shiningjaemz

“Lo tadi nyuruh gue buru-buru? dan sekarang belum siap kayak gini?“ kata Jendral saat sudah sampai di rumah, menemukan sosok Jevano sedang berbaring santai di ruang televisi.

“Iya sebentar, tunggu sebentar lagi, tanggung,” jawab Jevano sambil menunjuk ke arah televisi.

Jendral mendecak sebal, pasalnya ia rela meninggalkan tongkrongannya karna Jevano yang memaksa minta ditemani. Ia pikir sesampainya di rumah mereka akan segera pergi, namun ternyata tidak.

“Gue balik ke rumah Nathan aja ya?”

“Ya jangan dong, Jen!?”

“Ya makanya cepet. diluar mendung, gue gak mau bawa mobil.”

Kepala Jevano menoleh cepat ke arah Jendral, “Kok gitu? Gue gak mau naik motor, Jen.”

“Lo pergi sendiri ajalah, Jev. Jangan sama gue.”

Melihat wajah Jevano yang tiba-tiba menjadi murung, Jendral pun dengan cepat meralat ucapannya, “Bercanda gue, yaudah buruan. Sekarang atau gak sama sekali.”

Perkataan Jendral membuat Jevano dengan segera bangkit dan berlari ke kamarnya, segera berganti baju, sebelum saudara kembarnya itu berubah pikiran dan benar-benar tak mau menemaninya pergi.

—-

Baru saja keluar dari gerbang perumahan, hujan pun turun dengan derasnya. Membuat Jendral sedikit mendecak sebal,

“Kan apa gue bilang, hujan kan?”

Jevano memutar bola matanya, “Yaudah sih, kan naik mobil juga.”

“Abis di cuci nih, makanya gue males. Lagian lo mau beli apaan sih di Gramed? Gak bisa di gojekin gitu?”

Jevano menggeleng, “Enggak, buku biologi, edisi terbaru. Disuruh sama ibu Ina buat olimpiade.”

“Ibu Ina nih gak mau jadi donatur ya? Nyuruh beli buku mulu tapi gak ngasih duit.” Pundak Jendral dipukul pelan oleh Jevano.

“Ya gak gitu konsepnya! Kan ini buku rekomendasi buat belajar!”

Jendral menggelengkan kepalanya, “Ya ya terserah anak olimpiade dan urusannya lah.”

Setelahnya mereka sampai di tempat tujuan. Jendral memutuskan untuk tidak ikut turun, awalnya ada sedikit perdebatan dari Jevano. Namun Jendral tetap pada pendiriannya, karna kalau ia ikut turun, Jevano pasti akan lama sekali mengelilingi toko buku ini.

Dan benar saja, tak sampai 20 menit, Jevano sudah kembali lagi ke dalam mobil dengan membawa sebuah kantong belanja.

“Tumben cepet?” tanya Jendral begitu Jevano sudah duduk di kursinya.

“Gak seru aja gitu gak ada yang nungguin, boring!” Lalu tubuhnya menghadap ke arah Jendral, “Lo mau gak turun sekarang? Temenin gue keliling?”

Dengan cepat Jendral segera melajukan mobilnya, tidak memberi jawaban lewat kalimat namun langsung bukti di hadapan Jevano.

“Nyebelin banget setan!” seru Jevano. Sementara Jendral terkekeh pelan.

“Lo sering-sering bawa mobil deh. Nanti lama-lama lo lupa gimana caranya bawa mobil. Gimana mau pergi sendiri?” ucap Jendral secara tiba-tiba. Membuat Jevano menaikkan sebelah alisnya.

“Dih apaan sih ngomongnya? Kan ada lo. Ngapain juga gue harus sendirian, kan lo selalu nemenin gue.”

Jendral tersenyum tipis, “Gue kan cuma bilang aja. Lo harus bisa gerak sendiri, Jev. Gue gak mungkin selamanya sama lo, kan?”

Tak ada suara dari Jevano. Bahkan setelah 10 menit berlalu tetap tak ada pembicaraan. Suasana terlalu awkward bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian, Jendral memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket, sebelum turun ia menoleh ke arah Jevano, “Mau apa?”

“Jangan ikut turun, hujan masih deres.” Lanjutnya lagi.

“Apa aja.” jawab Jevano. Sejujurnya ia masih kesal dengan ucapan Jendral tadi.

Setelahnya Jendral turun dan tak sampai 10 menit kemudian ia kembali masuk ke mobil.

“Es krim.” kata Jendral sambil memberi es krim ke Jevano.

“Kok?” tanya Jevano bingung.

“Lo lagi ngambek, jadi kuncinya cuma ini. Dikit aja, sisanya simpen di rumah.”

“Makasih…”

Jendral mengangguk pelan, lalu segera melakukan mobilnya. Jalanan sedikit sepi dan semakin susah dilihat karena derasnya hujan.

