setetesmatcha

16 Agustus 2020, Bandung.

Lelaki jangkung itu mematut dirinya di depan cermin. Mengambil nafas lalu membuangnya secara beraturan. Jantungnya berdebar dengan cepat. Wajahnya menyiratkan jika ia sedang gugup saat ini. Berkali-kali ia menelan ludahnya dengan berat. Tenggorokannya terasa begitu kering.

“Lo pasti bisa, Gyu. Pasti.” Ujar Mingyu pada pantulan dirinya di cermin. Ia menepuk pipinya pelan kemudian merapikan tuxedo-nya. Rambutnya yang dipoles pomade itu ditata serapi mungkin, memperlihatkan keningnya yang membuat pria jangkung itu terkesan lebih manly.

Setelah memantapkan diri, Mingyu segera pergi ke bangunan megah di kawasan Cihampelas. Pikirannya mengawang, ada perasaan campur aduk dalam batinnya.

“Tenang Gyu, gak usah gugup. Wonwoo juga pasti santai.” Ucap Mingyu pada dirinya sendiri.

Sesampainya di gedung tersebut, netra Mingyu menjelajah seisi ruangan besar itu, mencari satu sosok 'kucing'-nya. Tapi sepertinya sosok yang dicarinya itu masih ada di ruang rias pengantin. Mingyu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya memang masih terlalu cepat untuk datang, sebenarnya masih ada waktu setengah jam sebelum acara pernikahan itu dimulai, namun Mingyu memilih datang lebuh cepat, ingin melihat calon mempelai yang pastinya mampu membuat dia berdegub seperti saat pertama kalinya mereka tidak sengaja bertemu.

Mingyu melangkahkan tungkainya, menuju satu ruangan yang sedari tadi tertangkap oleh netranya. Sebelum kuasanya membuka kenop pintu putih di depannya, Mingyu kembali mengatur nafasnya sebanyak tiga kali, kemudian dengan segala tekadnya, ia buka pintu tersebut. Orang-orang yang berada disana memalingkan wajahnya menatap Mingyu. Lelaki jangkung itu tersenyum. Sementara Wonwoo menatap Mingyu dengan ekspresi kagetnya, ia bahkan tidak mengedipkan matanya.

Dugaan Mingyu benar.

Debaran jantungnya itu memang selalu untuk Wonwoo.

“Ganteng banget, siapa nih?” Mingyu tersenyum sambil menghampiri Wonwoo. Saat ia tepat di depan lelaki yang lebih kecil darinya, ia mengusak rambut Wonwoo.

“Kalian boleh keluar dulu, ya. Mau sarapan atau apapun, silakan aja, udah beres kan ya semuanya?” Tanya Wonwoo pada tiga orang wanita disana yang sedari tadi mengurus baju dan riasan Wonwoo. Kemudian ketiga wanita itu keluar, Wonwoo mengunci pintu ruangan tersebut.

“Gyu...” Lirih Wonwoo.

“Deg-degan, ya?” Tanya Mingyu. Netranya enggan untuk melepas pandang dari Wonwoo.

“Iya.” Jawab Wonwoo singkat.

“Tarik nafas yang dalem, keluarin dari mulut.” Wonwoo mengikuti ucapan Mingyu, dan lelaki jangkung itu tertawa kecil, merasa gemas karena Wonwoo menuruti perkataannya.

“Udah kayak bidan ngurus ibu lahiran deh aku.” Canda Mingyu dan membuat Wonwoo tertawa kecil.

“Kamu... Ganteng, Gyu.” Ujar Wonwoo. Mingyu tersenyum lebar, hingga taringnya terlihat.

“Udah sering denger.” Balasan Mingyu itu dibalas dengan decakan kesal oleh Wonwoo dan lagi-lagi membuat Mingyu tertawa.

Kemudian ruangan itu hening, menyisakan suara pendingin ruangan. Hawa dingin terasa, membelai kulit keduanya. Mereka saling beradu tatap, meninggalkan arti yang sulit dimaknai. Ada banyak kata yang tersirat dari tatapan mereka.

“Boleh aku peluk kamu?” Tanya Mingyu, memecah keheningan. Wonwoo terdiam, kemudian menganggukan kepalanya. Mingyu mendekat kepada Wonwoo, saat kedua ujung pantofel mereka bertemu, Mingyu langsung memeluknya dengan erat, seakan tidak ingin Wonwoo pergi darinya.

“Maafin aku karena aku banyak kurangnya.” Ujar Mingyu.

“Kita berdua sama-sama banyak kurangnya, yang penting kita bisa saling toleransi, dan itu bisa jadi tolak ukur kedewasaan kita, Gyu.” Balas Wonwoo.

“Maafin aku karena aku sering bikin kamu sedih.”

“Lebih banyak bahagianya, Mingyu.” Jawab Wonwoo lagi.

“Maafin aku karena aku gak bisa jadi seseorang yang sempurna buat kamu.”

“Aku juga gak sempurna, takdir mempertemukan kita buat saling menyempurnakan satu sama lain.”

“Maafin aku yang dulu belum punya apa-apa.” Kali ini Wonwoo terdiam.

“Maafin aku yang dulu selalu nunda keinginan kamu buat ngejalanin pernikahan.”

“Maafin aku yang punya ego dan gengsi yang tinggi ini.”

“Maaf...” Suara Mingyu semakin mengecil.

“Maafin aku, karena aku gak bisa nepatin janji aku buat ada di sisi kamu sebagai mempelai pria kamu.” Mingyu mengambil jeda.

“Maafin aku, maaf karena aku gak bisa menuhin keinginan kamu buat selalu ada di setiap hari-hari kamu.”

“Maaf. Aku cuma bisa minta maaf sama kamu. Aku... Aku sayang kamu, Won.” Nafas Wonwoo terasa tercekat mendengar kalimat terakhir.

“Aku juga, masih sayang kamu.” Jawab Wonwoo.

Mingyu melepas pelukan mereka. Ia menangkup pipi Wonwoo. Netranya menjelajah setiap inch wajah Wonwoo yang dulu selalu menjadi semangatnya, selalu ia rindukan, dan selalu ia harapkan untuk menjadi wajah pertama yang ia lihat saat bangun tidur, dan menjadi wajah terakhir yang ia lihat di penghujung hari sebelum terlelap.

Tapi itu dulu. Sudah tidak ada lagi harapan untuk Mingyu agar bisa melihat wajah Wonwoo untuk mengisi hari-harinya. Justru sosok Wonwoo sekarang menjadi sosok yang tidak bisa ia raih.

Begitu jahat semesta mempermainkan perasaannya. Mingyu, pun juga Wonwoo merasa jika semesta tidak adil. Mengapa semesta tidak bisa mengabulkan permintaan keduanya untuk tetap bersama? Apakah sesulit itu menyatukan keduanya?

Padahal perasaan keduanya tulus, namun sayang, berakhir tidak mulus.

Padahal perasaan keduanya begitu nyata, namun sayang, tidak direstui semesta.

Wonwoo berjinjit, meraih tengkuk Mingyu, mempertemukan kedua bibir mereka. Hanya menempel, tidak ada pagutan hangat seperti biasa, tidak ada lumatan lembut seperti dulu.

Justru kedua bibir yang bertemu itu terasa menyakitkan. Menambah rasa sesak yang membuncah. Membuat luka menganga yang sulit untuk diobati.

Pipi keduanya terasa hangat. Air mata Wonwoo turun tanpa izin. Segala rasa pahit dan sakit terdefinisikan melalui air matanya. Mingyu melepas kedua bibir mereka yang menempel itu. Dan disitulah tangis Wonwoo pecah.

Lelaki yang biasanya memasang wajah dingin itu benar-benar menangis dengan deras.

Lelaki itu terlihat sungguh rapuh. Memperlihatkan hatinya yang lumpuh. Mendefinisikan dunianya yang terasa runtuh. Menjelaskan perasaannya yang terbunuh.

Mingyu yang melihat itu segera merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dengan lembut. Mencoba menguatkan, meskipun hatinya terhancurkan.

Wonwoo menenggelamkan kepalanya di bahu bidang Mingyu. Air matanya semakin deras. Isakannya semakin kuat. Aroma bergamot dan lavender yang selalu menguar dari tubuh Mingyu biasanya mampu menenangkannya. Namun untuk kali ini, aroma itu justru membuatnya sesak dan semakin kacau.

“Aku... Aku gak mau nikah, Gyu. Aku gak mau. Aku gak bisa. Gyu... Aku cuma sayang kamu. Gak ada yang bisa gantiin kamu. Gyu... Tolong bilang ini cuma mimpi. Tolong bilang ini gak nyata. Tolong...” Suara Wonwoo tercekat akibat isakannya.

“Bilang kalau ini cuma pura-pura aja, aku gak apa-apa, aku ikhlas meskipun kamu kerjain aku, asalkan nantinya kamu yang hidup bareng aku. Aku mohon, Gyu, aku mohon bilang kalau ini cuma keisengan kamu aja. Gyu...”

Kini, air mata Mingyu tidak bisa dibendung lagi. Hatinya tersayat mendengar segala ucapan yang keluar dari bibir Wonwoo. Mingyu mengaku kalah. Ia tidak bisa untuk bersikap 'tidak apa-apa'. Perkataan Wonwoo, tangisannya, isakannya, membuat dirinya terasa tercekik. Ia seakan kesulitan bernafas.

“Gyu... Ini semua bohong kan? Ini semua cuma mimpi kan? Ini semua gak bener kan? Tolong bilang iya, Gyu.” Mingyu menggelengkan kepalanya, membuat air matanya dan juga Wonwoo mengalir semakin deras.

“Kenapa? Kenapa semesta jahat sama kita? Kenapa? Apa salah kita sampe harus dapet hukuman seberat ini? Kita salah apa?” Ujar Wonwoo ditengah tangisnya.

“Kenapa takdir gak mihak kita? Kalau ini akhir dari kita, kenapa takdir harus bantuin semesta buat mempertemukan kita? Kenapa kita harus kayak gini?” Wonwoo terus saja meracau, menyalahkan takdir dan juga semesta yang berlaku tidak adil.

“Kenapa kita harus dipertemukan kalau ujung dari pertemuan ini hanya menggores luka?” Mingyu semakin erat memeluk Wonwoo.

Semakin erat pelukan mereka, semakin terasa sesak juga hati mereka.

“Gyu... Ajak aku pergi dari sini. Kemanapun itu, asal sama kamu. Aku rela. Aku gak mau hidup dikekang rasa gak nyaman. Aku mau hidup sama kamu, aku mau kamu, Gyu. Cuma kamu.” Suara Wonwoo semakin serak. Mingyu memejamkan matanya. Air matanya tidak berhenti mengalir.

Jika saja ia makhluk paling egois di dunia, dia akan melakukan hal itu. Membawa kabur Wonwoo. Menikah dengan Wonwoo secara diam-diam. Apapun itu, asalkan mereka bisa tinggal dalam satu atap yang sama untuk sisa hidup mereka.

Sayangnya, Mingyu tidak seegois itu. Hal tersebut hanya akan membuat keduanya semakin sakit. Jika Mingyu harus memenuhi ego-nya, Wonwoo akan sedih, ia harus meninggalkan keluarganya yang selalu ia bicarakan. Meninggalkan ibunya yang begitu ia sayangi. Meninggalkan ayahnya yang sangat ia hormati. Mingyu tidak mau merenggut kebahagiaan Wonwoo hanya karena ego-nya sendiri. Mingyu tidak mau jika Wonwoo dibenci keluarganya sendiri.

Lelaki yang lebih jangkung itu melepas pelukannya. Ia bisa melihat bagaimana kacaunya keadaan lelaki di hadapannya. Air matanya tak kunjung surut. Menyakitkan melihat lelakinya menangis seperti itu. Tapi keduanya tidak bisa menentang takdir semesta.

Mingyu tersenyum, meskipun hatinya sakit. Kuasanya terjulur menyentuh pipi Wonwoo. Ibu jarinya mengusap lembut, menghapus air mata yang terus jatuh.

“Wonwoo...” Panggil Mingyu, mencoba setenang mungkin.

“Mungkin sebenernya semesta punya maksud lain. Mungkin semesta ngirim Jun buat kamu karena dia yang terbaik buat kamu. Bukan aku yang sering bikin kamu sakit.”

“Mungkin sebenernya semesta dulu cuma iseng mempertemukan kita, tanpa kita sadari, kita terjebak sama pertemuan itu. Semesta gak punya tujuan buat menyatukan kita, hanya kita aja yang terhanyut dengan perasaan kita masing-masing.”

“Jadi perasaan kita seharusnya gak ada dari awal?” Tanya Wonwoo. Mingyu menggeleng.

“Gak Won, gak ada yang salah sama perasaan kita. Gak ada yang bisa ngatur hati, bahkan diri kita sendiri. Kita gak bisa kontrol hati kita ketika itu menyangkut perasaan sayang.” Air mata Wonwoo kembali mengalir.

“Tapi mungkin waktu aja yang jahat sama kita, Won.” Mingyu menjeda omongannya, tidak tega melihat lelaki yang disayanginya itu terus berderai air mata.

“Waktu yang jahat karena gak bisa hapus perasaan kita masing-masing. Kita saling sayang di waktu yang gak tepat. Kita seharusnya udah buang perasaan kita jauh-jauh. Kata orang, melupakan itu cuma perkara waktu.”

“Tapi perasaan aku ke kamu gak terkekang karena waktu, Mingyu. Aku gak yakin bisa lupain kamu. Aku gak yakin bisa sayang ke orang lain kalau orang itu bukan kamu. Aku gak bisa, Gyu.” Hidung Wonwoo sudah terlihat sangat merah, matanya pun sembab dan bengkak.

“Won... Kamu tau kan orang selalu bilang, kalau emang jodoh, gak akan kemana. Begitu juga sama kita. Kalau kita berdua berjodoh, kita pasti dipertemukan lagi. Mungkin bukan saat ini, tapi suatu saat. Atau mungkin di kehidupan selanjutnya. Kita gak akan pernah tau. Karena, percuma sekeras apapun kita berusaha menentang takdir, takdir akan selalu menang, Won. Karena takdir itu pilihan Tuhan, sementara kita cuma ciptaan-Nya aja, kehendak kita, belum tentu menjadi kehendak-Nya. Yang kita bisa, cuma terima dan menjalani.” Tangisan Wonwoo kembali menjadi-jadi. Lelaki itu kini terduduk di lantai yang dingin. Kakinya terasa lemas, tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Mingyu menghela nafasnya, kemudian berjongkok, menatap lelaki di hadapannya.

Tangisan Wonwoo terus meluruh, menghantam rungu. Terasa pilu, hingga ke ulu. Kisah keduanya sudah berlalu, namun sakitnya akan terus membiru, dan membelenggu. Entah sampai kapan, namun Mingyu harap akan secepat mungkin, meskipun ia yakin akan sangat sulit.

“Wonwoo... Perlu kamu tau, kamu itu ingatan paling indah di memori aku, dan gak ada sedikitpun rasa penyesalan di diri aku kalau kita pernah ketemu, pernah saling sayang, pernah mengguratkan kisah bersama, aku gak pernah nyesel pernah ada kata 'kita' di antara aku sama kamu.” Wonwoo menatap Mingyu nanar.

“Tapi, balik lagi ke omongan kita sebelumnya, kita gak bisa mengubah takdir, gak bisa menentang semesta. Mungkin kisah kita harus bener-bener berakhir sampe sini. Aku minta maaf karena aku gak bisa jadi kebahagiaan di ujung kisah kita. Aku, bukan lagi pemeran utama di kisah kamu. Tapi mungkin, dari awal emang bukan aku pemeran utamanya. Kayaknya aku sebenernya cuma pemeran kedua yang diberi tugas semesta buat jagain pasangan si pemeran utama yang sebenarnya.” Jelas Mingyu. Ia tersenyum hingga ke matanya. Tatapannya tidak ia lepas dari sosok yang masih menangis di hadapannya itu.

“Udahan ya nangisnya? Maaf, aku bikin kamu nangis, dan aku mohon sama kamu, tolong ini jadi tangisan kesedihan terakhir kamu, jangan ada lagi air mata kesakitan lainnya. Aku gak suka liatnya.” Mingyu mendekat, menghapus air mata Wonwoo.

“Kamu pasti bisa tanpa aku.” Ujar Mingyu.

'Tapi aku yang gak bisa tanpa kamu.' Sahut batin Mingyu.

“Gyu...” Lirih Wonwoo. Mingyu menatap Wonwoo, masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

“Aku... Gak mau...”

“Won... Tolong... Tolong banget bahagia, ya?”

“Bahagia aku, kamu.”

“Nggak. Nggak, Won. Bukan aku. Kalau bahagia kamu itu aku, gak seharusnya kamu sekarang nangis sampe sesenggukan gini. Kalau bahagia kamu itu aku, harusnya aku yang berdiri di altar sama kamu, bukan Jun. Tapi nyatanya bukan, berarti emang bahagia kamu itu orang lain, dan orang itu Jun, calon suami kamu. Tolong kamu biasain, ya? Tolong sayangin Jun, aku yakin dia sayang banget sama kamu. Tolong ganti definisi bahagia kamu jadi Jun, jangan aku, aku gak berhak.” Wonwoo terdiam. Ia ingin berteriak. Ingin kabur dari situasi itu. Seharusnya pernikaha menjadi salah satu kejadian paling indah di hidup seseorang, tapi bagi Wonwoo, pernikahan ini justru menjadi kejadian paling menyesakan. Bukan karena Jun yang tidak baik. Lelaki yang dijodohkan dengannya itu adalah lelaki yang baik, sangat baik. Hanya Wonwoo saja yang jahat. Hanya Wonwoo yang tidak bisa melihat ketulusan Jun. Ruang di hatinya hanya ada Mingyu, Mingyu, dan Mingyu, dan akan selalu begitu.

Mingyu melirik jam tangannya, kemudian menghela nafas panjang. Ia menatap Wonwoo dalam.

“Sepuluh menit lagi kamu bakal jadi suami orang. Aku disini mau kasih ucapan selamat buat kamu, bukan mau bikin kamu nangis.” Mingyu terkekeh yang mana justru membuat dadanya semakin nyeri.

“Wonwoo... Happy wedding, ya. Aku mohon dan aku harap kamu selalu bahagia.” Ucapan Mingyu itu terdengar tulus, namun sebenarnya ada ketidak tulusan jauh di dalam lubuk hatinya.

Bohong jika ia mengatakan jika ia bahagia melihat Wonwoo yang bersanding dengan lelaki lain yang bukan dirinya.

Bohong jika ia ingin melihat Wonwoo yang tertawa bukan karenanya.

▪▪▪

“Pergi saja engkau pergi dariku. Biar ku bunuh perasaan untukmu. Meski berat, melangkah, hatiku, hanya tak siap terluka.”

Alunan musik itu memenuhi ruangan yang sekarang sudah terdapat sekitar 500 orang di dalamnya. Dan disana Mingyu berada, di atas panggung sambil menyumbangkan sebuah lagu yang sebenarnya sangat amat tidak cocok untuk orang yang merayakan pernikahan.

