.” Mingyu menganggukan kepalanya.

Keduanya duduk di bangku taman belakang sekolah, karena jarang ada murid yang berlalu lalang di sekitar sana. Mingyu terus menatap Wonwoo tanpa berkedip. Ia hanya ingin menatap wajah itu, wajah yang kerap kali mampir dimimpinya.

“Kamu makin kurus.” Mingyu mengusap pipi Wonwoo. Sementara Wonwoo hanya tersenyum tipis.

“Gimana kabarnya?” Tanya Wonwoo.

“Kabar hari ini atau yang kemaren-kemaren?” Tanya Mingyu.

“Yang kemaren-kemaren, kalau kabar hari ini aku juga tau. Kan aku liat kamu di depan mata aku sekarang.” Mingyu terkekeh.

“Kosong. Hampa banget rasanya dua minggu kemaren.” Jawaban Mingyu itu membuat Wonwoo menatap Mingyu dengan penuh rasa bersalah.

“Maaf...” Cicit Wonwoo.

“Hey... No need to sorry. Aku ngerti kok.” Mingyu kembali mengusap pipi Wonwoo.

“Mingyu.”

Tiba-tiba Mingyu merasa tidak enak karena Wonwoo memanggilnya dengan nama asli, bukan 'Migu' seperti biasa.

“Kamu tuh baik. Kamu pinter. Kamu juga jago bersosialisasi. Kamu selalu bisa bawa positive vibes ke lingkungan sekitar kamu.” Giliran Wonwoo yang mengusap pipi Mingyu.

“Aku yakin kamu bisa tanpa aku.” Netra Mingyu membelo. Ia menatap Wonwoo yang sudah mengeluarkan air matanya. Mingyu mencoba untuk menjernihkan pikirannya, berharap jika apa yang ia dengar itu tidaklah benar.

“Gyu, kita sampe sini aja, ya?”

“Won...” Suara Mingyu bergetar, menahan tangisnya. Ia segera berlutut di hadapan Wonwoo, menatap sang kekasih yang sudah berderai air mata.

“Kamu gak serius kan? Tolong bilang ke aku kalau kamu cuma becanda, tolong...” Pertama kalinya Wonwoo melihat Mingyu menangis. Air mata Mingyu mengalir begitu deras.

“Gyu, maaf. Maafin aku. Aku gak bisa selamatin kita. Aku terlalu egois, Gyu. Aku jahat sama kamu.” Mingyu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia menatap Wonwoo dengan penuh rasa takut kehilangan.

“Aku cuma mau dingertiin aja, tapi aku gak bisa ngertiin kamu. Padahal aku tau kalau kamu nyari aku. Aku tau kamu selalu datang ke rumah aku, aku tau kamu khawatir sama aku. Tapi aku? Aku justru nolak perhatian kamu mentah-mentah, aku milih buat gak peduli. Aku egois, Gyu. Maafin aku.”

“Nggak. Won, tolong. Aku gak permasalahin itu. Aku... Aku gak pernah mikir kalau kamu egois. Aku tau kamu cuma butuh waktu sendiri buat kejar impian kamu. Tolong, Wonwoo. Tolong. Aku gak mau pisah.” Mingyu terisak pilu. Wonwoo menggigit bibir bawahnya agar isakannya tidak keluar.

“Mingyu, you deserve a whole happiness on this world. You can find someone better, and it's definitely not me.” Mingyu menggeleng lemah.

“Tolong, Gyu, aku mau kamu bahagia. Aku sendiri gak bisa ngasih kamu kebahagiaan itu.”

“Aku bahagia, Wonwoo. Aku bahagia sama kamu, I really cherish every moment with you. Tolong, Won, aku sayang banget sama kamu.” Wonwoo menggelengkan kepalanya, ia mengusap air matanya sendiri. Mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengusap kepala Mingyu.

“Gyu, bahagia, ya? Janji sama aku. Maaf kalau selama kita pacaran, aku gak bisa kasih banyak hal buat kamu. Aku pamit. See you.” Wonwoo segera pergi meninggalkan Mingyu yang masih terisak pilu. Bukan hanya Mingyu yang sedih, Wonwoo pun merasakan hal yang sama. Sesak memenuhi dadanya. Namun Wonwoo tidak mau membuat Mingyu terus menunggunya.

Hingga hari-hari berikutnya, tidak pernah ada lagi senyuman Mingyu. Biasanya mantan ketua osis itu selalu murah senyum kepada siapapun. Mingyu terlihat lebih lemas. Sampai saat perpisahan tiba, keduanya bertemu. Netra mereka saling menatap. Bayangan ketika keduanya berbicara di taman belakang sekolah kembali berputar diotak mereka. Rasa sakitnya masih sama.

Wonwoo segera memutus kontak mata mereka dan memutuskan untuk pergi. Tapi, belum sempat pergi, sebuah tangan menahan pergelangan tangannya.

“Won...” Ada sorot sendu dalam kedua obsidian Mingyu.

“Aku kangen.” Dada Wonwoo berdenyut nyeri mendengarnya.

'Sama, Gyu. Sama, aku juga kangen.' Batin Wonwoo.

Wonwoo hanya tersenyum kemudian melepas tangan Mingyu dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Setelah perpisahan itu, Wonwoo segera mengganti nomor ponselnya, mengunci semua akun media sosial dan bertekad untuk tidak membukanya hingga selesai sbmptn nanti. Serta satu alasan utama adalah...

Agar ia tidak bisa melihat Mingyu. Meskipun terkadang Soonyoung datang ke rumahnya dan sengaja membicarakan Mingyu. Wonwoo tetap tidak akan membuka akun media sosialnya karena bisa mendistraksinya.

Keduanya tidak pernah bertemu lagi selama mereka kuliah, karena berada di kota yang berbeda. Mingyu di Jogja, dan Wonwoo di Jakarta.

“Udah berapa lama sih kita gak ketemu?” Kini Mingyu dan Wonwoo ada di mobil, pergi menuju villa yang sudah dikirimkan alamatnya oleh Soonyoung.

“Sakitar enam tahun?” Balas Wonwoo.

“Lama ya ternyata.” Timpal Mingyu.

“Gimana Jogja?” Tanya Wonwoo.

“Enak aja sih, makanannya murah. Terus aku banyak explore tempat baru.” Wonwoo tersenyum.

Mingyu masih sama. Mingyu yang suka berjalan-jalan. Mingyu yang suka mengeksplor tempat. Dan Mingyu yang masih sangat menyukai fotografi.

“Depok gimana?” Wonwoo cemberut.

“Ih aku di kampus Salemba, bukan di Depok.” Balas Wonwoo. Mingyu tertawa mendengar Wonwoo yang sebal.

“Hahaha, maaf maaf. Aku kan bukan anak kampus kuning. Aku taunya ada di Depok pokoknya.” Wonwoo mendecak sebal.

“Kamu tuh koasnya udah selesai?”

“Udah!” Jawaban bersemangat dari Wonwoo membuat Mingyu terkekeh.

“Katanya Soonyoung, selama koas kamu sering skip makan.”

“Ih kok Soonyoung bocor sih?” Dengus Wonwoo.

“Ckckck. Bener gak?” Tanya Mingyu lagi. Kini ia menolehkan kepalanya kepada Wonwoo karena sedang lampu merah.

“Sibuk tau.” Kilah Wonwoo.

“Dih, gak ada alesan tuh. Makan tuh cuma sepuluh menit, Wonwoo. Masa kamu gak bisa ngeluangin waktu sepuluh menit aja?” Wonwoo mengerucutkan bibirnya. Ia kembali teringat masa-masa olimpiade dimana Mingyu sangat sering mengomel karena dirinya yang sering lupa makan.

“Ih, ya udah. Kan udah beres koasnya, sekarang udah gak pernah skip makan.” Rengek Wonwoo. Mingyu mencubit hidung Wonwoo.

“Gimana sih Pak Dokter nih, ngerawat orang sakit tapi sendirinya gak pernah jaga kesehatan.” Ucap Mingyu.

“Kamu tuh ya, kalau mau ninggalin aku, seenggaknya jangan bikin aku khawatir dong.” Lampu hijau kembali menyala. Mingyu kembali berbicara, sementara Wonwoo hanya terdiam mendengarkan segala ucapan yang sarat kekhawatiran.

“Waktu aku tau dari Soonyoung, aku tuh pengen nyamperin rasanya, masakin kamu makan tiap hari. Mau ngomelin kamu juga.” Wonwoo menatap Mingyu yang masih fokus pada jalanan.

“Masih suka ultramilk coklat?” Wonwoo terkekeh. Mingyu masih ingat.

“Masih! Aku gak mau minum susu lain selain ultramilk coklat.” Balas Wonwoo.

“Anak kiciw.” Tangan Mingyu terarah pada kepala Wonwoo kemudian mengacaknya pelan.

“Ihh, kebiasaan banget.” Wonwoo merengut. Kepalanya refleks menjauh dari tangan Mingyu, meski pada akhirnya tetap saja rambutnya sedikit berantakan.

“Respon kamunya lucu sih, jadi aku hobi banget ngacak rambut kamu.” Kekeh Mingyu.

“Aku tuh ngambek.”

“Nah kan makin lucu.” Wonwoo berdecak sebal.

“Kamu kerja di Jogja, Gu?” Tanya Wonwoo.

“Iya. Tapi dipindahin ke Jakarta.” Wonwoo menoleh.

“Jakarta?”

“Iya. Kita bisa sering ketemu. Kalau kamu mau ketemu sih.” Lelaki yang berada di belakang setir itu terlihat salah tingkah.

“Iya, semoga sering ketemu.” Balas Wonwoo.

“Oh iya, aku mau nanya...” Omongan Mingyu menggantung, membuat Wonwoo penasaran.

“Nanya apa, Gu?”

“Itu... Kamu udah ada...” Sebuah deheman diberikan Mingyu. Seakan mengerti apa lanjutan dari pertanyaan Mingyu, Wonwoo terdiam sejenak.

“Pacar?” Tebak Wonwoo. Mingyu mengangguk pelan.

“Hm...” Wonwoo berdehem. Mingyu melirik sekilas ke arah Wonwoo.

“Aku...” Wonwoo menggigit bibir bawahnya. Mendengar Wonwoo yang menggantung ucapannya, tiba-tiba saja Mingyu merasa gugup tanpa alasan.

“Sebenernya aku... Aku mau tunangan, Gu.” Untung saja sedang lampu merah, jika tidak, bisa saja Mingyu menginjak rem secara mendadak.

Kedua netra Mingyu menatap Wonwoo yang sedang menghindari tatapannya. Detak jantungnya berdenyut nyeri melihat sosok orang yang masih ia sayangi itu. Mingyu merasa jika lubang dihatinya semakin menganga.

Akhirnya Wonwoo memberanikan diri menatap Mingyu. Namun menit berikutnya, ada senyuman Mingyu. Wonwoo tau jika senyuman itu dipaksakan.

“Selamat, ya.” Ucap Mingyu pelan. Lelaki jangkung itu mencengkram setir mobil kuat-kuat.

“Maaf...” Balas Wonwoo.

“Gak perlu. Kenapa kamu minta maaf? Kan kamu gak ngelakuin kesalahan, Wonwoo.” Ujar Mingyu masih dengan senyum —yang dipaksakan.

“Maaf. Aku minta maaf.” Mingyu menggelengkan kepalanya.

“Maafin aku karena bohongin kamu.” Setelah berbicara seperti itu, Wonwoo tertawa kencang memenuhi mobil Mingyu.

Sementara sang pemilik mobil terdiam, masih memproses apa yang dikatakan oleh Wonwoo. Mingyu menatap Wonwoo yang masih tertawa.

“Aku bohong, Migu. Mana ada sih aku tunangan? Aku jomblo terus selama enam tahun.” Wonwoo tertawa dengan hidungnya yang mengerut. Mingyu baru mengerti dan kedua tangannya refleks mencubit kedua pipi Wonwoo.

“Ya Allah... Kamu tuh...” Mingyu tak habis pikir jika Wonwoo akan becanda seperti itu.

“Tadi tuh udah mencelos tau gak?” Wonwoo memegang perutnya. Dia masih saja tertawa.

“Berhenti ih ketawanya, aku malu.” Wonwoo mengusap air matanya yang keluar karena ia terlalu banyak tertawa, dan akhirnya ia bisa berhenti.

“Tadi tuh aku mau ngeprank kamu sampe kita di villa, cuma aku gak tega liat ekspresi kamu.” Kekeh Wonwoo.

“Tega banget kamu.” Giliran Wonwoo mencubit pipi Mingyu.

“Gak ada. Aku gak pernah punya pacar lagi.” Akhirnya Wonwoo berkata yang sejujurnya.

“Serius?”

“Emang Soonyoung pernah ngadu ke kamu kalau aku punya pacar?”

“Nggak sih. Ya siapa tau ajakan Soonyoung gak enak bilangnya terus takut aku patah hati.” Wonwoo menatap Mingyu lekat.

“Kamu bakal patah hati kalau aku punya pacar?”

“Iya.” Wonwoo kembali terkekeh.

“Lagian ya, aku aja gak punya waktu buat makan, apalagi buat pacaran.” Mingyu berdecih.

“Bukan gak punya waktu, waktu mah banyak kali buat makan. Cuma kamunya aja males.” Wonwoo memberikan cengirannya.

Kemudian keduanya saling berbagi kisahnya semasa kuliah. Tentang Mingyu si mahasiswa teknik industri yang pusing karena mempelajari sistem manufaktur serta manajemen industri. Lalu tentang Wonwoo si mahasiswa kedokteran yang stres karena masa koasnya. Dimulai bercerita tentang mendiagnosa penyakit, memberi resep obat, sampai memeriksa keadaan fisik pasien. Dua jam perjalanan itu terasa hangat dengan kehadiran satu sama lain, dan mereka berdua menikmatinya.

