shourilatus

ㅤCakrawala bertabur bintang menghampar luas sejauh mata memindai, embus angin membelai lembut helai surai pun dingin udara malam kian menusuk kulit milik dua insan yang tengah menaut jemari sementara tungkai saling beriring tiada halang memacu langkah 'tuk mencapai destinasi.

ㅤSepasang iris ambar Zhongli mempersaksikan sorot mata teduh kini bergulir menatap sosok mungil di sisi kanan sebelum birai bibir terbuka, “Saya tak mengganggu waktumu, kan?” Lembut suara melantun frasa membuat sang Yaksha yang bergeming sebab menikmati kebersamaan mereka sedikit tersentak lalu mengalih pandang kepada wira pemilik hati.

ㅤSatu geleng pelan menjadi pembuka, rona merah jambu samar-samar menjalar hingga menuju kedua daun telingga Xiao. Arkian kepala menunduk 'tuk menatap jalan setapak yang dilalui. “Tidak,” terselip dua sekon jeda, “saya senang bisa menghabiskan waktu bersama Anda malam ini.”

ㅤZhongli mampu melihat lengkung senyum kecil terpoles apik di rupa cantik milik Xiao, sungguh memukau serta membuat ia tenggelam dalam pesona sosok tersebut tiap harinya. “Saya pun merasa demikian.” Sahut diberi seiring atensi kembali teralih, kali ini menatap cakrawala sejemang. “Kita sampai. Biasanya saya menyempatkan diri datang ke sini, cocok untuk memandang bintang-bintang. Saya harap kau menyukai tempat ini.”

ㅤLangkah kaki mereka kini terhenti tepat di sisi bukit yang ada di gunung Tianheng. Selama bersama Anda... Hingga keujung dunia bahkan neraka pun akan saya lalui. Hendak mengungkapkan perasaan dalam benak nahas tertahan sebab tak pandai bilamana menyangkutpaut emosi.

ㅤ“... Suka. Bintang-bintangnya cantik.” Xiao melantun sahut sementara senyum yang terpoles pada rupa senantiasa diperlihatkan. “Memang benar. Namun, sosok pemikat hati saya jauh lebih cantik.” Untai frasa tersebut mengudara begitu mudah seolah telah menyatu bersama embus angin.

ㅤTatkala rungu menangkap penuturan sang tuan membuat Xiao bergeming, rona merah muda yang kian memekat lebih dari cukup menjadi alasan mengapa kekeh lembut meluncur dari birai bibir Zhongli. “E-Eh─uh?” Akal budi seolah berhenti bekerja sejemang seiring sepasang iris aurum tanpa disadari semata berpusat kepada sosok tercinta mempersaksikan sorot mata tak percaya.

ㅤTaut jemari kini terlepas sepihak, arkian teralih 'tuk menangkup kedua pipi kedua pipi sosok mungil kesayangan. Perlahan tubuh Zhongli membungkuk guna menyejajarkan tinggi sebelum paras didekatkan satu sama lain. Di bawah kirana rembulan pun cakrawala bertabur bintang menjadi saksi bisu atas besarnya ikatan cinta mereka.

Entah keberapa kali kedua kelopak mata tertutup kemudian kembali mempersaksikan sepasang iris merah jambu dengan tatapan gelisah, sesekali bergulir ‘tuk menatap objek lain─apapun yang terdapat dalam ruang di mana raganya terbaring lantaran emosi negatif lambat laun menguasai diri. Salah satu lengan bergerak guna menutupi pandangan disusul hela napas begitu dalam seolah berupaya mengusir tiap berbagai pemikiran tak enak dalam benak. Kiara mengetahui bila berkelaluan memberi izin kepada kegelapan mengambil alih kesadaran kelak mengakibatkan sesuatu nan tak enak. Namun tetap saja pada akhirnya ia berpulang ke titik sama layaknya benda langit merotasi mentari, tiada pilihan lain selain patuh akan hukum alam.