“Beri kisah kita sedikit waktu Semesta mengirim dirimu untukku Kita adalah rasa yang tepat Di waktu yang salah”

Foxy eyes milik Wonwoo tidak lepas dari Mingyu. Ia tau jika Mingyu memberikan sebuah isyarat jika mereka sudah tidak lagi bisa bersama melalui lagu yang ia nyanyikan itu.

Sekuat mungkin Wonwoo menahan air matanya agar tidak kembali meluncur. Ia menarik nafasnya dalam.

“Bukan ini yang ku mau Lalu 'tuk apa kau datang Rindu tak bisa diatur Kita tak pernah mengerti Kau dan aku menyakitkan”

Wonwoo tersenyum getir. Lirik lagu tersebut seolah menyindir dan menghantam dadanya dengan kuat. Lagu itu ibaratkan cairan asam yang sengaja ditaburkan di hatinya yang masih memiliki luka yang menganga. Perih.

“Kita berdua menyakitkan.” Lirih Wonwoo pelan.

Semesta dan takdir, sesuatu yang selalu berdampingan, tak bisa dipisahkan. Terkadang memberikan harapan yang menyenangkan, terkadang membuat pupus perasaan. Terlalu banyak misteri dari cara kerja semesta yang berujung menjadi takdir dari seseorang, entah itu baik atau tidak. Semesta dengan segala misterinya yang tidak bisa ditebak. Manusia hanya bisa menjalaninya tanpa bisa menembus takdirnya. Semesta dengan segala misterinya mampu memberikan berbagai buaian berupa ekspektaksi, dan menjatuhkannya dengan kuat melalui realita.

Seperti kisah Mingyu dan Wonwoo.

Kisah keduanya hancur, melebur dan sudah seharusnya dikubur.

Kisah keduanya hanya tinggal berupa kenangan, menyisakan angan, tanpa ada harapan, dan sudah seharusnya dilupakan.

Seungkwan dan Kerjaannya

H-3 acara yang diadain sama jurusannya Dino, Seungkwan disuruh datang ke kampus buat diskusi sama partner MC-nya dia, Maura Ziya namanya kalau kata Dino. Jam 10 pas banget, Seungkwan sampe di sekre anak Humas. Dia celingak-celinguk nyariin keberadaan Dino, soalnya gak enak kalau dia masuk, sedangkan disana ada banyak barang orang.

“Cari siapa, ya?” Seungkwan balik ke belakang, terus geplak orangnya. Itu Dino, makanya langsung digeplak. Tapi yang digeplak malah ketawa ngakak liat Seungkwan yang kaget.

“Tengil banget bocah.” Sungut Seungkwan. Di tangannya selalu aja ada ice americano nyangkut. Tiap hari wajib banget minum ice americano, kalau sehari gak minum kayak orang sakau, uring-uringan.

“Mana yang jadi partner gue?” Tanya Seungkwan.

“Lagi jalan kesini sama anak acara yang lain.” Jawab Dino.

“Masuk kek, panas nih.” Kayaknya Seungkwan tuh gak bisa sehari aja gak ngomel.

“Ya udah sih masuk aja.”

“Ya, lu duluan yang masuk buru, ini kan markas anak humas, gue mah anak jurusan sebelah.” Abis Dino masuk, Seungkwan juga baru ikut masuk.

“Ini sekalian briefing kan?” Tanya Seungkwan.

“Yoi. Sebenernya gak usah di briefing juga gak apa-apa kali, ya? MC kondang se-Bandung Raya.” Ledek Dino.

“Aamiin paling serius dari gue.” Bales Seungkwan.

Partner gue udah pro?”

“Belum nih sebenernya. Tapi lu pasti bisa arahin kan? Dia masih baru akhir-akhir ini jadi MC.”

“Oh gitu. Oke dah, nanti kan diskusi juga, siapa tau nyambung.”

Gak lama, Maura sama anak acara yang lain datang. Dino langsung kenalin Seungkwan ke mereka. Emang dasarnya Seungkwan itu si anak yang supel, baru kenal aja orang-orang disitu keliatan banget seneng sama dia.

“Briefing-nya segitu aja kali, ya? Atau masih ada yang mau ditanyain lagi?” Tanya ketua divisi acara.

“Oke-oke, gue udah ngerti garis besarnya kok. Sisanya tinggal tek-tokan aja sama Maura berarti kan?” Bales Seungkwan.

“Iya, improvisasi segala macemnya gue serahin sama kalian deh, ya. Kwan, tolong ya diajarin Maura-nya, hehe. Dia kan masih anak baru dibidang ginian.” Kata si ketua divisi.

“Oh iya, Q card buat MC-nya, H-1 gak apa-apa?” Tanya Maura

“Gak apa-apa kok, santai aja.” Bales Seungkwan.

“Oke deh kalau gitu, kita tinggal dulu ya! Kalian diskusi aja. Thanks ya, Kwan.”

“Gue? Kok lu gak bilang makasih ke gue?” Protes Maura.

“Yuk balik kerja yuk.” Protesan Maura gak digubris, bikin dia cemberut. Seungkwan ketawa aja liatnya.

“Gue radiv dulu ye, akur-akur dah lu berdua. Dadah.” Dino juga pamit, soalnya subuh tadi dia gak ikut radiv, jadinya dia mau minta notulensinya aja.

Seungkwan sama Maura langsung diskusi. Keduanya kayak udah kenal lama, baru juga setengah jam ketemu, tapi udah saling ngelempar jokes aja.

Tapi anehnya, waktu mereka diskusi buat improvisasi sebagai MC nanti, ada banyak ketidak cocokan diantara mereka berdua. Seungkwan maunya gini, Maura maunya gitu. Seungkwan maunya ini, Maura maunya itu. Jadinya agak banyak cek-coknya. Dua-duanya juga gak ada yanh mau kalah. Mereka berdua kekeh sama pendapat mereka masing-masing dan jadinya gak ada kesimpulan dari diskusi mereka. Seungkwan sedikit kesel sebenernya, Maura juga sama.

“Ya udah, gue ikut yang kata lu aja.” Kata Maura. Dia gak mau chemistry sama Seungkwan ilang cuma gara-gara perdebatan kecil gini doang. Seungkwan sebenernya seneng, tapi ada rasa sebel juga, soalnya Maura kayak terpaksa gitu ngikutin ide-nya dia. Dan lagi, Maura ikutin idr Seungkwan, karena emang dia lebih pro, dan udah lebih berpengalaman dibanding dia, makanya dia percayain sama idenya Seungkwan.

“Ya udah, gitu aja dulu. Besok mau diskusi lagi? Biar kalau ada yang mau diganti lagi, bisa diomongin lagi.” Tanya Maura.

“Iya, boleh. Di daerah Asia Afrika, ya? Gue ada perlu dulu paginya.”

“Boleh. Mau jam berapa?”

“Abis dzuhur gimana?”

“Boleh, gue kosong juga besok. Ya udah, see you tomorrow ya, Kwan.”

Abis gitu Seungkwan pergi dari sekre Humas, langsung balik ke kontrakan. Mood dia sedikit berantakan gara-gara debat sama Maura tadi.

▪▪▪

Malemnya, Seungkwan dateng ke kamar Mingyu, kebetulan disitu juga ada Dikey, Hao, Vernon, sama Hoshi lagi main kartu remi sambil nyemilin sukro.

“Eh, kenapa Kwan?” Tanya Mingyu.

“Gue mau nanya dah.”

“Percuma, lu nanya ke gue, tapi lu gak pernah denger saran gue juga.” Bales Mingyu.

“Yeu pundungan.” Cibir Seungkwan.

“Ade ape?” Tanya Dikey.

Atensi mereka semua pindah ke Seungkwan. Kartu remi-nya disimpen gitu aja. Ini nih yang bikin Seungkwan seneng banget tinggal di kontrakan, abang-abangnya itu selalu kasih perhatian dan nyimak cerita-ceritanya. Even, Mingyu aja gak pernah kesel sama Seungkwan walaupun dia gak pernah ikutin saran dari Mingyu. Lah jadi temehek-mehek gini.

“Coba ya, menurut lu mending gimana?” Seungkwan ngejelasin pendapat dia dan dibandingin sama pendapat Maura, yang tadi pagi jadi perdebatan. Gak tau kenapa, Seungkwan kepikiran aja. Soalnya biasanya kalau dia dapet partner MC, rata-rata mereka semua setuju sama pendapat Seungkwan. Sekarang dia ketemu Maura, yang pendapatnya beda terus sama dia, jadinya dia mau minta pendapat lebih baik yang mana buat dipake pas acara nanti.

“Gue mendingan yang kedua sih.” Kata Mingyu waktu Seungkwan udah selesai jelasin.

“Gue juga. Lebih asik aja gitu dengernya.” Itu kata Hoshi.

“Gue juga yang kedua.” Dikey.

“Gue juga.” Hao.

“Ya, gue juga sama.” Vernon.

Seungkwan diem. Kelima orang disana milih yang kedua, pendapatnya Maura. Dia jadi kesel sendiri karena gak ada yang milih pendapatnya dia.

“Kenapa emang? Tumbenan lu nanya improvisasi gini, biasanya juga kan lu handle sendiri?” Tanya Vernon.

“Heeh bener. Lagian kita mana ngerti sih, kan kita seprofesional lu. Malah gak pernah ada yang jadi MC. Mingyu pernah deh, sekali doang itu juga.” Kata Dikey.

“Ada masalah sama partner MC lu?”

Jleb. Pertanyaan Hao tuh pas banget, sampe kerasa nusuk. Padahal harusnya pertanyaan itu biasa aja.

“Iya. Gue sama partner gue beda pendapat terus. Itu tadi yang gue tanyain tuh ya perdebatan gue sama dia tadi pagi.” Jelas Seungkwan.

“Terus?” Tanya Vernon.

“Ya, awalnya mau pake yang gue, soalnya kita berdua sama-sama pengen ide kita masing-masing. Tapi akhirnya Maura bilang mau pake punya gue aja. Terus gue nanya ke kalian tuh yang tadi, ternyata kalian prefer punya Maura.” Suara Seungkwan menciut diakhir. Kayak sedikit malu gitu.

Ruangan itu hening. Gak ada yang ngomong satupun. Cuma kedengeran suara mangkok yang dipukul aja sama abang baso diluar sana. Mereka gak enak sama Seungkwan, karena mereka juga gak tau ternyata secara gak langsung, Seungkwan lagi mgebandingin kemampuan dirinya sama kemampuan orang lain yang nanti bakal jadi partner dia.

Partner lu itu, udah jago juga mandu acaranya?” Tanya Hao. Seungkwan gelengin kepalanya.

“Dia baru beberapa kali jadi MC, itu juga bukan acara gede katanya.” Jawab Seungkwan.

“Oke, gue ngerti.” Abis Hao bilang gitu, kamar Mingyu hening lagi. Gak tau kenapa tiba-tiba Seungkwan ngerasa gugup aja gitu.

“Gini, Kwan...” Akhirnya Hao ngomong. Seungkwan harus pasang baja di hatinya nih. Soalnya omongannya pasti nyelekit.

“Gue tau kalau lu itu jago di bidang itu, tau banget deh gue. Bukan cuma gue, anak kontrakan, dan anak jurusan sampe anak luar jurusan komunikasi juga tau lu jago banget mandu acara.” Kata Hao, dia ngasih jeda buat omongan selanjutnya.

“Lu udah terbiasa mandu acara dari mulai acara jurusan sampe acara gede, jadi acaranya anak Humas nanti juga udah jadi hal yang biasa buat lu, iya kan?” Seungkwan ngangguk.

“Nah, karena lu udah bisa terbilang profesional sebagai MC, dan sekarang lu dapet partner yang bisa dibilang baru punya secuil pengalaman doang di bidang ini, lu ngerasa lu di atas dia, lu lebih baik dari dia, lu lebih jago dari dia. Ngaku aja, lu pasti ngerasa gitu kan dalam hati lu?” Seungkwan diem denger omongan Hao. Sekuat apapun baja yang dipake buat tamengnya, tetep aja omongan Hao bisa nembus itu semua.

“Dan sekarang, lu tanya pendapat kita, dan ternyata kita semua lebih suka pendapatnya Maura. Jujur aja, itu nyakitin harga diri lu sebagai yang lebih profesional bukan? Lu ngerasa dikalahin sama anak baru kemaren di bidang yang lu udah tekunin dari lama?”

Semuanya diem, bener-bener diem. Termasuk Seungkwan. Dia ngerasa pusing nerima realita yang keluar dari mulut Hao.

Iya bener kata Hao, harga dirinya tersakiti karena dia kalah sama anak baru kemaren sore.

“Gue tau orang yang lebih lama di suatu bidang, biasanya lebih ngerti dibanding anak baru, tapi bukan berarti lu bisa nyampingin pendapat orang lain.”

Kepalanya kerasa dihantam palu saking pusingnya Seungkwan dihujam sama kata-kata pedes dari Hao.

“Dan lagi, Kwan... Sorry to say nih ya, dengan lu yang hard feeling gini, bikin lu jadi gak profesional.”

Oke, sekarang dadanya kerasa ditusuk, bener-bener jleb banget kalimat abangnya itu.

“Iya Kwan. Ini tuh udah masuk ranah pekerjaan, dan gak seharusnya lu mentingin ego dan gengsi lu sendiri diatas profesionalitas.” Akhirnya Mingyu ikut speak up.

“Gue gak akan ngomong, belum sikat gigi.” Kata Dikey. Sengaja aja dia mah nistain diri sendiri, biar gak tegang-tegang banget gitu suasananya.

“Besok, lu omongin lagi sama dia, baiknya gimana. Lu harus bisa terima dan saring masukan-masukan dari partner lu itu.” Kata Mingyu.

“Gak usah gengsi buat terima masukan orang lain. Anggap aja diri lu juga seseorang yang baru di bidang ini. Gue yakin lu orangnya profesional.” Hao nepuk bahu Seungkwan, ngasih adiknya itu semangat.

Dalam hatinya, Seungkwan berterima kasih banyak sama abang-abangnya yang udah ngingetin dia dan lurusin semuanya. Kalau dia gak nanya mereka, mungkin dia udah tenggelam sama ego dan gengsinya.

Dino si Budak Proker

Udah satu mingguan Dino pulang ke kontrakan sekitar jam 3-an. Karena acaranya yang udah menjelang hari-h, bikin Dino harus kerja makin ekstra. Apalagi Dino anggota divisi humas juga, mau gak mau harus sering-sering kontakan sama pihak-pihak artis yang nantinya bakal jadi guest star.

Dan buat hari ini, Dino gak bisa pulang ke kontrakan, dia juga udah bilang ke abang-abangnya. Sejujurnya Dino udah ngerasa agak gak enak badan, ditambah lagi dia begadang, dan jam udah nunjukin pukul 4 subuh, tapi rapatnya masih belum selesai juga, soalnya udah H-3 acara.

“Din, tadi udah makan belum?” Tanya Naya, ketua divisi dekor.

“Tadi gak keburu, Kak.” Jawab Dino.

“Pantes aja pucet gitu. Kalo sakit gak usah paksain, divisi lu juga kan tadi udah sampein progress-nya.” Bales Naya lagi.

“Gak apa-apa kak, bentar lagi juga kelar, abis divisi ini udah kan?” Tanya Dino sambil mijitin kepalanya.

“Iya sih ini terakhir, tapi abis ini lu tidur aja tuh di sekre, gak usah paksain ikut radiv lagi, nanti gue bilang ke kadiv lu.”

“Gak apa-apa, kak. Beneran deh. Thanks juga.”

“Eh ngeyel deh, gak akan bener kalo lu nyiba mikir tapi otak sama badan lu nolak buat ngelakuin itu.” Dino diem, iya sih, emang dia pusing banget, dan buat mikir aja rasanya gak kuat banget, dia diem aja udah kayak mau pecah itu kepala, apalagi kalau dia harus mikir.

“Udah pokoknya, lu juga udah kerja banyak kok gue liat. Kadiv lu juga muji lu terus. Istirahat bentar mah gak apa-apa.”

“Ya udah deh, nanti gue sendiri aja kak yang bilang, gak enak kalau lu yang bilang ke Bang Raka.”

“Oke, Raka pasti ngerti kok. Noh udah beres rapatnya, tidur aja ke sekre gih.”

“Lu juga jangan lupa istirahat kak.” Kata Dino sebelum dia pergi buat izin ke ketua divisinya, Bang Raka.

▪▪▪

Sekitar jam 8-an, Dino bangun dari tidurnya, kepalanya masih kerasa berat, tapi gak seberat sebelumnya. Gak ada siapa-siapa di sekre selain dia doang sama tas-tas yang pasti punyanya anak panitia.

“Loh udah bangun, Din?” Dino langsung liat ke sumber suara. Ada Naya disana.

“Udah kak, hehe.” Jawab Dino sambil nyengir.

“Nih makan dulu, tadi gue sama Maura beli bubur di depan kampus, jadinya gue beliin buat lu juga, sekalian tuh sama obatnya.” Naya nyodorin keresek yang isinya satu kotak bubur ayam, sama obat-obatan sekaligus air mineral.

“Baik banget dah. Ini gue bayar jangan nih?” Canda Dino.

“Sans aja sih elah.” Jawab Naya.

“Eh jangan gitu, berapa dah ini semua?” Tanya Dino.

“Udah sih ntar aja, makan aja dulu. Oh iya, nanti temen lu yang jadi MC itu bakal kesini kan?” Tanya Naya.

“Iya. Nanti jam 10-an kayaknya temen gue sampe sini, kak.” Kata Dino sambil makan buburnya.

“Oke, gue WA Maura deh, diskusinya maunya dimana katanya?”

“Temen gue mah bebas dimana aja, disini juga gak apa-apa, sekalian briefing juga kan sama anak acara.”

“Oh oke, berarti disini aja ya diskusinya?” Dino cuma ngangguk bales pertanyaan Naya.

“Dia sukanya apa?” Dino keselek pas denger pertanyaan Naya.

“Makanan kesukaan dia apa?” Ulang Naya.

“Oh makanan.”

“Emang lu kira apa?” Naya ngerutin dahinya.

“Kirain lu nanya tipe ceweknya dia gitu.” Naya langsung ketawa.

“Gak lah, kenal aja nggak.”

“Kalo udah kenal, mau?”

“Kenapa deh jadi ngaco gini?” Mereka berdua ketawa.

“Lu udah makan, kak?” Tanya Dino pas buburnya udah abis.

“Udah, tadi sama Maura, gue makannya di tempat, diem-diem juga, takut pada titip, kan males.”

“Lah ini gue gak titip, tapi lu beliin?”

“Ya kan lu lagi sakit, bocil.”

“Udah gede anjir.” Dino suka sewot kalo dibilang bocil atau anak kecil, soalnya abang-abangnya di kontrakan juga pada suka ngatain dia gitu. Padahal dia seumuran sama Seungkwan Vernon, tapi dia doang yang dibilang bocil.