Jevano kemudian membuka es krim yang diberikan oleh Jendral, baru mau menyendokkan es krimnya, mobil bergoyang dan sendoknya terjatuh di dekat kaki Jendral,

“Jen itu sendoknya jatoh di kaki lo.” adu Jevano.

cw // tw // car crash

Membuat Jendral menunduk dan melihat dimana sendok itu berada, lalu kemudian ia menunduk untuk mengambil sendok tersebut.

Layaknya hujan yang datang tanpa aba-aba.

Mobil dari arah berlawanan juga datang tanpa aba-aba.

Jendral tak menyadari kalau setirnya terlalu ke kanan saat itu. Yang membuat mobilnya keluar jalur.

“Jendral!” teriak Jevano.

Jendral mengangkat kepalanya, menyadari situasi yang akan terjadi, ia segera memindahkan kedua tangannya, menutupi tubuh Jevano, “JEVANO NUNDUK!”

Dan tabrakan itu tak dapat di hindari.

Mobil terbalik beberapa kali, di dalam sana, ada seseorang yang berusaha bertahan dan ada seseorang yang berusaha melindungi.

Semuanya terjadi begitu cepat sebelum dunia terasa gelap.

“Lo tadi nyuruh gue buru-buru? dan sekarang belum siap kayak gini?“ kata Jendral saat sudah sampai di rumah, menemukan sosok Jevano sedang berbaring santai di ruang televisi.

“Iya sebentar, tunggu sebentar lagi, tanggung,” jawab Jevano sambil menunjuk ke arah televisi.

Jendral mendecak sebal, pasalnya ia rela meninggalkan tongkrongannya karna Jevano yang memaksa minta ditemani. Ia pikir sesampainya di rumah mereka akan segera pergi, namun ternyata tidak.

“Gue balik ke rumah Nathan aja ya?”

“Ya jangan dong, Jen!?”

“Ya makanya cepet. diluar mendung, gue gak mau bawa mobil.”

Kepala Jevano menoleh cepat ke arah Jendral, “Kok gitu? Gue gak mau naik motor, Jen.”

“Lo pergi sendiri ajalah, Jev. Jangan sama gue.”

Melihat wajah Jevano yang tiba-tiba menjadi murung, Jendral pun dengan cepat meralat ucapannya, “Bercanda gue, yaudah buruan. Sekarang atau gak sama sekali.”

Perkataan Jendral membuat Jevano dengan segera bangkit dan berlari ke kamarnya, segera berganti baju, sebelum saudara kembarnya itu berubah pikiran dan benar-benar tak mau menemaninya pergi.

—-

Baru saja keluar dari gerbang perumahan, hujan pun turun dengan derasnya. Membuat Jendral sedikit mendecak sebal,

“Kan apa gue bilang, hujan kan?”

Jevano memutar bola matanya, “Yaudah sih, kan naik mobil juga.”

“Abis di cuci nih, makanya gue males. Lagian lo mau beli apaan sih di Gramed? Gak bisa di gojekin gitu?”

Jevano menggeleng, “Enggak, buku biologi, edisi terbaru. Disuruh sama ibu Ina buat olimpiade.”

“Ibu Ina nih gak mau jadi donatur ya? Nyuruh beli buku mulu tapi gak ngasih duit.” Pundak Jendral dipukul pelan oleh Jevano.

“Ya gak gitu konsepnya! Kan ini buku rekomendasi buat belajar!”

Jendral menggelengkan kepalanya, “Ya ya terserah anak olimpiade dan urusannya lah.”

Setelahnya mereka sampai di tempat tujuan. Jendral memutuskan untuk tidak ikut turun, awalnya ada sedikit perdebatan dari Jevano. Namun Jendral tetap pada pendiriannya, karna kalau ia ikut turun, Jevano pasti akan lama sekali mengelilingi toko buku ini.

Dan benar saja, tak sampai 20 menit, Jevano sudah kembali lagi ke dalam mobil dengan membawa sebuah kantong belanja.

“Tumben cepet?” tanya Jendral begitu Jevano sudah duduk di kursinya.

“Gak seru aja gitu gak ada yang nungguin, boring!” Lalu tubuhnya menghadap ke arah Jendral, “Lo mau gak turun sekarang? Temenin gue keliling?”

Dengan cepat Jendral segera melajukan mobilnya, tidak memberi jawaban lewat kalimat namun langsung bukti di hadapan Jevano.

“Nyebelin banget setan!” seru Jevano. Sementara Jendral terkekeh pelan.

“Lo sering-sering bawa mobil deh. Nanti lama-lama lo lupa gimana caranya bawa mobil. Gimana mau pergi sendiri?” ucap Jendral secara tiba-tiba. Membuat Jevano menaikkan sebelah alisnya.

“Dih apaan sih ngomongnya? Kan ada lo. Ngapain juga gue harus sendirian, kan lo selalu nemenin gue.”

Jendral tersenyum tipis, “Gue kan cuma bilang aja. Lo harus bisa gerak sendiri, Jev. Gue gak mungkin selamanya sama lo, kan?”