Satu kenangan yang belum lama terjadi terlintas dalam pikiran kala Tuhan menjadikan ia sebagai wanita paling bahagia di dunia, saling berhadapan dengan lelaki pilihan hati serta terikat oleh sebuah janji suci ‘tuk tetap bersama baik suka, duka, sakit, sehat, kaya maupun miskin hingga ajal menjemput. Semestinya tak perlu memikirkan bila diri jauh dari kata pantas menjadi pendamping sosok hebat seperti Zhongli, semestinya mampu membuka lalu menjalani lembar kehidupan baru bersama belahan jiwa kendati tak mengetahui takdir seperti apa telah menunggu mereka di akhir hayat. Sayang, Kiara masihlah manusia biasa, tak dipungkiri pula suatu saat mencapai batas. Terhanyut oleh emosi nan tak terbendung lagi bukan perihal janggal.

Kini atensi menatap kosong langit ruang, pikiran tak karuan melayang ke sembarang arah. Beberapa sekon kemudian suara isak tangis samar keluar dari bibir disusul lintas cairan tak kasatmata turut menghiasi paras. Pertahanan yang dijaga telah hancur berkeping-keping. Menangis dalam diam memang menyakitkan, apa daya bila tak ada nan mampu dilaku selain meluapkan emosi dengan cara seperti ini?

Lantaran tenggelam oleh emosi, Kiara tak menyadari presensi insan lain. Entah sejak kapan sosok tersebut berdiri di sana, terlalu lelah ‘tuk sekadar berpikir. Kala sepasang iris merah jambu yang berkaca-kaca milik ia bertemu pandang dengan sepasang iris ambar sang suami, bibir seakan terasa kelu. Mengingat satu tekad terpendam agar tak menangis lagi di hadapan Zhongli, bagaimana cara menjelaskan semuanya?

“Kiara,” Panggilan yang terdengar oleh rungu membuat perasaan takut kian menyelimuti diri. Tidak, tidak, tidak─tentu saja ia tak ingin pujaan hati marah apalagi kecewa. Senyum lembut terpoles apik pada paras Zhongli sebelum kembali melanjutkan kalimat tertahan, “pikiranmu kalut lagi? Sebentar, aku akan mengambilkan segelas air putih untukmu.” Tanpa menunggu sahut, lelaki tersebut telah meninggalkan ruang sementara Kiara hanya memandang diam pundak kekar nan perlahan menghilang dari pandang lantaran tak mampu mengucap sepatah kata.

Andai saja aku tidak selemah ini... Andai saja aku cukup untuk Zhongli. Apakah dia bahagia bersamaku? Apakah aku layak mendapatkan seseorang seperti dia? Aku takut... Aku takut pernikahan ini tidak bertahan lama... Dan aku takut... suatu hari, dia pergi meninggalkanku.

Sekoyong-koyong tubuh berganti posisi ‘tuk terduduk di atas empuk ranjang pun isak tangis kembali pecah, derai air mata tak hentinya mengalir membasahi pipi. Bibirnya gemetar hebat bila ditelisik dengan teliti, begitupula jemari kedua tangan yang saling mengepal satu sama lain. Emosi nan tak terbendung lagi kian meledak, tiap satu pemikiran negatif terlintas dalam benak seolah menabur air lemon pada luka baru.

Aku sangat mencintaimu, Zhongli. Sangat mencintaimu sampai aku takut kehilanganmu. Andai kamu tahu semua itu... Aku ingin selalu berada di sisimu.

Zhongli yang baru kembali dari dapur lekas meletakkan gelas berisi air putih dalam genggam di atas nakas kala melihat kondisi Kiara nan begitu rapuh, tak mampu memungkiri bila kecemasan dalam benak dipersaksikan jelas oleh sorot mata. “Kiara,” Lelaki tersebut memanggil kemudian merangkak naik ke atas ranjang sebelum menangkup kedua pipi Kiara guna mempertemukan pandang. “lihat aku. Aku masih di sini dan tidak akan pergi kemanapun.” Penuturan Zhongli dibalas isak tangis, maka satu kecup lembut berlabuh di dahi Kiara dengan harap membuat sosok tersayang lebih tenang.