Naya ketawa liat Dino yang sewot, lucu aja menurutnya kalo Dino udah misuh-misuh gitu.

“Gue duluan ya, mau kelas dulu, takut telat.” Kata Naya.

“Oh oke, kak. Semangat kelasnya.” Naya bales ucapan Dino cuma pake senyuman aja, tapi udah bisa bikin jantung Dino jedag jedug kayak speaker kawinan kalau kata Bang Jun.

Cihampelas, Bandung.

Seungcheol yang udah kelarin semua kerjaannya langsung otw ke cafe di sebelah kantornya, nemenin kegabutan Dikey.

Pas nyampe di cafe, bener aja tempatnya udah penuh. Seungcheol ngitarin dulu cafe-nya, siapa tau ada tempat yang masih kosong. Tapi kayaknya udah penuh semua. Seungcheol pasrah aja. Pas dia mau keluar, ada satu meja yang orangnya udah kelar makan, tempatnya diujung langsung hadapan sama kaca cafe itu. Seungcheol langsung aja duduk disana, biar gak kecolongan sama orang. Sambil nunggu Dikey, dia mainin hp-nya dulu, eh muncul notif.

'Bang, ngaret dikit ya, macet bener abisnya.'

Itu kira-kira isi WA dari Dikey. Seungcheol cuma ngelus dadanya aja biar gak emosi sama anak manusia yang satu itu. Lagian Seungcheol juga udah gak ada kerjaan lagi, sumpek juga kalau di kantor terus.

“Misi Mas, boleh duduk disini sebentar gak, ya? Soalnya tempatnya penuh.” Seungcheol langsung nolehin wajahnya ke sumber suara.

“Oh iya, boleh Mbak, duduk aja. Temen saya juga lama.” Jawab Seungcheol.

“Makasih Mas, saya gak lama kok.” Kata cewek itu sambil duduk.

“Mbak-nya mau kemana?” Tanya Seungcheol.

“Ini mau ada pemotretan sama client.” Jawab cewek itu ramah.

“Oh, Mbak model?” Seungcheol gak heran sih kalau cewek di hadapannya ini model, soalnya emang cantik terus badannya bagus.

“Eh bukan, saya fotografernya.” Jawab cewek tadi.

“Kirain modelnya, Mbak. Cocok soalnya kalau Mbak-nya juga model.”

“Makasih loh, Mas.” Seungcheol cuma senyum bales ucapan itu.

“Mas-nya sendiri? Kerja? Atau gimana?”

“Iya, saya kerja di kantor sebelah cafe ini.”

“Oalah. Bagian apa Mas kalau boleh tau?”

“Chief marketing officer, Mbak.” Jawab Seungcheol.

“Waw... Keren banget, Mas.” Puji cewek tadi dan bikin Seungcheol senyum-senyum malu.

“Alhamdulillah Mbak, masih dikasih rezeki.” Balesnya.

“Saya juga dulu pengen tuh kerja kantoran gitu, yang diruangannya banyak AC.” Si mbak-nya ini curcol.

“Terus kenapa bisa jadi fotografer?” Tanya Seungcheol kepo.

“Soalnya saya bisanya ini Mas, terus hobi juga dari semenjak SMA.” Jawab cewek itu sambil ketawa kecil.

“Lagian belum tentu juga saya bisa bahagia dan enjoy kalau saya kerja di kantoran, apalagi kalau bukan bidang saya.” Lanjut si cewek tadi.

“Tapi Mbak, buat sebagian besar, banyak loh yang maksain buat kerja di kantoran, even itu bukan passion mereka. Soalnya yang mereka kejar itu uang. Ya saya juga gak mau munafik kalau saya kerja buat cari uang sebanyak mungkin.” Timpal Seungcheol.

“Bener sih Mas, tapi tetep beda kan pressure-nya. Pressure orang yang enjoy sama kerjaannya, sama pressure orang yang terpaksa sama kerjaannya. Kalo orangnya enjoy, mau dikasih pressure segimanapun dia bakal nikmatin proses kerjanya, bener gak?”

“Iya bener. Tapi sayangnya ada banyak orang yang kurang beruntung di luar sana yang gak bisa kerja sesuai sama passion dan bakat mereka.” Balas Seungcheol.

“Iya makanya, dan masih banyak juga orang yang beruntung tapi malah main-main sama kerjaannya.”

“Kurang bersyukur orang yang kayak gitu.”

Cewek yang duduk di seberang Seungcheol langsung ngelirik ke arah ponselnya pas ada bunyi notif.

“Mas, saya duluan ya, client saya udah sampe. Makasih loh udah dibolehin duduk. Makasih juga buat obrolan asiknya.” Pamit cewek tadi sambil beresin barangnya.

“Sama-sama, Mbak. Hati-hati ya, Mbak.” Ujar Seungcheol dan dibales senyuman sama si Mbak-nya.

Pas banget, waktu mbak-nya pergi, Dikey datang sambil sisirin rambutnya pake jari.

Woozi

Cowok yang dari pagi gak gerak dari kasurnya itu akhirnya napakin kakinya ke lantai, laper.

Uji ngelangkahin kakinya ke dapur, nyari ada makanan apa di kulkas. Sebenernya dia lagi pengen ramen, soalnya kayaknya enak makan ramen lagi mendung gini. Tapi karena gak ada, Uji terpaksa harus ke indoapril di deket komplek. Uji tuh anak kontrakan yang paling jarang keluar, kecuali kuliah sama kalau lagi ada job nyanyi. Selebihnya, dia gak akan keluar kontrakan. Tapi karena kontrakan lagi kosong, jadi dia gak bisa nyuruh yang lain buat keluar.

Uji milih buat jalan kaki, soalnya emang deket sih dari kompleknya juga. Pas lagi jalan, Uji ngelewatin rumah Bu Tria, terus keinget sama ceritanya Seungkwan tadi di grup.

“Eh A Uji, mau kemana, A?” Sapa Bu Tria yang kebetulan keluar dari rumahnya.

“Mau beli makan, Bu.” Jawab Uji sambil senyum. Bu Tria emang orangnya baik banget terus sering kirim kue ke kontrakan, soalnya katanya anak-anak rantau, kasian jauh dari orang tuanya.

Akhirnya Uji sampe di indoapril. Dia langsung ke rak mie, ngambil beberapa ramen. Abis itu dia jalan ke bagian minuman, mau ambil cola. Tapi disitu ada cewek yang keliatannya serius banget liatin isi lemari pendingin itu. Uji nungguin cewek itu sambil ngeliatin, asing sama wajahnya. Tapi ya emang Uji gak kenal banyak orang sih di komplek, beda sama Dikey, Ochi, Mingyu, Seungkwan dan Dino yang sering keluar terus ngobrol sama orang lain.

“Misi ya, Teh, masih lama gak milihnya? Saya mau ambil cola-nya dulu kalau masih lama.” Kata Uji yang sebenernya agak kesel juga gara-gara cewek ini lama banget milih minumnya. Cewek itu liat Uji kayak kaget gitu, terus langsung ngambil minuman yoghurt satu biji. Abis itu dia langsung bayar. Uji ngeliatin cewek tadi sambil ngerutin dahi, aneh banget menurut dia, kayak mau maling, soalnya ekspresinya kayak panik pas ngeliat Uji. Tapi Uji udah sebodo amat, dia langsung ambil cola lima biji, buat stok katanya. Abis itu langsung ke kasir.

▪▪▪

Pas lagi dijalan pulang, Uji ngeliat cewek tadi lagi. Pas dia udah lumayan deket jaraknya, dia bisa liat kalau cewek tadi masuk ke salah satu rumah yang ada di deket kontrakan mereka. Uji jadi mikir apa dia se-ansos itu sampe tetangga sedeket itu aja gak kenal?

Terus pas Uji lewat rumah yang dimasukin cewek tadi, dia baru ngeh kalau cewek itu ternyata cewek yang tadi dighibahin di grup, anaknya Bu Tria.

Jun dan kerjaan baru

Sehari abis diterima jadi driver ojol, Jun tumben-tumbenan bangun pagi banget, disaat yang lain masih tidur, kecuali Minghao yang mau otw kampus karena ada kelas.

“Mau narik apa mau kondangan? Ngaca mulu.” Sindir Minghao yang gak sengaja ketemu Jun pas dia mau ke dapur.

“Udah gue bilang mencari rezeki Tuhan, duit sama jodoh.” Jawab Jun. Dia polesin lagi pomade ke rambutnya, biar makin mengkilat terus biar gak berantakan katanya.

“Bang...” Minghao nyender ke tembok sambil liatin Jun yang masih sibuk ngaca.

“Ape?”

“Sorry nih nanya gini, terserah lu mau jawab atau nggak, gue gak minta buat lu jawab.” Jun langsung natap Minghao.

“Weh... Kenapa jadi serius gini macem mau ucap ijab kabul?” Tanya Jun.

“Serius ya anjir.” Bales Minghao sebel.

“Ya lagian anjir, gue suka takut kalo anak kontrakan tiba-tiba jadi serius.”

“Lu, beneran ngojol karena cuma kepengen aja?” Jun diem denger pertanyaan Hao.

“Ya iya, terus kan gue juga bilang biar sekalian siapa tau ketemu jodoh.” Masih aja becanda ni orang.

“Oh yaudah kalau gitu. Kalau ada apa-apa, lu gak usah sungkan minta tolong gue.” Kata Hao.

Jun diem agak lama. Hao juga diem aja, nungguin Jun yang keliatannya mau ngomong sesuatu.

“Gue mau minta tolong...” Kata Jun ngegantung, bikin Hao diem ditempatnya.

“Titip lontong kari di fakultasnya Wonu, enak soalnya, hehe.”

“Bangsat.”

“Astahfirullah. Nyebut Hao, Allah denger.”

“Gue kristen.”

“Astagfirullah, kok gue goblog.”

“Dah ah, buang waktu gue aja dah, cabut dah gue.” Hao langsung jalan sambil ambil kunci mobilnya di atas meja makan.

Jun cuma ketawa aja liat Hao yang kesel banget gara-gara dia. Tapi jauh di dalem hatinya dia berterimakasih sama Hao karena udah nanya, udah nunjukin kepeduliannya, dan udah peka sama keadaannya.

▪▪▪

Di hari pertamanya, Jun gigih banget ngambilin orderan, semuanya dia ambil. Mau itu orang, makanan, barang, asal dia dapet uang, dan belum capek, ya dia bakal terus berusaha.

Sampe akhirnya jam 10 malem, Jun milih buat balik aja ke kontrakan, soalnya udah pegel banget dia, seharian keliling Bandung. Tapi, pas dia mau pulang, ada notif nyala, ada pelanggan. Jun dilema, mau anter atau nggak, soalnya dia udah capek banget, tapi di sisi lain dia gak tega kalo gak ambil orderan ini, soalnya yang order cewek.

“Ya udahlah, satu lagi.” Akhirnya Jun putusin buat ambil aja orderannya.

Selang lima menit aja, Jun udah sampe di titik lokasi pelanggannya.

“Atas nama Teh Embun?” Tanya Jun ramah ke cewek yang pake hoodie navy di depannya.

“Iya A. Kiara Condong ya, A.” Ujar pelanggannya.

“Siap, Teh. Ini Teh helm-nya, biar gak ditangkap polisi.” Kata Jun sambil nyodorin helmnya. Cewek itu ambil helm-nya, tapi dia gak bisa cetrekin pengaitnya.

“Sini coba, Teh. Harus lembut si Brownie mah.” Kata Jun.

“Brownie?” Embun bingung.

“Iya ini helm-nya namanya Brownie.” Embun ketawa denger jawaban Jun.

“Kenapa dinamain brownie?” Tanyanya.

“Soalnya warnanya coklat, kalau warnanya putih mah saya kasih nama Casper.”

“Kok gitu?”

“Soalnya kan Casper warnanya putih, lucu aja gitu itu jurig.” Random banget emang Jun.

“Itu udah bisa belum helm-nya? Jadi ngobrol gini.”

“Belum bisa, udah lembut juga susah.” Embun masih aja sibuk ngotak ngatik helm.

“Sini coba, Teh.” Embun ngedeketin Jun, sedikit nenggak biar Jun bisa pasanginnya gampang.

“Jadi kayak Dilan Milea cabang Kiara Condong gini ya kita, so sweet gitu, tinggal pake jaket jeans aja harusnya saya.”

“Aa-nya suka iseng gini apa gimana?” Tanya Embun di motor yang udah jalan itu.

“Gak tau, coba tanyain orang tua saya, mau gak Tetehnya dikenalin ke orang tua saya?” Sebenernya yang lebih cocok dapet julukan fakboi itu Jun sih, bukan Mingyu. Cuma gak ada yang tau aja kelakuannya.

Jun ajakin Embun ngobrol terus, soalnya cewek itu keliatannya ngantuk tadi. Bisa bahaya kalau Embun tiba-tiba ketiduran di motor, kalo ngejengkang begimana? Jun gak punya duit buat biayain bayaran rumah sakitnya.

Selang 15 menit, akhirnya Jun sampe di depan rumah Embun. Cewek itu langsung turun.

“Udah ya A bayarnya tadi.” Ujarnya.

“Iya Teh, makasih ya. Jangan lupa kasih bintang, hehe.” Kata Jun sambil nyengir.

“Mau bintang berapa emangnya, A?” Tanya Embun.

“Empat aja.”

“Kok empat? Gak kurang satunya lagi?”

“Satunya kan Teh Embun, bintang di hati saya. Eaaa...”

Embun ketawa ngakak dengernya, sebenernya bukan gara-gara gombalannya, tapi gara-gara 'eaaa' di ujung kalimatnya.

“Beneran nih empat aja?” Tanya Embun lagi.

“Lima aja, Teh, hehe.”

“Tadi katanya saya bintang satunya, gimana sih?”

“Kan Teh Embun bintang di hati saya bukan diaplikasi ojol. Hehe.” Lagi-lagi Embun ketawa,terus dia kasih bintang lima buat Jun.

“Nih A, udah saya kasih bintang lima.” Embun ngeliatin layar hp-nya ke Jun.

“Sip. Makasih Teh, sok masuk ke rumahnya, udah beler gitu matanya minta istirahat.” Embun langsung ngucek matanya.

“Hehe, yaudah A, makasih banyak ya, A.”

“Siap Teh, kalau mau jemput lagi bisa chat saya ya, Teh, hehe. Buat sebutir nasi soalnya.” Ujar Jun.

“Oke sip. Udah A, pulang juga, daerah sini suka banyak preman kalo tengan malem.”

Abis Embun masuk rumahnya, Jun langsung ngebut, takut beneran dicegat preman kan mampus. Dia belum sarjana katanya, nanti sayang uang tabungannya yang selama ini dia kumpulin buat biaya kuliahnya. Sampe akhirnya, Jun sampe di kontrakan jam sebelas lewat.

Wrong Adress, Good Neighbor

🔞 This AU contains mature content, so if you're underage or do not like nsfw thingy, you can skip this. ▪ BxB ( Mingyu x Wonwoo )

Happy reading! ❤

📍 Buah Batu, Bandung

Kosan dengan pagar setinggi 2 meter dan berwarna abu-abu itu terlihat tidak begitu ramai. Maklum saja, hari itu sedang hari tenang menjelang UAS, banyak mahasiswa yang memilih untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing, melepas penat, dan tentunya perbaikan gizi.

Tak terkecuali pemuda jangkung yang berada di kamar nomor 23, dia lebih memilih untuk tetap menghabiskan waktu di kosannya karena terlalu malas untuk pulang kampung dengan sepeda motornya itu. Cuaca pun tidak begitu bersahabat hari ini. Sedari pagi tadi, awan-awan kelabu menyembunyikan matahari, membuat hari menjadi gelap namun sejuk. Mingyu dari pagi tadi hanya berkutat dengan laptopnya, mengerjakan skripsi yang masih mandeg di bab tiga. Stres, dia lebih memilih untuk membaringkan tubuhnya sambil mengotak-ngatik ponselnya. Hening, hingga akhirnya sebuah ketukan pintu memasuki rungu si pria jangkung.

“Paketnya Mas Mingyu, nih.” Ujar seorang lelaki paruh baya yang memiliki title sebagai satpam kosan.

“Oiya Pak, makasih ya, Pak. Nih pak buat bapak, ongkos kirim dari lantai bawah, hehe.” Mingyu memberikan dua batang rokok pada si bapak satpam dan dibalas senyuman lebar.

Mingyu excited saat menerima paketnya, pasalnya dia sudah menunggu itu sejak satu minggu yang lalu. Mingyu membeli sebuah hoodie. Ia segera membuka paket itu dengan senyum yang mengembang.

▪▪▪

Lelaki dengan netra foxy eyes itu sedari tadi hanya melirik jam dindingnya. Menarik nafas gusar, sambil sesekali menggigit bibir bawahnya, tanda jika ia sedang merasa tidak nyaman.

Harusnya hari ini barangnya datang, tapi mengapa belum ada kabar sama sekali? Tapi Wonwoo masih mencoba untuk tetap tenang, ia masih berpikir mungkin karena masih sore, masih ada waktu cukup lama sampai di penghujung hari Sabtu itu.

Hingga notifikasi whatsapp-nya berbunyi, Wonwoo segera pergi ke pos satpam kosannya. Ia segera keluar dari kamarnya, dan melangkahkan tungkainya terburu-buru.

“Pak, paket saya udah datang belum? Tadi kata abangnya paket saya udah dititipin kesini.” Ujar Wonwoo. Pak Umar, mengerutkan dahi lalu menepuknya.

“Waduh, itu punya Mas Wonwoo? Saya kira punya Mas Mingyu, soalnya nomor kamarnya 23, kan kamar Mas Wonwoo 13.” Penjelasan itu membuat Wonwoo mengecek aplikasi ecommerce-nya, dan benar saja, ternyata dia typo.

“Oh iya, pak, saya salah tulis nomor ternyata, hehe. Saya ambil aja ke atas aja. Nomor 23 kan ya, Pak?” Tanya Wonwoo.

“Iya Mas Wonwoo. Kamarnya Mas Mingyu, yang setinggi pager kosan itu.” Wonwoo hanya tersenyum, lalu segera bergegas ke kamar nomor 23 di lantai 3.

Wonwoo kembali menggigiti bibirnya. Jemarinya terkepal erat, takut jika lelaki yang menerima paket miliknya itu sudah melihat isinya. Wonwoo masih berpikir mengenai alasan apa yang harus ia buat saat bertemu dengan lelaki bernama Mingyu itu, berjaga-jaga apabila lelaki tersebut membuka paketnya.

Lima menit berlalu. Wonwoo masih belum berani mengetuk pintu kamar bernomor 23 tersebut. Ia sedari tadi hanya mengulur waktu sambil menghirup nafas banyak-banyak. Wonwoo meremas ujung bajunya, bingung, apakah ia harus membiarkan paketnya dengan jaminan tidak ada ada rasa malu namun ia harus merelakan uangnya, atau tetap memintanya dengan jaminan rasa malu yang teramat sangat namun ia akan merasa puas.