Tak ada suara dari Jevano. Bahkan setelah 10 menit berlalu tetap tak ada pembicaraan. Suasana terlalu awkward bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian, Jendral memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket, sebelum turun ia menoleh ke arah Jevano, “Mau apa?”

“Jangan ikut turun, hujan masih deres.” Lanjutnya lagi.

“Apa aja.” jawab Jevano. Sejujurnya ia masih kesal dengan ucapan Jendral tadi.

Setelahnya Jendral turun dan tak sampai 10 menit kemudian ia kembali masuk ke mobil.

“Es krim.” kata Jendral sambil memberi es krim ke Jevano.

“Kok?” tanya Jevano bingung.

“Lo lagi ngambek, jadi kuncinya cuma ini. Dikit aja, sisanya simpen di rumah.”

“Makasih…”

Jendral mengangguk pelan, lalu segera melakukan mobilnya. Jalanan sedikit sepi dan semakin susah dilihat karena derasnya hujan.

Jevano kemudian membuka es krim yang diberikan oleh Jendral, baru mau menyendokkan es krimnya, mobil bergoyang dan sendoknya terjatuh di dekat kaki Jendral,

“Jen itu sendoknya jatoh di kaki lo.” adu Jevano.

cw // tw // car crash

Membuat Jendral menunduk dan melihat dimana sendok itu berada, lalu kemudian ia menunduk untuk mengambil sendok tersebut.

Layaknya hujan yang datang tanpa aba-aba.

Mobil dari arah berlawanan juga datang tanpa aba-aba.

Jendral tak menyadari kalau setirnya terlalu ke kanan saat itu. Yang membuat mobilnya keluar jalur.

“Jendral!” teriak Jevano.

Jendral mengangkat kepalanya, menyadari situasi yang akan terjadi, ia segera memindahkan kedua tangannya, menutupi tubuh Jevano, “JEVANO NUNDUK!”

Dan tabrakan itu tak dapat di hindari.

Mobil terbalik beberapa kali, di dalam sana, ada seseorang yang berusaha bertahan dan ada seseorang yang berusaha melindungi.

Semuanya terjadi begitu cepat sebelum dunia terasa gelap.

Suara hembusan nafas berat terdengar dengan jelas oleh dua laki-laki yang ada di dalam mobil ini. Jelas sekali, suara hembusan nafas itu berasal dari laki-laki di kursi penumpang yang membaluti tubuhnya dengan jaket abu-abu.

“Jev, lo tau kan yang bisa denger lo nangis cuma gue doang?”

Jevano, sebagai sosok yang sedari tadi terus menghembuskan nafasnya menjawab dengan gelagapan, “A-apasih Jen, orang gak kenapa-kenapa juga.”

Jendral tersenyum tipis, bohong sekali. Padahal terdengar jelas suata hembusan nafas itu, serta suara Jevano yang bergetar saat menjawab ucapan Jendral.

“Gak apa-apa padahal kalo mau nangis di depan gue, sambil keliling Jakarta deh biar lama nangisnya.”

Jendral menggerakkan tangannya, menepuk pelan pundak Jevano, “Gak apa-apa.”

Dalam hitungan ke-tiga, air mata mulai lolos dari Jevano. Sesak yang ia tahan sedari tadi akhirnya keluar juga. Air mata yang mati-matian tak ingin ia keluarkan, akhirnya keluar juga.

Dan selalu, selalu Jendral yang menjadi saksi di tiap tangisan milik Jevano. Kembarannya itu hanya akan diam tanpa bertanya atau mengucap sepatah katapun jika Jevano sedang seperti ini.

Jevano menoleh ke arah Jendral yang sedang fokus ke arah jalanan, “Maaf ya, ngecewain lagi…”

“Yang kecewa tuh siapa sih?” tanya Jendral dengan cepat. “Diri lo sendiri, kan? Gak apa-apa, itu kan perasaan lo.”

“Gue? Gue gak pernah kecewa sama lo, gue ada di tiap proses yang lo jalanin. Jadi gue tau apa aja yang udah lo lewatin, dan lo tau? Gue bangga banget ngeliat lo, sumpah.”

Jendral mendorong pelan pundak Jevano, “Kita kan ada ikatan batin, masa lo gak ngerasain perasaan itu sih?!”

Kini giliran Jevano yang terkekeh, ia menghapus sisa air mata di pipinya, “Cengeng banget gue.”

Jendral mendecak sebal, “Udah gue bilang perasaan lo valid, nangis kan reaksi alami, bukan cengeng. Wajar aja lo nangis, lo gagal, lo kecewa sama diri sendiri.”

“Tapi balik lagi, jangan lama-lama ya nyimpen perasaan kecewanya. Jadiin pelajaran, next time lo harus lebih bagus dari ini.“

Akhirnya sebuah senyuman terbit di wajah Jevano diiringi dengan anggukan pelan.

“Makasih ya, Jen.”

