Pangeran dan Pesta yang Ia Impikan

Tsukinaga Leo x Chiharu Toruu Royal AU! Commissioned by Toruu


“Dari kecil, Yang Mulia Pangeran tanah kita ini memang menyukai musik. Biasanya, Yang Mulia menghampiri kami—para pelayan—sambil tersenyum lebar, menunjukkan bahwa ia telah berhasil membuat sebuah mahakarya. Tak lain adalah gambar-gambar di kertas, juga notasi musik. Yang Mulia Pangeran juga tak ragu untuk mengajak adiknya, Yang Mulia Putri, untuk bernyanyi bersama. Hubungan keluarga kerajaan sangat harmonis. Ah, sepertinya, Yang Mulia Pangeran sudah menanamkan hatinya pada seni. Saya akan mengabdikan hati dan diri saya sepenuhnya ke keluarga kerajaan.”

Seorang gadis yang sedang menunggu pesanan rotinya matang, merasa sangat beruntung. Karena dalam waktunya yang dipakai untuk menunggu, ia dapat mendengar seorang pelayan kerajaan yang mendapat cuti sedang bercerita betapa elok dan harmonisnya keluarga kerajaan, dan juga betapa cintanya sang pangeran terhadap seni dan musik. Gadis itu tersenyum hangat menatap si pelayan dan orang-orang yang menjadi lawan bicara, walau ia tahu tak akan ada yang menyadarinya.

“Katanya besok ada festival musik ya? Apa Yang Mulia akan datang?”

“Sepertinya, tidak … Baginda Raja tak membolehkan.”

“Toruu, ini rotimu.”

“Ah,” ucapnya tersadar, lalu gadis itu—Toruu, mengambil keranjang anyam miliknya yang sebelumnya hanya ada kentang dan beberapa sayur, kini sudah penuh dengan tumpukan roti lezat. “Terima kasih, Paman.”

Toruu memberikan tujuh keping koin perunggu kepada si penjual roti, dan pergi dari sana dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya.

Kala itu, jalanan terlihat ramai dengan warga biasa, sederajat dengan Toruu sendiri. Toko-toko sudah didekorasi, bendera-bendera terpasang dengan meriah, dan sudah ada panggung di tengah kota.

'Cukup disayangkan jika pangeran tidak bisa melihat festival musik rakyatnya sendiri ….'

Sudah berapa lama, ya, ia tidak melihat pangeran? Seharusnya, pangeran berusia delapan belas sekarang.

'Sudah, Toruu. Ayo fokus. Setelah membeli roti …,' Tangannya membuka catatan kecil tentang barang apa saja yang harus ia beli, 'aku harus beli kain dan pernak-pernik baru.'

Sebagai penjahit yang berpengalaman, tentu Toruu bisa memilah mana kain yang berkualitas dan tidak. Keterampilan dan kreativitasnya telah mengundang banyak warga hingga bangsawan yang tertarik untuk dibuatkan baju, jubah, gaun, suit, dan pakaian lainnya sesuai permintaan. Setiap hari, Toruu sibuk menyelesaikan pesanannya, jadi jarang-jarang ia dapat keluar dengan hati ringan seperti ini. Semua tanggungannya telah selesai dan bahan-bahan di rumahnya habis, maka Toruu memutuskan untuk pergi jalan-jalan sekalian membeli bahan.

Perlahan namun pasti, Toruu membeli beberapa pasang kain yang berkualitas dan pernak-pernik yang cantik di matanya. Selagi tak ada pesanan lagi dan ayah ibunya berada di luar kota, ia meliburkan diri mulai hari ini sampai tujuh hari ke depan. Ia akan menggunakan waktu liburnya dengan membuat sebuah jubah untuk dirinya sendiri.

“Oke, sudah semua. Pulang, deh … Fujin belum makan dari pagi,” monolog Toruu saat ia melihat jam dinding kota yang menunjukkan pukul setengah sepuluh. Fujin—adik laki-lakinya, sebenarnya sudah mengeluh sebelum Toruu berangkat karena tidak ada lauk di rumah. Tapi, setelah menyadari kalau hari ini adalah hari libur sang kakak, Fujin malah menyuruh Toruu untuk jalan-jalan yang jauh. Jelas, Toruu menolak. Mana mungkin ia meninggalkan adiknya sendiri dan kelaparan di rumah?