Ditengah rasa dilemanya itu, kenop pintu coklat di depannya bergerak ke bawah, menandakan seseorang membukanya. Wonwoo membeku. Entah mengapa kakinya enggan untuk beranjak. Lelaki yang keluar dari balik pintu nomor 23 itu menatap Wonwoo heran, keningnya berkerut.

“Ada apa, ya?” Tanya Mingyu. Tenggorokan Wonwoo tercekat, dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Terlalu kaget melihat orang di hadapannya itu.

'Ganteng banget.' Itu suara batin Wonwoo.

“I—itu... Sa—saya... Anu...” Wonwoo ingin menampar dirinya sendiri dengan kencang. Mengapa juga ia harus gugup disaat seperti ini? Lelaki di hadapannya itu masih saja menunggu ucapan Wonwoo.

“Mas Mingyu 'kan?” Tanya Wonwoo, mencoba menetralisir detak jantungnya.

“Iya, saya Mingyu. Kamu...”

“Saya Wonwoo, di bawah Mas Mingyu.”

“Di bawah saya?”

Shit. Wonwoo mengumpat dalam hati. Otaknya berkeliaran mendengar pengulangan yang ditanyakan oleh lelaki bernama Mingyu itu.

“Maksudnya, kamar saya ada persis di bawah kamar Mas Mingyu.” Jawab Wonwoo setenang mungkin. Mingyu menganggukan kepalanya.

“Panggil Mingyu aja, kayaknya seumuran juga gak sih?” Tanya Mingyu sambil tersenyum.

God... Wonwoo ingin merutuki dirinya sendiri yang malah tergoda oleh senyum Kim Mingyu yang memperlihatkan taringnya itu.

“Iya juga, kayaknya seumuran. Hehe, oke Mingyu.” Wonwoo tertawa, membuat hidungnya mengerut.

“Cute cat.” Ucapan Mingyu itu membuat Wonwoo melihat ke arah bawah, kiri, kanan. Namun ia tidak menemukan keberadaan seekor kucing.

“You, you're the cute cat, that's what I mean.” Entah mengapa pipi Wonwoo terasa menghangat. Ia segera memalingkan wajahnya sambil terbatuk, sengaja. Mingyu kembali tertawa melihat tingkat lelaki berkacamata tersebut.

“Jadi, ada apa?” Pertanyaan Mingyu itu kembali membuat Wonwoo menyadari realita, jika ia kesana untuk meminta paketnya yang salah alamat.

“Ehm... Itu... Sa—saya...” Wonwoo kembali tergagap. Mingyu menatapnya dengan sabar, tangannya sesekali menyisir rambut gondrongnya ke belakang menggunakan jemarinya. Wonwoo menarik nafasnya, menguatkan tekad untuk segera mengatakannya.

“Itu... Tadi ada paket...” Omongannya terputus. Susah sekali meminta paketnya.

Mingyu terdiam sejenak. Kemudian menatap lelaki yang sedang membenarkan kacamatanya itu yang saat ini sedang menampilkan ekspresi gugup, kemudian bergantian menatap paket yang sudah ia buka, yang tentunya dia tau pasti paket itu salah alamat. Karena barang yang ada di dalamnya bukanlah hoodie yang ia tunggu-tunggu.

“Paketnya punya kamu?” Tanya Mingyu. Wonwoo segera mengangguk dengan cepat, wajahnya masih semerah kepiting.

“Dildo itu punya kamu berarti?”

Fuck! Wonwoo merasa ingin menyeburkan diri ke kolam ikan yang ada di halaman depan kosan itu. Berarti Mingyu membuka paket miliknya. Dan dia melihat isi paketnya. Dildo, alat bantu sex yang berbentuk kejantanan pria.

Iya, isi dari paket Wonwoo adalah sebuah dildo, untuk memuaskan hasratnya sendiri. Makanya ia begitu susah untuk meminta paketnya. Jika saja paketnya itu berisi barang 'normal' lainnya, tidak akan sesusah dan segugup itu saat ia memintanya.

Wonwoo menelan ludahnya dengan berat. Seharunya dia tadi tidak usah mencari paketnya, seharusnya ia biarkan saja paketnya, dari pada ia harus menanggung rasa malu seperti saat ini.

Keduanya tidak ada yang berbicara, terhanyut oleh pikiran masing-masing. Wonwoo rasanya ingin melompat dari sana, dan bersembunyi dibalik selimutnya.

“Bener ya itu tadi paket Mas Wonwoo? Soalnya ini paket buat Mas Mingyu baru nyampe.” Suara Pak Umar mendistraksi keduanya.

“Oh, makasih ya, Pak. Gak usah dikasih ongkos lah, ya? Tadi udahkan dua batang.” Cengir Mingyu yang dibalas oleh acungan jempol oleh Pak Umar. Kemudian lelaki paruh baya itu kembali ke pos-nya.

“Ehm...” Wonwoo berdehem. Kode jika ia ingin mengambil paket miliknya. Mingyu kembali menatap Wonwoo, yang ditatap malah salting sambil memainkan ujung sweater paw-nya. Membuat Wonwoo berkali-kali lipat menggemaskan di mata seorang Mingyu.

“Itu... Paketnya mau diambil?” Tanya Mingyu, memecah kecanggungan.

“Ngg... I—iya...” Wonwoo mengangguk, suaranya menjadi menciut.

“Mau dipake kapan?” Wonwoo terbatuk mendengar pertanyaan Mingyu.

“Sekarang.” Jawab Wonwoo cepat.

“Beneran mau pake dildo? Emang enak?” Wonwoo mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Udah sering nyoba pake dildo?” Lagi. Mingyu terus melempar pertanyaan.

“Baru kok. I just curious. I usually use my fingers.”

Damn! Too much information, Jeon Wonwoo. Lelaki kurus itu menyesali mengapa ia harus terlahir dengan bibir yang kerap kali ceplas ceplos. Mingyu tertawa renyah mendengarnya.

“Don't you think use the 'real' dildo is better?” Tanya Mingyu. Jemarinya terulur ke atas kepala Wonwoo. Membenahkan poninya yang menutupi dahi si pria yang menurutnya manis itu. Wonwoo tidak menjawab, tidak mengerti arah pembicaraan Mingyu.

“Lebih enak yang asli bukan daripada dildo? Lebih nyata kulitnya.”

Shit. Wonwoo horny. Right now. Sebenarnya lelaki itu sudah horny sedari tadi. Hawa dingin justru menaikan birahinya, serta ia butuh distraksi dari segala tugas yang menjadi bebannya selama seminggu ini. Dan sekarang... Dia menghadapi Kim Mingyu, lelaki dengan seribu rayuan yang dengan mudahnya bisa membuat orang-orang luluh.

“Masalahnya saya gak ada orang yang nyata yang mau main sama saya.” Oke, itu kode sebenernya buat lelaki jangkung di depannya yang sekarang tersenyum penuh arti.

“I'll volunteer myself.” Wonwoo tersenyum tipis mendengarnya.

“Let's go inside, then.” Tanpa aba-aba, Mingyu menarik pergelangan tangan Wonwoo ke dalam kamar kos-nya, mengunci pintu dan menutup jendelanya.

Hanya ada cahaya remang yang berasal dari lampu tidur milik Mingyu.

“My son.” Ujar Wonwoo sambil memegangi dildonya.

Mingyu memperhatikan Wonwoo yang mengocok dildonya perlahan. Ia tidak bisa berbohong jika miliknya sedikit sesak melihat kelakuan Wonwoo, membayangkan jika yang Wonwoo kocok itu adalah miliknya.

“Play with it, I wanna see.” Titah Mingyu.

Kewarasan Wonwoo sudah menghilang semenjak melihat paketnya itu. Wonwoo put the dildo inside his mouth, and he start to suck it, and lick it slowly, while his eyes staring at Mingyu seductively.

No need to talk, Wonwoo take off his boxer. And it's make Mingyu swallowed hard. Apalagi ketika Wonwoo mengocok miliknya yang sudah menegang and start to moaning. Wonwoo's deep voice fill Mingyu's room, and goddamn, Mingyu ikut horny mendengar segala racauan yang keluar dari bibir Wonwoo. Celananya terasa semakin sesak di bawah sana, namun ia masih bisa untuk menahannya meskipun sulit.

Wonwoo menunggingkan tubuh kurusnya, and he put the dildo inside him.

“Ouh...” He shake it slowly. Matanya terpejam, tanda ia sedang merasakan suatu kenikmatan. Bibirnya tidak berhenti mengumandangkan suara-suara erotis yang membuat gairah Mingyu memuncak. Kocokannya semakin lama semakin kencang. Tangan satunya segera ia arahkan menuju miliknya dan mulai mengocoknya seirama dengan kocokan dildo di lubang analnya.

“Oh... Shit...” Racau Wonwoo. Ia sudah tidak mempedulikan jika ia melakukannya di kamar orang yang baru saja dikenalnya, ia hanya peduli dengan birahinya saat ini yang sudah tak terbendung.

Semakin cepat, Wonwoo merasa kakinya melemah, ia menjatuhkan kepalanya ke kasur milik Mingyu. Jemarinya mencengkram bedcover milik Mingyu dengan erat. Ia sudah hampir ada di klimaksnya. Wonwoo memasukan dildonya semakin dalam dan mengocoknya semakin kuat. Hingga akhirnya...

“Ouh... Shit...”

Tubuhnya ambruk merasakan kenikmatan yang berada di titik puncaknya. Dia sudah tidak peduli if he cum on Mingyu's bed. He takes a deep breath, trying to normalize his heart rate.

“Masih kuat?” Tanya Mingyu yang sudah berada di samping Wonwoo yang masih menelungkupkan tubuhnya.

“Masih.” Jawabnya sambil membalikan tubuhnya menjadi telentang.

“Let's play with a real one, you don't need dildo anymore. Mine is better, and bigger.” Mingyu mengecup kening Wonwoo sekilas.

“Let's prove your word, babe.”

And on the next second, they kiss each others lips. Melumatnya, saling menggigit kecil. Mingyu dengan mudahnya mengangkat Wonwoo ke pangkuannya. Tangannya langsung menarik pinggang ramping Wonwoo dan meraba perutnya dengan lembut.

Ditengah aktivitas bertukar nafsu itu, Mingyu bisa mencium wangi minyak telon yang tercium dari tubuh lelaki yang berada di atas pangkuannya itu, membuat dirinya merasa gemas dan ingin melindungi lelaki yang lebih kecil darinya itu.

Wonwoo menarik tengkuk Mingyu, dirinya ingin mendominasi permainan bibir mereka. He bite Mingyu's lips and start to playing with his tongue. Keduanya terhanyut oleh permainan lidah yang mereka mainkan. Tangan Mingyu terus meraba-raba tubuh bagian atas Wonwoo. And he find it. He pinch Wonwoo's nipple and play with it. Mingyu melepas tautan bibirnya sepihak, kemudian ia menghirup aroma dari leher Wonwoo, dan kemudian mengecupinya. Mingyu sesekali menggigit kecil leher jenjang Wonwoo, membuat lelaki dengan foxy eyes itu memejamkan matanya dengan kepalanya yang mengadah ke belakang, membiarkan Mingyu membuat tanda sebanyak mungkin di leher mulusnya. Merasa terganggu dengan sweater yang kuning yang digunakan oleh Wonwoo, Mingyu segera melepasnya, dan melemparnya ke lantai. Mingyu memberikan kecupan dan tanda di tulang selangka Wonwoo yang menonjol dengan jelas. Jemarinya kembali sibuk menggerayangi dada Wonwoo. Playing with his nipple, rub it slowly, and then pinch it. Tubuh Wonwoo menggelinjang sebagai reaksi dari rasa nikmat yang berasal dari sentuhan Mingyu. Tubuhnya yang menjadi semakin rapat dengan Mingyu itu membuat gesekan antara miliknya dan milik Mingyu and it's success make both of them moaning.

Wonwoo bisa merasakan sesuatu yang besar dan keras di dalam celana Mingyu, dengan jahilnya, Wonwoo merabanya dari luar boxer yang digunakan oleh Mingyu, mengusapnya perlahan sambil sesekali ia tekan-tekan dengan pelan. Hal itu sudah bisa membuat Mingyu melenguh di tengah aktivitasnya menciumi dada Wonwoo.

Lenguhan Mingyu membuat Wonwoo merasa senang san tertantang. Ia kini memijat kepunyaan Mingyu, dan kembali menggesekan miliknya dengan milik Mingyu. Hal itu menimbulkan sensasi yang sanggup membuat keduanya melenguh bersama. Tak sampai situ saja, Wonwoo mulai memasukan tangannya dari bawah, ke dalam boxer Mingyu. Ia menjelajahi isi dari boxer Mingyu. Setelah menemukan apa yang ia cari, Wonwoo immediately touch it softly, then shake it slowly. That little movement success make Mingyu groaning, frustation. He want Wonwoo do it faster and harder. Wonwoo smirked, and he start to rubbed it harder than before.

“It'll be better if you take off your pants. It's annoying. I want yours.” Ujar Wonwoo.

“I need your help.” Goda Mingyu. Dan Wonwoo segera melepaskan celana milik Mingyu, and he throw it to the floor.

“Okay... You're... Really big.” Ujar Wonwoo ketika melihat kepunyaan Mingyu terekspos.

“And I'm so proud.” Mingyu terkekeh melihat Wonwoo yang memutar kedua bola matanya malas saat ia membanggakan miliknya itu.

Wonwoo go down from Mingyu's body, and he shake Mingyu's, slowly. It's enough to make Mingyu close his eyes while biting his lips. Kepalanya mengadah ke belakang.

“Oh shit, Wonwoo.” Umpatnya. He can feel the liquid which come from Wonwoo's mouth. Yes, Wonwoo put Mingyu's inside his mouth, and he lick it also suck it hard. His head move fast for now and make Mingyu crazily call his name, and Wonwoo like it. When Wonwoo feel if Mingyu's twitching, dia menyingkirkan mulutnya, dan dia segera memposisikan dirinya kembali di atas tubuh Mingyu. He put Mingyu's inside him and he start moving fast.

Mingyu memejamkan matanya, sedangkan Wonwoo terus menatap Mingyu yang menikmati permainannya. Wonwoo menguasai permainan ini. Wonwoo memegang miliknya dan mulai mengocok miliknya juga.

“I'll do it.” Mingyu mengambil alih 'pekerjaan' tangan Wonwoo, and Mingyu shake it hard, dan mampu membuat Wonwoo memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya.

Bibir keduanya kembali saling bertautan, kali ini lebih panas dan penuh birahi daripada yang sebelumnya. Mingyu melumat bibir Wonwoo dengan kasar. Ia menghisap bibir Wonwoo dengan kuat. Sementara tangannya kembali menggerayangi nipple milik Wonwoo. Sementara itu, Wonwoo terus meraba-raba abs milik Mingyu dari luar kaos yang digunakan oleh Mingyu.

“I'll cum.” Ucap Mingyu yang sengaja melepas tautan bibir mereka.

“Wait... Let's cum together.” Balas Wonwoo dengan penuh racauan.

Mingyu ikut menggerakan pinggulnya, menghentakannya hingga terdengar suara yang cukup keras karena kulit mereka yang saling beradu. The next minute, both of them cum together.

Keduanya meraup oksigen sebanyak mungkin. Permainan yang mereka lakukan cukup membuat keduanya lelah.

“Are you tired?” Tanya Mingyu yang kembali ke posisi duduknya.

“No... Not yet, I just need time to take a breath properly.” Mingyu terkekeh mendengar jawaban Wonwoo.

Mingyu membalikan badan kurus Wonwoo. Kini ia bisa melihat punggung mulus milik sang submissive yang menungging di depannya.

Mingyu start to teasing Wonwoo. Ia menggesekan ujung kepunyaannya dengan lubang milik Wonwoo, membuat sang submissive lagi-lagi melenguh dengan suaranya yang mulai serak.

“Your moan is my weakness, but it's can make me more horny and want to fuck you harder. Should I go hard or soft?” Tanya Mingyu disela-sela aktivitas menggodanya.

“I'm in the mood for rough sex, if you don't mind.” Mingyu terkekeh.

“I'll make you begging to me, babe.” Bisik Mingyu seduktif, tepat di sebelah rungu Wonwoo. Mingyu start spank Wonwoo's butt roughly. For the first time, Wonwoo meringis kecil, tetapi semakin lama, Wonwoo justru melenguh, even asking for more.

“Your finger... Please...” Pinta Wonwoo.

And Mingyu start touching Wonwoo's hole softly that can make Wonwoo's body feel goosebump, but he like it, yet frustation. Mingyu put two fingers to Wonwoo's hole, and shake it slowly. Wonwoo bite his lips to hold his moan. But Mingyu didn't like it, he want hear Wonwoo's moan while calling his name.

“Call my name, baby.” Bisik Mingyu disebelah telinga Wonwoo. Namun pria itu tetap tidak mempedulikan ucapan Mingyu.

“Call my name, or I'll stop.” Masih dalam sebuah bisikan, namum kali ini lebih terasa mengintimidasi.

“Mingyu...” Mingyu smirked after he listen it.

“Gyu... Add your fingers...” Pinta Wonwoo.

“With pleasure, bae.” Mingyu menambahkan dua jarinya, dan empat jari sudah berada di dalam lubang milik Wonwoo. Lelaki itu mencengkram bedcover Mingyu semakin kencang tatkala Mingyu mengocokan jarinya dengan tempo yang cepat dan kasar.

“Shit... This is... Too good...” Umpat Wonwoo diselingi dengan lenguhan-lenguhannya. Mingyu hanya tersenyum, merasa semakin horny ketika mendengar Wonwoo melenguh sambil mengumpat. Mingyu merasakan jika jemarinya diremas semakin kuat oleh lubang Wonwoo, lalu ia mempercepat gerakan jarinya, hingga akhirnya Wonwoo kembali orgasme.

Mingyu memberikan waktu untuk Wonwoo mengatur nafasnya. Kemudian lelaki itu segera mengarahkan tubuhnya di belakang Wonwoo. Lelaki itu menciumi punggung mulus milik Wonwoo, sesekali menghisap dan menggigit pelan, menimbulkan bercak merah keunguan disana. Hingga tidak ada lagi spot yang tersisa untuk membuat tanda, Mingyu kembali menggoda Wonwoo. Ia menggesekan kembali miliknya di garis anal milik Wonwoo, dan itu sukses membuat Wonwoo mengerang frustasi.

“I'll tease you until you begging to me, bae.” Ujar Mingyu masih melanjutkan aktivitas teasing-nya. Wonwoo mendesis. Merasa kesal karena dipermainkan. Namun ia juga tidak bisa melakukan hal lain selain memohon kepada sang dominant.

“Mingyu... Please...” Rengek Wonwoo.

“What kind of help do you want, baby?” Mingyu pantas mendapat gelar raja tarik ulur. Padahal dirinya sendiri juga susah payah menahan agar tidak langsung memasukan miliknya ke dalam lubang milik Wonwoo.