“Buat?”

“Buat selalu bikin gue percaya diri dan bangga sama diri gue sendiri.”

Hati Jendral menghangat, “Sama-sama ya, Jev.”

“Bayar ya tapi,” kata Jendral tiba-tiba.

“Dihhh gitu dia,” balas Jevano.

“Bercandaaaaa, lo mau kemana? Biar gak sedih lagi. Mau ke rumah baca?”

Jevano menggeleng pelan, “Enggak, nanti lo bosen.”

“Ya gak apa-apa kalo mau.”

Jevano kembali menggeleng, “Makan nasi goreng depan komplek mau? Gue yang traktir.”

“Let’s goooo!”

— 122

Saat sedang asyik bertukar cerita, tiba-tiba saja pintu ruang rawat inap Ghazy diketuk.

Baik Gabri maupun Ghazy sama-sama menoleh ke arah pintu dan mendapati sosok wanita cantik yang melangkah masuk.

“Bunda!” teriak Ghazy antusias, seperti sudah lama tak bertemu dengan sosok yang ia panggil Bunda itu.

“Kamu ini, kayak bunda tinggal lama aja. Baru berapa jam loh, Zy…”

Wanita cantik itu terkekeh, Gabri yang sadar akan posisinya langsung bangkit dari kursi dan mempersilahkan wanita itu untuk duduk.

Bunda Ghazy, Anita, yang melihat sosok Gabri disana langsung mengerutkan keningnya.

“Temennya Ghazy?”

Gabri mengangguk, “Ah iya tante, baru temenan kelas 11 ini.”

Pandangan Bunda berubah ke arah Ghazy, “Ini?”

“Iya, udah iya bunda jangan dibahas disini.”

Bunda terkekeh pelan, “Oalah temen barunya Ghazy ya?”

“Hehe iya, tante.”

“Jangan panggil tante, bunda aja.”

“Oh iya bunda, Gabri temen barunya Ghazy.”

Bunda menolehkan kepalanya, “Gabri?”

“Iya bun, kan aku udah pernah bilang waktu itu, temen baruku namanya Gabri. Gabriel Bumi.”

“Gabriel Bumi?”

Gabri mengangguk. Ghazy dibuat heran. Kenapa ekspresi Bunda terlihat aneh.

“Bun? Ada masalah?” tanya Ghazy.

Bunda menggeleng dengan cepat, “Enggak, gak ada masalah.”

Bunda kemudian bangkit dari posisinya, segera menuju ke arah meja, menyusun barang-barang yang ia bawa dari rumah.

Sementara Ghazy yang merasa aneh pada tingkah sang Bunda hanya menatap heran. Sedangkan Gabri langsung menatap ke arah Ghazy.

Ada yang salah dari gue?” tanya Gabri tanpa suara. Yang dijawab dengan gelengan oleh Ghazy karna ia tak ingin Gabri berpikiran seperti itu.

“Gabri…”

“Ah iya, bun?”

“Udah makan? Mau makan masakan bunda?”

Gabri menoleh ke arah Ghazy, saling bertatapan. Ghazy memberi isyarat dengan anggukan.

“Boleh, bun?”

“Boleh. Ini untuk Gabri.”

Sesuai janji kemarin, kini Gabri, Abim dan juga Dava sedang berada di mobil Gabri untuk menuju ke rumah sakit.

Hari ini sekolah terasa sepi bagi ketiga anak laki-laki itu. Pasalnya mereka masih merasa asing dengan ketidakhadiran Ghazy ke sekolah.

“Hari ini udah boleh masuk gak?” tanya Abim.

Gabri menggeleng pelan, “Gak tau.”

“Harusnya dih boleh ya, biasanya kalo udah lewat sehari sih udah boleh.” sahut Dava.

“Nyokapnya Ghazy gimana? Ada tuh nemenin?”

“Kemaren katanya ada, ya gak mungkin gak ada sih. Pasti udah sampe nyokapnya. Kebetulan kemaren gue udah balik aja.” kata Gabri.

Akhirnya mereka pun sampai di rumah sakit, mereka menyusuri lorong demi lorong, mengikuti arahan Gabri yang sudah tau dimana ruang rawat inap milik Ghazy.

Begitu sampai di ruangan bertuliskan 304, Gabri segera mengintip dari kaca yang ada di pintu. Setelah memastikan aman, ia pun segera mengetuk dan membuka pintu dengan pelan.

Ghazy yang sedang bersandar di kasurnya menoleh dengan pelan, ia mendapati ketiga temannya sedang masuk satu persatu.

“Ghazyyyyy—“

Mulut Abim segera ditutup oleh Dava, berisik sekali.

Ghazy terkekeh pelan, berusaha untuk merubah posisinya menjadi duduk. Namun Gabri lebih dulu menahannya, “Udah ngapain, kayak tadi aja.”

“Gak enak ada kalian.”

“Santai elaaaah.” Kali ini giliran Dava yang menyahuti.