“Asik nih dua sejoli sumringah bener.” Ledek Jun saat Mingyu dan Wonwoo baru saja keluar dari mobil.

“Lu nyium bau gak sih? Bau orang balikan? HAHAHAHA.” Giliran Soonyoung yang menimpali.

“Ada aroma cinta lama bersemi kembali sih.” Seokmin ikut menggoda Mingyu dan Wonwoo.

“Berisik.” Ucap Wonwoo galak, namun wajahnya menjadi merah.

“Jiakh salting nih Pak Dokter.” Goda Seokmin.

“Masuk aja, Nu.” Suruh Mingyu pelan.

“Pajak balikan bisa kali?” Tagih Jun saat Mingyu ikut bergabung dengan teman-teman yang lain.

“Gak ada yang balikan.” Jawab Mingyu kemudian meneguk air minumnya.

“Belum kali?” Timpal Soonyoung.

“Hahaha iya, belum.” Jawab Mingyu.

“Lama lu ah, keburu gue yang nembak.” Celetuk Seungyoun.

“Gak capek lu ditolak ratusan kali?” Tanya Soonyoung yang dulu sering menjadi perantara Wonwoo dengan para lelaki yang mengejarnya.

“Siapa tau sekarang Wonwoo udah demen gue.” Jawaban Seungyoun itu dibalas gelengan oleh yang lain, sementara Mingyu hanya terkekeh.

Ketika jam menunjukan pukul 11 malam pun, ketiga villa yang disewa mereka masih sangat ramai. Wonwoo sempat ikut berkumpul, bernyanyi bersama dan mendengarkan cerita-cerita teman-teman SMA-nya. Tidak lama, ia diam-diam menyelinap pergi ke halaman belakang villa. Terlalu banyak energi yang terkuras setelah dua jam berkumpul bersama banyak orang.

“Aku temenin, boleh?” Izin Mingyu yang tiba-tiba saja ada di sampingnya.

“Belum diizinin aja udah duduk duluan.” Mingyu tertawa mendengarnya.

“Dingin banget, ya, Bandung.” Ujar Mingyu.

“Iya, tapi gak sedingin dulu, tapi masih tetep dingin.” Balas Wonwoo.

“Kamunya kelamaan di Jakarta.”

“Kamu juga kelamaan di Jogja.”

“Minggu depan aku udah di Jakarta loh.” Wonwoo menatap Mingyu.

“Minggu depan?” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Iya, dipindahin kan kata aku juga ke Jakarta.”

“Jakarta mana?”

“Utara. Sama kayak kamu.” Mingyu mengulum senyumnya.

“Serius?” Mata Wonwoo sedikit membelo.

“Duarius malah.”

“Sekota dong kita?”

“Yap. Mau gak nanti temenin aku cari apartment?” Tanya Mingyu.

With pleasure.” Keduanya tersenyum lebar.

“Kalau gitu...” Mingyu menggantung kalimatnya.

“Boleh dong minta nomor WhatsApp kamu?” Wonwoo tersenyum kemudian mengambil ponsel Mingyu yang disodorkan, dan ia segera mengetik nomornya.

“Sebenernya di apartment tempat aku sama Soonyoung, banyak kamar kosong. Gak terlalu besar sih, tapi siapa tau kamu mau liat dulu?” Tawar Wonwoo.

“Boleh boleh. Biar gampang kalau mau ketemu kamu.” Ada rona merah yang menghias pipi Wonwoo.

“Oke, nanti kalau udah di Jakarta, kabarin aku aja. Kalau bisa weekend.” Ujar Wonwoo.

“Siap, Pak Dokter.” Keduanya terkekeh.

Detik selanjutnya, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Angin malam berhembus pelan membelai kulit mereka. Tidak terlalu banyak bintang di langit, namun tetap terasa indah karena ada yang menemani. Ada pula detak jantung yang berdetak tidak normal kala jari keduanya bertemu. Dan ada juga senyum kecil dari keduanya ketika bertemu pandang.

“Nu...” Panggil Mingyu lembut.

“Kenapa, Gu?” Suara Wonwoo tidak kalah lembut.

“Aku... Mau ngomong.” Diam-diam ada asa yang memupuk di dalam diri Wonwoo. Berharap si lelaki di hadapannya akan memintanya kembali.

Go on.” Balas Wonwoo.

Mingyu menghela nafasnya dalam-dalam. Obsidiannya menatap foxy eyes Wonwoo dalam dan penuh kasih sayang, membuat yang ditatap berdegub.

“Enam tahun kita gak ketemu, and still... I still love you. I still missing you everyday and I felt suffering a lot.” Ujar Mingyu.

I even never tried to open my heart for others because no one can make my heart racing just because a smile.” Jantung Wonwoo berdegub semakin.

No one can give me butterflies just because a pat on my head.

No one can make me love them because they're not you. No one can replace you.” Mingyu menggenggam tangan Wonwoo dengan lembut.

“Nu, kalau aku minta kamu buat balik lagi sama aku, kamu mau?” Wonwoo menahan nafasnya ketika mendengar pernyataan dari Mingyu.

“Giliran aku yang ngomong.” Mingyu mengangguk.

“Gu... I would say that I truly regret it. I regret it because I left you without any consideration. I was too impulsive back then.” Ada banyak desperasi dalam suara Wonwoo ketika menyampaikannya.

Then I realized that the definition of my happiness is you. And without conscious, I started compare you with anyone who confessed to me.

I realized that I never tried to give my affections to others because I just want to give all my affections only to you.

Wonwoo terdiam sejenak. Menghela nafasnya kemudian membalas genggaman tangan Mingyu dengan penuh kasian sayang.

Gu, if you want us back, I sincerely say yes. I want you, I want us. I love you.

Mingyu tersenyum lebar setelah mendengar balasan Wonwoo. Ia segera menarik Wonwoo ke dalam pelukannya. Mengecup puncak kepalanya berkali-kali.

“Maaf aku tadi gak beli buku UN.” Ujar Mingyu ketika melepas pelukannya. Wonwoo terkekeh pelan kemudian mencubit hidung Mingyu.

“Butuhnya buku tentang human anatomy.” Canda Wonwoo.

“Ngapain beli buku? Kan udah pinter.”

“Dih, walaupun udah lulus, tetep harus belajar!” Mingyu mencubit pipi lelaki yang sekarang sudah kembali menjadi kekasihnya.

“Iya, nanti aku beliin.” Wonwoo tertawa.

“Gak usah, aku becanda.”

“Tetep aku beliin.”

“Ya udah, makasih kalau gitu.”

Keduanya tertawa dengan penuh suka cita. Kembang api meletup-letup dalam hati mereka. Bagi keduanya, tidak ada definisi kebahagiaan selain ketika mereka bersama, dengan perasaan yang sama.

Reunited 1

▪️ BxB (Mingyu x Wonwoo) ▪️ Fluff, highschool life ▪️ Alur maju mundur

Suara klakson yang ditekan untuk ke sekian kalinya itu menyapa rungu si wira yang baru saja keluar dari apartemennya. Ia mendapati temannya yang sedang tersenyum lebar hingga matanya menghilang.

“Tolong sabar, ya. Lu yang ngajak gue, Soonyoung.” Wonwoo segera memasuki kendaraan roda empat milik Soonyoung.

“Harusnya gue bisa tidur di kosan. Beresin kamar, baca novel, tidur. Lu ngeganggu hari Sabtu gue.” Soonyoung terkekeh.

“Elah, Nu. Lu kan gak pernah ikut reuni angkatan, sesekali datang lah.” Wonwoo memutar bola matanya malas.

“Gak ada yang menarik. Gitu-gitu aja.” Wonwoo mengambil charger ponselnya, dan menyambungkannya di mobil Soonyoung.

Masih pukul tujuh pagi dan keduanya pergi ke Bandung untuk acara reuni SMA mereka. Wonwoo sempat menolak ajakan Soonyoung karena menurutnya membosankan. Soonyoung sih enak karena dia tipe yang ceria dan berisik, hampir semua murid pun mengenali pria itu. Sementara Wonwoo adalah kebalikan dari Soonyoung. Ia tipe yang kalem, pendiam, dan ia juga tidak memiliki banyak teman dekat. Hanya Soonyoung. Serta satu orang lelaki yang pernah mengisi hati dan harinya.

“Jihoon datang?” Tanya Wonwoo.

“Datang dong.” Jawab Soonyoung dengan senyum lebarnya. “Udah lama gak ketemu bebeb.” Lanjutnya. Wonwoo kembali memutar bola matanya. Pasalnya, Soonyoung baru satu minggu belum bertemu Jihoon karena kekasihnya itu sedang dikirim ke luar kota oleh kantornya.

“Lu sama Jihoon udah berapa lama sih?”

“Tujuh tahun.” Wonwoo sedikit melebarkan netranya, karena ia tidak menyangka jika hubungan sahabatnya itu sudah sangat lama.

“Loh udah lama. Perasaan kelas sebelas baru kemaren, waktu lu nembak Jihoon pas lagi upacara.” Keduanya terkekeh mengingat masa lalu mereka.

“Nih ya pasti dah anak angkatan pada kaget lu datang.” Wonwoo menolehkan kepalanya sambil memakan makanan ringan yang dibawa Soonyoung.

“Emang kenapa?”

“Ya bayangin aja, berapa kali kita reuni dan lu gak pernah datang sekalipun, terus sekarang lu datang.”

“Eksistensi gue kayaknya gak sepenting itu.” Soonyoung melirik sekilas ke arah sahabatnya.

“Lu masa gak tau sih kalau lu seterkenal itu?” Wonwoo menggelengkan kepalanya.

“Ih, padahal gue dulu udah sering nanya-nanya ke lu tentang si Kak Seungcheol, Rowoon, Jaehyun, terus siapa lagi, ya?” Soonyoung mengingat-ngingat.

“Oh si Seungyoun juga tuh sampe berkali-kali ngasih coklat.” Wonwoo terkekeh mengingatnya.

“Ah banyaklah yang deketin lu, tapi nanya-nanya lewat gue dulu.” Wonwoo menepuk kepala Soonyoung.

Thanks, bestie.” Kemudian ia tertawa.

“Dari banyaknya yang deketin, untungnya ada yang jadi walaupun satu doang.” Wonwoo terdiam. Tempo kunyahannya menjadi lambat.

“Dia.... Datang?” Tanya Wonwoo. Soonyoung tersenyum, meledek sahabatnya.

“Liat aja nanti.” Wonwoo mendengus.

“Kalau datang kenapa, kalau gak datang kenapa?”

“Gak apa-apa, gue nanya doang.”

“Mau balikan lu kalau si Mingyu datang?” Wonwoo melempar makanan ringan yang ia makan.

Mingyu. Kim Mingyu. Satu-satunya lelaki yang berhasil menaklukan dinginnya seorang Jeon Wonwoo. Sifat keduanya tidak jauh beda. Kalem, tenang, dan tidak banyak berbicara. Hanya saja, Mingyu lebih supel dibanding dengan Wonwoo, dan karena sifat supelnya itu, ia berhasil lolos menjadi ketua osis saat SMA dulu.

“Mikirin apa sih, ganteng? Gue mau nyebat dulu, lu gak akan turun?” Tidak terasa, keduanya sampai di rest area.

“Mau beli Starbucks deh. Mana uangnya.” Wonwoo mengadahkan tangannya di hadapan Soonyoung.

“Elah, masa sampe Starbucks juga gue yang bayarin?” Salah satu syarat yang diberikan Wonwoo kepada Soonyoung agar ia ikut acara reuni itu adalah, Soonyoung harus membayar semua yang Wonwoo beli dan Soonyoung menyanggupinya.

“Nih.” Soonyoung memberikan uang seratus ribu kepada Wonwoo.

“Tekor dah gue.” Wonwoo tidak peduli dan berjalan untuk membeli kopinya.

15 menit keduanya beristirahat, akhirnya mereka kembali menyusuri jalanan menuju ke Bandung.

▪️▪️▪️▪️▪️

“Wonwoo!” Netra Jihoon membelo saat melihat Wonwoo.

“Biasa aja kali, Ji, orang sering ketemu juga di apartemen Soonyoung.” Kekeh Wonwoo saat keduanya sampai di Skyline, Bandung, tempat mereka reuni.

“Disogok apa sama Unyong sampe lu mau ikut reuni?” Tanya Jihoon.

“Dipaksa nih, Ji. Marahin pacar lu.” Adu Wonwoo.

“Itu Starbucks gue yang bayarin, ya, nyet.” Jihoon langsung mencubit bibir Soonyoung dan membuat Wonwoo tertawa puas melihat sahabatnya itu merengek.

“Udah banyak, Ji, yang datang?” Tanya Wonwoo.

“Udaahh. Kayaknya kalian yang terakhir deh.” Wonwoo sedikit merasa gugup, karena baru kali ini ia bertemu lagi dengan teman-teman masa SMA-nya.

“Wonwoo? Tumben ikut?”

“Akhirnya ketemu Wonwoo lagi.”

“Eh, Wonwoo apa kabar?”

Sekiranya itulah ucapan-ucapan yang dilontarkan ketika para insan itu menangkap Wonwoo dari jarak pandangnya.

“Eh, Wonwoo, makin cakep aja. Udah ada gebetan?” Seungyoun. Salah satu orang yang giat mendekatinya dulu.

“Hahaha, gak ada. Baru aja kelar koas, Youn.” Balas Wonwoo.

“Lu bukannya nanyain kabar, malah nanyain gebetan.” Sindir Soonyoung.

