16 Agustus 2020, Bandung.
Lelaki jangkung itu mematut dirinya di depan cermin. Mengambil nafas lalu membuangnya secara beraturan. Jantungnya berdebar dengan cepat. Wajahnya menyiratkan jika ia sedang gugup saat ini. Berkali-kali ia menelan ludahnya dengan berat. Tenggorokannya terasa begitu kering.
“Lo pasti bisa, Gyu. Pasti.” Ujar Mingyu pada pantulan dirinya di cermin. Ia menepuk pipinya pelan kemudian merapikan tuxedo-nya. Rambutnya yang dipoles pomade itu ditata serapi mungkin, memperlihatkan keningnya yang membuat pria jangkung itu terkesan lebih manly.
Setelah memantapkan diri, Mingyu segera pergi ke bangunan megah di kawasan Cihampelas. Pikirannya mengawang, ada perasaan campur aduk dalam batinnya.
“Tenang Gyu, gak usah gugup. Wonwoo juga pasti santai.” Ucap Mingyu pada dirinya sendiri.
Sesampainya di gedung tersebut, netra Mingyu menjelajah seisi ruangan besar itu, mencari satu sosok 'kucing'-nya. Tapi sepertinya sosok yang dicarinya itu masih ada di ruang rias pengantin. Mingyu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya memang masih terlalu cepat untuk datang, sebenarnya masih ada waktu setengah jam sebelum acara pernikahan itu dimulai, namun Mingyu memilih datang lebuh cepat, ingin melihat calon mempelai yang pastinya mampu membuat dia berdegub seperti saat pertama kalinya mereka tidak sengaja bertemu.
Mingyu melangkahkan tungkainya, menuju satu ruangan yang sedari tadi tertangkap oleh netranya. Sebelum kuasanya membuka kenop pintu putih di depannya, Mingyu kembali mengatur nafasnya sebanyak tiga kali, kemudian dengan segala tekadnya, ia buka pintu tersebut. Orang-orang yang berada disana memalingkan wajahnya menatap Mingyu. Lelaki jangkung itu tersenyum. Sementara Wonwoo menatap Mingyu dengan ekspresi kagetnya, ia bahkan tidak mengedipkan matanya.
Dugaan Mingyu benar.
Debaran jantungnya itu memang selalu untuk Wonwoo.
“Ganteng banget, siapa nih?” Mingyu tersenyum sambil menghampiri Wonwoo. Saat ia tepat di depan lelaki yang lebih kecil darinya, ia mengusak rambut Wonwoo.
“Kalian boleh keluar dulu, ya. Mau sarapan atau apapun, silakan aja, udah beres kan ya semuanya?” Tanya Wonwoo pada tiga orang wanita disana yang sedari tadi mengurus baju dan riasan Wonwoo. Kemudian ketiga wanita itu keluar, Wonwoo mengunci pintu ruangan tersebut.
“Gyu...” Lirih Wonwoo.
“Deg-degan, ya?” Tanya Mingyu. Netranya enggan untuk melepas pandang dari Wonwoo.
“Iya.” Jawab Wonwoo singkat.
“Tarik nafas yang dalem, keluarin dari mulut.” Wonwoo mengikuti ucapan Mingyu, dan lelaki jangkung itu tertawa kecil, merasa gemas karena Wonwoo menuruti perkataannya.
“Udah kayak bidan ngurus ibu lahiran deh aku.” Canda Mingyu dan membuat Wonwoo tertawa kecil.
“Kamu... Ganteng, Gyu.” Ujar Wonwoo. Mingyu tersenyum lebar, hingga taringnya terlihat.
“Udah sering denger.” Balasan Mingyu itu dibalas dengan decakan kesal oleh Wonwoo dan lagi-lagi membuat Mingyu tertawa.
Kemudian ruangan itu hening, menyisakan suara pendingin ruangan. Hawa dingin terasa, membelai kulit keduanya. Mereka saling beradu tatap, meninggalkan arti yang sulit dimaknai. Ada banyak kata yang tersirat dari tatapan mereka.
“Boleh aku peluk kamu?” Tanya Mingyu, memecah keheningan. Wonwoo terdiam, kemudian menganggukan kepalanya. Mingyu mendekat kepada Wonwoo, saat kedua ujung pantofel mereka bertemu, Mingyu langsung memeluknya dengan erat, seakan tidak ingin Wonwoo pergi darinya.