Akhirnya kunjungan hari itu pun di akhiri dengan Abim yang terburu-buru karna harus bimbel serta Dava yang sudah ditelfon orang tuanya berkali-kali.

Meninggalkan Gabri bersama Ghazy di ruang rawat inap.

“Kenapa lo banyak diem?” tanya Ghazy langsung membuat Gabri tersadar seketika.

“Keliatan ya?”

Ghazy mengangguk pelan. “Gab tolong ambilin buah di situ boleh gak? Tadi di potongin bunda sebelum dia pulang.”

Gabri segera melangkah dan mengambil mangkuk buah yang tertutup plastic wrap itu dan memberikannya pada Ghazy.

Lama ia memandangi Ghazy yang sibuk memakan buah-buahan, sampai Ghazy tersadar ia sedang di perhatikan.

“Gab? Ngapain liatin gue gitu amat?”

Gabri menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah.

“Tapi lu jangan marah.”

Ghazy hanya mengangkat alisnya sebagai tanda kalau ia menunggu apa kalimat selanjutnya dari Gabri.

“Jadi gini… Kan lo tau ya kemaren lo tuh pingsan, literally pingsan di tangan gue. Mana dari Bandung sampe Jakarta lo gak sadar juga, ya gue panik kan?”

Gabri memulai ceritanya dengan menggebu-gebu sementara Ghazy hanya memperhatikan.

“Terus terus pas nungguin lo kemaren, gue liat dokter yang keluar dari ruangan lo, dan gue kenal banget dia siapa.”

Ghazy menurunkan mangkuk di tangannya dengan perlahan, “Om Wirya, kan?” Gabri melanjutkan.

Lama Gabri diam, Ghazy juga masih menunggu lanjutan kalimat dari sahabatnya itu.

“Spesialis jantung?

Gue minta maaf kalo kesannya gue ganggu privacy lo, maaf banget. Tapi iya kemaren gue sempet nanya ke om Wirya dan gak dapet jawaban apapun.”

Gabri menoleh ke arah Ghazy, “Gue juga ngaku salah sih… Soalnya gue gak nanya ke lo dulu dan mastiin ke lo tapi malah nyari info sendiri, maaf ya, Zy…”

Ghazy terkekeh pelan, “Gak apa-apa. Jadi, apa kesimpulan lo tentang gue?”

Bukannya marah, Ghazy malah balik bertanya pada Gabri untuk memberikan jawaban serta opini menurut Gabri sendiri. “Biar lo gak penasaran lagi.”

“Gue gak tau pastinya, tapi gue yakin penyakit lo ada hubungannya sama jantung. Dari nebulizer di rumah lo yang gue asumsiin lo pasti ngalamin yang namanya sesak nafas, lo yang gak pernah ikut pelajaran olahraga, lo yang selalu bawa bekal bikinan nyokap lo, sama jam tangan lo,”

Gabri menunjuk ke arah lengan Ghazy, “Buat nge track ritme jantung lo?”

Ghazy mengangguk pelan, “Iya.”

“Lo… Sakit apa…?”

Diam. Gabri diam, Ghazy juga diam. Tak ada yang menjawab pertanyaan Ghazy. Gabri merutuki dirinya sendiri karna merasa dirinya mungkin sudah kelewat batas.

Gabri bodoh, katanya dalam hati.

“Penyakit jantung bawaan.”

“Hah?”

Ghazy mengangguk pelan.

“Iya, penyakit jantung bawaan.”

Bentar, apa? Penyakit jantung bawaan? Pemikiran Gabri tak sampai kesana, tapi ternyata…

“Dari gue lahir gue udah simpen penyakit ini. Bisa dibilang gue hidup bareng penyakit ini. Penyakit yang menghambat tumbuh kembang gue. Yang bikin gue harus homeschooling bertahun-tahun.”

Ghazy membenarkan posisinya, “Penyakit yang bikin gue gak bisa kayak anak-anak lain. Gak bisa capek, gak bisa olahraga, gak bisa banyak main sama temen, bahkan gak bisa makan apapun sebebas anak-anak lain.”

“Zy… Gak usah diceritain…”

Ghazy tersenyum tipis, “Gak apa-apa. Lo udah liat gue drop parah karna kecapean kemaren. Gue rasa lo juga berhak tau.”

Pandangannya mengarah menatap ke arah Gabri yang masih terdiam di tempatnya, “Kan kita temen.”

“Dava tau, ini giliran lo yang tau. Nanti kapan-kapan giliran Abim.”

Gabri terkekeh, “Abim udah curiga dari lama, gara-gara Dava nitip obat ke dia yang katanya vitamin. Abim juga nyadar lo gak pernah olahraga, gue rasa dia udah sedikit tau, tapi dia gak sekepo gue.”

“Um.. Sorry…”

“Kan udah gue bilang jangan say sorry.”

Akhirnya, Gabri lega. Sudah mengetahui apa yang dialami sahabatnya sendiri. Rasa gelisah di hati Gabri tiba-tiba saja menghilang.