“Namanya juga usaha.” Wonwoo terkekeh.

Acaranya sudah dimulai semenjak pukul 10 pagi. Wonwoo berkeliling cafè tersebut sambil menyicip makanan yang ada. Enggan bergabung dengan kerumunan manusia lainnya. Merasa bosan, Wonwoo hanya duduk di balkon sambil membaca novelnya dengan earphone yang terpasang. Sampai pukul 11 pun, Wonwoo tidak menyadari jika orang-orang disana semakin ramai dengan kedatangan mantan ketua osis mereka.

Bosan, Wonwoo melepas earphone kemudian melihat keadaan di bawah sana. Wonwoo mendapati Soonyoung yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Ia menghela nafas kemudian melirik cemilan yang ada disana. Kala ia berjalan untuk menghampiri cemilannya, ada bisik-bisik disana sambil menyebut namanya.

“Hey...” Suara bariton itu menyapa rungu si pemuda berkacamata. Saat ia memalingkan wajahnya, ada lelaki jangkung dengan senyum menawannya yang membuat Wonwoo sulit melupakannya.

Hanya butuh satu kata sapaan untuk Wonwoo dan seketika membuat semestanya terasa berhenti berotasi untuk sementara. Riuh dari sekitar seketika mereda. Hanya ada suara jantung yang dengan cepatnya berdegub.

“Oh... Hai.” Balas Wonwoo dengan senyum tipisnya.

“Akhirnya kamu datang juga.” Senyuman lelaki jangkung itu tidak lepas dari bibirnya.

“Ya... Dipaksa Soonyoung.” Wonwoo merasa canggung.

“Sampe dari Jakarta jam berapa?” Mingyu mengambil minuman yang ada di dekat mereka.

“Jam 10 tadi.” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Kamu? Baru sampe?” Wonwoo ikut mengambil satu gelas minuman. Tenggorokannya terasa tercekat melihat sosok dihadapannya.

“Iya, tadi pagi ada urusan sebentar.” Wonwoo menganggukan kepalanya kemudian menyesap minumannya.

Couple of the year jaman sekolah dulu akhirnya ketemu lagi.” Suara sorakan kemudian terdengar lagi, malah semakin meriah ketika Mingyu dan Wonwoo tersipu malu. Wonwoo menatap Jun galak, namun hanya dibalas kekehan.

“Tuh mantan ketua osis tiap tahun nanyain lu mulu, Nu.” Wonwoo melirik ke arah Mingyu, sementara yang dimaksud hanya menggaruk tengkuknya.

“Makanya ikut dong reuni, kasian mantannya kangen.” Celetuk Seokmin.

“Kalian makan aja. Kasian Wonwoo-nya jadi malu.” Ucap Mingyu. Tetapi teman-temannya itu masih saja menggoda kedua lelaki yang pernah berhubungan itu.

“Kamu dari tadi dimana? Kok aku gak liat?”

“Aku di atas, baca novel. Abisnya berisik.” Mingyu terkekeh. Lelaki itu benar-benar masih sama seperti Wonwoo-nya dulu. Tidak menyukai keramaian.

“Mau ke atas lagi? Aku temenin.” Wonwoo menatap Mingyu.

“Kamu gak kumpul sama temen kamu?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa, tiap hari juga chat kok kalau sama mereka.”

Setelah itu, keduanya naik ke lantai atas. Tidak seramai lantai bawah. Mingyu dan Wonwoo duduk di balkon, menikmati lanskap yang terbentang.

How's life?” Tanya Mingyu.

So much busier, but still good tho.” Jawab Wonwoo.

“Kamu?” Giliran Wonwoo yang bertanya.

“Sama aja kayak kamu.” Wonwoo menatap Mingyu dengan alisnya yang naik.

Elaborate sama aja kayak aku? Kayaknya bapak mantan ketua osis ini much busier than me?” Mingyu tersenyum.

“Tau darimana? Soonyoung?” Seketika Wonwoo terdiam. Rona kemerahan menghias wajahnya.

“Hahaha. Kamu masih gemes.” Wonwoo sedikit mengerucutkan bibirnya kemudian memalingkan wajahnya.

“Kamu kangen masa SMA gak sih?” Tanya Mingyu mengalihkan pembicaraan. Ia bisa menggila melihat mantan kekasihnya dengan wajahnya yang memerah, terlalu menggemaskan.

“Hmm.... Kangen sih, gak banyak beban kayak sekarang, haha.”

“Padahal kamu dulu pengen cepet-cepet kerja biar bisa nonton konser Taylor Swift pake uang sendiri.” Wonwoo sedikit terkejut karena Mingyu masih mengingat omongannya.

Well... I still remember every little things of you.” Entah sudah keberapa kalinya Mingyu membuat jantung Wonwoo berhenti untuk sepersekian detik, kemudian membuatnya berdebar lebih cepat.

Thanks.” Balas Wonwoo.

Kemudian Mingyu tertawa sendiri disaat keduanya tidak ada yang berbicara.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Aku jadi inget, dulu pdkt sama kamu tuh kerjaannya cuma ke perpus sekolah, dispusipda, itu-itu aja.” Wonwoo tertawa mengingatnya.

“Hahaha, ya maaf. Siapa suruh deketin anak kutu buku.” Balas Wonwoo.

Keduanya tertawa bersama mengingat kenangan mereka semasa SMA dulu. Menceritakan hal-hal yang keduanya alami bersama. Pokoknya melakukan kilas balik kala keduanya remaja.

“Won...”

“Hmm...” Jawab Wonwoo pada Soonyoung yang sedang bermain ke rumahnya.

“Pemilihan ketos nanti, lu mau pilih siapa?”

“Yang orasinya bagus.” Balas Wonwoo masih fokus dengan novelnya.

“Mingyu gimana?”

“Kalau dia bagus, ya gue pilih dia.”

“Kalau dijadiin pacar gimana?” Wonwoo menghentikan aktivitas membacanya. Kemudian menatap sahabatnya itu.

“Lu nyerah dari Jihoon terus mau deketin Mingyu?” Soonyoung melempar bantal kepada wajah Wonwoo.

“Gue kadang heran, bisa-bisanya orang kayak lu begini kepilih olimpiade.”

“Ih, gak ada urusannya. Cepet cerita. Lu mau deketin Mingyu?”

“Begini nih kalau hidupnya cuma ada buku aja, gak merhatiin orang sekitar.”

“Apaan sih, gak jelas.”

“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo tersedak salivanya sendiri kemudian mengerutkan keningnya.

“Ngaco.” Balas Wonwoo.

“Seriusan, anjir. Tatap mata gue, apakah ada kebohongan?” Soonyoung melebarkan kedua matanya dan hanya dibalas toyoran pelan di keningnya.

“Udah ah, gue mau tidur.” Wonwoo menutup novelnya.

“Ih, jawab gue dulu.”

“Jawab apa sih?”

“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo terbangun dari posisi tidurnya.

“Nih ya, mana mungkin sih sekelas Mingyu suka sama gue? Dia dikelilingin banyak orang ganteng dan cantik yang cocok sama dia. Gak usah ngaco.”

“Lah emang kenapa? Emang sih lu jelek, tapi mungkin Mingyu emang suka yang jelek kayak lu karena bosen ada di antara orang good looking.” Wonwoo melempar bantal kepada Soonyoung.

“Balik balik. Males dengerin lu.” Wonwoo membelakangi Soonyoung.

“Yeee dibilangin. Pokoknya gue udah bilang kalau Mingyu demen sama lu. Dah ah, mau balik.” Soonyoung segera keluar dari kamar Wonwoo dan pulang ke rumahnya yang berada di samping rumah Wonwoo.

Sesaat setelah Soonyoung keluar, Wonwoo melamun, memikirkan omongan Soonyoung tadi. Memang sudah ada beberapa lelaki populer dan tampan yang mendekati Wonwoo, dan semuanya tidak membuat lelaki itu tertarik sedikitpun. Namun kali ini Kim Mingyu, si kandidat calon ketua osis. Otak yang cerdas, kepribadian yang menyenangkan, dan jangan lupakan rupanya yang tampan.

Wonwoo terkekeh, kehidupan SMA-nya sudah seperti remaja yang menjadi bintang utama dalam novel teenlit. Disukai lelaki populer, dari mulai seorang bad boy seperti Seungyoun, ketua basket seperti Rowoon, kapten futsal seperti Jaehyun, mantan ketua MPK seperti Seungcheol, dan sekarang calon ketua osis. Kim Mingyu.

Wonwoo mengambil ponselnya kemudian mencari username sang calon ketua osis. Ada 20 postingan pada akun dengan username mingyukim itu. Wonwoo melihatnya satu persatu.

Great photographer.” Puji Wonwoo ketika melihat postingan Mingyu. Kemudian ada satu buah foto yang menarik perhatiannya.

“Ini kan gue?” Gumamnya kala melihat fotonya dari samping ketika acara ulang tahun sekolah di tengah kerumunan dengan smoke bomb berwarna-warni di sekitarnya sambil tersenyum lebar dan caption, 'life is full of shade of color, let's enjoy all the moment, because you only live once.' Ada beberapa komentar disana, termasuk Soonyoung.

Keesokannya, Wonwoo bertanya kepada Soonyoung ketika mereka berangkat sekolah. “Nyong, kok lu gak kasih tau kalau ada foto gue di instagramnya Mingyu?” Soonyoung mencubit pipi Wonwoo.

“Gue waktu itu udah bilang, ya, anjir. Tapi lu gak peduli soalnya lagi baca novel.”

“Emang iya?” Tanya Wonwoo.

“Tau ah.” Soonyoung mendecak sebal.

“Lu ngestalk akun Mingyu?” Kemudian kembali bertanya penuh selidik.

“Hah? Iya.” Wonwoo ingin mengelak, tapi percuma, karena sudah jelas jika ia menanyakan perihal postingan Mingyu.

“Cieee.... Demen juga?”

“Nggak! Gue kemaren kepo doang. Soalnya gue ngerasa gak kenal dia.”

“Siapa sih yang lu kenal selain gue, Jihoon, sama temen sekelas?” Wonwoo hanya terkekeh.

“Semangatin dong nanti Mingyu-nya sebelum orasi ketua osis.”

“Dih ngapain? Sksd banget.” Bales Wonwoo.

“Nggak elah. Pasti seneng bocahnya.”

“Tiba-tiba gitu ngasih semangat?”

“Ya kan wajar ngasih semangat, gue aja ngasih semangat.”

“Lu kan temennya, Nyong. Wajarlah nyemangatin.”

“Nih ya, wajar kali nyemangatin. Gue nih bukan temennya satpam sekolah, tapi gue suka semangatin tuh.” Wonwoo cemberut.

“Semangatin doang mah gak apa-apa kali, mau sambil ngasih makanan juga gak apa-apa, pahala.” Wonwoo terdiam mendengarkan kata-kata Soonyoung.

Sesampainya di sekolah, lapangan dan panggung sekolah sudah didekor untuk persiapan orasi calon ketua osis nanti. Ada poster tiga kandidat juga disana, termasuk Mingyu dan pasangannya Chan.

Wonwoo pergi ke kantin, untuk membeli susu kotak, kebiasaannya setiap pagi. Saat ia akan kembali, ia tidak sengaja menabrak seseorang karena ia lupa memakai kacamatanya.

“Eh, maaf maaf. Gue gak liat. Sakit gak?” Wonwoo mendongak, tidak dapat melihat jelas siapa yang ditabraknya.

“Eh iya, gak apa-apa. Gak sakit kok.” Jawab orang tersebut. Wonwoo mencoba menyipitkan netranya, agar bisa fokus. Orang tersebut terkekeh.

“Gue Mingyu, haha.” Wonwoo sedikit terkejut saat mengetahui jika orang yang ditabraknya adalah orang yang katanya Soonyoung menyukai dirinya.

“Oh, Mingyu. Maaf, ya, gue gak liat tadi. Maaf banget.” Lagi-lagi Mingyu terkekeh.

“Santai aja, Wonwoo. Kenapa gak bawa kacamata?”

“Ketinggalan di kelas.”

“Oh...”

“Sebentar.” Wonwoo kembali membeli satu kotak susu coklat dan memberikannya kepada Mingyu yang masih berdiri di tempatnya.

“Ini.” Wonwoo menyodorkan susu kotaknya.

“Sebagai tanda permintaan maaf, terus....” Mingyu terdiam, menunggu kalimat selanjutnya.

“Buat orasi nanti, break a leg. Bye.” Wonwoo tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Mingyu yang mematung di tempatnya. Diam-diam ada senyum yang terpatri pada wajah lelaki jangkung itu.

“Masa sih aku semangatin aja deg-degan?” Tanya Wonwoo sambil terkekeh. Pria jangkung yang ada di hadapannya mengangguk.

“Beneran tau, Nu. Aku deg-degan waktu kamu ucapin semangat pas mau orasi waktu itu.” Wonwoo tertawa.

“Itu alasan kamu menggebu-gebu banget waktu lagi orasi?” Mingyu tersenyum lebar.

“Iya. Terus aku liat kamu sebelahan sama Soonyoung Jihoon, sambil dengerin aku orasi. Aku waktu itu gak liat mata kamu, soalnya takut yang ada di kepala aku buyar semua.”

Cheesy banget mantan ketua osis ini.”

“Ih seriusan tau.”

“Kenapa buyar sih? Aku kan diem aja?”

“Ya namanya juga abg kasmaran, segalanya diromantisasi.” Ucap Mingyu.

“Itu pertama kalinya kita ngobrol gak sih? Waktu aku gak sengaja nabrak kamu?” Tanya Wonwoo, dan dibalas anggukan oleh Mingyu.

“Dari situ aku berani deketin kamu.”