Kedua kelopak mata tertutup milik Kiara kini kembali terbuka guna memperlihatkan sepasang iris merah muda berlinang air mata. Apa yang pertama kali dilihat adalah senyum lembut terpoles apik pada para rupawan sosok suami. Terkadang terselip perasaan tak mengerti atas takdir Tuhan dalam benak, bertanya-tanya mengapa sosok sempurna seperti Zhongli menerima ia ‘tuk menjadi pendamping hidup?

Salah satu tangan Zhongli perlahan dijauhkan dari pipi wanitanya sebelum menjangkau segelas air putih di atas nakas lalu memberikan wadah dalam jawat kepada sosok tersayang. Seraya terisak Kiara menerima apa yang diberi lalu menegak air ‘tuk membasahi tenggorokan. Semampu mungkin pula ia berupaya menenangkan pikiran agar lebih mudah kala menjelaskan alasan dibalik kondisi tak dikehendak ini.

“Sudah lebih tenang?” Pertanyaan Zhongli dibalas dengan angguk pelan. Hela napas lembut turut mengiringi kegiatan nan dilaku, wadah kosong dalam jawat telah diletakkan kembali di atas nakas. Sepasang iris ambar kini semata tertuju menatap pujaan hati, kuasa melingkari pinggang ramping milik Kiara serta menariknya dalam dekap hangat. “Pikiran seperti apa yang membuat kau seperti ini? Ceritakan kepadaku, aku akan mendengarkan semuanya tanpa terkecuali.” Maka dibuka topik pembicaraan inti kendati telah menelaah apa gerangan yang mengakibatkan jiwa wanitanya terguncang, lantaran seiring berjalannya waktu perlahan ia mulai mengerti tabiat sosok tersebut.

Kiara meremas kemeja gelap milik Zhongli guna menyalurkan perasaan takut dalam benak. Tenangkan dirimu, semuanya pasti akan baik-baik saja. Ayo, tenang. Usai mengumpulkan serpihan-serpihan keberanian yang sebelumnya entah kemana, lantun sahut lekas mengudara. “... M-maafkan aku, Zhongli. Aku hanya takut... Takut kehilanganmu. Aku hanya merasa tak sebanding dengan dirimu.” Intonasi vokal dari wanitanya terdengar gemetar. Tentu Zhongli menyadari itu, dan apa yang harus dilakukan yaitu membuat kenyamanan kembali hadir menghampiri Kiara.

Elus penuh kasih sayang berlabuh pada helai pirang milik Kiara sementara salah satu kuasa senantiasa mendekap erat sosok yang lebih ramping, sorot mata pun senyum teduh turut menghiasi rupa elok Zhongli. “Dengar, Kiara. Tiap insan layak memiliki kebahagiaan, tak peduli bila mereka dilumuri dosa. Sebab memang tiada kata ‘sempurna’. Aku pun begitu, tak luput dari dosa masa lalu,” sungguh, rasanya sulit sekali ‘tuk membuka luka lama ribuan tahun silam. Kendati demikian, Zhongli hanya ingin menyadarkan belahan jiwanya atas karunia dari Tuhan nan telah diberi sekecil apapun. “Secuil contoh dariku, aku pernah kehilangan orang-orang tersayang. Jujur, semua itu berat. Melihat mereka satu persatu pergi, namun kenangan tentang mereka tak pernah menghilang.”

Zhongli telah hidup bertahun-tahun lamanya, mungkin para manusia menginginkan hal tersebut. Namun kenyataan tak selalu sama dengan pengharapan. Begitu pula dengan menjalani hidup, tak mungkin semata lurus tanpa rintangan. “Aku tak sesempurna seperti apa yang kau pikirkan, tentu aku memiliki kekurangan tanpa kau sadari.” Kembali menjeda tutur sepersekian sekon seiring kedua kelopak mata perlahan tertutup kala memori-memori masa lampau terbesit dalam benak. Tidak, ia tak ingin emosi negatif ikut menguasai jiwa. Lantas sepasang iris ambar kembali diperlihatkan, sorot mata penuh keyakinan tersirat di sana, keyakinan bila lembaran baru yang tengah dijalani bersama sosok tersayang.