“Maafin aku karena aku banyak kurangnya.” Ujar Mingyu.
“Kita berdua sama-sama banyak kurangnya, yang penting kita bisa saling toleransi, dan itu bisa jadi tolak ukur kedewasaan kita, Gyu.” Balas Wonwoo.
“Maafin aku karena aku sering bikin kamu sedih.”
“Lebih banyak bahagianya, Mingyu.” Jawab Wonwoo lagi.
“Maafin aku karena aku gak bisa jadi seseorang yang sempurna buat kamu.”
“Aku juga gak sempurna, takdir mempertemukan kita buat saling menyempurnakan satu sama lain.”
“Maafin aku yang dulu belum punya apa-apa.” Kali ini Wonwoo terdiam.
“Maafin aku yang dulu selalu nunda keinginan kamu buat ngejalanin pernikahan.”
“Maafin aku yang punya ego dan gengsi yang tinggi ini.”
“Maaf...” Suara Mingyu semakin mengecil.
“Maafin aku, karena aku gak bisa nepatin janji aku buat ada di sisi kamu sebagai mempelai pria kamu.” Mingyu mengambil jeda.
“Maafin aku, maaf karena aku gak bisa menuhin keinginan kamu buat selalu ada di setiap hari-hari kamu.”
“Maaf. Aku cuma bisa minta maaf sama kamu. Aku... Aku sayang kamu, Won.” Nafas Wonwoo terasa tercekat mendengar kalimat terakhir.
“Aku juga, masih sayang kamu.” Jawab Wonwoo.
Mingyu melepas pelukan mereka. Ia menangkup pipi Wonwoo. Netranya menjelajah setiap inch wajah Wonwoo yang dulu selalu menjadi semangatnya, selalu ia rindukan, dan selalu ia harapkan untuk menjadi wajah pertama yang ia lihat saat bangun tidur, dan menjadi wajah terakhir yang ia lihat di penghujung hari sebelum terlelap.
Tapi itu dulu. Sudah tidak ada lagi harapan untuk Mingyu agar bisa melihat wajah Wonwoo untuk mengisi hari-harinya. Justru sosok Wonwoo sekarang menjadi sosok yang tidak bisa ia raih.
Begitu jahat semesta mempermainkan perasaannya. Mingyu, pun juga Wonwoo merasa jika semesta tidak adil. Mengapa semesta tidak bisa mengabulkan permintaan keduanya untuk tetap bersama? Apakah sesulit itu menyatukan keduanya?
Padahal perasaan keduanya tulus, namun sayang, berakhir tidak mulus.
Padahal perasaan keduanya begitu nyata, namun sayang, tidak direstui semesta.
Wonwoo berjinjit, meraih tengkuk Mingyu, mempertemukan kedua bibir mereka. Hanya menempel, tidak ada pagutan hangat seperti biasa, tidak ada lumatan lembut seperti dulu.
Justru kedua bibir yang bertemu itu terasa menyakitkan. Menambah rasa sesak yang membuncah. Membuat luka menganga yang sulit untuk diobati.
Pipi keduanya terasa hangat. Air mata Wonwoo turun tanpa izin. Segala rasa pahit dan sakit terdefinisikan melalui air matanya. Mingyu melepas kedua bibir mereka yang menempel itu. Dan disitulah tangis Wonwoo pecah.
Lelaki yang biasanya memasang wajah dingin itu benar-benar menangis dengan deras.
Lelaki itu terlihat sungguh rapuh. Memperlihatkan hatinya yang lumpuh. Mendefinisikan dunianya yang terasa runtuh. Menjelaskan perasaannya yang terbunuh.
Mingyu yang melihat itu segera merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dengan lembut. Mencoba menguatkan, meskipun hatinya terhancurkan.
Wonwoo menenggelamkan kepalanya di bahu bidang Mingyu. Air matanya semakin deras. Isakannya semakin kuat. Aroma bergamot dan lavender yang selalu menguar dari tubuh Mingyu biasanya mampu menenangkannya. Namun untuk kali ini, aroma itu justru membuatnya sesak dan semakin kacau.