Wonwoo sedikit tersipu mendengar ucapan Mingyu. Terulang di kepalanya masa-masa pendekatannya dengan Mingyu.

“Nu, pdkt sama Mingyu, ya?” Tanya Jun sambil duduk di sebelah kursi Wonwoo sementara teman sebangkunya, Soonyoung, pergi ke kantin.

“Hah? Nggak. Ngaco ah.” Balas Wonwoo.

“Masa sih?” Jun tersenyum menggoda lelaki yang sedang sibuk dengan novelnya itu.

“Beneran. Ada juga lu kan yang lagi pdkt sama anak IPS 2?” Giliran Jun yang salah tingkah.

“Itu mah udah rahasia umum sih. Gak usah ngalihin pembicaraan ah.”

“Ternyata seleranya ketua osis.” Wonwoo memelototi Jun karena omongannya yang terlalu keras, takut menjadi gosip.

“Tuh kan bener.”

“Pergi sana, ganggu.” Ketus Wonwoo namun malah dibalas tawa oleh Jun.

“Berarti bener.” Wonwoo menatap Jun sebal.

“Soalnya dulu kalau gue godain lagi deket sama Seungyoun, Jaehyun, Rowoon, atau Bang Seungcheol, lu biasa aja responnya.” Wonwoo tidak sadar jika tingkah lakunya menimbulkan kecurigaan.

“Minggir minggir. Ngapain lu duduk di bangku gue?” Usir Soonyoung dengan jajanan ditangannya.

“Temen lu nih beneran pdkt sama ketua osis?” Tanya Jun.

“Beneran lah. Gak liat lu si Mingyu datang mulu kesini?”

“Apaan sih? Kapan coba kesininya?” Balas Wonwoo ketus.

“Oh, mau disamperin nih? Nanti gue bilangin.” Soonyoung tersenyum lebar.

“Apaan sih, Nyong? Gak usah ngaco!” Wonwoo tidak sadar jika wajahnya merona. Ketika Jun dan Soonyoung sedang asik menggoda Wonwoo, tiba-tiba Doyoung memanggilnya.

“Won, dicariin tuh.” Wonwoo mengerutkan dahinya.

“Siapa?” Tanya Wonwoo.

“Ketua osis.” Jawaban Doyoung itu membuat Jun dan Soonyoung semakin menggodanya. Wonwoo segera pergi untuk menemui Mingyu.

“Ada apa?” Tanya Wonwoo. Mingyu terlihat sedikit bingung.

“Loh, katanya Jun, lu pengen gue samperin?” Wajah Wonwoo merah padam. Ia berjanji akan mencubit Jun dengan keras.

“Nggak kok. Itu Jun aja iseng. Maaf, ya.” Wonwoo bingung harus mengatakan apalagi.

“Ya udah, nanggung udah disini.” Wonwoo menatap Mingyu.

“Ngobrol yuk?” Ajak Mingyu. Wonwoo tidak mengedipkan matanya.

“Eh sibuk gak? Kalau sibuk, gue balik lagi ke kelas.”

“Nggak, santai aja.” Padahal ada degup jantung milik Wonwoo yang kontradiksi dengan ucapannya.

“Disini aja?” Tanya Mingyu.

“Emang mau dimana?” Mingyu menggaruk tengkuknya.

“Disini aja deh, haha.” Ujar Mingyu sambil tertawa canggung.

“Oh iya, congrats. Wonwoo menyodorkan tangannya.

“Ah... Makasih, ya.” Mingyu membalas jabatan tangan Wonwoo. “Itu juga berkat lu.” Alis Wonwoo terangkat, bingung.

“Kenapa gara-gara gue?” Tanya Wonwoo.

“Itu... Susu... Gue jadi semangat.” Wonwoo terkekeh.

“Makasih sama susunya berarti.” Balas Wonwoo.

“Tapikan lu yang kasih.”

“Emang kenapa kalau gue yang kasih?” Mingyu sepertinya hobi menggaruk tengkuknya ketika berada di dekat Wonwoo.

“Karena lu yang kasih, jadinya semangat.” Balas Mingyu pelan, namun masih bisa tertangkap rungunya. Kemudian keduanya terdiam, membiarkan suara riuh mengisi kekosongan.

“Lu suka baca novel Tere Liye juga?” Bersyukur ada satu buah novel yang dipegang Wonwoo dan bisa menjadi bahan obrolan mereka.

“Oh... Iya. Lu suka juga?” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Gue sebenernya baru baca sih yang Bumi ini, ternyata seru.” Ucap Wonwoo.

“Gue punya yang Bulan sama Matahari, mau pinjem?”

“Eh, gak apa-apa?”

“Gak apa-apa dong, makanya gue tawarin. Besok gue bawa.”

“Makasih, ya.” Wonwoo tersenyum senang dan sukses membuat Mingyu terhipnotis, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Wonwoo. Tidak lama, bel masuk pun memenuhi seluruh penjuru sekolah, ada suara helaan nafas kecewa dari Mingyu. Wonwoo yang menyadarinya terkekeh.

“Gue masuk dulu, ya. Dadah.”

“Eh... Won.” Wonwoo membalikkan badannya lagi.

“Nanti... Pulang bareng mau?” Wonwoo mengedipkan matanya berkali-kali.

“Pulang bareng, ya?” Wonwoo terlihat berpikir sebentar.

“Gak mau, ya? Gak apa-apa kok.”

“Bukan gitu. Nanti pulang, gue ada latihan soal sama anak olim lain, takutnya kesorean.”

“Gak apa-apa kok, gue juga ada kumpul osis dulu.”

“Beneran gak apa-apa?”

“Beneran!” Jawaban Mingyu yang bersemangat itu membuat kekehan keluar dari bibir Wonwoo.

“Oke, nanti gue kabarin kalau udah selesai, ya.” Ucap Wonwoo.

“Oke.”

See you.” Mingyu tersenyum lebar.

See you.” Mingyu kembali ke kelasnya dengan wajah sumringah, membuat orang bertanya-tanya. Memang ketua osis itu murah senyum, namun ada yang beda dari senyumnya kali ini.

“Sumpah ya, wajah kamu waktu itu cerah banget sampe pulang. Orang udah lusuh, kamu masih keliatan seger.” Mingyu dan Wonwoo terkekeh mengingat masa remajanya.

“Ya kan seneng gitu pulang bareng gebetan.”

“Dari situ jadi banyak gosip.” Kata Wonwoo.

“Gara-gara Bu Ani sih itu. Soalnya pas balik dari kelas kamu tuh, ada Bu Ani kan, dia nanya kenapa senyam senyum abis ngobrol sama Wonwoo. Eh, digosipin deh.” Kekeh Mingyu.

“Ih, aku jadi diledekin di kelas tau waktu itu.”

“Gak apa-apa, aku seneng ada gosip itu. Jadi gak ada yang deketin kamu.”

“Emang gak ada yang deketin aku sih.”

“Dih... Padahal banyak banget tuh yang deketin. Aku sampe frustasi waktu itu.”

“Lebay deh. Kenapa frustasi coba?”

“Ya iya, aku sukanya dari kelas 10, tapi gak berani deketin. Tapi Kak Seungcheol sama Seungyoun tuh berani banget. Eh nambah lagi Rowoon sama Jaehyun. Mana semuanya anak terkenal. Ciut lah aku.” Wonwoo tertawa cukup kencang hingga hidungnya mengerut. Sebuah pemandangan yang Mingyu rindukan.

“Padahal kamu juga banyak yang suka tuh. Kayaknya dari setiap kelas ada deh yang suka kamu, Gu.” Mingyu dan Wonwoo terdiam.

'Gu.' Wonwoo dulu memanggil nama Mingyu dengan sebutan 'Migu' ketika keduanya pdkt hingga berpacaran dan tidak ada yang mengetahui panggilan itu selain mereka berdua.

Wonwoo terlihat salah tingkah. Ia malu untuk menatap Mingyu yang kini sedang tersenyum lebar karena mendengar pet name-nya itu.

“Gu...” Panggil Wonwoo ketika keduanya sedang berada di sebuah cafè, berniat untuk belajar sekaligus photobox.

“Gu?” Tanya Mingyu bingung.

“Migu.” Cicit Wonwoo pelan, namun masih bisa terdengar oleh Mingyu.

“Apa apa?” Mingyu mendekatkan dirinya kepada Wonwoo, menggoda si pria berkacamata.

“Migu.” Mingyu menatap Wonwoo dengan senyum lebarnya.

“Gak pegel tuh senyum terus?” Mingyu menggelengkan kepalanya.

“Panggil lagi dong.”

“Ck. Gak mau.” Wajah Wonwoo sedikit merona.

“Gemes banget sih, Nu.” Ada debaran yang tidak normal dalam dada Wonwoo setiap Mingyu memujinya.

“Gue mau beli kopinya lagi.” Ucap Wonwoo. “Lu mau titip?”

“Lu tuh jangan keseringan ngopi, nanti maag loh, kan belum makan juga.” Namun Wonwoo tidak mendengarkan.

“Mau gak? Kalau gak, gue pesen punya gue aja.” Wonwoo membetulkan seragamnya yang sudah kusut.

“Ya udah boleh, sama kayak yang tadi.” Ucap Mingyu.

“Oke.” Wonwoo beranjak dari kursinya kemudian pergi untuk memesan lagi kopi yang sama untuk keduanya.

“Istirahat dulu, jangan terlalu diforsir. Tuh mata lu keliatan udah capek.” Wonwoo membuka kacamatanya kemudian menguceknya pelan. Bibirnya sedikit mengerucut ketika ia mengucek matanya, membuat lelaki yang ada di hadapannya berdebar karena gemas.

“Abis ini makan, ya? Gue bawa ke tempat bagus, biar gak butek.” Wonwoo menopang dagunya dengan tangan kanan, ia penasaran dengan ketua osisnya itu.

“Lu suka jalan-jalan, ya, Gu?” Mingyu masih belum terbiasa dengan panggilan barunya karena membuatnya ingin mengecup pipi Wonwoo.

“Bener, haha. Suka explore sih gue, doyan kelayapan.”

“Semua cafè di Bandung udah lu datangin?”

“Belum, Nu. Masih banyak banget yang belum gue datangin, soalnya harus ngumpulin uang dulu.”

'Dia anak mandiri.' Satu hal yang Wonwoo dapat tentang Mingyu hari ini.

“Suka fotografi juga?” Tanya Wonwoo.

“Suka banget.”

“Dari kapan sukanya?” Mingyu sedikit berdehem, mengingat-ngingat kapan ia mulai menyukai dunia fotografi.

“Kayaknya SMP deh. Waktu itu gue ditugasin jadi seksi dokumentasi pas mopd, terus banyak yang muji hasil foto gue bagus. Terus kan fotonya dimasukin ke buku mopd, ternyata ya lumayan lah bagus buat tingkat newbie.” Jawab Mingyu dengan sedikit menggebu.

Satu hal lagi yang ia tau dari ketua osisnya itu. 'Dia akan menggebu-gebu kalau nyeritain kesukaannya.'

“Terus sampe sekarang jadi suka?” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Biar gue tebak hobi lu.” Wonwoo tersenyum sambil menunggu Mingyu berbicara.

“Belajar, ya?” Wonwoo mendengus.

“Kalau belajar kewajiban.” Mingyu terkekeh.

“Becanda becanda. Baca novel kan?” Wonwoo tersenyum sambil mengangguk.

“Seratus buat bapak ketua osis.” Keduanya tertawa bersama.

“Gue ada hobi lain, mau tau gak?” Tanya Mingyu dan membuat Wonwoo penasaran.

“Hobi gue yang lain tuh, ehm...” Mingyu menggantung kalimatnya, berdehem untuk membersihkan tenggorokan.

Stare at someone who loves to read his novel at the library with the chocolate milk.” Wonwoo terdiam mendengar ucapan Mingyu.

I like to stare at how he chuckles or smiles when he read the metro pop-type or comedy novel, or when his eyes are a little bit teary because of the sad novel.

And I frequently loved to see when he fixes his glasses or rubbed his eyes because tired after reading the novel.

Wonwoo speechless ketika mendengar segala statement dari Mingyu. Ia tahu, itu dirinya. Dirinya yang sedang dibicarakan Mingyu. Wajahnya sekarang merah padam karena pengakuan dari ketua osisnya.

“Kamu masih inget aja aku pernah ngomong gitu.” Sepertinya kilas balik mereka berdua dipenuhi dengan kekehan dan tawa geli ketika mengingatnya.

“Setelah dipikir-pikir, kamu kayak stalker.” Ujar Wonwoo.

“Permisi, perpus sekolah kan bukan punya kamu aja, ganteng.” Balas Mingyu.

“Aku juga kan sering ke perpus. Terus sering liat kamu baca novel disana sambil minum ultramilk coklat kesukaan kamu itu.”

“Hahaha. Lagian kamu liat aja.”

How can I skip it when there's a beautiful creature right in front of my sight?” Untuk kesekian kalinya Wonwoo merona.

“Aku juga tau tuh waktu acara pensi, kamu malah pergi ke perpus sambil abisin dua series Omen-nya Lexie Xu. Gak takut ada setan beneran apa?”

“Gak lah. Lagian itu genre thriller bukan horor!” Koreksi Wonwoo.

“Oke, maaf. Aku kan gak tau.”

“Penakut sih.” Cibir Wonwoo.

“Bukan penakut sih, was-was aja.” Wonwoo menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Mingyu.

“Iya deh, takut.” Deretan gigi Wonwoo terlihat ketika ia tersenyum lebar.

“Oh kamu juga pernah tuh waktu yang lain sibuk nonton basket, kamu malah abisin novel four season-nya Ilana Tan.”

