Matahari Kalah, Shino Juga Kalah.

Shino menyukai bagaimana ia tersenyum.

Matahari kalah cerah, pikirnya. Kalau boleh jujur, Shino tak pernah bosan memandang wajahnya, terlebih lagi jika wajah manisnya dihiasi senyuman. Senyum yang manis, hangat, favoritnya. Iya, favoritnya, yang selamanya akan menjadi favoritnya.

Pula, Shino menyukai bagaimana caranya ia tertawa.

Tawa yang tercipta dari suara yang mampu menggetarkan hatinya semalaman—yang terkadang tak disadarinya. Sebenarnya, pemuda itu tak tertarik pada hal-hal berbau romansa untuk ia jalani. Euforia pun hanya dirasakannya ketika berada di lingkungan keluarga tuannya; bangsawan Blanchett dari timur, di mana hidupnya diabdikan dengan sepenuh hati. Bersama dengan sang tuan, nyonya, dan putra tunggal kesayangan yang telah menyelamatkannya dari pahit dunia, ia mengenal tempat untuk berpulang. Ia juga mengenal tempat untuk berbahagia. Hatinya terbuka. Dan sejak ia pergi ke manor untuk pertama kalinya, ditambah bertemu dengan seorang Aria, hatinya terbuka lebih lagi.

Hati Shino diselimuti rasa hangat yang asing jika suara Aria memanggilnya dengan sebutan-sebutan mengejek.

Seperti, pendek, kecil, atau satir, yang kemudian dibalasnya dengan tua karena memang kenyataannya Aria jauh lebih berumur ketimbang Shino. Panggilannya mengejek, menyindir, tapi terasa spesial. Shino belum pernah mendapat yang seperti itu.

Kedektannya dengan Aria bagai menghasilkan bunga-bunga kecil di padang rumput yang polos tak berkarakter.

Pernah, saat itu Aria meminta Shino untuk memakai baju yang cantik. Shino, penyihir dari timur yang cenderung memerhatikan kenyamanan dalam berpakaian, awalnya merasa malas untuk memenuhi keinginan si penyihir barat. Tapi, Shino juga tak ingin senyum favoritnya berubah menjadi lengkungan kekecewaan. Akhirnya, setelah perdebatan kecil antara otak dan hati Shino dari a sampai z, ia menyetujuinya. Siapa sangka, pekikan bahagia Aria selanjutnya membuat pipi si penyihir timur terasa panas?

Mereka membuat janji untuk bertemu di salah satu spot yang cocok untuk quality time pada suatu siang. Shino memutuskan untuk memakai baju buatan seorang penduduk desa yang pernah dipakainya untuk melakukan sebuah festival Upacara Melihat Bulan; The Great Calamity. Mungkin Aria belum pernah melihatnya memakai baju ini, pikirnya.

“Woahh, bajunya cantik banget!”

Shino tersenyum.

“Siapa yang buat? Chloe?”

Dan seketika rasanya jadi dongkol.

“Bukan Chloe. Ada yang membuatnya untukku, saat penyihir utara dan timur bertugas untuk melaksanakan Upacara Melihat Bulan,” jelas Shino. Aria membentuk huruf o di mulutnya.

“Biru tua, ada bintang-bintang ... cocok banget sama kamu.”

Mendadak euforia menyelimuti hati yang sudah lama tak dikunjunginya. Shino bingung, Ia harus apa? Apa ia harus tersenyum lagi dan mengucapkan terima kasih?

“Tapi karena bajunya panjang, kamu kelihatan lebih kecil.”

Oke, ia urungkan saja.

Iris merah terangnya melempar tatapan malas, “Udahan ngejeknya? Kalau iya, aku mau kembali dan ganti baju.”

“Eh, tunggu!” cegah Aria, “Ayo ke sana dulu!” tambahnya sembari menunjuk hamparan rumput hijau yang cukup memanjakan mata. Begitu dua pasang kaki itu melangkah ke sana, mereka baru dapat melihat jelas ada bunga-bunga kecil yang menghiasinya.

Persis dunia Shino ketika Aria masuk dan hadir di dalam hidupnya.

Oh, jangan lupakan bahwa Shino menyukai wajah cantik paripurnanya.

Surai pendek indah milik Aria menari dihembus angin, begitu pula ketika sang empu menidurkan dirinya di antara rerumputan. Shino menyusul di sebelah Aria—tergoda untuk mengusap surai Aria yang tergeletak begitu saja. Senyum manis Aria seperti matahari yang tak lelah bertengger menyinari semesta dengan segala isinya. Ralat, Shino berpikir itu lebih daripada matahari. Matahari kalah.

Tak hanya matahari, Shino juga kalah.

Hatinya kalah, dan membisikkan fakta bahwa ia mencintai segalanya tentang Aria.