Adiknya itu baik, adiknya penyayang. Adiknya mengerti situasi kakaknya, membuat Toruu luluh. Oleh karena itu, Toruu membeli satu keranjang roti untuk Fujin dan dirinya.


Setelah makan, Fujin pergi ke perpustakaan umum kota. “Makanan Kakak selalu enak. Sehabis ini, aku juga akan produktif!” katanya. Toruu tersenyum geli karena energi Fujin yang besar sudah pulih.

Toruu sendiri mulai mengerjakan jubahnya. Wajah Toruu yang lembut, kini serius. Sesekali ia mengatur anak rambut hijau lembutnya agar tak menghalangi wajah. Jemari lentiknya memberi coretan pada kertas di hadapan, lalu mengetukkan ujung lain ke dagunya ketika sedang berpikir. Sialnya, sampai sore pun, Toruu belum bisa menyelesaikan desainnya.

“Hmm … sebaiknya aku cari inspirasi dulu.”

“Inspirasi?!”

“Hah?”

Jantung Toruu berdebar, ada suara asing yang terdengar dengan jelas di ruangannya yang sunyi. Toruu mengedarkan pandangannya dengan sedikit panik.

“Di sini!”

Manik hijaunya menangkap sosok di balik pintu yang memiliki kaca. Laki-laki, berambut oranye, bermata hijau, melambai-lambai dengan senyumnya yang menunjukkan taring ….

Tunggu, rambut oranye … dan taring?!

Dengan tergesa, Toruu membuka pintu itu. Dan …

“Apa kau mau mencari inspirasi bersamaku?!”

“T-tunggu, bagaimana Anda bisa berada di sini …? Ini balkon lantai dua?”

“Memanjat saja sih, soalnya aku juga mau sembunyi!”

Toruu berkedip dia kali, “Maaf? Sembunyi dari siapa?”

“Pengawal!” balas pemuda itu, masih dengan tampangnya yang gembira.

“Jadi … Anda … Yang Mulia Pangeran?!”

“Sst!” Pemilik sebutan itu meletakkan telunjuknya ke mulut, “nanti ada yang dengar! Tolong, biarkan aku masuk!”

”... Maaf…?”


“Saya punya banyak pertanyaan untuk Anda ….”

Sang Pangeran kini duduk di salah satu kursi yang tersedia, sedangkan Toruu masih berdiri dan bingung di tempat.

“Aku cuma mau ke festival musik. Katakan padaku, wahai orang biasa, kapan pesta musik itu diselenggarakan?” ungkapnya sambil menatap ke arah Toruu, membuat Toruu sedikit menunduk dan mengalihkan pandang.

“Setahu saya, besok festivalnya mulai—”

“Wahaha, syukurlah!” potongnya, “aku benar-benar bisa melihatnya!”

Wajah Sang Pangeran yang telah menaruh musik dalam hatinya, masih berseri-seri sehingga Toruu merasa iba. Menjadi pangeran sepertinya, bukan berarti bisa seenaknya sendiri. Ke wilayah rakyatnya saja tidak boleh, rasanya seperti terpenjara dalam istana.

“Orang biasa, apa kau mau menolongku?”

Toruu menengadah, “Jika saya bisa, saya akan bantu Pangeran….”

“Kamu pasti bisa,” timpalnya sehabis menatap ke arah mesin jahit dan kain-kainnya, “tolong bantu aku pergi ke festival itu!”

Kebingungan melanda Toruu sekali lagi. Lalu Sang Pangeran melanjutkan, “Apa kau bisa membuatkanku jubah supaya tidak ketahuan saat berada di kerumunan? Tenang! Aku punya sekantong koin emas, akan kuberikan jika kau berhasil membantuku. Bagaimana?”

“Saya … sedikit ragu,” jawab gadis penjahit itu.

“Ayolah, aku yakin kau bisa!” seru sang darah biru, “aku bisa melakukan lebih dari sekantong koin emas untuk balas budi, karena aku sudah menyukai musik sejak kecil! Ketika aku tahu kalau aku tidak boleh melihat festivalnya, rasanya seperti ingin mati! Musik itu temanku, tak ada yang bisa memahaminya!”