“Masih banyak wanita yang lebih cantik dariku... Mengapa memilihku? Aku tak mengerti.” Kiara kembali terisak pelan, tubuhnya ikut gemetar. Emosi yang sempat mereda seolah ingin meledak ‘tuk kedua kali. Tak ingin itu terjadi, Zhongli mengangkat dagu Kiara dengan tangan kanan lalu melabuh kecup lembut pada bibir wanitanya. Tiada nafsu lantaran bermaksud agar pemikiran negatif dalam benak Kiara memudar. Sepasang iris merah jambu terbelalak, sejurus kemudian kecupan itu telah berakhir. “Kau wanita pilihanku, kau memiliki keunikan sendiri yang berhasil memikatku, dan kau cantik apa adanya. Aku tak pernah memandang insan lain dari fisik, namun juga hati mereka.”

Kecup demi kecup berlabuh pada kening Kiara, lalu bergerak turun menuju pipi, hidung serta berakhir di dagu. Satu lengan kekar senantiasa melingkari pinggang istrinya sementara yang lain meraih tapak tangan kanan Kiara sebelum mengisi celah-celah kosong antara jemari. Kehangatan mulai mengalir ke tiap inci bagian tubuh, kirana lampu ruang menjadi saksi bisu atas besarnya cinta dua insan. “Andaikan kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu sampai akhir hayat memisahkan kita. Kau pun akan selalu kulindungi apapun yang terjadi, Kiara. Maka dari itu, jangan biarkan ketakutan menguasai sebab kau telah menjadi tempatku berpulang. Aku bersyukur takdir Tuhan mempersatukanku dengan wanita sehebat dirimu.”

Tiap lantun kalimat yang terlepas dari bibir Zhongli layaknya sihir, menimbulkan kedamaian pun kebahagiaan pada benak. Air mata nan terbendung pada kedua sudut mata Kiara telah menghilang lantaran diseka oleh kecupan dari suami tercinta. “Zhongli...” Kiara memanggil seraya menyandarkan kepala di dada bidang sosok tercinta guna menyembunyikan rona memerah. Astaga, jantungnya mulai berdegup dengan tempo cepat. Mungkin pula mampu terdengar oleh insan di hadapan.

Kekeh lembut diberi sebagai sahut atas panggilan dari Kiara, lagi-lagi kecupan berlabuh pada puncak kepala wanitanya. “Aku serius. Tiada dusta dari tiap kalimat yang sebelumnya kuucapkan. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan Kiara. Mungkin bila kau bukanlah takdirku, mungkin aku akan tetap menjalani hidup seorang diri.” Senyum lembut mengiring penuturan Zhongli, atensi semata tak teralih kemanapun selain menatap sosok dalam dekapan.

Pelahan Kiara memberanikan diri ‘tuk mempertemukan pandangan dengan sang suami, “Aku tak tahu harus berkata apa lagi... Tetapi aku benar-benar mencintaimu, Zhongli. Aku pun sangat bersyukur beretemu dan jatuh hati kepadamu.” Ah, senyum yang diperlihatkan Kiara seolah membuat kupu-kupu terbang dalam perut Zhongli. Ia selalu menyukai senyuman Kiara, apalagi pesona sepasang iris merah jambu nan berhasil memikat hati ‘tuk jatuh ke jurang cinta lebih dalam lagi. Selama bersama Kiara, perlahan kebahagiaan turut menyertai. Kendati keabadian melekat pada sosoknya, Zhongli pastikan bahwa cintanya kepada Kiara pun abadi.