“Tuh kan, kamu stalker. Bisa-bisanya tau semua buku yang aku baca.”

“Waktu itu kan aku nanya Soonyoung, ya dia jawab jujur.”

“Terus besoknya kita nonton basket, soalnya aku udah gak ada bacaan lagi.” Ucap Wonwoo.

“Terus aku cemburu.” Kedua insan yang sedang bernostalgia itu tertawa kencang mengingat hal tersebut.

“Nonton hayuk, ada Mingyu juga tuh.” Ajak Soonyoung. Wonwoo mendengus sebal. Tapi dia juga tidak tau harus apa di kelas sendirian. Sudah tidak ada novel yang bisa ia baca.

“Ayok, Won, ikut yuk? Nanti sebelahan sama gue, soalnya Soonyoung rusuh banget kalau nonton.” Ujar lelaki mungil yang diketahui sebagai kekasih Soonyoung. Jihoon, baru tiga hari yang lalu keduanya berpacaran.

“Ya udah.” Soonyoung dan juga Jihoon tersenyum senang. Akhirnya mereka turun ke lapangan, melihat jika lapangan sudah dipenuhi dengan murid sekolahnya dan sekolah tetangga. Dari banyaknya manusia disana, netra Wonwoo langsung terfokus pada laki-laki tinggi yang sedang tersenyum kepadanya.

“Mingyu tuh wajahnya langsung cerah kalau udah liat lu.” Bisik Jihoon dan membuat Wonwoo tersenyum senang.

Wonwoo segera duduk di sebelah Mingyu, kemudian ada Jihoon, kemudian Soonyoung. Pertandingan dimulai, suara murid-murid memenuhi lapangan indoor itu. Wonwoo tidak mengerti aturan permainan basket. Dia hanya ikut tertawa melihat teman-temannya yang bersemangat.

Suara penonton semakin heboh saat kapten dari tim basket sekolahnya terjatuh. Rowoon, kapten tim basket, segera mengambil bolanya untuk melakukan free throw, sebelum melemparnya, Rowoon sempat melirik ke arah Wonwoo dan dibalas oleh senyuman dengan tangan yang mengepal, memberikan semangat kepada Rowoon. Mingyu yang berada di samping Wonwoo merasa sedikit panas melihatnya. Apalagi ketika bolanya masuk, dan Rowoon mendekat ke pinggir lapangan kemudian melakukan high five dengan Wonwoo. Kemudian ada Wonwoo yang akhirnya ikut berteriak menyemangati Rowoon.

Seusai pertandingan dengan kemenangan ditangan sekolah mereka, Rowoon kembali menghampiri Wonwoo hanya untuk mengucapkan terimakasih. Wonwoo tersenyum lalu memberi botol air minumnya yang belum dibuka.

“Semangat finalnya, ya!” Rowoon menepuk kepala Wonwoo pelan.

“Nonton dong nanti waktu final.” Pinta Rowoon.

“Pasti!” Bales Wonwoo sambil menganggukan kepalanya semangat.

“Hahaha. Ya udah gue pamit dulu, ya. Takut bau. See you.” Wonwoo melambaikan tangannya kepada Rowoon.

Soonyoung dan Jihoon yang sedari tadi hanya menonton saling melirik satu sama lain kemudian terkekeh pelan ketika melihat ekspresi Mingyu yang sarat kecemburuan.

“Panas, brou.” Soonyoung menyindir Mingyu sambil mengipasi dirinya sendiri.

“Panas gak, beb?” Kali ini Soonyoung mengipasi kekasihnya yang tertawa.

“Iya deh panas gara-gara teriak-teriak.” Balas Wonwoo.

Memang tidak peka.

“Padahal awalnya gak mau nonton tuh, tapi tadi paling kenceng nyemangatin KAPTENNYA.” Soonyoung sengaja menekan kata 'kaptennya dan membuat Mingyu menoleh sebal.

“Eh, gue duluan, ya. Ada kumpul osis dulu.” Mingyu pamit dengan senyumnya.

“Oke, Gyu.” Balas Wonwoo dan lagi-lagi Soonyoung dan Jihoon tertawa, membuat Wonwoo bingung.

“Sumpah, ya, kamu tuh gak peka banget.” Ucap Mingyu gemas.

“Hahaha. Udah sering denger sih.”

“Emang kamu gak liat apa wajah aku udah suram banget?” Wonwoo menggeleng sambil tertawa, Mingyu mencubit hidung bangir Wonwoo.

“Iya sih, fokusnya kan sama kapten basketnya.” Sindiran Mingyu membuat Wonwoo kehabisan nafasnya karena terus tertawa.

“Aku juga gak ngerti kenapa aku gak peka. Soonyoung aja sampe sebel sama aku.”

“Aku juga sebel sih.” Wonwoo dengan refleksnya menepuk pipi Mingyu pelan.

“Mana aku mau nembak gak jadi terus.” Lanjut Mingyu.

“Hahaha, maaf dong, kan akunya sibuk latihan olimpiade.”

“Sabar banget aku dulu.” Mingyu menghela nafasnya jika ia mengenang bagaimana susahnya ia menyatakan perasaan kepada Wonwoo.

“Dispen lagi?” Tanya Soonyoung kepada teman sebangkunya. Wonwoo mengangguk.

“Jangan ketiduran lu, soalnya gak ada gue yang bangunin lu kalau Bu Neneng udah ngeliatin.” Wonwoo sudah siap untuk pergi ke ruang perpustakaan sekolahnya untuk persiapan olimpiade biologi yang akan digelar sekitar satu bulan lagi.

Lelaki berkacamata itu pasti akan sulit dihubungi ketika menjelang olimpiade, karena Wonwoo akan benar-benar fokus dan tidak mau ada yang mendistraksinya. Termasuk Mingyu.

Semenjak satu minggu yang lalu Wonwoo hanya membalas paling banyak lima bubble saat Mingyu mengirimkannya pesan. Jujur saja Mingyu sedikit khawatir, takut Wonwoo sakit karena sering kali Wonwoo begadang.

“Nu...” Mingyu mencegat Wonwoo sebelum laki-laki itu kembali ke perpustakaan. Kantung matanya semakin menggelap. Pipinya semakin tirus. Mingyu juga bisa lihat jika kacamatanya sedikit lebih tebal.

“Nih. Lu tuh makin kurus tau gak?” Mingyu memberi susu ultramilk coklat dan tupperware yang berisi roti.

“Eh, ini buat gue? Serius?” Mingyu menghelas nafasnya, kemudian senyum.

“Iya, Wonu. Makan, ya. Awas aja sampe gak dimakan.”

“Terus tupperware-nya gimana dong balikinnya?”

“Nanti aja waktu pulang.”

“Tapi...”

“Iya, tau. Pulangnya lebih lambat, nanti gue tungguin.” Wonwoo speechless. Entah mengapa jantungnya berdesir karena perlakuan Mingyu padanya.

“Ya udah gih ke perpus. Udah mau bel.” Ucap Mingyu.

“Makasih, ya.” Wonwoo tersenyum dan menularkannya pada Mingyu.

“Semangat, ya!” Wajah Wonwoo merona saat Mingyu mengelus rambutnya pelan. Lelaki berkacamata itu mengangguk kemudian segera berjalan menuju perpustakaan.

Pulangnya, Mingyu sudah menunggu Wonwoo sambil bermain basket di lapangan sekolah. Hingga semua orang pergi, Mingyu masih setia menunggu lelaki yang masih berkutat dengan soal-soal biologi di perpus sana. Mingyu sudah bertekad untuk menyatakan perasaannya kepada Wonwoo.

Tepat pukul setengah enam sore, anak-anak yang akan mengikuti olimpiade keluar dari perpustakaan. Netra Mingyu menelisik, mencari Wonwoo. Kedua sudut bibirnya terangkat kala melihat Wonwoo yang membawa banyak buku ditangannya.

“Sini.” Mingyu mengambil alih buku-buku tebal itu.

“Eh... Itu berat.” Ujar Wonwoo.

“Gue kuat kok.” Wonwoo mendengus karena menganggap Mingyu lucu.

“Lewat ruang osis, ya. Tas gue masih disana.” Wonwoo hanya menurut dan mengikuti Mingyu.

Setelah Mingyu mengambil tasnya, keduanya segera menuju parkiran, Wonwoo kembali membawa buku-bukunya karena Mingyu harus memutar motornya terlebih dahulu.

“Yuk.” Ucap Mingyu setelah ia siap. Wonwoo memakai helm-nya dan segera menaiki motor Mingyu.

Lelaki yang sedang menyetir merasa gugup, tidak sabar ingin mengutarakan perasaannya. Sepanjang jalan, ia menarik nafasnya dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan, begitu terus selama lima kali. Sesampainya di rumah Wonwoo, Mingyu mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya.

“Makasih, ya, buat susu, roti, sama udah dianterin pulang. Ini tupperware-nya.” Wonwoo mengembalikan tupperware berwarna biru itu kepada Mingyu.

“Nu...” Sebelum Wonwoo sempat berpamitan, Mingyu memanggilnya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Ehm... Gue mau ngomong.” Wonwoo diam, menunggu Mingyu.

Namun, Mingyu mengurungkan niatnya ketika melihat wajah lelah Wonwoo. Foxy eyes yang biasanya penuh binar itu kini meredup. Meskipun Wonwoo sudah mencoba agar terlihat penasaran, tetapi Mingyu tau jika lelaki itu sebenarnya hanya ingin pulang, dan beristirahat.

“Semangat olimpiadenya, ya. Gue yakin lu pasti bisa. Makan yang bener, minum air putih yang banyak, jangan ngopi terus. Break a leg.” Wonwoo mengumpulkan sisa energinya untuk tersenyum membalas ucapan Mingyu.

Thanks. Mending lu pulang, Gu. Udah gelap.” Ujar Wonwoo.

“Oke. Gue duluan, ya.”

“Hati-hati! Gue masuk dulu!” Mingyu menganggukan kepalanya. Matanya terus menatap punggung Wonwoo sampai lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Hembusan nafas keluar dari bibirnya. Gagal sudah rencananya.

Selama seminggu ini Mingyu terus memberikan susu coklat dan juga roti untuk Wonwoo, dan ia akan menunggu pujaan hatinya itu sampai menjelang maghrib.

Olimpiade biologi sudah semakin dekat, tinggal tiga hari. Wonwoo semakin ketat belajar, bahkan ia tidak pernah memegang ponselnya kecuali untuk mencari sumber bacaan terkait olimpiadenya. Pesan dari Mingyu pun tidak ada yang dibalas. Namun Mingyu bisa mengerti, dan ia tetap mengirimkan pesan kepada Wonwoo untuk sekedar mengingatkan makan dan memberikan semangat.

“Gu...” Seperti biasa, Wonwoo keluar perpustakaan pada pukul setengah enam sore. Mingyu yang sedang mengobrol dengan salah satu rekan osisnya segera berpamitan dan bergegas mengantar Wonwoo pulang. Selama di perjalanan, Wonwoo menyandarkan kepalanya pada punggung Mingyu. Bukannya senang, justru Mingyu khawatir. Wonwoo terlihat pucat saat keluar dari perpustakaan tadi. Mingyu menarik tangan Wonwoo agar lebih erat memeluknya. Bukan, bukannya Mingyu mengambil kesempatan, namun ia benar-benar khawatir. Tangan Wonwoo pun sangat dingin. Mingyu mengarahkan motornya ke pinggir jalan. Memeriksa keadaan Wonwoo.

“Nu, lu menggigil.” Kata Mingyu panik. Ia segera mengambil hoodie-nya dari dalam tas, dan memakaikan pada tubuh Wonwoo. Pelipisnya mengeluarkan keringat. Mingyu memegang kening Wonwoo.

“Lu demam, Nu. Ke klinik, ya?” Wonwoo menggeleng lemah.

“Pulang aja, Gu.” Pinta Wonwoo.

“Gak, lu sakit. Menggigil gini. Gue hubungin orang tua lu, ya?” Wonwoo kembali menggeleng.

“Nu, tolong banget.” Wonwoo memegang perutnya yang tiba-tiba terasa panas.

“Perutnya sakit?” Wonwoo tidak menjawab melainkan segera turun dari motor Mingyu dan berlari kecil ke pinggir jalan kemudian memuntahkan isi perutnya yang hanya keluar cairan bening.

“Nu... Gue anter ke klinik, gak boleh nolak. Deket kok dari sini. Tahan, ya.” Gelengan lemas dari Wonwoo diabaikan oleh Mingyu. Lelaki yang lebih jangkung segera menaiki motornya lagi, Wonwoo pasrah, dan menaiki motor Mingyu lagi. Selama di jalan, Mingyu sesekali melirik Wonwoo dari spion. Wajahnya benar-benar khawatir dan panik melihat orang terkasihnya lemas dan pucat.

Beruntungnya ada klinik di dekat mereka, tidak sampai sepuluh menit dari tempat mereka berhenti tadi. Mingyu memapah Wonwoo memasuki klinik tersebut. Mingyu menemani Wonwoo diperiksa. Dokter menyarankan agar Wonwoo beristirahat dulu. Lelaki berkacamata itu terkulai lemas di atas kasur klinik. Mingyu segera menghubungi Soonyoung, memberi informasi jika Wonwoo sakit, dan meminta tolong agar Soonyoung menyampaikannya kepada kedua orang tua Wonwoo.

Kurang dari 30 menit, kedua orang tua Wonwoo dan juga Soonyoung tiba di klinik tersebut. Ibu dan ayah Wonwoo segera menengok keadaan anak tunggalnya, sementara Soonyoung menemani Mingyu.