“Please fuck me harder. I like it when you put your fuckin big dick to my hole. Please... I'm begging to you. I want yours.” Pinta Wonwoo dengan suaranya yang bergetar frustasi.

“I'll help you, then.” Tanpa aba-aba, Mingyu langsung memasukan miliknya ke dalam lubang Wonwoo.

“Argh... You're so fuckin tight.” Racau Mingyu ketika kepunyaannya diremas dengan kuat oleh lubang milik Wonwoo di dalam sana.

“And you're so fuckin big, but I love it.” Balas Wonwoo dengan diselingi oleh lenguhan-lenguhan yang terus keluar dari bibirnya.

Mingyu menggerakan pinggulnya dengan cepat dan semakin lama semakin kasar, sehingga membuat ruangan tersebut dipenuhi oleh lenguhan yang tidak bisa tertahankan oleh kedua insan yang sedang menyatukan tubuhnya itu. Mingyu start to choke Wonwoo's neck, and put his thumb into Wonwoo's mouth. Wonwoo lick and suck Mingyu's thumb aggresively, and he keep groan.

Untung saja kosan mereka itu terdapat fasilitas kedap suara, jika tidak, suara racauan mereka mungkim akan terdengar hingga kamar paling ujung.

“Oh damn... This is so fuckin good.” Racau Mingyu dengan suara seraknya.

Mingyu memegang pinggang ramping Wonwoo dengan kuat, agar ia bisa mengontrol kecepatannya. Keduanya benar-benar terhanyut dalam permainan mereka yang menjadi semakin agresif setiap lenguhan keluar dari bilah bibir keduanya.

“I'll enter the climax.” Racau Wonwoo.

“Let's reach the climax together.” Mingyu semakin kasar dan cepat menggerakan kepunyaannya di dalam Wonwoo. And their moan getting louder and louder.

“Oh God...”

Keduanya ambruk. Mereka mengambil nafas dalam-dalam. Peluh membasahi sekujur tubuh mereka. Kamar Mingyu yang semula beraroma woody dan mint itu kini tercampur dengan aroma cairan orgasme dari keduanya.

Mingyu mengubah posisinya menjadi telentang tanpa mengeluarkan miliknya dari lubang si lelaki yang lebih kurus. Dan Wonwoo dengan ke-impulsifan-nya naik ke atas tubuh Mingyu dan membuat keduanya kembali mengerang pelan, kemudian Wonwoo menidurkan kepalanya sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk Mingyu. Lelaki jangkung itu terkekeh dan mengusap punggung Wonwoo dengan lembut.

“Tired, hm?” Bisik Mingyu pelan, dan dibalas anggukan oleh Wonwoo.

“Kamu kasar banget.” Ujar Wonwoo, dan lagi-lagi membuat Mingyu tertawa kecil.

“Kamu yang minta loh tadi.” “Please fuck me harder...” Belum selesai Mingyu menirukan Wonwoo, mulut lelaki yang lebih besar itu segera dibekap oleh lelaki yang lebih kecil.

“Enak kan tapi?” Wonwoo masih sempat blushing saat Mingyu menanyakan hal itu.

“Enak.” Jawabnya singkat.

Mingyu menundukan sedikit kepalanya, memegang dahu Wonwoo, untuk kemudian ia kecup singkat, dan membiarkan lelaki itu untuk kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher miliknya.

“Untungnya Pak Umar salah kirim paket, ya.” Kekeh Mingyu. Wonwoo ikut terkekeh dan membuat hidungnya berkerut.

“Kamu pindah dong, aku pengen liat wajah kamu.” Ucap Mingyu.

“Kenapa emang wajah aku?” Wonwoo mengangkat kepalanya, menatap Mingyu sambil mengerjapkan matanya bingung.

“God... Why I've never seen a beautiful creature like this before?” Mingyu kembali mengecup bibir Wonwoo singkat.

“Ih...” Ujar Wonwoo.

“Kenapa?” Tanya Mingyu. Takut jika ia ada salah berbicara. Wonwoo terdiam sejenak.

“Deg-degan tau!” Dengus Wonwoo sambil menekuk bibirnya. Demi apapun, entah mengapa tiba-tiba saja rasa keinginan untuk memiliki Wonwoo muncul begitu saja di bemak Mingyu. Mingyu tidak ingin membagi lelaki ini dengan siapapun di luar sana. Segala sesuatu yang ada pada diri Wonwoo hanya boleh untuk Mingyu.

“Kamu tidur disini aja, aku mau peluk kamu seharian, gak boleh kabur, gemes banget.” Mingyu mendekap tubuh Wonwoo dengan erat sambil terus menciumi bibirnya.

“Untung aku typo ya nulis nomor kamarnya.” Ujar Wonwoo dengan cengirannya.

“Kalo nomor kamarnya kamar sebelah aku gimana?” Tanya Mingyu.

“Ya mainnya sama orang sebelah.” Jawab Wonwoo enteng dan membuat Mingyu mencubit hidungnya.

“Gak sih, kayaknya kalau orang lain yang dikirim paketnya, gak akan tuh dibuka-buka.” Sarkas Wonwoo.

“Ya kan aku kira paket aku, datengnya hari ini juga, kamu liat kan tadi yang dianter sama Pak Umar?” Wonwoo mengangguk.

“Tuh kan, padahal aku tuh udah nunggu itu paket selama seminggu, tadinya mau langsung aku buka kalau udah sampe, eh malah buka-bukaan sama kamu duluan.” Wonwoo menggigit bibir Mingyu pelan, karena ia sedikit merasa malu.

Hening sejenak.

“Kamu... Udah pernah... Having sex sebelumnya?” Tanya Mingyu hati-hati. Wonwoo menggelengkan kepalanya dengan matanya yang mengerjap.

“Gyu...” Sebuah erangan kembali terlontar dari bibir Wonwoo ketika Mingyu sengaja menggerakan pinggulnya, dan membuat kepunyaannya itu kembali berkedut.

“Abisnya kamu gemes banget, aku jadi pengen makan kamu terus.” Ucap Mingyu sambil mengelus punggung Wonwoo yang ada di atasnya itu.

“Jadi... Ini pertama kali?” Tanya Mingyu.

“Kalo sama orang lain, iya, ini pertama.” Jawab Wonwoo dengan wajahnya yang bersemu. Mingyu segera mengecup bibir ciptaan Tuhan yang menurutnya terlalu manis itu.

“Oh iya, kan biasanya using your finger ya?” Wonwoo mencubit bibir Mingyu, wajahnya sudah merah saat ini.

“Bisa gak sih gak bikin aku malu terus?” Ujar Wonwoo setelah melepas cubitannya. Mingyu tergelak melihat lelaki di atasnya itu merajuk.

“Padahal kamar atas bawahan, tapi gak pernah ketemu. Tau gitu dari awal disamper terus ke kamar kamu.” Wonwoo memutar bola matanya malas.

“Orang aku baru pindah 2 minggu yang lalu.” Ujar Wonwoo.

“Lah iya? Pantesan aja baru liat. Hehe, sering-sering main, ya.” Cengir Mingyu.

“Ngapain? Aku pusing ngurus skripsi.”

“Loh aku juga lagi skripsi.”

“Ya kan kita satu angkatan, bodoh.” Celetuk Wonwoo. Sepertinya Wonwoo menyebarkan energi positif bagi Mingyu, karena lelaki itu terus saja tertawa ketika menanggapi omongan Wonwoo. Belum lagi perasaannya yang selalu ingin mengecupnya ketika lelaki itu tertawa dengan hidungnya yang berkerut, ataupun saat ia sedang blushing karena malu.

“Kamu tiap hari main sama dildo apa gimana?” Wonwoo membelalakan matanya saat pertanyaan itu terlontar dari Mingyu.

“Gak lah. Kalau tiap hari, udah longgar kali punya aku.” Cibir Wonwoo.

“Distraksi dari stres aja.” Jawab Wonwoo. “Kalau lagi stres, bawaannya horny terus, gak tau kenapa. Apalagi cuaca hari ini mendukung.” Jawab Wonwoo.

“Ya udah, nanti kalau kamu stres, chat aku aja.” Goda Mingyu.

“Gimana mau chat?” Tanya Wonwoo.

“Oh iya belum tukeran WA, ya udah berarti sekarang harus tukeran, hehe. Siapa tau butuh sesuatu, butuh distraksi stres contohnya.” Sepertinya Mingyu tidak akan kehabisan akal untuk menggoda Wonwoo. Entah mengapa tiba-tiba ia merasakan adanya ketertarikan kepada lelaki dengan foxy eyes itu.

“Itu sih maunya kamu.” Cibir Wonwoo.

“Emang kamu gak mau? Lebih enak ada temennya kan?” Jemari Mingyu terarah pada pipi Wonwoo, mengusapnya dengan lembut.

“Gak ah, kalau terlalu sering nanti takut.” Ucapan Wonwoo itu membuat dahi Mingyu berkerut heran.

“Takut kenapa?” Tanyanya.

“Takut ada perasaan lain selain birahi.” Ujar Wonwoo. Mingyu terdiam sebentar, kemudian tersenyum. Jujur saja, itu sudah cukup membuat hati Wonwoo berdebar.

“Mau tanggung jawab kok aku kalo seandainya ada perasaan lain itu.” Mingyu masih setia mengusap wajah Wonwoo yang sekarang menjadi favoritnya, dan sepertinya akan selalu ia bayangkan sebelum ia tertidur.

“Dari sekarang aja aku mau tanggung jawab.” Wonwoo menaikan alisnya.

“Secepet itu?” Tanyanya.

“Iya, secepet itu. Aku yakin ini bukan nafsu aja, aku yakin afeksi yang aku punya lebih dari sedekar nafsu aja.”

“Terus?”

“Ya sayang gitu.” Wonwoo terdiam mendengar jawaban Mingyu. Dia hanya tidak paham mengapa lelaki di bawahnya itu bisa secepat itu jatuh untuknya.

“Kamu belum emang?” Tanya Mingyu.

“Belum.” Jawab Wonwoo jujur.

“Gak tau kalo besok.” Lanjut Wonwoo dan membuat Mingyu menangkup pipinya serta mengecupnya berkali-kali.

“Aku tungguin sampe besok.” Ucap Mingyu.

“Kalo besok perasaannya masih belum berubah gimana?” Tanya Wonwoo.

“Tunggu besoknya besok berarti.” Jawab Mingyu.

“Kalo masih belum juga?” Wonwoo sepertinya mulai senang menggoda Mingyu.

“Besoknya, besoknya besok. Pokoknya aku bakal tunggu terus keesokan hari esok, sampe perasaan sayang kamu ada buat aku.” Jawaban Mingyu itu membuat Wonwoo tertawa renyah. Senang merasa ada seseorang yang bisa memberikannya afeksi.

“Cium dulu.” Wonwoo mencibir lelaki yang ada di bawahnya itu.

“Cium...” Rengek Mingyu sambil menekuk bibirnya. Wonwoo tertawa kecil, dan ia mempertemukan kedua belah bibir mereka. Memejamkan mata, saling memagut lembut tanpa adanya nafsu, hanya terdapat kehangatan dan rasa kasih sayang yang mereka dapat dari tautan bibir mereka. Mingyu tersenyum disela permainan bibir mereka, ibu jarinya mengusap tengkuk Wonwoo dengan lembut.

“Pelan-pelan aja, ya?” Pinta Wonwoo yang membuat Mingyu bingung.

“Pastiin perasaannya, pelan-pelan aja. Gak ada yang tau ke depannya bakal gimana. Yang penting jalanin dulu aja. Urusan perasaannya bakal muncul atau nggak, masih tanda tanya. Aku cuma mau ngabisin waktu sama kamu dulu aja, biar aku tau jawabannya. Gak apa-apa kan?” Tanya Wonwoo.

“As long as we're together, it's okay, I'll wait.”

“Hehehe, makasih ya.” Ujar Wonwoo. Mingyu tersenyum, tangannya mengusap kepala Wonwoo lembut.

“Makasih juga, hehe.” Ucap Mingyu dengan cengirannya.

Mingyu mendekap tubuh Wonwoo dengan erat, sementara lelaki yang didekap memeluk pinggang lelaki satunya sambil menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Mingyu. Keduanya memejamkan mata mereka, ditengah hujan lebat, dibalik selimut, saling berpelukan dan menyalurkan kehangatan, yang anehnya, rasa hangat itu bukan hanya mereka rasakan saja melalui tubuh mereka, namun perasaan hangat itu menjalar hingga ke dalam hati mereka.

Beautiful Accident Pt.2

Mobil milik Mingyu dipenuhi oleh sexual tension diantara kedua anak adam itu. Padahal keduanya tidak melakukan apapun, hanya saling berbicara satu sama lain.

“Kakak, udah sering?” Tanya Zyra basa-basi, padahal dia tau kalau Mingyu udah pasti sering.

“Kalau saya bilang baru 2x, kamu percaya?” Tanya Mingyu dan membuat Zyra tersedak ludahnya sendiri.

“Gak lah!” Mingyu tertawa mendengar jawaban Zyra.

“Tapi emang baru 2x, Zyra. Beneran deh.” Netra sang gadis terbelalak.

Kim Mingyu? Baru 2x having sex? Zyra bener-bener gak nyangka. Gadis itu bahkan mengira kalau Mingyu having sex with different girl every week. Kayaknya dia aja yang berlebihan.

“Kamu sendiri?” Zyra berdehem ditanya seperti itu.

“Udah sering, ya?” Tanya Mingyu.

“Gak sering-sering amat, tapi pernah.” Jawab Zyra. Bohong banget. Entah sudah berapa mantan one night stand si gadis yang tidak sengaja bertemu di club yang sering ia kunjungi.

“Temen saya bilang kamu jago.” Oke, Zyra batuk-batuk waktu denger statement dari lelaki yang masih fokus menyetir itu.

“Temen kakak? Siapa?” Yang ditanya malah senyum.

“Siapa kak?” Zyra sangat penasaran.

“Seungcheol. Kamu tau kan?” Zyra terdiam, matanya mengedip beberapa kali, tidak percaya jika Seungcheol, mantan ons (terbaik) itu ternyata berteman dengan Mingyu.

Wajah Zyra dirasa menghangat ketika mendengar hal tadi. Entah kenapa dia ngerasa malu. Tapi Mingyu malah ketawa lihat ekspresi Zyra yang lagi malu.

“Will you prove it?” Tanya Mingyu sambil membanting stirnya ke kiri, apartement-nya. Zyra menaikan sebelah alisnya, dan tersenyum manis.

“I will.” Balas Zyra seduktif, tepat disebelah rungu si lelaki.

Untung saja Mingyu sudah sampai di parkiran apartementnya, jadi ia tidak usah menunggu lagi.

“Zyra...” Panggil Mingyu with his deep voice.

“Hm?” Balas Zyra sambil memperhatikan setiap inch wajah Mingyu yang menurutnya sangat indah dan tidak membosankan.

Mingyu tidak mengatakan apapun, dia malah mengulurkan tangannya dan kembali mengusap pipi Zyra dengan lembut. Zyra memejamkan matanya, merasa senang diperlakukan halus oleh Mingyu.

“Kiss it again.” Perintah Mingyu. Zyra tersenyum, lalu menciumi lagi jemari Mingyu. Tatapan matanya menatap Mingyu dengan sayu dan seduktif. Belum lagi gadis itu sengaja mengeluarkan suara-suara erotis yang membangkitkan gairah seorang Kim Mingyu.

Zyra memasukan jari telunjuk dan jari tengah Mingyu ke dalam mulutnya. She licks it, and occasionally suck it.

“Mmhh...” Zyra mengeluarkan erangan, meanwhile Mingyu sudah dibuat gila oleh gadis itu.

Dan entah bagaimana sekarang Zyra sudah terduduk di pangkuan Mingyu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga mereka bisa merasakan deru nafas satu sama lain.

“Ow... You getting hard, before the game even started.” Ujar Zyra sambil mengusap wajah Kim Mingyu. Ia merasakan sesuatu di bawah sana sudah mengeras.

Gadis itu masih saja terpana dengan ketampanan seorang Mingyu yang baginya tidak ada cela sama sekali.

Tanpa berbicara apapun, Mingyu mengusap pipi Zyra, lagi. Kemudian tangannya turun, mengusap tengkuk sang puan yang menjadi salah satu titik sensitifnya. Gadis itu menggelinjang ketika tangan Mingyu mengusapnya dengan lembut. Netra keduanya saling bertukar pandang, namun lama kelamaan, netra Mingyu semakin turun fokusnya dan berakir menatap bibir ranum sang gadis.

“Kiss me.” Bisik Zyra.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Mingyu menarik tengkuk sang gadis. Mempertemukan kedua belah bibir. He kiss her softly. Pada awalnya.

Mingyu menarik pinggang ramping Zyra. Kini tidak ada lagi jarak antara keduanya. Zyra mengalungkan tangannya kepada Mingyu. Sedangkan Mingyu masih saja mengulum bibir milik Zyra dengan ibu jarinya yang terus mengelus pipinya dengan lembut.

Permainan mulai memanas ketika Mingyu menggigit bibir milik Zyra. Gadis itu membuka mulutnya, memberikan akses bagi sang lelaki untuk menjelajah di dalam sana.

Suara kecapan memenuhi ruang sempit itu. Selama 15 menit mereka masih saja betah saling merasakan bibir masing-masing, bertukar saliva hingga keduanya kehabisan nafas. Zyra membuka mulutnya, menghirup oksigen sebanyak mungkin.

Netra keduanya kembali bertemu pandang, lalu mereka saling tersenyum satu sama lain. Zyra merapikan rambut Mingyu yang sedikit berantakan.

“Mau lagi.” Kata Mingyu yang dibalas kekehan oleh Zyra.

“I never imagined if I am sitting on the hottest guy in our major, and kissing each other in his car.” Mingyu tertawa mendengar pernyataan dari Zyra.

“So, you had a crush on me, right?” Tanya Mingyu.

“For fuckin 1 year.” Lagi, Mingyu terkekeh saat mendengar jawaban Zyra.

“Saya bakal bikin kamu seneng. I'm yours.” Wajah Zyra serasa menghangat. Dia benar-benar gak nyangka kalau Kim Mingyu jadi miliknya. Beneran. Tau kayak gitu, mungkin gadis itu akan melakukan hal ini dari dulu.

Setelahnya, kedua insan itu kembali saling melumat. Kali ini lebih panas. Tangan Mingyu mulai turun ke bawah, mencari dua gundukan kenyal milik sang puan. Zyra mengerang, when Mingyu squeeze her boobs softly. Mingyu treat her very well. Setidaknya untuk 40 menit awal. Semakin lama, remasan itu semakin mengencang. Zyra menarik rambut Mingyu, menahan segala lenguhannya. Mingyu tersenyum disela-sela aktivitas cumbuannya karena mendengar lenguhan yang akhirnya keluar dari bibir Zyra.

Mingyu melepas tautan bibir keduanya. Zyra mendengus sebal, meanwhile pihak lelaki hanya tersenyum. “It'll be more comfortable if we do this in my room. Lebih luas dan leluasa.” Wajah Zyra blushing setelah mendengarnya.