Kedua mata mereka perlahan tertutup pun jarak yang membentang antara paras perlahan terkikis sebelum bibir bersua satu sama lain. Manis, itulah satu kata nan terlintas dalam benak Zhongli acapkali berciuman dengan Kiara seolah menginginkannya lagi dan lagi. Genggaman pada tapak tangan Kiara kian mengerat, tak berkeinginan ‘tuk melepas sosok tersayang dari jangkauan barang sejemang. Sampai kecupan terhenti, kini kening mereka bersua. Senyuman tak lenyap dari paras Zhongli ataupun Kiara.

“Malam kian larut. Usai menangis seperti sebelumnya, pasti kau kelelahan. Tidurlah.” Zhongli meregangkan dekapan pun genggaman pada wanitanya. Benar juga. Bila dipikir kembali, Kiara tak kunjung terlelap lantaran terganggu oleh emosi negatif, sedangkan Zhongli terakhir kali masih berkutat dengan lembar pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu juga. “Bagaimana denganmu? Masih ingin terjaga? Aku tak mau tidur sendirian...” Sahut dari istri membuat ia bergeming. Apa boleh buat, Zhongli lebih mengutamakan Kiara daripada apapun.

Belum melantun sahut, Zhongli memutuskan ‘tuk menjauh sebelum mengubah posisi menjadi berbaring di empuknya ranjang kemudian ia menepuk sisi kosong yang ada di samping. “Kemarilah, aku akan tidur juga. Pekerjaan masih bisa dilanjutkan esok pagi.” Lagi-lagi, Kiara merepotkan. Mengapa berakhir seperti ini? “T-tetapi─” Kalimat itu tertahan lantaran Zhongli kembali menepuk ranjang guna mengisyaratkan agar lekas menyusul. Kendati perasaan tak enak menggerogoti, ia tetap membaringkan diri di samping suami. “Tak apa, urusan itu nanti saja. Yang terpenting, kamu terlelap.”

Terselip perasaan senang kala sosok tercinta meindahkan permintaan tersiratnya, lantas Zhongli kembali menarik Kiara dalam dekap hangat. Tangan kiri bergerak ‘tuk mengusap helai pirang sementara yang lain mengelus punggung wanitanya. Sorot mata pun senyum teduh senantiasa terpatri pada paras Zhongli, ia tak henti memberi kenyamanan kepada Kiara seiring tubuh mereka yang begitu dekat. “Kiara,” Satu nama lolos dari bibir sebagai permulaan topik pembicaraan baru, “Aku harap kau selalu ingat bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi. Ingatlah bahwa kita telah dipersatukan oleh ikatan janji suci ‘tuk tetap bersama kala suka, duka, sakit, kaya maupun miskin hingga maut memisahkan. Maka aku tak akan pernah mengingkari semua itu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, begitu pula dengan deritamu. Bila kau menderita, biarkan aku ikut menderita. Aku telah bertekad bahwa akan menjadikanmu wanita paling bahagia di dunia. Kau percaya itu?”

Kiara mendengarkan tiap penuturan yang terlontar dari bibir Zhongli, tiada satu pun kalimat terlewatkan. Bergeming ia dibuatnya, begitu pula degup jantung yang seolah terhenti lantaran berpompa dengan tempo tak lazim. Ya Tuhan. Kiara selalu merasa lemah bila Zhongli sudah seperti ini lantaran tak tahu sahut bagaimana nan harus diberi. Angguk pelan mengiringi balasan atas satu tanya ‘tuk dirinya, “Aku mempercayaimu, Zhongli. Sangat mempercayaimu, selalu.” Intonasi vokal kala menyahut terdengar penuh keyakinan, setidaknya ia pun ingin menjalani lembar kehidupan baru bersama pendamping hidup penuh kebahagiaan. Itu bukanlah keinganan egois, kan? Tiap insan berhak bahagia.