“Kalem kalem. Sembuh kok, butuh istirahat aja sama harus dimarahin itu anak biar gak minum kopi terus.” Soonyoung menepuk-nepuk bahu Mingyu yang masih cemas.

“Cepet kan ya sembuhnya? Gak akan lama?”

“Cepet kok cepet. Nanti kalau anaknya udah bangun, gue marahin. Kalau perlu gue pantau 24/7 biar gue tau apa aja yang masuk mulutnya.” Mingyu sedikit terhibur dengan omongan Soonyoung.

“Tenang aja Pak Ketos, Unyong hadir sebagai tukang marahin si Wonu.”

“Jangan dimarahin ah.”

“Weits, terpantau semakin protektif nih.” Lagi-lagi Mingyu terkekeh sambil memukul lengan Soonyoung pelan.

“Eh, nyokap bokap lu gak nyariin apa? Udah maghrib gini.”

“Tadi gue udah bilang nyokap gue anterin temen ke klinik.”

“Temen tapi mesra maksudnya?” Goda Soonyoung.

“Hahaha. Udah ah, titip Wonu, ya. Suruh dia makan yang bener. Jangan ngopi terus. Oh iya, jangan terlalu diforsir, kasian badannya dia. Gue pamit.”

“Mending lu pamit ke orang tua Wonu juga.” Seketika Mingyu merasa gugup.

“Elah, minta izin pulang, bukan minta izin ngelamar. Tegang amat.” Soonyoung menyadari perubahan ekspresi Mingyu.

“Gak deh. Gue pamit. Salamin buat Wonu, bilangin ke orang tuanya, gue buru-buru, udah ditanyain orang tua. Dadah.” Soonyoung tertawa melihat tingkah laku ketua osis. Baru kali ini Soonyoung melihat Mingyu gugup. Padahal saat orasi dulu, Mingyu sangat bersemangat dan tidak terlihat gugup sama sekali meskipun dilihat satu sekolahan.

“Makasih banyak loh waktu itu kamu maksa aku buat dibawa ke klinik.” Wonwoo tersenyum tulus.

“Udah panik banget aku, takut kamu pingsan pas di motor.”

“Udah biasa padahal aku kayak gitu setiap mau olimpiade.”

“Penyakit kok dibiasain.” Mingyu menyindirnya.

“Hahaha. Ampun deh bapak ketos.” Wonwoo terkekeh.

“Udah balikan?” Obrolan Mingyu dan Wonwoo terpotong karena Soonyoung menginterupsi keduanya.

“Kalau kayak gini mah, ikutan nginep gak sih, Nu?” Bujuk Soonyoung. Memang acara reuninya diadakan satu hari, namun banyak yang berencana untuk menyewa villa di kawasan Lembang dan melanjutkan acaranya disana dan tentunya menginap. Sejujurnya Wonwoo tidak ada niat untuk menginap, namun karena kehadiran lelaki di hadapannya saat ini mengubah pikirannya.

“Tapi gak bawa baju ganti.” Wonwoo tidak ingin mengiyakan bujukan Soonyoung secara instan. Terlalu ketara jika ia masih ingin menikmati waktunya dengan sang mantan.

“Nih, baik gue mah. Beli aje kaos I love Bandung noh di alun-alun sama kolor. Cukup seratus rebu.” Wonwoo mendengus sebal, tapi tetap mengambil uangnya.

“Emang sekitar Lembang gak ada? Jauh banget kalau ke alun-alun dulu.” Protes Wonwoo.

“Aku temenin.” Wonwoo menolehkan kepalanya.

“Eh, gak usah.” Balas Wonwoo cepat.

“Anterin dah, keliling Bandung sekalian. Balik-balik gue harus dapet pajak balikan. Bye.” Soonyoung segera turun dari lantai itu, namun beberapa detik kemudian kepalanya kembali menyembul dari balik tangga.

“Nanti gue shareloc. Pokoknya di Villa Istana Bunga seperti biasa.” Soonyoung kembali turun.

Cafè itu perlahan semakin sepi, dan setelah beberapa menit, teman-teman keduanya sudah pergi dari sana. Tinggal Mingyu dan Wonwoo.

“Yuk?” Ajak Mingyu.

“Eh ini beneran kamu mau anterin?”

“Bener dong. Sekalian keliling Bandung. Kamu udah lama kan gak keliling?” Tanya Mingyu.

“Mau!” Balas Wonwoo semangat.

Keduanya bergegas pergi dengan mobil Mingyu, menyusuri jalanan Kota Kembang yang seakan membuka kotak memori keduanya. Mereka akan kembali menceritakan kisah-kisah di masa remaja dulu ketika melewati suatu tempat yang mereka kunjungi, atau saat keduanya hanya melewati suatu jalan yang bersejarah untuk keduanya.

Senyuman tidak pernah luntur dari wajah Mingyu dan Wonwoo. Mereka menikmati waktu berdua dengan saling membagi cerita yang mampu menghangatkan hati.

Ketika waktu menunjukan pukul setengah enam sore, keduanya sampai di jalan Braga. Jalanan yang selalu mereka lewati dulu. Secara otomatis kepala mereka melakukan kilas balik dan kemudian tertawa bersama.

“Inget banget waktu kita photobox di Toko Kopi Djawa. Aku masih simpen fotonya.” Ujar Mingyu saat melewati tempat yang disebut.

“Aku juga masih ada.” Balas Wonwoo sambil tertawa.

“Pertama kalinya kamu panggil aku Migu.” Wonwoo tersipu malu.

Keduanya kembali berjalan menyusuri jalanan Braga yang sudah dihiasi oleh lembayung, menemani sesi kilas balik kedua orang yang pernah bersinggungan masa lalu itu.

“Setiap nungguin kamu pulang latihan olimpiade, jam segini nih.”

“Sekarang upgrade, dulu pake motor sekarang bapak ketosnya udah sukses diganti sama mobil.” Untuk kesekian kalinya Mingyu terkekeh menanggapi omongan Wonwoo.

“Gu, ke Gramed Merdeka, yuk?” Mingyu menatap Wonwoo yang terlihat salah tingkah saat mengajaknya. Tangannya tidak bisa untuk tidak mencubit pipi Wonwoo karena gemas.

“Yuk. Kita ke mobil dulu.” Mingyu dan Wonwoo memutar jalan untuk kembali ke mobil.

Akhirnya mereka sampai di tempat paling bersejarah dan tidak akan dilupakan oleh keduanya, Gramedia yang berada di jalan Merdeka.

Mingyu terkekeh melihat Wonwoo yang masih saja terlihat senang ketika mengunjungi Gramedia. Matanya berbinar melihat rak-rak berisikan berbagai jenis buku. Dan Mingyu sudah bisa menebak jika Wonwoo akan menghampiri rak dengan deretan buku fiksi.

“Udah lama deh aku gak beli novel.”

“Yah, dicuekin ini mah akunya.” Wonwoo tertawa kemudian menepuk kepala Mingyu.

“Gak lama kok, aku udah ada wishlist, jadi gak lama pilih-pilihnya. Janji.” Mingyu sebenarnya tidak masalah jika harus menunggu Wonwoo. Ia senang bisa menghabiskan waktunya bersama seseorang yang pernah— Ralat.

Seorang yang masih mengisi hatinya meskipun sudah sempat terpisah beberapa tahun lamanya.

“Udah!” Mingyu menatap lima buah novel yang Wonwoo bawa.

“Masih sama, ya, hobinya.” Pria yang lebih kurus hanya memarken deretan giginya.

“Kamu gak mau beli apa-apa?” Tanya Wonwoo.

“Ehm.... Kesana yuk?” Wonwoo tau rak yang dimaksud Mingyu. Tiba-tiba saja debaran jantungnya kembali tidak normal. Ia menganggukan kepalanya dan mengikuti Mingyu yang berjalan ke arah rak dengan jajaran buku yang biasanya laris untuk kalangan siswa kelas 12. Yap, buku UN.

Keduanya terdiam sambil menatap buku-buku yang tebalnya bisa sampai 500 halaman itu. Kemudian saling menatap. Ada tawa yang malu-malu di antara kedua insan itu.

“Nu...” Mingyu menarik nafasnya dalam-dalam. Merasa gugup untuk sebuah alasan.

“Aku mau ngomong.”

'Aku.“ Pertama kalinya Mingyu mengubah kata ganti menjadi aku.

“Kenapa, Gu?” Entah mengapa, Wonwoo tiba-tiba merasa gugup.

“Aku tau sih ini masih awal kita kelas 12, tapi....” Mingyu menggantungkan omongannya, kembali menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian.

“Aku... Aku sayang sama kamu.” Wonwoo sudah tau selama ini ihwal perasaan Mingyu, tapi tetap saja ia merasa ingin meledak saat mendengarnya secara langsung.

As I said before, I loved to stare at you when you read the novel, fix your glasses, or rubbing your eyes gently.

I was truly immersed by your peaceful personality, you're captivating smile, or when your nose got scrunch when you laughing. And I always find myself falling for you even deeper and much more everyday.

So, I decided to confess to you. No need to answer asap, you can think about it first.

Suara bising dari pengunjung lain seketika lenyap. Wonwoo hanya bisa mendengar suara Mingyu yang sedang menyatakan perasaannya dengan ekspresi gugup yang tidak dapat disembunyikan. Manik Mingyu menatap tepat pada foxy eyes Wonwoo yang sedari tadi tidak berkedip selama mendengarkan pengakuannya.

“Ini...” Mingyu memberikan satu buah buku UN yang ada di dekat mereka. Wonwoo menatap Mingyu dan buku UN tersebut bergantian.

“Buat?” Tanya Wonwoo bingung.

“Gini deh. Kalau kamu terima aku, aku beliin buku UN.” Kedua alis Wonwoo terangkat.

“Kalau gak diterima?” Tersirat kekecewaan dari sorot mata Mingyu.

“Ehm...” Wonwoo terkekeh.

“Boleh aku pinjem dulu uang kamu? Nanti aku bayar bukunya waktu udah sampe rumah, aku gak bawa uang banyak.”

Hati Mingyu terasa mencelos ketika Wonwoo menolaknya secara tidak langsung. Wajahnya menjadi murung. Namun ia tetap membayar buku UN-nya, dan mengantar Wonwoo pulang dari Gramedia Merdeka.

Sesampainya di depan rumah Wonwoo, Mingyu terlihat lesu. Wonwoo adalah patah hati pertamanya. Lelaki yang dibonceng itu turun dari motor dengan buku UN yang masih ia peluk didadanya.

“Gu...” Panggil Wonwoo pelan. Hari sudah semakin gelap. Matahari telah bersiap untuk beristirahat.

“Kenapa, Nu?” Mingyu memaksakan senyumnya. “Oh iya, soal confess tadi, jangan dijadiin beban, ya. Aku cuma mau sampein aja biar gak ngeganjel terus.” Nada bicaranya memperjelas ada jutaan desperasi di dalam sana.

“Migu.” Panggil Wonwoo.

“Iya, kenapa, Nu?” Wonwoo tidak langsung menjawab, melainkan menatap obsidian Mingyu dengan lekat.

“Kalau aku gak mau bayar bukunya gimana?”

“Gak apa-apa, buat kamu aja.” Balas Mingyu lesu. Wonwoo terkekeh.

“Tadi kata kamu kalau aku terima kamu, kamu beliin buku UN-nya, ya aku pengen buku ini jadi milik aku, boleh? Sekalian sama yang beliinnya.”

Mata Mingyu membelo mendengar ucapan Wonwoo. Mingyu turun dari motornya dan menghampiri Wonwoo.

“Seriusan? Kamu serius kan, Nu?” Wonwoo terkekeh sambil menganggukan kepalanya.

“Iya, Migu, serius banget.” Wonwoo sedikit berdehem. “Sekarang giliran aku yang ngomong, ya. Listen this carefully, I won't say it twice.” Mingyu terdiam sambil menatap Wonwoo dan memasang telinganya dengan baik.

Honestly, I cherish every moment that we through together. With you, I always feel something that I never felt before. There are always tingles in my stomach whenever you pat me.” Wonwoo mengucapkan setiap katanya dengan perlahan dan lembut.

You give me a spark whenever I spend my time with you. Everything you've done to me is memorable.Foxy eyes milik Wonwoo tidak sedetikpun beralih dari obsidian Mingyu.

Little thing I know, I often find myself adore your personality and how you treat other people. And I don't know why you always make me curious and wanna know yourself further. Then I realized that I already falling for you.” Seulas senyum terpatri di bibir Wonwoo.

So... Today is our first day.” Ucap Wonwoo malu-malu. Mingyu mengusap wajahnya. Kemudian mengacak rambutnya.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Aku mau peluk kamu boleh gak sih? Aku seneng banget.” Wonwoo terkekeh dengan semburat merahnya yang menghias.

“Boleh, tapi jangan kelamaan, takut ada ibu ayah.” Jawab Wonwoo pelan. Mingyu menghampiri Wonwoo, menatap pria yang lebih kecil dengan penuh binar kebahagiaan, kemudian membawanya ke dalam pelukan. Mingyu mengusap punggung Wonwoo pelan, rasanya ia tidak ingin melepas pelukan itu.

“JIAKH... JADIAN YA?” Wonwoo refleks mendorong tubuh Mingyu ketika mendengar suara Soonyoung dan membuat keduanya salah tingkah.

“Sumpah Soonyoung nyebelin banget waktu itu. Ngeganggu moment banget.” Wonwoo tertawa mendengar Mingyu mendengus.

“Lucu banget kalau inget-inget kamu nembak pake buku UN.” Kekeh Wonwoo. Mingyu menggaruk tengkuknya.

“Aku juga gak tau kenapa ngide banget nembak sambil kasih buku UN, padahal itu tuh baru seminggu kita jadi anak kelas 12.”