Toruu terdiam, sedangkan lawan bicaranya menghela nafas berat. “Baiklah, jika kau tidak bisa. Tapi, izinkan aku menginap di sini semalam. Aku akan memberimu lima koin emas untuk itu … tunggu, siapa namamu?”

“S-saya … Toruu.”

“Oke, Toruu! Tolong, panggil aku dengan Leo saja. Nanti kelepasan pakai pangeran saat berada di kerumunan, wahaha!”

“Tapi saya belum mengatakan kalau saya akan membantu atau tidak ….”

Leo mengedikkan bahu. Sedangkan Toruu menimang-nimang tiap permintaan yang keluar dari mulut Leo.

“Baik, Yang Mulia—”

“Le~o!”

”... Maaf, maksud saya, Anda … Leo, boleh menginap di sini. Tapi, mohon maaf, rumah saya hanya memiliki dua kamar, milik saya—ruangan ini, dan adik saya. Jika Anda tidur di lantai ini, nanti adik saya akan mengetahuinya. Tidak mungkin juga saya mengunci ruangan ini … adik saya akan curiga. Di ruangan lain juga tidak mungkin. Tempat teraman ada di loteng … loteng rumah saya bersih dan ada kasur yang empuk. Bagaimana…?”

“Hmm, tidak apa-apa, sih,” jawab Leo, membuat Toruu melongo. Bahkan, sekelas bangsawan pun biasanya akan murka jika ditempatkan di loteng. Ini keluarga kerajaan, tapi terima terima saja?!

“Leo, Anda pangeran yang baik hati. Sebentar, saya akan mengambilkan selimut. Nanti saya antar ke loteng ….”

Begitu Toruu kembali dengan selimut, Leo langsung menaiki tangga loteng. Padahal Toruu sudah menasehati Leo, tapi pangeran itu seakan tak mendengarnya. Toruu jadi mengerti tentang tindakannya kabur ke sini.

“Terima kasih, Toruu,” ucap Leo begitu dirinya sudah berbaring dengan nyaman di kasur. “Aku mengantuk, jadi kamu turun saja.”

“Baik … semoga tidur Anda nyenyak.”

Toruu turun ke kamarnya sendiri. Untungnya, daerah sekitar sedang sepi. Fujin sendiri baru pulang tak lama setelah Toruu menyatakan bahwa Leo telah aman di loteng.

BRUK! BRUK!

'Sepertinya Yang Mulia terlalu senang atau bagaimana …,' batin Toruu sambil menutup pintu kamarnya perlahan untuk turun ke bawah.

Melihat sang kakak menuruni tangga, Fujin berkata, “Kak, kok rasanya tadi ada yang jatuh ya?”

Yang dipanggil tersenyum masam, “Barang kakak kesenggol, banyak yang jatuh … Kakak bisa mengembalikannya sendiri, kok.”

“Oh, oke~ Nanti aku buatkan kakak teh, ya.” Fujin mengangguk, membuat sang kakak menghela nafas lega. Dilihatnya sketsa desain jubah yang dibawanya.

“Apa aku bisa membantu pangeran, mengerjakan satu jubah dalam semalam …?”

Punggung Toruu rasanya meringis.


“Selamat pagi~ Toruu!”

Ketika bangun, matahari belum terbit sepenuhnya. Kedua manik emeraldnya tampak segar, dan kakinya menapak turun tangga.

Ia menangkap sosok Toruu yang tertidur di depan mesin jahitnya. Leo memiringkan kepala, terheran, sebelum akhirnya ia melihat sebuah jubah cokelat berseling hijau emerald lengkap dengan penutup kepala tergeletak di atas kasur Toruu.

“Kamu … benar-benar mau membantuku melihat musik rakyatku sendiri, ya?”

“Yang Mulia! Maaf … maafkan saya, saya masih tidur tadi.” Toruu tiba-tiba bangun, terkejut melihat Leo yang sudah ada di dekat kasurnya—menatap jubah yang dibuatnya dalam semalam. “Itu … jubah untuk Anda pakai nantinya.”

Dengan berani, Toruu berdiri dan mengangkat jubah terbarunya, “Kalau ukurannya terlalu kecil, saya bisa menambahkan kain nanti. Maaf, karena saya tidak mengukur Anda kemarin.”