Tentu kelegaan menyertai Zhongli usai mendengar sahut yang diberi dari Kiara. Satu kecup berlabuh di puncak kepala wanitanya sebelum turun menuju kening, anggaplah sebagai kecup selamat malam. “Sekarang tidurlah, esok hari telah menanti. Semoga mimpi─” Belum sempat melanjutkan kalimat, Kiara memotong dengan menempelkan paras pada dada bidang suami tercinta lalu mengusal. “Ceritakan sesuatu untukku, apapun itu sebagai pengantar tidur...” Zhongli bergeming sejemang, tak menyangka bila Kiara akan memberi reaksi manis seperti ini. “Tentu, aku akan menceritakan salah satu kisah menarik... Beberapa tahun silam─”

Menit demi menit berlalu, wanita dalam dekapan telah terlelap kala mendengarkan ia bercerita. Mendapati pemandangan Kiara yang menutup mata membuat Zhongli tak mampu menahan senyum, tangan kanan yang berada di punggung istrinya berpindah ‘tuk menyingkirkan helai pirang nan mengganggu ropa elok milik Kiara. Kantuk pun turut dirasakan olehnya, maka perlahan sepasang iris ambar itu tertutup sebelum tenggelam di alam mimpi.

. . .

Mentari kini telah menggantikan rembulan, pun kicau burung turut menyambut datangnya pagi. Kirana yang menyinari bumi menembus gorden ruang di mana dua insan nan masih terlelap. Perlahan Zhongli membuka kedua kelopak mata disusul dengan mengerjap dua kali guna mengumpulkan keping-keping kesadaran. Tangan kanan bergerak membuat sosok dalam dekap turut bergerak. Oh, tidak. Tanpa sengaja, ia telah membangunkan Kiara.

“Zhongli, selamat pagi...” Sapa hangat meluncur dari bibir Kiara kendati sepasang iris merah jambu masih terlihat begitu sayu. “Selamat pagi, Kiara. Bagaimana tidurmu?” Zhongli membalas seraya tersenyum, kuasa melabuhkan usap lembut pada puncak kepala wanitanya. “Tidurku nyenyak... Ah, sudah pagi. Aku belum menyiapkan sarapan.” Kala mendapati istrinya sekoyong-koyong menarik diri pun bangkit dari posisi, Zhongli lekas menahan pergarakan Kiara lalu menarik sosok itu kembali ke dalam dekap hangat. “Tak apa, sarapan nanti saja. Aku masih ingin berduaan denganmu. Tetaplah di sini.”

Kiara bergeming dengan pergerakan yang tak dikehendak, tentu ia tak menolak bila memang Zhongli masih ingin bersamanya seraya menyalurkan rasa hangat. Rona memerah samar pun senyum turut menghiasi rupa eloknya. “... Iya, aku di sini.” Akhirnya, Kiara menjawab. Zhongli menempelkan dahinya pada puncak kepala pujaan hati sementara kuasa senantiasa melingkari pinggang ramping di hadapan. “Semalam dihampiri mimpi yang seperti apa? Ceritakan kepadaku.” Topik pembiacaraan telah dibuka, maka Kiara mulai menceritakan mimpi manisnya bersama Zhongli. Semua itu bagaikan mukjizat dari Tuhan. Tentu dalam benak, keduanya ingin kebahagiaan selalu menghampiri keluarga kecil mereka.

Kiara, terima kasih telah hadir di hidupku. Andaikan kau tak berada di sisiku, juga tak ditakdirkan ‘tuk menjadi tulang rusukku... Mungkin rasa kesepian serta bayang-bayang masa lampau akan selalu menghantuiku kemanapun aku pergi. Terima kasih karena telah menjadi sumber kebahagiaan dan hartaku yang paling berharga. Kau tak perlu takut lagi menjalani semuanya sendirian karena aku akan selalu ada untukmu.

Aku sangat mencintaimu, Kiara.

── SELESAI

Malam ini rembulan bersinar dengan terang pun embus angin malam begitu dingin menusuk tulang. Semestinya, tiap insan telah disapa oleh mimpi. Namun, perihal tersebut tak berlaku untuk Lumine. Sepasang iris emas berpusat ‘tuk menatap pemandangan kota Mondstadt yang sepi di balik jendela lantaran jam menunjukkan pukul satu dini hari. Meski mencoba memejamkan kelopak mata, sang puan tak kunjung terlelap. Kala melirik kawan berpetualang, Paimon, sosok itu telah terlelap. Hela napas berat keluar dari bibir, tak terpikir bila akan menghabiskan waktu sendirian hingga mentari kembali bersinar.