“Abis ini, treat gue kayak anak biasa aja. Jangan dikit-dikit kasian. Gue gak suka kalo di gituin. Soalnya Dava dulu begitu pas awal-awal.”

Gabri mengangguk sebagai jawaban, “Tenang aja tenang. Ini juga gak akan bocor ke siapapun.”

“Tapi, Zy,”

Ghazy menaikkan alisnya lagi.

“Kenapa lo akhirnya mutusin buat berhenti homeschooling dan masuk sekolah biasa?”

“Simple aja.”

Ghazy menatap lurus ke depan, seakan-akan sedang memutar kenangan yang pernah ia lalui.

“Gue pengen ngerasain apa itu sekolah normal, punya temen, bisa pergi main bareng temen. Gue pengen banget ngerasain itu sekali aja.”

“Gue gak tau sampe kapan gue bisa hidup, tapi seenggaknya gue harus jalanin apa yang gue pengen sekali seumur hidup gue.”

“Dan masuk sekolah biasa itu adalah salah satu keinginan terbesar gue selama gue hidup.”

Langit Jakarta sedang mendung, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi. Gabri, yang duduk di dalam mobil, hanya memfokuskan pandangannya pada jalanan di luar sana. Kemacetan Jakarta merupakan makanan sehari-hari untuk Gabri.

“Mas Gabri, ini mau langsung pulang?”

Gabri di tempat duduknya hanya mengangguk, karna ia tau sang supir bisa melihat gerakan itu dari kaca depan.


Sesampainya di rumah, Gabri di sambut dengan pemandangan sang Papa yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, “Surprise. Papa tungguin kamu daritadi.”

Gabri langsung mendekat dan segera memeluk sang Papa,

“Kamu kenapa? Kok wajahnya muram gitu.” Ekspresi wajahnya tak bisa ia tutupi.

“Mau cerita gak sama Papa?”

Gabri menghela nafasnya pelan, “Sebelum cerita Gabri mau minta maaf dulu.”

“Kenapa?”

“Soalnya kayaknya Gabri udah kelewatan deh, Pa. Nanyain privacy orang yang bukan urusan Gabri…”

Bagas, sang Papa, mengerutkan alisnya, “Kamu ngapain?”

“Aku nanya ke om Wirya, karna dia kan pasien om Wirya. Ya walaupun om Wirya gak mau jawab, tapi Gabri ngerasa bersalah aja gitu udah nanya-nanya. Kayaknya temen Gabri juga gak akan suka kalo privacy-nya ditanya-tanya.”

Bagas terkekeh pelan, “Kamu sebelum nanya ke om Wirya udah nanya ke temenmu belum?”

Gabri menggeleng pelan.

“Ya kalo gitu emang kamu pantes ngerasa bersalah, kalo emang penasaran, ya kamu tanya langsung ke temenmu. Kalo temenmu gak mau kasih tau, ya sudah, berarti itu emang privacy dia.”

Gabri menyenderkan tubuhnya pada sofa sambil menyilangkan kedua tangannya, “Ish! Heran banget aku kenapa sih kepoan gini, Pa?!”

“Kamu bukan kepoan. Kamu lagi khawatir sama temenmu.”

Apakah iya? Gabri sedang khawatir dan takut dengan apa yang terjadi dengan Ghazy? Apakah benar?

“Siapa temen kamu? Yang olimpiade bareng ini kan?”

Sebagai jawaban, Gabri mengangguk pelan, “Iya Pa, Ghazy namanya.”

“Ghazy?”

“Ghazy Langit.”

Bagas diam, memandangi Gabri yang kini sedang fokus dengan ponselnya,

“Temenmu sudah bisa dijenguk besok?”

“Gak tau, mungkin bisa sih, Pa.”

“Besok Papa ikut ya, jenguk temenmu.”

Gabri memandangi knop pintu yang ada di depannya, matanya bergulir ke arah sebuah tanda pengenal di pintu itu. Tertulis Dr. Wirya Sulistyo, Sp.JP, FIHA di sana, ia mengenal betul sosok Wirya karna beliau merupakan sahabat dari sang Papa, yang tentunya sering datang ke rumah dan sering bertemu dengan Gabri. Bisa dibilang, Gabri cukup dekat dengan Wirya.

Masalahnya bukan itu, tetapi saat ini Gabri memiliki niat untuk menggali informasi seseorang yang tak ada hubungan apapun dengannya selain “pertemanan”. Gabri juga ragu kalau Wirya akan memberikannya informasi. Gabri juga takut pada reaksi Ghazy saat tau Gabri mengorek informasi tentang dirinya.

Ada banyak sekali isi kepala Gabri saat ini.

Inhale… Exhale…

Ia terus melakukan gerakan menarik serta menghembuskan nafas berulang kali.

Setelah mengumpulkan keberanian, Gabri pun mengetuk pelan pintu di hadapannya.

“Masuk.”