“Tidak apa-apa! Aku percaya denganmu, tahu. Aku baru ingat, Toruu adalah nama penjahit yang digemari para bangsawan,” jujur Leo, “mau langsung aku pakai!”

“Saya tersanjung … terima kasih, Yang Mul—”

“Leo!”

“—ia … Leo.”

Mendengarnya, Sang Pangeran tersenyum lebar—menimbulkan rona tipis di pipi gadis penjahit di depannya.


“Tidak, Leo. Seharusnya rambut Anda bisa disisir dengan gaya rambut berbeda, nanti kemungkinan ketahuannya semakin menipis.”

“Ribet! Aku lepas kuncir rambutku saja!”

“Anda waktu kecil, rambutnya juga sama. Nanti juga ketahuan ….”

Usulan demi usulan dilontarkan Toruu agar penyamaran Leo bisa sempurna. Hasilnya ... bisa dibilang mendekati sempurna. Anak poni di samping wajahnya disisir ke belakang telinga, dan kuncir kudanya simetris di tengah kepala. Tidak lupa, tutup kepalanya juga dipakai untuk sedikit menyamarkan wajah.

“Toruu mau makan pagi, 'kan? Aku saja yang bayar. Mau makan apa?”

“Eh, saya saja yang bayar—”

“Tidak, tidak! Karena Toruu sudah banyak membantuku, biarkan aku mentraktirmu! Ayo, ayo, mau apa? Spaghetti, steak, atau apa?”

“Itu terlalu berlebihan. Nasi kari saja….”

“Oke! Tunjukkan padaku penjual nasi kari paling enak!”

Toruu tersenyum. Diajaknya Leo ke toko makanan yang kebetulan letaknya di samping kiri panggung festival. Mereka makan pagi dengan tenang—walau sebenarnya, mata Leo sesekali melirik ke arah panggung, menanti mulainya festival.

“Selamat siang, warga-warga sekalian!”

“Wah, mulai! Mulai!” seru Leo, meninggalkan Toruu yang sedang membayar makanan dengan koin-koin milik Leo. Toruu jadi panik, segeranya disusul Leo yang mencari tempat terbaik untuk melihat festival.

“Leo, tolong jangan lari-lari lagi.”

“Ahaha, maaf!”

Pembawa acara menyambut dan memandu dengan menyenangkan. Berbagai alat musik mulai dimainkan. Terompet ditiup kuat-kuat, sangat keras seakan seluruh kota mampu mendengarnya—tapi semua orang di sekitar menikmatinya. Beberapa menikmati musik dan duduk di toko-toko, beberapa mulai menari, dan senyum Leo makin melebar setiap menitnya. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama dari drum yang ditabuh.

Satu jam, Leo masih semangat mengikuti aliran festival. Ia memanggil Toruu dengan antusias, menunjukkan alat musik mana yang membuatnya terpesona, mengajaknya menari, sampai-sampai senyuman Leo tertular pada Toruu.

Leo merasa seperti ada di surga. Ia dekat dengan rakyatnya secara fisik, dan hatinya dekat dengan musik rakyatnya. Tak ada kecemasan apapun yang ada di dipikirannya, semuanya tertutupi dengan irama membahagiakan dari musik.


“Toruu,” panggil Leo. Ia menyerahkan kantong koin yang dijanjikannya kemarin. “Semuanya milikmu. Kamu pantas mendapatkannya.”

Toruu menggeleng, “Saya tak pantas untuk menerima semuanya.”

“Kamu. Harus. Terima,” tekan Leo sambil menaruh paksa kantong itu di tangan Toruu, “tidak menerima penolakan! Tadi itu menyenangkan dan sangat berarti bagiku. Kalau bukan karena bantuanmu, aku pasti tak akan mengalami semua itu.”

“Setelah ini, aku langsung pulang ke kerajaan.” Leo memberi jeda—ia tersenyum lembut. “Aku akan bawa jubah ini pulang. Terima kasih, Toruu.”

Setelah Toruu berterima kasih kembali, Leo langsung pergi dari hadapannya—entah kapan mereka berdua akan bertemu lagi. Diam-diam, mereka berdua mengharapkan satu hal yang sama.