Satu ide terlintas dalam benak membuat kedua sudut bibir Lumine membentuk lengkungan senyum. Mungkinkah ada seseorang yang belum terlelap juga? Tanpa berpikir panjang, tungkai melangkah guna menghampiri pintu sebelum keluar meninggalkan ruangannya. Semoga saja, dia belum terlelap. Semoga saja. Lumine bermonolog dalam hati. Sesampainya di depan kamar sosok yang belakangan dekat dengan ia, hendak kuasa terulur guna mengetuk pintu. Niat tertahan lantaran wanita yang ingin ditemui lebih dahulu menarik gagang pintu hingga pandangan mereka kini bertemu.

“Oh? Selamat malam, manis. Mengapa masih terjaga?” Senyum merekah pada paras Lisa, dengan sabar menanti sahut yang kelak diberi oleh lawan bicara. Atensi Lumine bergulir ‘tuk menatap objek terdekat guna menepis kecanggungan menyelimuti sebelum kembali bertemu pandang pada iris zamrud mempesona milik wanita di hadapan. “... Aku tak bisa terlelap.” Padahal tubuh terasa begitu letih sebab misi yang dilimpahkan cukup banyak meski tiada keluh terlepas dari bibir.

Seakan mengerti makna tersirat dari vokal yang terdengar rungu, sang pustakawan meraih salah satu tapak tangan mungil milik Lumine serta menggenggamnya erat. “Kalau begitu, ayo satu ranjang denganku?” Satu tawaran lolos begitu ringan tanpa beban diiringi kekeh jenaka sementara air muka terkejut terpatri jelas pun rona memerah samar menghiasi kedua pipi pengembara. Oh, manisnya. Bahkan hingga sekarang Lisa tak mampu menepis impresi kala pertama kali bersua dengan sosok tersebut.

Usai memakan waktu sepersekian sekon, satu angguk diberi sebagai pengiring sahut, “A-aku tak keberatan...” Tiada penolakan. Jauh dalam benak, Lumine berharap bila kehadiran sosok di dekatnya kelak membantu agar lekas terlelap. Sesuai pengharapan, lantas mereka melangkah memasuki ruangan di balik Lisa. “Lisa sendiri, mengapa masih terjaga?” Akhirnya pertanyaan yang sempat tertahan melantun keluar dari bibir. “Aku baru saja menyelesaikan sesuatu, hendaknya membuat teh kamomil namun tak disangka kamu ingin bertemu,” Kekeh lembut lagi-lagi mengiringi sahut yang diberi, “sebuah kebetulan yang tak disangka, bukan? Aku mengurungkan niat sebab ingin menemani si manis ‘tuk terlelap~”

Manis, satu panggilan khas dari Lisa entah mengapa selalu membuat perasaan asing menyelimuti kendati tak pernah sekalipun Lumine menolak panggilan tersebut. Perlahan namun pasti, kelak ia mengerti tabiat sang pustakawan. Impresi yang terekam oleh memori tak kunjung berubah, Lisa tetaplah sosok wanita dewasa yang lembut serta penuh kasih sayang. Perlu diingat, selama tak memancing sisi lain yang tak terduga.

Genggaman tangan pada tapak tangan Lumine kini terlepas, disusul Lisa yang terlebih dahulu merangkak naik guna mendudukan diri pada empuknya ranjang. Sepasang iris zamrud milik pustawakan tak sedikitpun teralih dari rupa manis nan cantik milik puan di dekatnya, sampai akhirnya ia membuka suara, “Apakah kamu ingin pakai piyamaku? Meski kuyakin mungkin akan longgar di tubuhmu.” Itu lebih baik daripada terlelap memakai pakaian yang biasa dikenakan, kan? Setidaknya menginginkan kenyamanan kepada sosok tersayang.