“Why are you so adorable when you blushing?” Mingyu pinch her cheek, and gently rubbed her pinkish lips.

“Jadi tadi gak lucu?” Zyra membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Mingyu menggeleng.

“Tadi kamu... Wild...” Ujar Mingyu dan membuat Zyra tersenyum dengan sebelah alisnya yang terangkat. Bibirnya mengulum senyum. Dengan nakalnya, Zyra menggesekan bagian bawahnya dengan tonjolan dibalik celana Mingyu yang semakin mengeras.

“Zyra... Ayok kita ke kamar saya sekarang juga.” Mingyu segera membuka pintu mobilnya, diikuti oleh Zyra. Lelaki itu menarik pergelangan tangan Zyra. Sementara sang gadis hanya tersenyum karena hal yang selama ini ia inginkan bisa terwujud.

Aroma maskulin khas Mingyu menyeruak ketika memasuki kamarnya yang serba abu-abu. Zyra melangkah ke dalam kamarnya, sementara netranya menelusuri setiap sudut kamar itu. Kamar Mingyu terbilang rapi untuk ukuran seorang pria. Mata Zyra berhenti menelusuri ketika pandangannya beradu dengan si pemilik kamar yang nampaknya sudah siap 'menerkamnya'.

Seorang Kim Mingyu, dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga tiga per empat, dengan rambutnya yang sedikit berantakan, dan jangan lupakan, urat-urat di lengan dan lehernya, make him so damn hot.

Mingyu menghampiri Zyra, ia mendudukan Zyra di atas pangkuannya lagi. Matanya menelusuri setiap inch wajah Zyra, membuat yang ditatap lagi-lagi merasa malu hingga membuat wajahnya bersemu. He smirk, ketika Zyra bersemu. Lelaki itu mengusap wajah sang puan dengan lembut, kemudian mengusap lehernya yang berhasil membuat Zyra menggelinjang. And, Mingyu kiss her lips again. He close his eyes, and gently suck her lips. Tangannya mendekap tubuh sang gadis, hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Mingyu mengusap punggung sang gadis, sementara Zyra menarik pelan rambut Mingyu. Selama sepuluh menit, permainan bibir mereka masih 'aman'. But Mingyu want more. He bite her lips, asking for access to play his tongue there. Zyra tidak ingin kalah, gadis itu menarik tengkuk Mingyu, memperdalam cumbuan mereka. Suara lenguhan dan kecapan memenuhi ruangan tersebut. Hingga 20 menit berlalu, Zyra melepas tautannya. Keduanya mengambil oksigen sebanyak mungkin. Namun, Mingyu yang tidak sabar kembali mengecupi leher jenjang Zyra. Menghirup aroma peach yang menguar dari tubuh sang puan. Ada tiga tanda kemerahan di leher Zyra. Mingyu tersenyum melihat Zyra yang mengatupkan matanya, gadis itu terlihat menikmati perbuatan Mingyu.

Tangan Mingyu kini semakin bawah, hingga akhirnya ia meraba dada milik Zyra, and he squeeze it (again). For now, he squeeze it rough. Mingyu kembali mengulum bibir Zyra. Namun membiarkan sang puan mendominasi permainannya. Zyra menarik tengkuk Mingyu, memperdalam ciumannya. She groaning when Mingyu's hand play her nipple yang masih dibalut baju kaos putih yang tipis.

“It's annoying.” Ujar Mingyu, kemudian ia melepas kaitan jumpsuit milik Zyra yang dirasa mengganggu aktivitasnya.

“Bagus banget kamu pake jumpsuit, so I can easily open this.” Kini sang gadis hanya menggunakan kaos putih ketat tipisnya dan dalaman yang berwarna hitam.

Zyra sudah sering melakukan hal ini dengan orang lain, but she still feel weird when she do this with his crush. Entahlah, she feel shy when Mingyu staring at her body.

Mingyu kembali menarik tengkuk Zyra, kembali melumatnya, kembali saling bertukar saliva. Keduanya terhanyut oleh permainan bibir yang mereka lakukan. Mingyu kembali menelusuri tubuh Zyra menggunakan tangannya. Ia kembali memainkan nipple sang gadis yang sudah menegang. Sementara tangan satunya ia gunakan untuk mengusap paha mulus Zyra. Gadis itupun tidak ingin kalah, dia terus menggesekan miliknya dengan milik sang lelaki. Tangan jahilnya kini mulai mengelusnya dari balik celana, and then squeeze it roughly, membuat Mingyu mengeluarkan lenguhannya untuk pertama kali. Zyra tersenyum disela cumbuannya. And his groan make her become wilder and wilder. Zyra melepas resleting celana Kim Mingyu, and yeah... She rubbed and squeeze it again, and wilder, she shake it slowly. Mingyu melepas tautan bibirnya, and he moaning.

For God's sake, Zyra dare to swear, kalau Mingyu's moan adalah alunan yang paling indah yang pernah ia dengar, and it's make the girl wilder and wilder.

“Whoopsie... You're already wet, Mr.Gyu?” Kocokan Zyra melambat saat merasa tangannya lengket.

Mingyu memejamkan matanya, dan ia justru merebahkan dirinya sendiri, membiarkan Zyra bermain-main dengan miliknya yang sudah menegang sempurna.

“Belum apa-apa padahal, masih pemanasan.” Mingyu tidak menanggapi ucapan Zyra, terlalu pusing dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh si gadis. And finally, Zyra take off his underwear, and again... She's blushing when see it.

“Don't just stare, do whatever you want with mine. I'm yours tonight.” Tangan Zyra terhenti saat mendengar ucapan Mingyu.

“Just tonight?” Zyra stare at Mingyu. Yang ditatap terkekeh mendengarnya.

“Dan malam-malam berikutnya, I'm yours.” Zyra tersenyum. Tidak menyangka jika malam ini bisa menjadi malam yang sangat menyenangkan. Ia harus berterima kasih kepada Indira yang telah mengajaknya menonton festival, dan meninggalkannya bersama crush-nya itu yang berakhir mereka bermalam bersama di apartemen sang pria.

And Zyra continued her game. Shake it harder, and squeeze it rough. Mingyu hanya bisa melenguh. Pria itu menyetujui perkataan Seungcheol, jika Zyra adalah seorang 'pro player'. Dari mulai caranya memberikan sebuah ciuman, hingga bisa membuat Mingyu cum lebih dulu hanya dalan waktu yang terbilang sebentar. She's really good at teasing, seperti sekarang. Ketika miliknya twitching, dia memperlambat kocokannya, membiarkan Mingyu mengerang, and begging to her. But, seorang Kim Mingyu dengan ego serta gengsinya yang tinggi tidak akan melakukan itu. Lelaki itu mengerang frustasi, dan akhirnya mencengkram bahu sang puan dan membuatnya berada di bawah kungkungannya.

“Are you mad, hon?” Tanya Zyra sambil menatap wajah Mingyu yang berada di atasnya. Dia tau kalau Mingyu pasti kesal. Siapa yang tidak kesal ketika dirinya sudah berada di puncak, namun justru dihempaskan begitu saja, begitulah sekiranya perasaaan Mingyu sekarang.

“I mad.” Balas Mingyu. Dan tanpa aba-aba, dia memasukan miliknya into Zyra's hole. Gadis itu sedikit tersentak karena Mingyu yang memasukannya begitu saja dengan kencang.

“Shit...” Umpat Zyra, ketika dinding vaginanya meremas kuat milik Mingyu di dalam sana. Tangannya mencengkram sprei abu-abu milik Mingyu, kakinya bergerak gelisah akibat pergerakan Mingyu. Kamar Mingyu dipenuhi oleh suara-suara erotis serta suara kulit mereka yang saling menyatu. Zyra moaning Mingyu's name and make him even harder to fuck her. Mingyu like it, when his partner call his name in the middle of their sex activity. Apalagi suara Zyra yang sudah serak karena sibuk berteriak saat festival, and it's make her voice even sexier for Mingyu. Dan sekarang, gantian, kepunyaan Zyra start twitching. Mingyu dapat merasakannya, karena milik Zyra itu mencengkram kepunyaannya semakin keras. Mingyu tersenyum miring. Ia menurunkan kecepatannya, dan itu berhasil membuat Zyra mengerang frustasi.

“It's not good, right?” Mingyu teasing her.

“I'm sorry, but please move harder.” Pinta Zyra dengan suara seraknya.

“Not that easy, princess. Begging to me, again.” Perintah Mingyu.

“For God's sake, I begging to you Kim Mingyu, please... Please move harder. I'm fuckin frustation, please move harder.” Suaranya sedikit bergetar ketika meminta kepada Mingyu. Dan lelaki itu tersenyum puas.

“Inside or outside? Saya gak pake pengaman.” Tanya Mingyu.

“Diluar. Masih masa subur.” Mingyu mendesah, sedikit kecewa, namun ia juga tidak ingin mengambil resiko yang besar.

“Gyu... Move it harder, please...” Lagi, Zyra memohon kepada Mingyu. Sang pria tersenyum, sambil menatap gadisnya yang dipenuhi peluh.

Mingyu move it again, harder and harder. Mingyu kiss her lips, while his hand keep squeeze and pinch her nipple. Zyra menguasai permainan bibir mereka. Gadis itu melumat bibir Mingyu dengan kasar, bite his lips, and play with his tongue, sesekali gadis itu menghisapnya dengan kuat.

And finally, keduanya sampai di titik puncaknya, keduanya mencapai klimaks, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh mereka. Mingyu memilih untuk berbaring di sebelah Zyra.

“I'm tired.” Ujar Mingyu dengan suaranya yang serak.

“Payah.” Ejek Zyra.

“Aku abis ngurus festival, Zyra. Kalau gak abis ngurus apa-apa sih, lima ronde juga kuat.” Zyra terkekeh mendengarnya.

“I'll waiting, I want you to prove it.” Tantang Zyra.

“Let's prove it, later.” Mingyu.

Hening. Hanya terdengar suara deru nafas dari kedua insan tersebut. Keduanya bergulat dengan pemikirannya masing-masing. Mingyu dengan pikiran mengenai Zyra yang pernah melakukan ini dengan siapa saja, dan sang gadis dengan pikirannya mengenai ucapan Mingyu. Zyra takut jika Mingyu hanya akan menjadi miliknya malam ini saja. Zyra takut jika hubungannya hanya sebatas Mingyu yang menginginkan tubuhnya saja, dan ketakutan-ketakutan lainnya mengenai hubungan mereka.

“Kak...” Panggil Zyra dengan suaranya yang semakin serak.

“Hm?” Jawab Mingyu, netranya masih terpejam.

“Soal omongan kakak tadi...” Ucapan sang gadis menggantung. Mingyu membuka matanya, melirik sang gadis.

“Am I... Yours?” Suara Zyra mengecil, takut dengan jawaban Mingyu. Kini Mingyu mengubah posisinya, memiringkan badannya agar bisa menatap Zyra yang terlihat serius, namun sarat akan ketakutan.

“Just for tonight.”

Hati Zyra mencelos. Dia sudah sering melakukan one night stand yang tidak melibatkan perasaan sama sekali, harusnya dia terbiasa, dan tidak merasa sakit seperti sekarang. Zyra padahal sudah terbiasa melakukan sex dengan orang lain, dan setelahnya bersikap seolah tidak mengenal, harusnya Zyra juga bisa seperti itu, karena dia sudah terbiasa. Tapi, mengapa ia tidak bisa menganggap kegiatannya dengan Mingyu itu hal yang biasa, sebagaimana ia dengan partnernya yang lain? Mengapa rasanya sakit ketika Mingyu mengatakan jika dirinya menjadi milik sang pria hanya untuk malam ini saja? Rasanya Zyra tidak ingin malam ini berakhir jika memang hanya malam ini saja ia harus menjadi milik seorang Kim Mingyu. Ia sudah memastikan jika ia tidak bisa merasa biasa saja kepada sosok itu setelah kejadian malam ini.

“Kak...” Lirih Zyra. Air matanya jatuh tanpa izin. Gadis itu segara memunggungi Mingyu, tidak ingin lelaki itu melihat.

“Zyra?”

Shit. Zyra tidak ingin mendengar Mingyu memanggilnya. Tidak mau. Ia akan mengingat kejadian tadi, dimana Mingyu call her name in the middle of his moan.

“I'm sorry...” Mingyu memeluk Zyra dari belakang. Menenggelamkan wajahnya dibalik bahu sang gadis.

“Maaf kalau becanda saya keterlaluan.” Ujar Mingyu.

“Zyra, I wanna see your face.” Zyra hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Ia masih menangis.

“Please... I'm begging to you, I wanna see my girlfriend face.” Zyra terdiam sejenak. Apakah rungunya tidak salah mendengar? Atau apakah Mingyu tidak salah mengucap?

“Zyra... I already say it, you're mine, and I'm yours. Bukan untuk malam ini, tapi malam-malam seterusnya. Tolong balik badan, saya maunya liat wajah kamu, bukan punggung kamu.” Kata Mingyu tepat di sebelah indra pendengeran sang gadis.

Zyra membalikan badannya. Netranya terus menatap Mingyu, menelisik apakah disana terdapat kebohongan. Yang ditatap malah tersenyum, terlampau manis, hingga memperlihatkan taringnya. Kuasa lelaki itu terulur, merapikan rambut sang gadis yang berantakan. Sementara Zyra terus memperhatikan Mingyu.

“I'm yours, Zyra. Perlu saya ulang berapa kali lagi biar kamu percaya? I'm totally yours, and you're totally mine. Boleh saya minta sesuatu?” Tanya Mingyu, Zyra tidak menjawab, masih berada dalam mode kaget.

“No one can touch you, except me. I don't wanna share you with other guy, because when you're mine, you're totally mine and no one can touch you like I touch you. Call me possesive but this is me, Kim Mingyu, who want you fully mine, and I just don't want you fall into another guy, because, once again, you're Kim Mingyu's girlfriend, you're Kim Mingyu's, you're fully mine. Can you promise?” Tanya Mingyu dengan suaranya yang kini melembut. Netra yang terus menatap Zyra tanpa melepasnya sedikitpun, dan tangan yang terus mengusap pipi sang gadis pelan, seakan gadisnya itu merupakan barang rapuh yang akan hancur begitu disentuh.

Zyra malah menangis semakin kencang mendengar ucapan Mingyu, gadis itu terlalu senang sampai ia mengeluarkan air mata dengan deras. Ia tidak menyangka jika Mingyu, crush-nya selama satu tahun itu benar-benar menjadi miliknya.

“I promise.” Jawab Zyra sembari sesenggukan. Mingyu terkekeh. Ibu jarinya tergerak untuk mengusap air matanya.

“Kak, I wanna ask you something.” Mingyu hanya mengangguk, matanya masih betah menatap gadisnya.

“Kakak, mau jadi pacar aku gak cuma karena birahi aja kan?” Mingyu tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar pertanyaan Zyra.

“Nggak lah, Zyra. Kamu tau kalau saya have a crush on you since orientation?” Mata Zyra membulat mendengarnya.

“Bener-bener gak tau ternyata. Tapi ya emang gak ada yang tau sih. Pokoknya ya gitu, I have a crush on you, for fuckin 1 years, just like you.” Zyra masih terkejut dengan pernyataan Mingyu barusan.

“Kenapa saya gak deketin kamu? Karena waktu itu banyak rumor kalau kamu itu lagi deket sama anak jurusan teknik, Wonwoo? If I'm not mistaken.” Zyra tertawa kecil.

“He's my ex, waktu SMA. Tapi banyak yang salah sangka, since I still close with him and masih sering jalan bareng juga.” Ucapan Zyra itu membuat Mingyu menekuk bibirnya.

“God... You're so cute when sulking, I don't want other girl see this side of you.” Ujar Zyra sambil mencubit pipi Mingyu gemas.

“Tapi, kamu gak akan jalan lagi sama dia kan?” Tanya Mingyu.

“Masihlah.” Mingyu semakin menekuk bibirnya.

“Argghh... I'm going crazy.” Zyra mengecup bibir Mingyu sekilas.

“Nggak, aku gak akan jalan lagi sama dia. I'm totally yours.” Ucap Zyra sambil tersenyum, dan menular kepada Mingyu.

“But, you're also totally mine, okay? I don't want other girl see you sulking, I really don't want.” Mingyu tertawa mendengarnya.

“Jadi, aku boleh senyum-senyum ke mereka asal gak cemberut aja?” Goda Mingyu.

“Ih...” Ujar Zyra kesal dan membuat Mingyu tertawa lepas.

Ruangan itu kembali hening. Keduanya memejamkan netra mereka. Selama lima menit, hanya ada suara deru nafas dan juga air condiotioner yang memenuhi ruangan tersebut. Akhirnya Zyra membuka matanya, menatap lelaki yang tidak ia sangka akan menjadi kekasihnya setelah penantiannya selama satu tahun. Tangannya terulur untuk membenahi rambut Mingyu, kemudian tangannya turun lagi, membelai pipi Mingyu dengan lembut. Netra sang pria terbuka, they're staring each other for two minute.

“Zyra, kamu ngantuk?” Tanya Mingyu. Sang gadis menggelengkan kepalanya pelan.

“Belum. Masih terlalu seneng, dan gak nyangka aja because this accident.” Jawab Zyra.

“A beautiful accident.” Jelas Zyra lagi dan membuat pria di hadapannya itu tersenyum.

“I wanna have some conversation with you, since kita baru aja saling mengenal, dan belum tau seluk beluknya secara detail.” Ucapan Mingyu itu membuat Zyra terdiam sejenak. Benar juga, keduanya belum mengenal satu sama lain, mereka tiba-tiba berpacaran hanya karena have a crush for each other dan berakhir saling menyatukan tubuh mereka di apartemen Mingyu.

“Kamu boleh gak jawab pertanyaan saya, tapi...” Mingyu menggantung ucapannya.

“Tapi?” Tanya Zyra.

“Tiap kamu gak jawab, you must give me a kiss.” Zyra terkekeh mendengar tawaran Mingyu, dan menyetujuinya.

“Itu berlaku buat kamu juga.” Ucap Zyra.

Ruangan tersebut kembali lengang, menyisakan suara pendingin ruangan yang membelai tubuh keduanya dibalik selimut.

“Aku udah tau kamu sering having sex, udah berapa kali?” Tanya Mingyu. Zyra diam. Enggan menjawabnya.

'Cup'

Satu kecupan mendarat di bibir Mingyu. Zyra hanya tersenyum lebar setelahnya.

“Kakak, hobinya apa selain fotografi?” Tanya Zyra. Dia lebih memilih topik yang ringan, karena... Entahlah, dia hanya ingin mengenal sosok yang selalu ia dambakan itu. Dia tidak merasa harus mengetahui segala hal tentang masa lalu lelakinya.

“Ehm... Tidur.” Jawab Mingyu.

“Aku lebih jago gak dari mantan-mantan kamu? Atau dari Seungcheol?” Zyra menghela nafasnya pelan.

'Cup'

Satu kecupan kembali diberikan oleh Zyra.