“Aku... Aku gak mau nikah, Gyu. Aku gak mau. Aku gak bisa. Gyu... Aku cuma sayang kamu. Gak ada yang bisa gantiin kamu. Gyu... Tolong bilang ini cuma mimpi. Tolong bilang ini gak nyata. Tolong...” Suara Wonwoo tercekat akibat isakannya.
“Bilang kalau ini cuma pura-pura aja, aku gak apa-apa, aku ikhlas meskipun kamu kerjain aku, asalkan nantinya kamu yang hidup bareng aku. Aku mohon, Gyu, aku mohon bilang kalau ini cuma keisengan kamu aja. Gyu...”
Kini, air mata Mingyu tidak bisa dibendung lagi. Hatinya tersayat mendengar segala ucapan yang keluar dari bibir Wonwoo. Mingyu mengaku kalah. Ia tidak bisa untuk bersikap 'tidak apa-apa'. Perkataan Wonwoo, tangisannya, isakannya, membuat dirinya terasa tercekik. Ia seakan kesulitan bernafas.
“Gyu... Ini semua bohong kan? Ini semua cuma mimpi kan? Ini semua gak bener kan? Tolong bilang iya, Gyu.” Mingyu menggelengkan kepalanya, membuat air matanya dan juga Wonwoo mengalir semakin deras.
“Kenapa? Kenapa semesta jahat sama kita? Kenapa? Apa salah kita sampe harus dapet hukuman seberat ini? Kita salah apa?” Ujar Wonwoo ditengah tangisnya.
“Kenapa takdir gak mihak kita? Kalau ini akhir dari kita, kenapa takdir harus bantuin semesta buat mempertemukan kita? Kenapa kita harus kayak gini?” Wonwoo terus saja meracau, menyalahkan takdir dan juga semesta yang berlaku tidak adil.
“Kenapa kita harus dipertemukan kalau ujung dari pertemuan ini hanya menggores luka?” Mingyu semakin erat memeluk Wonwoo.
Semakin erat pelukan mereka, semakin terasa sesak juga hati mereka.
“Gyu... Ajak aku pergi dari sini. Kemanapun itu, asal sama kamu. Aku rela. Aku gak mau hidup dikekang rasa gak nyaman. Aku mau hidup sama kamu, aku mau kamu, Gyu. Cuma kamu.” Suara Wonwoo semakin serak. Mingyu memejamkan matanya. Air matanya tidak berhenti mengalir.
Jika saja ia makhluk paling egois di dunia, dia akan melakukan hal itu. Membawa kabur Wonwoo. Menikah dengan Wonwoo secara diam-diam. Apapun itu, asalkan mereka bisa tinggal dalam satu atap yang sama untuk sisa hidup mereka.
Sayangnya, Mingyu tidak seegois itu. Hal tersebut hanya akan membuat keduanya semakin sakit. Jika Mingyu harus memenuhi ego-nya, Wonwoo akan sedih, ia harus meninggalkan keluarganya yang selalu ia bicarakan. Meninggalkan ibunya yang begitu ia sayangi. Meninggalkan ayahnya yang sangat ia hormati. Mingyu tidak mau merenggut kebahagiaan Wonwoo hanya karena ego-nya sendiri. Mingyu tidak mau jika Wonwoo dibenci keluarganya sendiri.
Lelaki yang lebih jangkung itu melepas pelukannya. Ia bisa melihat bagaimana kacaunya keadaan lelaki di hadapannya. Air matanya tak kunjung surut. Menyakitkan melihat lelakinya menangis seperti itu. Tapi keduanya tidak bisa menentang takdir semesta.
Mingyu tersenyum, meskipun hatinya sakit. Kuasanya terjulur menyentuh pipi Wonwoo. Ibu jarinya mengusap lembut, menghapus air mata yang terus jatuh.
“Wonwoo...” Panggil Mingyu, mencoba setenang mungkin.
“Mungkin sebenernya semesta punya maksud lain. Mungkin semesta ngirim Jun buat kamu karena dia yang terbaik buat kamu. Bukan aku yang sering bikin kamu sakit.”
“Mungkin sebenernya semesta dulu cuma iseng mempertemukan kita, tanpa kita sadari, kita terjebak sama pertemuan itu. Semesta gak punya tujuan buat menyatukan kita, hanya kita aja yang terhanyut dengan perasaan kita masing-masing.”
“Jadi perasaan kita seharusnya gak ada dari awal?” Tanya Wonwoo. Mingyu menggeleng.