Terdengar jawaban dari dalam sana, Gabri kembali memantapkan tekadnya, karna sekali ia melangkah ke ruangan Wirya, ia tidak boleh mundur.

Gabri menaikkan dagunya, lalu membuka pintu dan masuk dengan berani. Wirya yang awalnya fokus dengan berkas di mejanya langsung mengernyit heran saat mendapati Gabri yang sudah duduk di kursi yang berada di hadapannya.

“Loh Gabri? Kirain siapa, tumben nyamperin om?”

“Gabri sebenernya pengen nanya gitu sih om,” kata Gabri tanpa basa-basi. Membuat Wirya meninggalkan kegiatannya dan langsung terfokus menatap Gabri.

“Ngomong apa?”

Gabri menggigit bibirnya, sedikit nervous.

“Om sebenernya papa gak pernah ngajarin aku gini sih om, tapi aku penasaran banget dan ini menyangkut nyawa seseorang alias temen aku sendiri. Jadi please om jawab, ya?”

Wirya terdiam, sedikit tahu maksud Gabri datang ke ruangannya sore ini. “Kenapa, Gab?”

“Ghazy itu pasien om ya?”

Wirya mengangguk pelan sebagai jawaban, tidak menjelaskan secara rinci apa yang ditanyakan oleh Gabri.

Sebelum Gabri bertanya lagi, Wirya lebih dulu bersuara, “Kamu temenan sama Ghazy?”

“Iya om, semenjak satu kelas kita temenan. Terus sekarang sering jadi pair buat olimpiade dari sekolah.”

Wirya tersenyum tipis, entah apa artinya.

Lama Gabri diam, ia juga meminta maaf dengan sungguh-sungguh dari dalam hatinya, untuk Ghazy karna telah menggali kehidupannya sampai sedalam ini, dan untuk Papa karna dirinya harus melanggar privasi seseorang seperti ini, tidak seperti apa yang sang Papa ajarkan.

“Om, Ghazy sakit apa?”

Wirya menghela nafasnya pelan, “Gabri, bukan ranah om untuk membocorkan informasi pasien.”

“Jadi, Om gak mau jawab?” Terdengar nada kecewa dari intonasi Gabri.

“Bukan hak om untuk ngasih tau info sepenting ini dan privacy pasien. Kalau kamu emang beneran pengen tau, kenapa gak kamu coba tanya ke Ghazy?”

Gabri mendecak pelan, boro-boro mau bertanya pada Ghazy. Anak itu saja, sangat tertutup pada Gabri.

Kembali memutar otak, Gabri memikirkan sebuah pertanyaan lagi.

Gabri menatap wajah Wirya dalam, “Kalo gitu, terakhir deh om, Ghazy jadi pasien om sejak kapan?

Sekali lagi Wirya menghela nafasnya, Gabri ini benar-benar keras kepala.

“Sejak bayi. Ghazy sudah jadi pasien om sejak bayi.”

Jakarta

Kalau beberapa jam sebelumnya Gabri mondar mandir di depan ruang IGD, sekarang dia sedang mondar mandir di depan ruang rawat inap. Entah kenapa, Ghazy yang baru sampe di rumah sakit tadi langsung di ambil alih oleh dokter dan diantar menuju ruang rawat inap. Seakan-akan tempat itu sudah disiapkan? Mungkin memang benar, tapi…. Ah sudahlah, banyak sekali hal yang mengisi kepala Gabri saat ini.

Gabri sudah menghubungi Dava dan Abim, juga sang Papa, dia baru saja memberitahu di ruangan mana Ghazy dirawat.

Gabri tak bisa melihat banyak hal dari luar sini, namun beberapa hal yang dia tau adalah banyak sekali alat medis yang ditempelkan pada tubuh Ghazy. Lagi-lagi hal itu membuat Gabri bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi pada Ghazy?

Pak Lazu tidak ada disini, beliau kembali mengurus administrasi Ghazy, membantu Bunda Ghazy yang masih diluar kota.

Tak lama kemudian, pintu kamar inap Ghazy terbuka dan muncul sosok dokter yang … Familiar? Di mata Gabri.

“Loh, om Wirya?”

Sosok yang di panggil om Wirya itu awalnya sedang sibuk dengan kertas di tangannya, namun kala namanya disebut dia segera mengalihkan pandangannya ke arah Gabri. “Gabri?”

“Kamu ngapain disini?” Lanjutnya.

“Ini di dalem temen Gabri, om ngapain?”

Reaksi Wirya tak bisa Gabri gambarkan, aneh.

“Oh temennya Ghazy. Ya sudah, om ke ruangan sebentar, kamu boleh masuk kok ke dalem.”

Gabri mengintip ke dalam kamar inap Ghazy, “Belum bangun ya om si Ghazy?”

Wirya menggeleng, “Belum, karna baru disuntikkan obat lagi, tapi nanti juga bangun kok. Tenang aja,” kata Wirya sambil menepuk pelan pundak Gabri, “Om duluan ya.”