“Oke, aku harus sering latihan berarti.” Mingyu tau arti kecupan Zyra.

“Dih, kan pacarannya juga bukan buat lepas nafsu birahi aja.” Kata Zyra dan membuat Mingyu mengusak rambutnya.

“Cita-cita kakak apa?”

“Pengen punya clothing brand.” Jawaban Mingyu membuat Zyra mengerutkan dahinya.

“Kenapa gak masuk fashion design?” Tanya Zyra.

“Baru kepikirannya tuh akhir-akhir ini, Zyr. Aku aja baru ngeh if I have interest at fashion.” Jawab Mingyu.

“Seriously? Even aku aja udah ngeh kalau kakak emang fashion enthusiast dari awal aku liat kakak, loh.” Mingyu terkekeh.

“Oh iya? Emang kadang orang lain bisa lebih ngerti dan paham diri kita.” Balas Mingyu.

“Kamu sendiri? Cita-citanya apa?” Tanya Mingyu.

“Apa aja asal dibidang marcomm. Tapi sebenernya pengen jadi copywriter sih.” Jawab Zyra.

“Cocok. Caption di instagram kamu kan selalu bagus-bagus tuh.” Zyra menaikan alisnya.

“Kok tau? Kita kan gak follow-an?” Tanya Zyra. Mingyu menggaruk tengkuknya.

“Hehe... Suka ngestalk.” Jawab Mingyu dengan cengirannya yang khas, taringnya yang mencuat, semakin membuat lelaki itu terlihat menggemaskan.

“Dasar stalker.” Cibir Zyra sambil mencubit pipi Mingyu.

“Emang kamu gak pernah stalk aku?”

“Ini pertanyaan beneran atau basa-basi?” Tanya Zyra.

“Beneran dong.” Jawab lelakinya.

'Cup'

Zyra memberikan cengirannya setelah mengecup bibir Mingyu untuk kesekian kalinya karena enggan menjawab.

“Cih dasar stalker.” Mingyu membalikan perkataan Zyra sebelumnya.

“Tapi kak, kalau nanti kakak beneran punya brand, biar aku yang jadi marcomm-nya ya, hehe. Seru deh kayaknya. Nanti aku urus-urusin cara buat naikin brand awareness-nya, nyari brand ambassador, analisis targetnya, consumen behavior di era modern ini. Ih seru banget.” Mingyu tertawa mendengar gadisnya berceloteh riang. Bisa ia pastikan jika ia ingin selalu mendengarkan celotehan itu. Dia rasa, dia tidak akan bosan untuk mendengarkan celotehan Zyra mengenai branding dan segala tools di bidang komunikasi pemasaran itu.

Mingyu juga ingin selalu melihat, mata Zyra yang berbinar ketika menceritakan segala hal yang disukainya seperti sekarang ini. Jika sedang seperti ini, Zyra terlihat seperti remaja biasa yang memiliki banyak mimpi yang ingin ia raih bagaimanapun caranya. Ada sebuah kobaran ambisi dalam matanya itu.

“Kita harus nikah deh, Zyra.”

Gadis yang tadinya bersemangat menceritakan impiannya itu tiba-tiba bungkam diakibatkan oleh satu kalimat yang diucapkan oleh Mingyu tadi. Lagi-lagi wajahnya bersemu.

“All of sudden?” Tanya Zyra, bingung, namun juga senang.

“Biar aku bisa wujudin impian aku tadi bareng kamu. Aku yang punya brand-nya, kamu bagian branding-nya, cocok 'kan?” Wajah Zyra semakin memanas mendengar penjelasan Mingyu. Namun akhirnya gadis itu tersenyum dan kembali mencium bibir Mingyu cukup lama.

“Ini jawaban pertanyaan aku?” Tanya Mingyu, lagi. Zyra tertawa kecil. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. “Kamu mikir... Kita gak cocok?” Tanya Mingyu ragu.

“We don't know, right? Kita gak tau apa semesta berbaik hati ke kita atau nggak. Kita gak tau apa semesta masih ngizinin kita bersatu atau nggak di masa yang akan datang nanti. Kita gak tau itu, Kak. Semesta dengan segala misterinya, dan kita sebagai manusia cuma bisa menerka dan berjuang buat realisasiin semua yang kita inginkan, dan berjuang buat realisasiin masa depan kita. Entah apa yang bakal jadi jawaban buat masa depan kita nanti. Kalau kita emang ditakdirin semesta buat bareng terus dan wujudin impian kita, harus banyak bersyukur, karena semesta berpihak kepada kita.” Jelas Zyra. Mingyu menatap gadisnya penuh kasih sayang, seakan hanya ia satu-satunya perempuan di hidupnya. Hiperbola memang, tapi begitulah sekiranya arti tatapan Mingyu kepada Zyra saat ini.

“Kalau semesta gak biarin kita bareng?” Zyra senyum waktu mendengar pertanyaan Mingyu, ada sedikit perasaan takut di dalam dirinya, jika pertanyaan itu menjadi kenyataan.

“Rasanya aku pengen cium kakak aja, karena gak sanggup buat jawabnya, apalagi kalau sambil dibayangin.” Ucap Zyra. “Tapi, aku milih buat jawab aja.” Lanjutnya.

“Kalau emang kita gak ditakdirin buat barengan, harus bersyukur juga. Kita disuruh melepaskan sesuatu yang baik, buat mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi buat kita.” Ucapan Zyra itu membuat Mingyu semakin kagum dengan gadisnya, dan semakin ingin memperjuangkannya, ingin memberi bukti kepada semesta, jika mereka berdua tidak usah dipisahkan lagi.

“Udah ah, masa baru jadian udah ngomongin tentang perpisahan segala.” Kata Mingyu. Jemarinya sibuk memberikan belaian di surai hitam gadisnya.

“Aku juga gak mau sih, kak. Tapi... In case hal yang gak ngenakin itu kejadian sama kita, kakak harus tau, if you're the best memory for m that I'll never forget.” Tukas Zyra.

“Udahlah kamu tuh lebih cocok jadi penulis novel-novel teenlit aja.” Ucapan Mingyu itu membuat Zyra tertawa kecil mendengarnya.

“Kalau aku jadi penulis novel, gak bisa kerja bareng dong? Kan gak nyambung kerjaannya, kakak punya clothing brand, sedangkan aku penulis novel.”

“Cocok aja kok, asalkan itu kamu, pasti cocok kalau dipasanginnya sama aku.”

“Ew... Omongan kakak tuh lebih cringe daripada omongan-omongan buaya lainnya.” Sekarang giliran Mingyu yang tergelak mendengar cibiran Zyra.

“Zyra, kamu pernah kepikiran gak bakal pacaran sama aku?” Pertanyaan Mingyu itu dibalas gelengan oleh Zyra.

“Nggak sama sekali. Aku pikir adore you in the silent tuh udah cukup gitu loh, since kakak dikelilingin banyak cewek cantik kan, aku sadar diri aja buat mundur duluan.” Mingyu mencubit pipi Zyra.

“You're the prettiest for me.”

“Tuh kan, omongan buaya lagi. Pantes aja banyak yang baper.”

“Aku gak pernah ngomong gitu ke cewek lain. Aku berani sumpah deh.” Zyra menganggukan kepalanya, terkekeh geli melihat Mingyu menangapi candaannya dengan serius. Kemudian Zyra kembali berceloteh mengenai dirinya, karena banyaknya ketidak tahuan mereka berdua terhadap satu sama lain. Hitung-hitung sharing information.

“Aku lebih suka makan di angkringan, atau di nasi goreng abang-abang pinggir jalan.” Ucap Zyra tiba-tiba. Mingyu menatapnya heran.

“Aku suka warna pink. Aku lebih suka hujan dibanding panas. Aku lebih suka makanan manis dibanding asin. Aku lebih suka es krim vanilla dibanding coklat. Aku suka baca novel dan nonton film, tapi kalau ada film yang diangkat dari novel, aku prefer novelnya. Aku lebih suka nonton film psychological-mystery dibanding romance. Aku lebih suka malem dibanding siang. Aku suka tiramisu. Aku suka caramel macchiato. Aku suka wangi hujan. Aku suka aroma buku baru. Aku gak suka nanas. Aku gak suka jeroan. Aku gak suka apalagi, ya? Oh gak suka dibohongin.” Zyra menghela nafasnya setelah mengucapkan segala informasi basic mengenai dirinya.

“Ada lagi? Biar aku tau kamu lebih dalem lagi.” Tanya Mingyu yang selalu senang mendengarkan celotehan kekasihnya.

“Oh iya, ini mungkin bisa bikin kamu kesel. Aku anaknya moody, gak sering. Tapi kalau lagi moody, lebih baik kamu gak usah samperin aku, kena marah terus nanti.” Jelas Zyra.

“Udah? Sekarang giliran aku, ya!” Ujat Mingyu.

“Aku suka makan dimana aja, asalkan bareng kamu. Aku suka warna apa aja, soalnya kamu cocok pake warna apa aja. Aku juga suka hujan, soalnya kamu suka hujan juga. Dan kalau lagi hujan, enak dipake cuddle, hehe. Aku suka makanan manis, asin, pedes, tapi aku lebih suka makan kamu.” Kepala Mingyu mendapat geplakan dari Zyra, sedangkan sang pria hanya tertawa.

“Yang serius ih.” Zyra mencubit pinggang Mingyu yang tidak terbalut sehelai benangpun.

“Oke serius.” Kata Mingyu.

“Tapi beneran deh, aku mah suka apa aja, paling yang gak disuka ya ketinggian aja.” Ucapnya.

“Ih yang detail aja, biar aku tau tentang kamu juga.” Rengek Zyra.

“Dari yang jeleknya aja dulu lah, ya.” Mingyu memberi jeda untuk omongan berikutnya.

“Aku orangnya cemburuan. Aku orangnya gampang marah. Kalau aku lagi marah, aku suka diemin semua orang. Aku childish. Sisanya aku gak tau apa, mungkin kamu bakal tau setelah kita ngabisin waktu bareng-bareng.” Ujarnya.

“Oke, sekarang sesuatu yang aku suka. Aku suka fotografi. Aku suka hunting tempat. Aku suka kenalan sama orang baru. Aku suka kegiatan yang aktif. Aku suka jalan-jalan. Aku suka Zyra.”

Tiga kata terakhir sukses membuat Zyra memalingkan wajahnya karena terlalu malu. Wajahnya terasa sangat panas, padahal AC di ruangan itu menyala. Mingyu tertawa melihatnya. Merasa gemas dengan puan pemilik hatinya itu.

“Kak...” Panggil Zyra, suaranya menggantung.

“Kenapa?” Tanya Mingyu sambil menatapnya.

“Tolong jawab jujur banget.” Zyra kembali mengambil jeda. “Do you really love me, right? Not because this beautiful accident?” Zyra hanya ingin memastikan kembali perihal perasaan Mingyu untuknya merupakan bentuk sayang yang sebenarnya, bukan hanya karena tubuhnya semata.

“Kazyra Adeeva.”

Zyra really want to record it. When Mingyu call her full name with his deep voice. She definitely will repeat it for every fuckin night before she fall asleep.

“I love you, I really do.” Ucap Mingyu. Lelaki itu menarik gadisnya ke dalam pelukannya, dan mencium puncak kepalanya lama. “Dan perlu kamu tau, aku sayang kamu not because this accident, or just because your body, or because you're a pro player.” Mingyu terdiam sejenak, dadanya sedikit bergetar, tanda jika gadisnya itu terkekeh. “I love you at all condition. I love you when you smile. I love you when you talk to me. I love you when you're blushing because all of my cheesy words. I love you when you stare at me. I love you, because you're Zyra. I love you and I really do.” Zyra kembali blushing, untungnya lelakinya itu tidak dapat melihatnya.

“I love you too, and I really mean it.” Zyra menenggelamkan kepalanya dibalik dada Mingyu. Kuasa sang pria terus mengusap rambut gadisnya dengan lembut. Mingyu terus mencium puncak kepala Zyra. Menghirup aroma almond and peach yang menguar dari rambutnya.

“Ada satu hal lagi yang aku suka.” Kata Mingyu.

Zyra menenggakan kepalanya, menatap Mingyu dengan penasaran.

“Your aroma. Kamu selalu wangi peach, seger aja gitu tiap ngendusnya.” Ujar Mingyu.

“Soalnya shampo aku emang arima almond and peach, terus parfum aku juga aroma peach, sabun mandi aku juga, sampe body lotion, sama hand cream juga aromanya sama, hehe.” Zyra memberikan cengirannya. Mingyu selalu merasa gemas dengan segala tingkah Zyra.

Lelaki itu mengecup bibir sang puan.

“Aku.” Satu kecupan.

“Sayang.” Satu kecupan lagi.

“Kamu.” Dan lagi. Namun bukan sekadar kecupan. Mingyu melumat bibir Zyra perlahan dan lembut. Kali ini lumatannya itu mengatas namakan kasih sayang, bukan birahi semata.

“Ayok tidur. Aku mulai ngantuk.” Ucap Zyra yang sudah mengedipkan matanya berat.

Mingyu harus menahan dirinya agat tidak menghujani kekasihnya itu dengan kecupan, karena jujur saja, ia juga sudah mulai mengantuk.

“Nice dream, Gyu.” Ujar Zyra.

“Sayang dong panggilnya.” Pinta Mingyu. Zyra memutar bola matanya.

“Geli ih.” Cibir Zyra.

“Yaudah aku aja.” Ucapnya.

“Nice dream, mine.” Bola mata Zyra membelo, dan sedetik kemudian wajahnya lagi-lagi kembali bersemu entah untuk keberapa kalinya.

“I'll call you mine, and I want people know the truth.” Zyra selalu saja jatuh untuk segala perkataan yang keluar dari bibir manis seorang Kim Mingyu. Dan dia akan selalu berharap jika omongan-omongan manis itu hanya ia yang boleh mendengarnya.

“Sleep well...” Zyra menggantungkan omongannya.

“Mine.”

Dan akhirnya Mingyu mendekap tubuh Zyra dengan erat, memberikan kehangatan serta menyalurkan afeksi. Setelah itu keduanya saling memejamkan mata, karena terlalu lelah dengan segala kejadian dan 'aktivitas' yang mereka lalui.

Beautiful Accident

🔞 Mature content, if you're underage, just skip this. 📍 Bandung, West Java

“Nanti temenin ya nonton festival-nya, please banget, gue beliin tiketnya.” Entah untuk yang ke berapa kalinya Indira merengek kepada temannya untuk menemaninya menonton festival musik yang akan diadakan minggu depan di Dago.

Zyra, selaku teman yang terus saja dimintainya merasa jengah, lantaran dia gak begitu hafal lagu-lagu Indonesia.

“Oke, waktunya gue kasih paksaan terakhir kalinya.” Zyra terlihat tidak peduli dengan omongan Indira.

“Kak Mingyu ketuplak festival itu.” Zyra yang tadinya berjalan mendahului Indira, kini menghentikan langkahnya. Indira tersenyum penuh kemenangan.

“Mau gak? Dia pasti ada disana. Pasti.” Tambah Indira.

“Kasih tau band-nya apa aja, nanti gue hafalin lagunya, dan tolong tepatin janji kalau lu mau traktir gue.” Indira refleks memeluk Zyra dengan erat, saking senangnya. Dia tau, dengan membawa nama 'Mingyu' pasti akan membuat hati sahabatnya itu tergerak.

Okay, let's talk about that guy, Kim Mingyu. The hottest guy in Communication Science major. Maybe the hottest in the university, at least for Zyra yang bucin akut sama kakak tingkatnya itu.

But... Really... Mingyu is really handsome, tall, and hot as hell. Bukan hanya Zyra yang berpikir seperti itu. But almost of the girls in her major think same. Bayangin aja, fans-nya Mingyu ada dimana-mana, dimulai junior, teman seangkatan, hingga senior. Disetiap angkatan akan selalu ada fans Mingyu.

Not suprisingly if Mingyu has a bunch of fans di setiap angkatan. Lelaki jangkung itu always stand out dimanapun dia berada, dan selalu mampu membuat netra para kaum hawa terpesona, susah untuk ngelepas pandangan dari indahnya setiap inchi dari tubuh Mingyu.

But, actually Mingyu ini sering dicap 'fuck boy' oleh orang-orang, entah itu kaum hawa ataupun kaum adam.

'That' side always makes Zyra curious about Mingyu. The meaning of the 'fuck boy' secara general, atau the 'real' meaning.

Oke, secara general mungkin udah keliatan, Mingyu always flirting to everygirl. Sebenarnya gak bisa dikategorikan sebagak flirting juga, karena memang lelaki itu baik ke semua orang, entah itu wanita ataupun lelaki.

Dan... The real meaning of fuck boy. Did he that good in the bed, and can makes his partner moaning and begging for him to fuck them harder?

Zyra tau, Mingyu itu fuck boy, dalam kedua artian tersebut. Of course she knows it. And, she's curious for the real means of fuck boy. Because... Yeah... Zyra with her bitchy side always cravings for Mingyu.

And his body.

Tentu saja Zyra juga bukan wanita yang bisa diberi label wanita baik, karena nyatanya, Zyra pun mengakui sendiri if she has that fuck girl vibes. Tapi gak banyak orang yang tau, ya karena Zyra bukan Mingyu yang dari setiap angkatan mengenalnya. Yang mengetahui sisi itu hanya Zyra dan Indira, sahabat satu jalan setannya.

📆 July 17, 2020 📍 Dago, Bandung

Zyra dengan jumpsuitnya yang hanya sebatas paha, sudah menenteng sling bag-nya. Jemarinya sibuk menghubungi Indira yang belum juga datang.

Hingga selang 5 menit, akhirnya Indira datang, dengan vespanya.

“Hehe... Maaf maaf, tadi macet.” Indira tersenyum lebar, menampilkan sederet giginya yang menggunakan behel itu

Zyra mendengus sebal karena dirinya harus menunggu, padahal Indira sendiri yang memohon untuk ditemani.

Akhirnya Zyra naik ke motor vespa-nya Indira.

“Kenapa bawanya motor sih? Ribet gini gue pake rok.” Omel Zyra.

“Biar apa emang pake rok? Biasanya juga pake celana.” Balas Indira.

“Preventif aja.” Jawab Zyra.

“For?”

“Who knows, if I'll stay at Kim Mingyu's apartement tonight?” Jawaban Zyra itu membuat Indira tertawa kencang, hingga motornya sedikit oleng.

“Hati-hati bego. Nanti gue gak bisa ketemu Kak Mingyu.” Dengus Zyra.

“So, you wear that fuckin short jumpsuit for flirting to Kim Mingyu?” Indira masih tertawa setelah selesai melempar pertanyaan itu.

“Lu emang teman terbaik gue di jalan setan, Dir. Ngerti banget.” Akhirnya kedua teman itu tertawa.

Sesampainya di tempat festival, Zyra selalu memutar kepalanya, kiri kanan, depan belakang. Tentunya buat cari sosok jangkung yang selalu jadi crush-nya dari jaman maba.