“Gak apa-apa, preventif, hahaha.” Wonwoo tertawa renyah, membuat Mingyu ikut tertawa.

“Inget banget tuh pas besoknya heboh banget gara-gara Soonyoung bocor.” Ujar Mingyu.

“Iya ish. Waktu kita datang, disorakin, kan malu akunya. Mana guru-guru juga pada tau.”

“Iyalah pada tau, anak paling pinternya tiba-tiba pacaran setelah dua tahun fokus olimpiade doang.” Sindir Mingyu.

“Dih, bukan gara-gara aku tuh. Tapi gara-gara ketua osis teladan pacaran.” Balas Wonwoo.

“Waktu kita jadian, udah kayak hari patah hati para fans kamu.” Mingyu menggelengkan kepalanya.

“Ada juga cowok-cowok yang pernah deketin kamu tuh yang patah hati.” Ucap Mingyu. “Tapi, setelah dipikir lagi, saingan aku berat-berat. Soalnya mereka juga punya banyak fans, idaman semua murid. Tapi ujungnya aku sih yang dapet.” Wonwoo bisa mendengar nada bangga dan sombong saat Mingyu mengucapkannya.

“Jadi bapak ketos bangga?”

“Banggalah bisa dapetin murid most wanted.” Mingyu memainkan alisnya, menggoda Wonwoo.

“Kamu kali yang most wanted.

“Iya iya. Dua-duanya aja yang most wanted biar gak gelut.” Keduanya tertawa.

“Tapi kok orang-orang tau, ya, pas kita putus juga?” Pertanyaan Wonwoo itu membuat Mingyu terdiam, mengingat bagaimana sedihnya ia ketika Wonwoo memilih untuk mengakhiri hubungan keduanya.

“Wonu! Gimana?” Mingyu tersenyum lebar setelah mendapat pernyataan jika ia lulus snmptn di UGM. Namun ketika melihat ekspresi sang kekasih, senyumnya hilang. Wonwoo terlihat sangat lesu dan tidak bersemangat.

“Nu?” Panggil Mingyu pelan. Laki-laki berkacamata itu masih menundukan kepalanya. Semakin lama, suara isakan masuk ke dalam rungu Mingyu, membuat laki-laki jangkung itu refleks memeluknya erat.

Suara klakson yang ditekan untuk ke sekian kalinya itu menyapa rungu si wira yang baru saja keluar dari apartemennya. Ia mendapati temannya yang sedang tersenyum lebar hingga matanya menghilang.

“Tolong sabar, ya. Lu yang ngajak gue, Soonyoung.” Wonwoo segera memasuki kendaraan roda empat milik Soonyoung.

“Harusnya gue bisa tidur di kosan. Beresin kamar, baca novel, tidur. Lu ngeganggu hari Sabtu gue.” Soonyoung terkekeh.

“Elah, Nu. Lu kan gak pernah ikut reuni angkatan, sesekali datang lah.” Wonwoo memutar bola matanya malas.

“Gak ada yang menarik. Gitu-gitu aja.” Wonwoo mengambil charger ponselnya, dan menyambungkannya di mobil Soonyoung.

Masih pukul tujuh pagi dan keduanya pergi ke Bandung untuk acara reuni SMA mereka. Wonwoo sempat menolak ajakan Soonyoung karena menurutnya membosankan. Soonyoung sih enak karena dia tipe yang ceria dan berisik, hampir semua murid pun mengenali pria itu. Sementara Wonwoo adalah kebalikan dari Soonyoung. Ia tipe yang kalem, pendiam, dan ia juga tidak memiliki banyak teman dekat. Hanya Soonyoung. Serta satu orang lelaki yang pernah mengisi hati dan harinya.

“Jihoon datang?” Tanya Wonwoo.

“Datang dong.” Jawab Soonyoung dengan senyum lebarnya. “Udah lama gak ketemu bebeb.” Lanjutnya. Wonwoo memutar bola matanya. Pasalnya, Soonyoung baru satu minggu belum bertemu Jihoon karena kekasihnya itu sedang dikirim ke luar kota oleh kantornya.

“Lu sama Jihoon udah berapa lama sih?”

“Tujuh tahun.” Wonwoo sedikit melebarkan netranya, karena ia tidak menyangka jika hubungan sahabatnya itu sudah sangat lama.

“Loh udah lama. Perasaan kelas sebelas baru kemaren, waktu lu nembak Jihoon pas lagi upacara.” Keduanya terkekeh mengingat masa lalu mereka.

“Nih ya pasti dah anak angkatan pada kaget lu datang.” Wonwoo menolehkan kepalanya sambil memakan makanan ringan yang dibawa Soonyoung.

“Emang kenapa?”

“Ya bayangin aja, berapa kali kita reuni dan lu gak pernah datang sekalipun, terus sekarang lu datang.”

“Eksistensi gue kayaknya gak sebesar itu.” Soonyoung melirik sekilas ke arah sahabatnya.

“Lu masa gak tau sih kalau lu seterkenal itu?” Wonwoo menggelengkan kepalanya.

“Ih, padahal gue dulu udah sering nanya-nanya ke lu tentang si Kak Seungcheol, Rowoon, Jaehyun, terus siapa lagi, ya?” Soonyoung mengingat-ngingat.

“Oh si Seungyoun juga tuh sampe berkali-kali ngasih coklat.” Wonwoo terkekeh mengingatnya.

“Ah banyaklah yang deketin lu, tapi nanya-nanya lewat gue dulu.” Wonwoo menepuk kepala Soonyoung.

Thanks, bestie.” Kemudian ia tertawa.

“Dari banyaknya yang deketin, untungnya ada yang jadi walaupun satu doang.” Wonwoo terdiam. Tempo kunyahannya menjadi lambat.

“Dia.... Datang?” Tanya Wonwoo. Soonyoung tersenyum, meledek sahabatnya.

“Liat aja nanti.” Wonwoo mendengus.

“Kalau datang kenapa, kalau gak datang kenapa?”

“Gak apa-apa, gue nanya doang.”

“Mau balikan lu kalau si Mingyu datang?” Wonwoo melempar makanan ringan yang ia makan.

Mingyu. Kim Mingyu. Satu-satunya lelaki yang berhasil menaklukan dinginnya seorang Jeon Wonwoo. Sifat keduanya tidak jauh beda. Kalem, tenang, dan tidak banyak berbicara. Hanya saja, Mingyu lebih supel dibanding dengan Wonwoo, dan karena sifat supelnya itu, ia berhasil lolos menjadi ketua osis.

“Mikirin apa sih, ganteng? Gue mau nyebat dulu, lu gak akan turun?” Tidak terasa, keduanya sampai di rest area.

“Mau beli Starbucks deh. Mana uangnya.” Wonwoo mengadahkan tangannya di hadapan Soonyoung.

“Elah, masa sampe Starbucks juga gue yang bayarin?” Salah satu syarat yang diberikan Wonwoo kepada Soonyoung agar ia ikut acara reuni itu adalah, Soonyoung harus membayar semua yang Wonwoo beli dan Soonyoung menyanggupinya.

“Nih.” Soonyoung memberikan uang seratus ribu kepada Wonwoo.

“Tekor dah gue.” Wonwoo tidak peduli dan berjalan untuk membeli kopinya.

15 menit keduanya beristirahat, akhirnya mereka kembali menyusuri jalanan menuju ke Bandung.

▪️▪️▪️▪️▪️

“Wonwoo!” Netra Jihoon membelo saat melihat Wonwoo.

“Biasa aja kali, Ji, orang sering ketemu juga di apartement Soonyoung.” Kekeh Wonwoo saat keduanya sampai di Skyline, Bandung, tempat mereka reuni.

“Disogok apa sama Unyong sampe lu mau ikut reuni?” Tanya Jihoon.

“Dipaksa nih, Ji. Marahin pacar lu.” Adu Wonwoo.

“Itu Starbucks gue yang bayarin, ya, nyet.” Jihoon langsung mencubit bibir Soonyoung dan membuat Wonwoo tertawa puas melihat sahabatnya itu merengek.

“Udah banyak, Ji, yang datang?” Tanya Wonwoo.

“Udaahh. Kayaknya kalian yang terakhir deh.” Wonwoo sedikit merasa gugup, karena baru kali ini ia bertemu lagi dengan teman-teman masa SMA-nya.

“Wonwoo? Tumben ikut?”

“Akhirnya ketemu Wonwoo lagi.”

“Eh, Wonwoo apa kabar?”

Sekiranya itulah ucapan-ucapan yang dilontarkan ketika para insan itu menangkap Wonwoo dari jarak pandangnya.

“Eh, Wonwoo, makin cakep aja. Udah ada gebetan?” Seungyoun. Salah satu orang yang giat mendekatinya dulu.

“Hahaha, gak ada. Fokus kerja dulu.” Balas Wonwoo.

“Lu bukannya nanyain kabar, malah nanyain gebetan.” Sindir Soonyoung.

“Namanya juga usaha.” Wonwoo terkekeh.

Acaranya sudah dimulai semenjak pukul 10 pagi. Wonwoo berkeliling cafè tersebut sambil menyicip makanan yang ada. Enggan bergabung dengan kerumunan manusia lainnya. Merasa bosan, Wonwoo hanya duduk di balkon sambil membaca novelnya dengan earphone yang terpasang. Sampai pukul 11 pun, Wonwoo tidak menyadari jika orang-orang disana semakin ramai dengan kedatangan mantan ketua osis mereka.

Bosan, Wonwoo melepas earphone kemudian melihat keadaan di bawah sana. Wonwoo mendapati Soonyoung yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Ia menghela nafas kemudian melirik cemilan yang ada disana. Kala ia berjalan untuk menghampiri cemilannya, ada bisik-bisik disana sambil menyebut namanya.

“Hey...” Suara bariton itu menyapa rungu si pemuda berkacamata. Saat ia memalingkan wajahnya, ada lelaki jangkung dengan senyum menawannya yang membuat Wonwoo sulit melupakannya.

Hanya butuh satu kata sapaan untuk Wonwoo dan seketika membuat semestanya terasa berhenti berotasi untuk sementara. Riuh dari sekitar seketika mereda. Hanya ada suara jantung yang dengan cepatnya berdegub.

“Oh... Hai.” Balas Wonwoo dengan senyum tipisnya.

“Akhirnya kamu datang juga.” Senyuman lelaki jangkung itu tidak lepas dari bibirnya.

“Ya... Dipaksa Soonyoung.” Wonwoo merasa canggung.

“Sampe dari Jakarta jam berapa?” Mingyu mengambil minuman yang ada di dekat mereka.

“Jam 10 tadi.” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Kamu? Baru sampe?” Wonwoo ikut mengambil satu gelas minuman. Tenggorokannya terasa tercekat melihat sosok dihadapannya.

“Iya, tadi pagi ada urusan sebentar.” Wonwoo menganggukan kepalanya kemudian menyesap minumannya.

Couple of the year jaman sekolah dulu akhirnya ketemu lagi.” Suara sorakan kemudian terdengar lagi, malah semakin meriah ketika Mingyu dan Wonwoo tersipu malu. Wonwoo menatap Jun galak, namun hanya dibalas kekehan.

“Tuh mantan ketua osis tiap tahun nanyain lu mulu, Nu.” Wonwoo melirik ke arah Mingyu, sementara yang dimaksud hanya menggaruk tengkuknya.

“Makanya ikut dong kalau reuni, kasian mantannya kangen.” Celetuk Seokmin.

“Kalian makan aja. Kasian Wonwoo-nya jadi malu.” Ucap Mingyu. Tetapi teman-temannya itu masih saja menggoda kedua lelaki yang pernah berhubungan itu.

“Kamu dari tadi dimana? Kok aku gak liat?”

“Aku di atas, baca novel. Abisnya berisik.” Mingyu terkekeh. Lelaki itu benar-benar masih sama seperti Wonwoo-nya dulu. Tidak menyukai keramaian.

“Mau ke atas lagi?” Wonwoo menatap Mingyu.

“Kamu gak kumpul sama temen kamu?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa, tiap hari juga chat kok kalau sama mereka.”

Setelah itu, keduanya naik ke lantai atas. Tidak seramai lantai bawah. Mingyu dan Wonwoo duduk di balkon, menikmati lanskap yang terbentang.

How's life?” Tanya Mingyu.

So much busier, but still good tho.” Jawab Wonwoo.

“Kamu?” Giliran Wonwoo yang bertanya.

“Sama aja kayak kamu.” Wonwoo menatap Mingyu dengan alisnya yang naik.

Elaborate sama aja kayak aku? Kayaknya bapak mantan ketua osis ini much busier than me?” Mingyu tersenyum.

“Tau darimana?” Seketika Wonwoo terdiam. Rona kemerahan menghias wajahnya.

“Hahaha. Kamu masih gemes.” Wonwoo sedikit mengerucutkan bibirnya kemudian memalingkan wajahnya.

“Kamu kangen masa SMA gak sih?” Tanya Mingyu mengalihkan pembicaraan. Ia bisa menggila melihat mantan kekasihnya dengan wajahnya yang memerah, terlalu menggemaskan.

“Hmm.... Kangen sih, gak banyak beban kayak sekarang, haha.”

“Padahal kamu dulu pengen cepet-cepet kerja biar bisa nonton konser Taylor Swift.” Wonwoo sedikit terkejut karena Mingyu masih mengingat omongannya.

Well... I still remember little things of you.” Entah sudah keberapa kalinya Mingyu membuat jantung Wonwoo berhenti untuk sepersekian detik, kemudian membuatnya berdebar lebih cepat.