Selepas kepergian Wirya, Gabri kembali menyusun kepingan puzzle di kepalanya.

Ghazy, kondisi Ghazy, kehidupan Ghazy, aktivitas Ghazy, serta… Wirya…

Oh, shit. Gabri tahu ada apa.

Gabri tak henti-hentinya mondar mandir di depan pintu ruangan IGD. Di dalam, Ghazy sedang diperiksa oleh dokter serta beberapa suster. Sementara Pak Lazu berdiri lumayan jauh dari Gabri sambil menelepon seseorang yang entah siapa.

Hati Gabri tidak tenang, entah apa penyebabnya, mungkin ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi Ghazy. Bagaimana tidak? Pingsan pada lengan Gabri dalam keadaan hidung penuh darah serta wajah yang pucat pasi.

Terlihat Pak Lazu yang kini melangkah mendekati Gabri, “Kamu tunggu sini, om mau urus administrasi sekalian ambulance.”

Alis Gabri naik, “Ambulance om?”

“Bundanya Ghazy minta tolong urus segalanya, dia baru dapet flight nanti sore, Ghazy diminta buat pindah ke Rumah Sakit Pelita Harapan.”

Tak menunggu respon dari lawan bicaranya, Pak Lazu lebih dulu melangkah meninggalkan Gabri yang kini memandang Ghazy dari pintu kaca ruang IGD. Temannya itu sedang tertidur pulas, tentunya dengan wajah pucat pasi serta bercak darah di baju putih miliknya.

Setelah beberapa jam menunggu, ambulance sudah siap, begitu pula dengan Gabri dan Pak Lazu yang kini sudah berada di mobil yang posisinya persis dibelakang ambulance yang berisikan Ghazy. Ghazy masih belum sadar juga, itu membuat kepanikan Gabri bertambah.

“Om tau gak, sebenernya Ghazy itu sakit apa?” tanya Gabri sambil memandangi ambulance di depannya.

Pak Lazu menggeleng, “Om juga gak tau, bukan ranah kita juga untuk tau.”

Ingatan Gabri kembali pada saat ia datang ke rumah Ghazy dan menemukan Nebulizer di atas meja serta laci bertuliskan nama Ghazy.

“Tapi aku pernah ke rumahnya om, ada nebulizer disana.”

Pak Lazu mendecak, “Di rumah om juga ada, dulu Bimbum kan suka pilek dan kalo gak bisa nafas ya pake nebulizer.”

“Tapi kan….” Gabri terdiam, tak mau melanjutkan perkataannya dan membiarkan pikirannya menjadi sebuah tanda tanya.

Gabri tak henti-hentinya mondar mandir di depan pintu ruangan IGD. Di dalam, Ghazy sedang diperiksa oleh dokter serta beberapa suster. Sementara Pak Lazu berdiri lumayan jauh dari Gabri sambil menelepon seseorang yang entah siapa.

Hati Gabri tidak tenang, entah apa penyebabnya, mungkin ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi Ghazy. Bagaimana tidak? Pingsan pada lengan Gabri dalam keadaan hidung penuh darah serta wajah yang pucat pasi.

Terlihat Pak Lazu yang kini melangkah mendekati Gabri, “Kamu tunggu sini, om mau urus administrasi sekalian ambulance.”

Alis Gabri naik, “Ambulance om?”

“Bundanya Ghazy minta tolong urus segalanya, dia baru dapet flight nanti sore, Ghazy diminta buat pindah ke Rumah Sakit Pelita Harapan.”

Tak menunggu respon dari lawan bicaranya, Pak Lazu lebih dulu melangkah meninggalkan Gabri yang kini memandang Ghazy dari pintu kaca ruang IGD. Temannya itu sedang tertidur pulas, tentunya dengan wajah pucat pasi serta bercak darah di baju putih miliknya.

Setelah beberapa jam menunggu, ambulance sudah siap, begitu pula dengan Gabri dan Pak Lazu yang kini sudah berada di mobil yang posisinya persis dibelakang ambulance yang berisikan Ghazy. Ghazy masih belum sadar juga, itu membuat kepanikan Gabri bertambah.

“Om tau gak, sebenernya Ghazy itu sakit apa?” tanya Gabri sambil memandangi ambulance di depannya.

Pak Lazu menggeleng, “Om juga gak tau, bukan ranah kita juga untuk tau.”

Ingatan Gabri kembali pada saat ia datang ke rumah Ghazy dan menemukan Nebulizer di atas meja serta laci bertuliskan nama Ghazy.

“Tapi aku pernah ke rumahnya om, ada nebulizer disana.”

Pak Lazu mendecak, “Di rumah om juga ada, dulu Bimbum kan suka pilek dan kalo gak bisa nafas ya pake nebulizer.”

“Tapi kan….” Gabri terdiam, tak mau melanjutkan perkataannya dan membiarkan pikirannya menjadi sebuah tanda tanya.