Tapi percuma, Mingyu gak ada disana. Bodoh banget Zyra, mana mungkin Mingyu ada disana, di tempat penonton. Bagaimana mungkin, lelaki itu pasti sibuk di backstage, since he's ketua dari festival itu.

Gadis itu mulai kesal sendiri. Mood-nya hilang untuk menonton. Padahal dia sudah hafal lagu-lagu yang dibawakan oleh para penyanyi lokal tersebut. Belum lagi dia yang kedinginan, because her outfit yang ya bisa dibilang terbuka.

Zyra melihat arloji merah mudanya. Waktu sudah menunjukan pukul 12 tengah malam. Pantas saja kakinya terasa pegal. Suaranya juga mulai serak, dia butuh minum, tapi minum dia udah abis.

Zyra milih buat minggir dari sana, ngebiarin aja Indira hyping the festival alone. Kakinya udah gak bisa diajak kompromi lagi, apalagi tenggorokannya. Sakit banget rasanya.

Zyra mengurut kakinya sendiri. Sesekali mengusapnya, meskipun dia berkeringat, tapi kalau dia diam, tetap kakinya merasa kedinginan. Kepalanya clingak-clinguk, mencari tukang jualan minum.

Gadis itu memejamkan netranya sebentar, ketika dia buka kedua netranya lagi, udah ada sebotol air minum tepat di depan wajahnya.

Nafasnya seketika tercekat. Matanya membulat. Apalagi waktu orang yang ngasih air minum itu malah duduk di sebelahnya. Laki-laki itu bukain tutup botolnya, terus kasih ke Zyra yang masih melongo itu.

“Gak mau minumnya?” Suara bass lelaki itu memasuki indra pendengaran Zyra, dan membuat lamunannya buyar.

“Eh... Oh... Ah.... Ini... Ehm... Buat saya?” Mingyu ketawa. And damn... That fangs always can makes him hotter and cuter at the same time.

“Iyalah buat kamu, masa buat abang-abang itu.” Kata Mingyu sambil nunjuk katingnya yang gondrong, dengan wajah sangarnya yang masih asik nyanyi.

Zyra tertawa kecil. Jujur dia gak terlalu fokus sama apa yang diomongin oleh Mingyu. Dia terlalu terbius oleh wajah Mingyu yang sedekat itu sama dia. Bisa dia hirup aroma maskulin dari tubuh lelaki itu.

“Ini minumnya mau gak? Pegel nih, hehe.” Lagi. Mingyu malah nyengir, dan bikin taringnya itu semakin terekspos. Untungnya Zyra masih bisa kontrol dirinya sendiri.

“Oh... Iya... Makasih ya, Kak.” Tangannya langsung ngambil minum yang ada di tangan Mingyu sambil senyum, nervous.

“Akhirnya.” Ujar Zyra setelah meminum airnya beberapa teguk.

“Udah seger?” Tanya Mingyu sambil natap Zyra.

Hell.

Iya, wajahnya tiba-tiba serasa panas saat Mingyu natap Zyra. Nafasnya makin kecekat, dia coba buat kontrol nafasnya, dia gak mau kelihatan bodoh di depan crush-nya.

Keramaian disana semakin berkurang, festivalnya udah selesai.

“Zyra! Kok lu ngilang sih?” Suara Indira untungnya menciut di akhir, ketika melihat siapa yang ada di sebelah temannya itu. Refleks, Zyra memberi isyarat kepada Indira biar dia pulang duluan. Gadis itu lagi mencoba peruntungan, siapa tau Mingyu mau mengantarnya pulang.

Emang beruntung banget punya teman yang satu frekuensi. Satu frekuensi di jalan setan. Indira langsung ngerubah ekspresinya seakan-akan dia melakukan sebuah dosa besar.

“Zyr, gue balik duluan ya. Sorry banget sumpah. Gue bener-bener minta maaf, tapi pacar gue jemput, maaf banget, Zyr. Plis maafin gue, nanti gue traktir lu beneran, tapi maafin gue.”

Okay. Indira deserves an award as “Best Rookie Actress”. Aktingnya benar-benar meyakinkan. Zyra hampir aja ketawa, but, of course she can't. She won't ruin the moment.

“Kok gitu sih, Dir?” Acting mode : on.

Zyra langsung berdiri, wajahnya sok-sok bete. “Kan lu yang aja gue, masa lu juga yang ninggalin gue? Gimana sih?” Oke, keduanya berhak dapat oscar.

“Zyra... Lu tau sendiri gue sama pacar gue jarang ketemu. Plis maafin. Ya? Ya? Ya?”

“Ngeselin banget lu sumpah!”

“Pulang sama saya aja, mau?”

Bingo! She got the moment.

“Boleh emang, kak? Udah malem gini.” Tentunya itu cuma basa-basi semata. Dalam hati Zyra yang paling dalam, dia pengen teriak sebenernya.

“Beneran kak? Plis banget ya kak, anterin temen saya. Temen saya gak ngerepotin kok.” Kata Indira. Mingyu senyum. Entah buat yang keberapa kalinya, dan tetap masih buat Zyra dag dig dug gak karuan.

“Iya beneran. Kamu quality time aja sama pacar kamu. Biar saya yang jagain temen kamu.” Fix, pulang dari sana Zyra bakal traktir Indira makan sepuasnya.

“Oke kak, makasih banyak ya, kak. Maaf banget jadi ngerepotin. Saya duluan ya. Zyr, gue duluan, hehe. Sekali lagi maaf. Dadah!” Indira buru-buru pergi dari tempat itu. Dia udah bisa baca dari matanya Zyra, kalau gadis itu mengusir dia.

“Kak... Kakak kan pasti capek. Gak apa gitu?”

Dan...

Mingyu senyum...

While his hand pat Zyra's head softly.

God... Zyra rasanya bisa aja ngelakuin apapun, even kalau disuruh kayang juga kayaknya dia mau kalau disuruh saat itu saking bahagianya dia. Gak deng, becanda. Masa iya kayang depan mas crush, demen nggak, ilfeel iya.

“Sebentar ya, saya ambil mobilnya dulu. Tunggu disini, okay?” Zyra cuma bisa ngangguk. Masih speechless aja sama the situation.

Selang 3 menit, Mingyu datang dengan mobilnya. Sekarang Zyra bisa ngerti, kenapa banyak cewek suka Mingyu.

Seriously... Mingyu will treat you like you're his one and only princess. He's really soft and his manner can make every girl feel so special.

Laki-laki itu turun dari mobilnya, dan bukain pintu buat Zyra. Gadis itu gak bisa buat nahan senyumnya.

“Pretty.”

What? Wait... Siapa? Pretty? Maksudnya Zyra? Tolong jangan buat dia berekspektasi lebih.

“Who?” Tanya Zyra bingung. Sebenarnya dia tau buat dia, karena ya gak ada orang lagi diantara mereka. Tapi, gak mau terlalu geer aja.

“Kamulah, siapa lagi? Masa pohon sih?” He said.

Sampai sini, Zyra merasa kalau Mingyu sedang menggodanya. Apalagi ketika lelaki itu mengerling genit ke arahnya. Her bitchy side getting wilder.

“Kamu angkatan berapa?” Tanya Mingyu ketika keduanya sudah di dalam mobil.

“2019, kak.” Jawab Zyra.

“Oh... Masih cimit, ya?” Mingyu terkekeh.

“Udah gede tau, Kak.” Jawab Zyra.

“Apanya?” Diam. Dua-duanya diam.

“Eh... Salah ngomong deh kayaknya saya.” Ujar Mingyu canggung. Tangannya ngegaruk tengkuknya.

“Mau dianter kemana?” Tanya Mingyu lagi. Sebelah alis Zyra terangkat dengernya.

“Ya ke kosan saya, kak. Mau kemana lagi?” Zyra tertawa melihat lelaki di sebelahnya itu salah tingkah.

“Emangnya mau dianter kemana lagi?” Zyra mulai menggoda Mingyu.

“Ya siapa tau kamu mau kemana dulu gitu.”

“Ke apartemen kakak, boleh?” Tanya Zyra. Oke. She lost her mind. Mingyu ngelirik Zyra yang lagi senyum. Entah apa arti senyumnya, but it's enough for messing his mind. Dan entah kenapa, Mingyu malah merasa tertantang. Rasa lelahnya terganti oleh perasaan lain. Horny. Yeah.

“Mau kamu saya bawa ke apartemen saya?” Tanya Mingyu.

“Loh, saya kan tadi nanya, boleh atau nggak ke apartemen kakak, kok malah balik nanya. It's up to you, kamu yang punya apartemen.” Jawab Zyra. Sebenarnya dalam hati ia sangat ingin bermalam di apartemen Mingyu. And yeah, sepertinya wanita itu udah dikuasai nafsunya. Padahal belum juga ngelakuin apapun.

“Saya mau bawa kamu. But...” Lelaki itu memberi jeda sebentar. Melihat ekspresi Zyra di sebelahnya.

“But?” Tanya Zyra penasaran.

“Lupain aja.” Ujar Mingyu dan membuat Zyra kecewa.

“Kok kamu kayak kecewa gitu?” Tanya Mingyu.

“I don't know.” Jawab Zyra sambil berusaha memejamkan netranya.

“Capek ya?”

Please... God... Help Zyra from all of this temptation.

Mingyu lagi-lagi ngacak rambut Zyra, tapi pandangannya tetap lurus ke jalan.

“Kak... Rambut saya nanti berantakan.” Dengus Zyra. Mingyu terkekeh.

“Okay, saya gak akan usap rambut kamu lagi.” Zyra kecewa, menyesal mengatakan hal tadi.

Tapi... Gerakan Mingyu berikutnya malah bikin wajahnya jadi panas.

Tangan Mingyu ngusap pipi Zyra sekarang. Softly. “Tidur aja kalau capek.” Kata Mingyu. Ibu jarinya masih setia ngelusin pipi Zyra.

“Gak ah, nanti kalau udah sampe gimana?” Balas Zyra.

“Ya tinggal saya tidurin.” Zyra langsung nengokin kepalanya. Sambil mengangkat kedua alisnya.

“Eh... Itu... Maksudnya...” Mingyu gelagapan. Gak biasanya seorang Kim Mingyu bisa segugup ini.

“Beneran kak mau ditidurin?” Tanya Zyra. Matanya terus menatap ke arah Mingyu.

“Itu... Nggak... Tadi asal aja.”

“Yah... Kecewa deh.” Gantian. Giliran Mingyu yang nengokin kepalanya, natap Zyra.

“What's wrong? Kalau gak mau, ya gak apa-apa. Tapi sayanya mau sih, gimana dong?” Mingyu ketawa denger ucapan gadis itu, tangannya kembali ngusap pipi Zyra.

Tapi gadis yang sudah dikuasai nafsunya itu malah menciumi satu persatu jemari sang pria. Sambil menatapnya dengan seduktif.

“Argh... Saya lagi nyetir, Zyra.” Mingyu berdecak frustasi, apalagi waktu liat ekspresi Zyra yang sedang menatapnya dengan mata yang sayu.

“You look so damn hot while driving.” Suara serak Zyra semakin membuat Mingyu tidak fokus.

Kakinya segera menginjak pedal gas semakin dalam, membuat laju mobil semakin kencang.

“Wow... Wow... Be calm, Mr. Gyu. I'm not going anywhere.” Kekeh Zyra.

“Sesak, Zyra.” Kata Mingyu singkat. Zyra mengerti maksud Mingyu. Dia malah semakin jahil.

“Bukalah kalau sesak.” Mingyu mengacak rambutnya frustasi.

“Ini yang sesak?”

Tangan Zyra mengelus bagian 'sesak' milik Mingyu yang masih dibalut oleh celananya.

“Zyra...”

Mingyu memanggil namanya dengan sedikit tercekat. Namun sepertinya lelaki itu tidak ingin mengeluarkan suara desahnya. Mingyu merasa kalah jika ia melakukan itu pertama.

“Zyra... Don't.” Ucap Mingyu, tegas. Zyra sedikit menciut, tapi Zyra tau kalau Mingyu sebenarnya menikmati kegiatannya.

“Okay. I won't.” Zyra menarik tangannya dari kepunyaan Mingyu.

“Saya masih nyetir.” Senyuman Zyra kembali merekah.

“Kalau udah nyetir, boleh?” Tanya Zyra sambil mengerjapkan matanya berkali-kali dengan senyum polosnya yang tidak sesuai dengan permintaannya.

“Bisa-bisanya ya kamu, Zyr. Pokoknya kamu abis malem ini.” Mingyu mengacak rambutnya lagi karena frustasi, adik kecilnya dibawah meminta untuk dimanjakan.

Wonwoo dan Mcd

Tempat makan cepat saji itu udah ibarat rumah ketiga buat Wonwoo. Rumah pertamanya ya rumah orang tuanya, rumah kedua kontrakan, dan rumah ketiga Mcd, saking seringnya dia nongkrong disana cuma buat nugas sampe subuh.

Tugas pra uts selalu aja ngeribetin banget, mana selalu nambah tiap harinya, untung matkulnya tinggal 3 biji doang, jadi gak begitu keteteran ngerjainnya. Dan disinilah Wonwoo, mcd yang sedia 24 jam, ditemenin sama wifi yang kecepatan loadingnya lebih cepet daripada loadingnya otak Dikey.

Udah dari jam 8 malem Wonwoo nongkrong di mcd, dan sekarang udah jam setengah 1 dini hari, tugasnya sebenernya udah selesai dari jam 12 tadi, cuma diluar masih hujan. Sambil nungguin hujannya kelar, Wonwoo pesen dulu makanan yang dititip Mingyu sama Dino, dia abis chat kedua anak itu, jadi dibeliin apa nggak, soalnya udah nyerempet jam setengah 2.

15 menit kemudian, Wonwoo liat kalo hujan udah makin kecil, dia mutusin buat pulang aja, lagian takut titipan Mingyu sama Dino keburu dingin juga. Mata Wonwoo juga udah mulai sepet, 5 jam depan laptop dan AC, bikin ngantuk. Untung jalanan udah mulai kosong.

Wonwoo jalanin vespa-nya sambil sesekali nguap. Terus...

'BRAAAK...'

Wonwoo jatuh dari motornya. Dia megangin kepalanya yang kebentur tanah, pusing. Pas dia lepas helm, terus nyoba buat bangun, dia liat mobil warna hitam yang berhenti. Bisa dia duga, kalau itu mobil yang nabrak dia.

Wonwoo langsung samperin mobil itu. Waktu pintunya kebuka, seorang cewek keluar dari balik sana.

Fix ini cewek mabok.

Badannya ngeluarin bau alkohol yang cukup kuat. Tapi kayaknya tingkat kesadaran cewek itu tinggal 40% doang.

“Eh sorry... Gue gak sengaja. Kepala gue pusing.” Kata cewek itu sambil megangin kepalanya. Kayaknya kepala dia juga kebentur stir mobil, ditambah lagi dia mabok.

“Lu pikir lu doang yang pusing? Gue juga pusing, abis lu tabrak.” Wonwoo nyoba buat ngontrol emosinya.

“Ya kan gue udah minta maaf.” Cewek tadi malah nyolot. Wonwoo ngebuang nafasnya kasar.

Gak mau emosi, Wonwoo langsung angkat motornya yang masih tergeletak. Dia ngeliatin motornya lecet apa nggak. Padahal dirinya sendiri juga lecet.

“Motor lu, service aja, nanti gue ganti. Tapi...” Cewek itu diem sebentar, terus jalan ke pinggir jalan. Wonwoo ngeliatin gerak-geriknya. Ternyata cewek itu muntah.

Wonwoo malingin wajahnya, biar gak usah liat pemandangan yang gak ngenakin itu.

Abis keluarin isi perutnya, cewek itu nyoba jalan ke mobilnya, sempoyongan jalannya.

“Kepala gue pusing.” Kata cewek tadi. Dan setelah itu, cewek itu ambruk. Wonwoo yang masih punya sisi kemanusiaan langsung tolongin, meskipun masih kesel.

Dia bawa masuk cewek tersebut ke dalam mobilnya, terus dia kunci mobilnya, dan dia jalan ke bengkel. Dia tau di sekitar situ ada bengkel, ya gimana gak tau, udah sering bolak balik.

Selang 10 menitan, Wonwoo balik lagi kesana. Dia bingung harus bawa cewek itu kemana. Dia tepuk-tepuk pundaknya juga gak bangun.

Setelah mikir cukup lama, akhirnya Wonwoo chat Mingyu, ngasih tau kalau dia bakalan bawa cewek. Jangan ditanya gimana balasan Mingyu, udah pasti heboh.

Akhirnya Wonwoo bawa mobil dan pemilik mobilnya ke kontrakan. Karena dia gak tau cewek mabok itu tinggal dimana, keburu teler anaknya.

Sampainya di kontrakan, untung aja manusia-manusia sana udah pada tidur, kalau nggak, bisa di ceng-cengin satu kontrakan gegara bawa cewek, mabok lagi.

Mingyu kayaknya denger suara pintu yang kebuka. Matanya langsung membelalak waktu liat Wonwoo lagi gendong cewek.

“Anjir!”

“Gak usah berisik bego, nanti yang lain bangun, mampus gue.” Wonwoo turunin cewek itu di sofa ruang tv. Terus dia regangin badannya, padahal cuma bawa dari halaman depan ke dalem doang.

“Kok bisa sih, Bang?” Tanya Mingyu.

“Besok aja gue cerita, nih pesenan lu, bawa sekalian sama punya Dino. Bayar besok aja, gue mau mandi.” Kata Wonwoo.

Wonwoo ke dapur dulu, minum segelas air. Waktu balik lagi mau ke kamarnya, dia ngeliatin cewek itu. Untuk kesekian kalinya, Wonwoo ngehembusin nafas panjang. Dia gak tega kalau cewek itu tidur di sofa, jadinya dia bawa ke kamarnya, ditidurin.

Lah anjir kok ambigu...

Maksudnya ya tidur di kasur Wonwoo, tapi Wonwoo-nya numpang di kamar Mingyu.

Mingyu banyak tanya, pasti sih, kepoan anaknya. Wonwoo bener-bener gak jawab pertanyaan-pertanyaan Mingyu, dia nutup seluruh badannya pake selimut, terus tidur.

😪

Paginya, tepatnya jam 8, kontrakan udah rame, penghuninya udah pada bangun, kecuali Wonwoo. Karena hari Minggu, mereka semua kumpul di ruang tv, ya sekedar nonton, sambil denger lawakan-lawakan Dikey sama Hoshi.

Pas lagi ketawa-ketawa, mereka semua langsung diem. Diem yang bener-bener diem sampe sunyi, gara-gara denger satu kalimat.

“Berisik banget sih anjir.”

Yang bikin speechless sebenernya bukan kalimatnya, tapi orangnya.

Seorang cewek... Dengan rambut berantakan... Baju yang bisa dibilang terbuka... Dan... Keluar dari kamar Wonwoo...

Bukan cuma anak kontrakan yang speechless, tapi cewek itu juga shock banget waktu keluar dari kamar, pemandangan pertama yang dia liat adalah 12 cowok yang juga liatin dia.