Thanks.” Balas Wonwoo. Kemudian Mingyu tertawa sendiri disaat keduanya tidak ada yang berbicara.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Aku jadi inget, dulu pdkt sama kamu tuh kerjaannya cuma ke perpus sekolah, dispusipda, itu-itu aja.” Wonwoo tertawa mengingatnya.

“Hahaha, ya maaf. Siapa suruh deketin anak kutu buku.” Balas Wonwoo.

Keduanya tertawa bersama mengingat kenangan mereka semasa SMA dulu. Menceritakan hal-hal yang keduanya alami bersama. Pokoknya melakukan kilas balik kala keduanya remaja.

“Won...”

“Hmm...” Jawab Wonwoo pada Soonyoung yang sedang bermain ke rumahnya.

“Pemilihan ketos nanti, lu mau pilih siapa?”

“Yang orasinya bagus.” Balas Wonwoo masih fokus dengan novelnya.

“Mingyu gimana?”

“Kalau dia bagus, ya gue pilih dia.”

“Kalau dijadiin pacar gimana?” Wonwoo menghentikan aktivitas membacanya. Kemudian menatap sahabatnya itu.

“Lu nyerah dari Jihoon terus mau deketin Mingyu?” Soonyoung melempar bantal kepada wajah Wonwoo.

“Gue kadang heran, bisa-bisanya orang kayak lu begini kepilih olimpiade.”

“Ih, gak ada urusannya. Cepet cerita. Lu mau deketin Mingyu?”

“Begini nih kalau hidupnya cuma ada buku aja, gak merhatiin orang sekitar.”

“Apaan sih, gak jelas.”

“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo tersedak salivanya sendiri kemudian mengerutkan keningnya.

“Ngaco.” Balas Wonwoo.

“Seriusan, anjir. Tatap mata gue, apakah ada kebohongan?” Soonyoung melebarkan kedua matanya dan hanya dibalas toyoran pelan di keningnya.

“Udah ah, gue mau tidur.” Wonwoo menutup novelnya.

“Ih, jawab gue dulu.”

“Jawab apa sih?”

“Kalau Mingyu demen sama lu gimana?” Wonwoo terbangun dari posisi tidurnya.

“Nih ya, mana mungkin sih sekelas Mingyu suka sama gue? Dia dikelilingin banyak orang ganteng dan cantik yang cocok sama dia. Gak usah ngaco.”

“Lah emang kenapa? Emang sih lu jelek, tapi mungkin Mingyu emang suka yang jelek kayak lu karena bosen ada di antara orang good looking.” Wonwoo melempar bantal kepada Soonyoung.

“Balik balik. Males dengerin lu.” Wonwoo membelakangi Soonyoung.

“Yeee dibilangin. Pokoknya gue udah bilang kalau Mingyu demen sama lu. Dah ah, mau balik.” Soonyoung segera keluar dari kamar Wonwoo dan pulang ke rumahnya yang berada di samping rumah Wonwoo.

Sesaat setelah Soonyoung keluar, Wonwoo melamun, memikirkan omongan Soonyoung tadi. Memang sudah ada beberapa lelaki populer dan tampan yang mendekati Wonwoo, dan semuanya tidak membuat lelaki itu tertarik sedikitpun. Namun kali ini Kim Mingyu, kandidat calon ketua osis. Otak yang cerdas, kepribadian yang menyenangkan, dan jangan lupakan rupanya yang tampan.

Wonwoo terkekeh, kehidupan SMA-nya sudah seperti remaja yang menjadi bintang utama dalam novel teenlit. Disukai lelaki populer, dari mulai seorang bad boy seperti Seungyoun, ketua basket seperti Rowoon, kapten futsal seperti Jaehyun, mantan ketua MPK seperti Seungcheol, dan sekarang calon ketua osis. Kim Mingyu.

Wonwoo mengambil ponselnya kemudian mencari username sang calon ketua osis. Ada 20 postingan pada akun dengan username mingyukim itu. Wonwoo melihatnya satu persatu.

Great photographer.” Puji Wonwoo ketika melihat postingan Mingyu. Kemudian ada satu buah foto yang menarik perhatiannya.

“Ini kan gue?” Gumamnya kala melihat fotonya dari samping ketika acara ulang tahun sekolah di tengah kerumunan dengan smoke bomb berwarna-warni di sekitarnya sambil tersenyum lebar, dan caption, 'life is full of shade of color, let's enjoy all the moment, because you only live once.' Ada beberapa komentar disana, termasuk Soonyoung.

Keesokannya, Wonwoo bertanya kepada Soonyoung ketika mereka berangkat sekolah. “Nyong, kok lu gak kasih tau kalau ada foto gue di instagramnya Mingyu?” Soonyoung mencubit pipi Wonwoo.

“Gue waktu itu udah bilang, ya, anjir. Tapi lu gak peduli soalnya lagi baca novel.”

“Emang iya?” Tanya Wonwoo.

“Tau ah.” Soonyoung mendecam sebal.

“Lu ngestalk akun Mingyu?” Kemudian kembali bertanya penuh selidik.

“Hah? Iya.” Wonwoo ingin mengelak, tapi percuma, karena sudah jelas jika ia menanyakan perihal postingan Mingyu.

“Cieee.... Demen juga?”

“Nggak! Gue kemaren kepo doang. Soalnya gue ngerasa gak kenal dia.”

“Siapa sih yang lu kenal selain gue, Jihoon, sama temen sekelas?” Wonwoo hanya terkekeh.

“Semangatin dong nanti Mingyu-nya sebelum orasi ketua osis.”

“Dih ngapain? Sksd banget.” Bales Wonwoo.

“Nggak elah. Pasti seneng bocahnya.”

“Tiba-tiba gitu ngasih semangat?”

“Ya kan wajar ngasih semangat, gue aja ngasih semangat.”

“Lu kan temennya, Nyong. Wajarlah nyemangatin.”

“Nih ya, wajar kali nyemangatin temen. Gue nih bukan temennya satpam sekolah, tapi gue suka semangatin tuh.” Wonwoo cemberut.

“Semangatin doang mah gak apa-apa kali, mau sambil ngasih makanan juga gak apa-apa, pahala.” Wonwoo terdiam mendengarkan kata-kata Soonyoung.

Sesampainya di sekolah, lapangan dan panggung sekolah sudah didekor untuk persiapan orasi calon ketua osis nanti. Ada poster tiga kandidat juga disana, termasuk Mingyu dan pasangannya Chan.

Wonwoo pergi ke kantin, untuk membeli susu kotak, kebiasaannya setiap pagi. Saat ia akan kembali, ia tidak sengaja menabrak seseorang karena ia lupa memakai kacamatanya.

“Eh, maaf maaf. Gue gak liat. Sakit gak?” Wonwoo mendongak, tidak dapat melihat jelas siapa yang ditabraknya.

“Eh iya, gak apa-apa. Gak sakit kok.” Jawab orang tersebut. Wonwoo mencoba menyipitkan netranya, agar bisa fokus. Orang tersebut terkekeh.

“Gue Mingyu, haha.” Wonwoo sedikit terkejut saat mengetahui jika orang yang ditabraknya adalah orang yang katanya Soonyoung menyukai dirinya.

“Oh, Mingyu. Maaf, ya, gue gak liat tadi. Maaf banget.” Lagi-lagi Mingyu terkekeh.

“Santai aja, Wonwoo. Kenapa gak bawa kacamata?”

“Ketinggalan di kelas.”

“Oh...”

“Sebentar.” Wonwoo kembali membeli satu kotak susu coklat dan memberikannya kepada Mingyu yang masih berdiri di tempatnya.

“Ini.” Wonwoo menyodorkan susu kotaknya.

“Sebagai tanda permintaan maaf, terus....” Mingyu terdiam, menunggu kalimat selanjutnya.

“Buat orasi nanti, break a leg. Bye.” Wonwoo tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Mingyu yang mematung di tempatnya. Diam-diam ada senyum yang terpatri pada wajah lelaki jangkung itu.

“Masa sih aku semangatin aja deg-degan?” Tanya Wonwoo sambil terkekeh. Pria jangkung yang ada di hadapannya mengangguk.

“Beneran tau, Nu. Aku deg-degan waktu kamu ucapin semangat pas mau orasi waktu itu.” Wonwoo tertawa.

“Itu alasan kamu menggebu-gebu banget waktu lagi orasi?” Mingyu tersenyum lebar.

“Iya. Terus aku liat kamu sebelahan sama Soonyoung Jihoon, sambil dengerin aku orasi. Aku waktu itu gak liat mata kamu, soalnya takut yang ada di kepala aku buyar semua.”

Cheesy banget mantan ketua osis ini.”

“Ih seriusan tau.”

“Kenapa buyar sih? Aku kan diem aja?”

“Ya namanya juga abg kasmaran, segalanya diromantisasi.” Ucap Mingyu.

“Itu pertama kalinya kita ngobrol gak sih? Waktu aku gak sengaja nabrak kamu?” Tanya Wonwoo, dan dibalas anggukan oleh Mingyu.

“Dari situ aku berani deketin kamu.”

Wonwoo sedikit tersipu mendengar ucapan Mingyu. Terulang di kepalanya masa-masa pendekatannya dengan Mingyu.

“Nu, pdkt sama Mingyu, ya?” Tanya Jun sambil duduk di sebelah kursi Wonwoo sementara teman sebangkunya, Soonyoung, pergi ke kantin.

“Hah? Nggak. Ngaco ah.” Balas Wonwoo.

“Masa sih?” Jun tersenyum menggoda lelaki yang sedang sibuk dengan novelnya itu.

“Beneran. Ada juga lu kan yang lagi pdkt sama anak IPS 2?” Giliran Jun yang salah tingkah.

“Itu mah udah rahasia umum sih. Gak usah ngalihin pembicaraan ah.”

“Ternyata seleranya ketua osis.” Wonwoo memelototi Jun karena omongannya yang terlalu keras, takut menjadi gosip.

“Tuh kan bener.”

“Pergi sana, ganggu.” Ketus Wonwoo namun malah dibalas tawa oleh Jun.

“Berarti bener.” Wonwoo menatap Jun sebal.

“Soalnya dulu kalau gue godain lagi deket sama Seungyoun, Jaehyun, Rowoon, atau Bang Seungcheol, lu biasa aja responnya.” Wonwoo tidak sadar jika tingkah lakunya menimbulkan kecurigaan.

“Minggir minggir. Ngapain lu duduk di bangku gue?” Usir Soonyoung dengan jajanan ditangannya.

“Temen lu nih beneran pdkt sama ketua osis?” Tanya Jun.

“Beneran lah. Gak liat lu si Mingyu datang mulu kesini?”

“Apaan sih? Kapan coba kesininya?” Balas Wonwoo ketus.

“Oh, mau disamperin nih? Nanti gue bilangin.” Soonyoung tersenyum lebar.

“Apaan sih, Nyong? Gak usah ngaco!” Wonwoo tidak sadar jika wajahnya merona. Ketika Jun dan Soonyoung sedang asik menggoda Wonwoo, tiba-tiba Doyoung memanggilnya.

“Won, dicariin tuh.” Wonwoo mengerutkan dahinya.

“Siapa?” Tanya Wonwoo.

“Ketua osis.” Jawaban Doyoung itu membuat Jun dan Soonyoung semakin menggodanya. Wonwoo segera pergi untuk menemui Mingyu.

“Ada apa?” Tanya Wonwoo. Mingyu terlihat sedikit bingung.

“Loh, katanya Jun lu pengen gue samperin?” Wajah Wonwoo merah padam. Ia berjanji akan mencubit Jun dengan keras.

“Nggak kok. Itu Jun aja iseng. Maaf, ya.” Wonwoo bingung harus mengatakan apalagi.

“Ya udah, nanggung udah disini.” Wonwoo menatap Mingyu.

“Ngobrol yuk?” Ajak Mingyu. Wonwoo tidak mengedipkan matanya.

“Eh sibuk gak? Kalau sibuk, gue balik lagi ke kelas.”

“Nggak, santai aja.” Padahal ada degup jantung yang kontradiksi dengan ucapannya.

“Disini aja?” Tanya Mingyu.

“Emang mau dimana?” Mingyu menggaruk tengkuknya.

“Disini aja deh, haha.” Ujar Mingyu sambil tertawa canggung.

“Oh iya, congrats. Wonwoo menyodorkan tangannya.

“Ah... Makasih, ya.” Mingyu membalas jabatan tangan Wonwoo. “Itu juga berkat lu.” Alis Wonwoo terangkat, bingung.

“Kenapa gara-gara gue?” Tanya Wonwoo.

“Itu... Susu... Gue jadi semangat.” Wonwoo terkekeh.

“Makasih sama susunya berarti.” Balas Wonwoo.

“Tapikan lu yang kasih.”

“Emang kenapa kalau gue yang kasih?” Mingyu sepertinya hobi menggaruk tengkuknya ketika berada di dekat Wonwoo.

“Karena lu yang kasih, jadinya semangat.” Balas Mingyu pelan, namun masih bisa tertangkap rungunya. Kemudian keduanya terdiam, membiarkan suara riuh mengisi kekosongan.

“Lu suka baca novel Tere Liye juga?” Bersyukur ada satu buah novel yang dipegang Wonwoo dan bisa menjadi bahan obrolan mereka.

“Oh... Iya. Lu suka juga?” Mingyu menganggukan kepalanya.

“Gue sebenernya baru baca sih yang Bumi ini, ternyata seru.” Ucap Wonwoo.

“Gue punya yang Bulan sama Matahari, mau pinjem?”

“Eh, gak apa-apa?”

“Gak apa-apa dong, makanya gue tawarin. Besok gue bawa.”

“Makasih, ya.” Wonwoo tersenyum senang dan sukses membuat Mingyu terhipnotis, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Wonwoo.