The Moon Is Beautiful, Isn't It?


Rachel itu sebenarnya beruntung banget punya pacar kayak Lingga.

Sebagai anak laki-laki tunggal di keluarga, Lingga punya tanggung jawab besar untuk menopang harapan dari kedua orangtuanya. Ekspetasinya berat, tapi selama ini nggak sekalipun Lingga pernah mengeluh.

Lingga itu penyayang, kalau nggak ketutupan dengan sifat jahilnya aja. Rasa sayangnya tulus, kelihatan dari gimana Lingga ngerawat ketiga kucingnya di rumah.

Lingga memang menyebalkan, tapi itu caranya dia menunjukkan afeksinya. Walaupun orang-orang banyak yang salah paham dengan itu.

Awalnya Rachel juga merasa nggak adil. Ketika ia menunjukkan semua rasa bangga dan cintanya kepada Lingga, cowok itu cuma mengucapkan terima kasih tanpa membalas, “Iya, aku juga sayang kamu dek.”

Tapi setelah beberapa waktu, Rachel paham kalau Lingga memang begini.

Lingga nggak bisa berlagak seperti yang lain, memberi bunga ataupun mengucapkan kata-kata manis.

Sekali lagi, ini Lingga. Bukan orang lain.

Cuma seorang Kalingga Aditya yang sederhana dalam mengungkapkan.

Yang malah ketawa kalau liat Rachel menangis. Yang tiba-tiba mengirimkan nasi goreng dengan alasan, “tadi masaknya kebanyakan.” Yang selalu mendumel tapi tetap menguncir rambut Rachel agar nggak jatuh ke kuah bakso. Yang suka sok cuek sambil bilang, “ngapain aku cemburu? Orang aku lebih ganteng dari dia kok.”

Dan harusnya Rachel udah lebih dari bersyukur. Bukannya galau seperti tadi, cuma gara-gara Lingga nggak ingat ulang tahunnya yang akan terjadi kurang dari satu jam lagi.

Rachel harusnya memaklumi, mungkin aja Mas Lingga lagi sibuk belajar kan ya kan mau lulus.

Ataupun,

Prioritasnya gak cuma gue kali. Di atas gue masih ada Ayah, Bunda, kucing-kucingnya Mas Lingga, sama Allah. Lebay banget sih gue ginian pake ngambek.

Dan yang terakhir,

Bentar lagi 17 tahun, harusnya makin dewasa jiwa dan akal. Bukannya makin childish gini!

Akhirnya Rachel menonton drama. Malam Minggu begini rasanya percuma kalau tidur lebih cepat. Moodnya sedang ingin menangisi karakter utama. Memang ada-ada aja kalau sedang periodt time.

Sudah jalan satu setengah episode, ponsel yang ia simpan di atas meja berdering, memberitahu bahwa ada yang menelepon. Rachel menekan pause, kemudian meraih ponsel menjawab panggilan telepon itu.

Oh, dari Lingga!

“Assalamualaikum Mas Lingga?”

“Waalaikumsalam, loh masih melek? Kebangun gara-gara telponku kah?”

“Enggak tuh, emang belum tidur.”

“Ngapain?”

“Drakoran,” ucap Rachel sambil melirik laptopnya, kemudian bergerak mematikannya. Nggak papa, masih ada hari besok untuk nonton drama. Tapi telponan malam-malam dengan Lingga begini, bisa dibilang limited edition. Kemungkinan besar nggak akan terjadi lagi.

“Ganggu ya berarti?” tanya Lingga pelan.

Cepat-cepat Rachel menggeleng, “IH ENGGAK KOK! Tadi maksudnya tuh, abis drakoran gituuu hehehehehe!”

Di seberang Lingga menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Ia menghela napas, Rachel selalu full energy bahkan di malam hari.

“Oh yaudah.”

Lingga mengulum bibir, menarik rambutnya ke belakang. Mendadak gugup, padahal nggak ada Rachel di depannya.

“Mas Lingga tumben jam segini masih melek...”

Suara lembut itu terdengar. Lingga sudah berkali-kali, hitungannya nggak terhingga mendengar suara ini. Tapi berkali-kali juga Lingga selalu dibuat jatuh hati oleh si gadis.

Gue beruntung banget gak sih punya lo, dek?

“Lagi liatin bulan. Malem ini cantik banget.”

“Ih iya!?”

“Hmm,” Lingga mendongak, “coba aja ke balkon kamarmu. Bulan cantik banget, apalagi diliat dari rumahmu.”

“LOH LOH LOH KOK BISA TAU???”

Lingga ketawa dikit, “orang aku liatnya di depan rumahmu.”

“HAH?”

Rachel buru-buru membuka pintu balkon dan keluar. Ya benar aja, di depan pagar rumahnya, ada Lingga lagi duduk di atas motor, mendongak melambaikan tangan sambil senyum ganteng.

“Ngapain liat bulan sampe jauh ke sini?” tanya Rachel menahan suaranya agar nggak teriak.

“Ya gak papa, langit di rumahku jelek. Bulannya ketutupan awan, gak keliatan. Eh pas ke sini kok bulannya jelas banget.”

Rachel mendongak ke langit, ada bulan di sana. Bentuknya tipis tapi bukan sabit. Nggak tahu namanya apa, yang jelas masih cantik.

“Cel,”

“Apa?” balas Rachel. Dalam hati bertanya-tanya, tumben banget Mas Lingga manggil namaku kayak gini.

“Liat bulan gini jadi inget namamu. Rachel Aluna, artinya bulan kan?”

“Iya, kenapa?”

“Gak papa, cantik aja namanya. Sesuai gitu lho sama orangnya.”

Diam di sana. Rachel keliatan menutup wajahnya dengan tangan. Lingga liat ke langit, kebetulan ada awan yang bergerak melewati bulan sejenak.

“Mas Lingga juga bagus namanya. Kalingga Aditya, artinya mentari kan? Berarti Mas Lingga bisa kasih energi positif ke orang-orang, karena mereka butuh sinar mentari.”

“Iya makasih. Tapi sekarang lagi bahas kamu, bukan bahas aku.”

Lingga sempat mengusap ujung hidung, diam-diam mengeratkan jaketnya. Udara tengah malam kelewat dingin untuknya.

“Tiap malem selalu gelap, tapi sekarang gak gelap karena orang-orang pada nyalain lampu. Tapi orang dulu selalu ngandelin cahaya bulan. Keren gak tuh?”

“Iya hahaha, keren.” Rachel menarik kursi, kemudian duduk sambil senderan ke pagar. Kembali mendengarkan ceritanya Lingga.

“Mama sama Papamu juga pasti punya harapan gitu waktu kasih nama kamu Rachel Aluna. Biar kamu jadi harapan buat orang-orang di sekitarmu, apapun keadaannya.”

Lingga menggigit bibir. Mendadak ragu untuk mengatakan maksud sebenarnya yang sudah ia siapkan.

The moon is beautiful isn't it?

Rachel mengerjap-erjap. Jadi teringat kata Hito tempo waktu yang membuat jantungnya berdebar nggak karuan.

“Di Jepang, orang-orang gak pake I love you buat ngungkapin perasaan. They have another way, mereka bakal bilang, 'The moon is beautiful, isn't it?'. this phrase is a more poetic way of saying i love you.”

Rachel diam, mengerti untuk nggak menjawab sekarang karena Lingga masih menarik napas, mau melanjutkan kalimatnya.

Selamat ulang tahun, Bulan cantikku.