“Gak Won, gak ada yang salah sama perasaan kita. Gak ada yang bisa ngatur hati, bahkan diri kita sendiri. Kita gak bisa kontrol hati kita ketika itu menyangkut perasaan sayang.” Air mata Wonwoo kembali mengalir.
“Tapi mungkin waktu aja yang jahat sama kita, Won.” Mingyu menjeda omongannya, tidak tega melihat lelaki yang disayanginya itu terus berderai air mata.
“Waktu yang jahat karena gak bisa hapus perasaan kita masing-masing. Kita saling sayang di waktu yang gak tepat. Kita seharusnya udah buang perasaan kita jauh-jauh. Kata orang, melupakan itu cuma perkara waktu.”
“Tapi perasaan aku ke kamu gak terkekang karena waktu, Mingyu. Aku gak yakin bisa lupain kamu. Aku gak yakin bisa sayang ke orang lain kalau orang itu bukan kamu. Aku gak bisa, Gyu.” Hidung Wonwoo sudah terlihat sangat merah, matanya pun sembab dan bengkak.
“Won... Kamu tau kan orang selalu bilang, kalau emang jodoh, gak akan kemana. Begitu juga sama kita. Kalau kita berdua berjodoh, kita pasti dipertemukan lagi. Mungkin bukan saat ini, tapi suatu saat. Atau mungkin di kehidupan selanjutnya. Kita gak akan pernah tau. Karena, percuma sekeras apapun kita berusaha menentang takdir, takdir akan selalu menang, Won. Karena takdir itu pilihan Tuhan, sementara kita cuma ciptaan-Nya aja, kehendak kita, belum tentu menjadi kehendak-Nya. Yang kita bisa, cuma terima dan menjalani.” Tangisan Wonwoo kembali menjadi-jadi. Lelaki itu kini terduduk di lantai yang dingin. Kakinya terasa lemas, tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Mingyu menghela nafasnya, kemudian berjongkok, menatap lelaki di hadapannya.
Tangisan Wonwoo terus meluruh, menghantam rungu. Terasa pilu, hingga ke ulu. Kisah keduanya sudah berlalu, namun sakitnya akan terus membiru, dan membelenggu. Entah sampai kapan, namun Mingyu harap akan secepat mungkin, meskipun ia yakin akan sangat sulit.
“Wonwoo... Perlu kamu tau, kamu itu ingatan paling indah di memori aku, dan gak ada sedikitpun rasa penyesalan di diri aku kalau kita pernah ketemu, pernah saling sayang, pernah mengguratkan kisah bersama, aku gak pernah nyesel pernah ada kata 'kita' di antara aku sama kamu.” Wonwoo menatap Mingyu nanar.
“Tapi, balik lagi ke omongan kita sebelumnya, kita gak bisa mengubah takdir, gak bisa menentang semesta. Mungkin kisah kita harus bener-bener berakhir sampe sini. Aku minta maaf karena aku gak bisa jadi kebahagiaan di ujung kisah kita. Aku, bukan lagi pemeran utama di kisah kamu. Tapi mungkin, dari awal emang bukan aku pemeran utamanya. Kayaknya aku sebenernya cuma pemeran kedua yang diberi tugas semesta buat jagain pasangan si pemeran utama yang sebenarnya.” Jelas Mingyu. Ia tersenyum hingga ke matanya. Tatapannya tidak ia lepas dari sosok yang masih menangis di hadapannya itu.
“Udahan ya nangisnya? Maaf, aku bikin kamu nangis, dan aku mohon sama kamu, tolong ini jadi tangisan kesedihan terakhir kamu, jangan ada lagi air mata kesakitan lainnya. Aku gak suka liatnya.” Mingyu mendekat, menghapus air mata Wonwoo.
“Kamu pasti bisa tanpa aku.” Ujar Mingyu.
'Tapi aku yang gak bisa tanpa kamu.' Sahut batin Mingyu.
“Gyu...” Lirih Wonwoo. Mingyu menatap Wonwoo, masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya.
“Aku... Gak mau...”
“Won... Tolong... Tolong banget bahagia, ya?”
“Bahagia aku, kamu.”
“Nggak. Nggak, Won. Bukan aku. Kalau bahagia kamu itu aku, gak seharusnya kamu sekarang nangis sampe sesenggukan gini. Kalau bahagia kamu itu aku, harusnya aku yang berdiri di altar sama kamu, bukan Jun. Tapi nyatanya bukan, berarti emang bahagia kamu itu orang lain, dan orang itu Jun, calon suami kamu. Tolong kamu biasain, ya? Tolong sayangin Jun, aku yakin dia sayang banget sama kamu. Tolong ganti definisi bahagia kamu jadi Jun, jangan aku, aku gak berhak.” Wonwoo terdiam. Ia ingin berteriak. Ingin kabur dari situasi itu. Seharusnya pernikaha menjadi salah satu kejadian paling indah di hidup seseorang, tapi bagi Wonwoo, pernikahan ini justru menjadi kejadian paling menyesakan. Bukan karena Jun yang tidak baik. Lelaki yang dijodohkan dengannya itu adalah lelaki yang baik, sangat baik. Hanya Wonwoo saja yang jahat. Hanya Wonwoo yang tidak bisa melihat ketulusan Jun. Ruang di hatinya hanya ada Mingyu, Mingyu, dan Mingyu, dan akan selalu begitu.
Mingyu melirik jam tangannya, kemudian menghela nafas panjang. Ia menatap Wonwoo dalam.
“Sepuluh menit lagi kamu bakal jadi suami orang. Aku disini mau kasih ucapan selamat buat kamu, bukan mau bikin kamu nangis.” Mingyu terkekeh yang mana justru membuat dadanya semakin nyeri.
“Wonwoo... Happy wedding, ya. Aku mohon dan aku harap kamu selalu bahagia.” Ucapan Mingyu itu terdengar tulus, namun sebenarnya ada ketidak tulusan jauh di dalam lubuk hatinya.
Bohong jika ia mengatakan jika ia bahagia melihat Wonwoo yang bersanding dengan lelaki lain yang bukan dirinya.
Bohong jika ia ingin melihat Wonwoo yang tertawa bukan karenanya.
▪▪▪
“Pergi saja engkau pergi dariku. Biar ku bunuh perasaan untukmu. Meski berat, melangkah, hatiku, hanya tak siap terluka.”
Alunan musik itu memenuhi ruangan yang sekarang sudah terdapat sekitar 500 orang di dalamnya. Dan disana Mingyu berada, di atas panggung sambil menyumbangkan sebuah lagu yang sebenarnya sangat amat tidak cocok untuk orang yang merayakan pernikahan.
“Beri kisah kita sedikit waktu Semesta mengirim dirimu untukku Kita adalah rasa yang tepat Di waktu yang salah”
Foxy eyes milik Wonwoo tidak lepas dari Mingyu. Ia tau jika Mingyu memberikan sebuah isyarat jika mereka sudah tidak lagi bisa bersama melalui lagu yang ia nyanyikan itu.
Sekuat mungkin Wonwoo menahan air matanya agar tidak kembali meluncur. Ia menarik nafasnya dalam.
“Bukan ini yang ku mau Lalu 'tuk apa kau datang Rindu tak bisa diatur Kita tak pernah mengerti Kau dan aku menyakitkan”
Wonwoo tersenyum getir. Lirik lagu tersebut seolah menyindir dan menghantam dadanya dengan kuat. Lagu itu ibaratkan cairan asam yang sengaja ditaburkan di hatinya yang masih memiliki luka yang menganga. Perih.
“Kita berdua menyakitkan.” Lirih Wonwoo pelan.
Semesta dan takdir, sesuatu yang selalu berdampingan, tak bisa dipisahkan. Terkadang memberikan harapan yang menyenangkan, terkadang membuat pupus perasaan. Terlalu banyak misteri dari cara kerja semesta yang berujung menjadi takdir dari seseorang, entah itu baik atau tidak. Semesta dengan segala misterinya yang tidak bisa ditebak. Manusia hanya bisa menjalaninya tanpa bisa menembus takdirnya. Semesta dengan segala misterinya mampu memberikan berbagai buaian berupa ekspektaksi, dan menjatuhkannya dengan kuat melalui realita.
Seperti kisah Mingyu dan Wonwoo.
Kisah keduanya hancur, melebur dan sudah seharusnya dikubur.
Kisah keduanya hanya tinggal berupa kenangan, menyisakan angan, tanpa ada harapan, dan sudah seharusnya dilupakan.