“E-eh? Aku tak ingin merepotkan...” Sahut yang telah diandai menjadi kenyataan, tentu Lisa telah mengantisipasi. “Ah, tentu saja tak merepotkan. Kamu tak akan pernah merepotkanku, manis.” Sorot mata yang ditunjukkan kepada Lumine terlihat begitu teduh seakan terselip ketulusan ‘tuk memberikan sesuatu yang terbaik. Bila seperti ini, memberi penolakan akan membuat perasaan tak enak hati kian menggerogoti. “Baiklah...” Itu jawaban yang diinginkan. Lantas terbangunlah ia dari posisi guna mengambil dua piyama dari almari. Tentu ‘tuk dirinya pula sosok yang kini bersamanya.

Tak memakan waktu lama, Lisa kembali membawa pakaian yang dimaksud. “Silakan berganti pakaian. Tak perlu malu-malu, kita sesama wanita.” Kekeh ringan sebagai pencair suasana meluncur bebas dari bibir sementara Lumine hanya bergeming dengan rona memerah senantiasa menghiasi paras. Sorot mata semata tertuju pada helai sutera yang kini berada di atas kedua tapak tangan, piyama persik dengan beberapa motif bunga mawar seperti tipikal pemiliknya sementara piyama yang akan Lisa kenakan berupa piyama ungu polos tanpa motif.

Kini keduanya telah mengganti pakaian masing-masing menjadi piyama, sang pustakawan menepuk pelan sisi kosong yang ada di sampingnya agar Lumine menyusul ‘tuk membaringkan diri. “Kemari, aku akan membuatmu merasa nyaman~” Senyum senantiasa menghias paras Lisa sementara puan berhelai pirang tersebut dengan canggung merangkak lalu berbaring sesuai permintaan. Alangkah terkejut kala lengan Lisa melingkari pinggang pun tubuh yang ditarik ‘tuk lebih mendekat. Rona memerah kembali hadir lantaran malu, terlebih degup jantung mulai perpompa kian cepat.

Mengapa aku merasa aneh? Dengan Lisa sedekat ini... Lumine bergeming meski pemikiran aneh mulai terlintas dalam benak. Mungkinkah Lisa mampu mendengar suara degup jantungnya? Bagaimana ini? Lantaran sibuk memikirkan tiap spekulasi kemungkinan terburuk, lengan yang memeluk tubuh kian mengerat diiringi elus lembut turut berlabuh pada punggung membuat tersentak. “Aku berharap kehadiranku bisa membantumu lekas terlelap. Semoga mimpi indah, manis.” Satu kecup diberikan tepat di puncak kepala Lumine sementara sang puan hanya membatu. Oh, astaga. Bila seperti ini, ia semakin sulit ‘tuk memejamkan kedua mata.

Kesunyian yang menyelimuti membuat suara detik jam di ruangan terdengar. Menit demi menit berlalu, namun Lumine masih terjaga meski telah berupaya ‘tuk bertemu mimpi. Apa yang harus dilakukan? Keinginannya hanya beristirahat, mengapa sulit sekali digapai? Tubuh dalam dekap hangat Lisa sedikit menggeliat berhasil membuat sosok tersebut menyadari bila Lumine tak kunjung terlelap. “Masih belum bisa memejamkan kedua matamu? Mmm, mungkin aku bisa memberi bantuan lainnya bila kamu tidak keberatan.” Sebentar, sebentar. Bantuan seperti apa? Sekoyong-koyong menggeleng pelan lantaran tak ingin merepotkan kedua kali, Lisa kembali membuka suara. “Aku perlu mengatakan berapa kali bahwa kamu tidak pernah merepotkan?” Satu usapan berlabuh pada puncak kepala Lumine, setelahnya senyum turut merekah. “Apapun akan aku lakukan demi kamu, sayang. Jangan merasa canggung lagi, ya?”

Entah tiap lantun kalimat dari sang pustawakan merupakan kenyataan ataupun mimpi, perasaan hangat pelahan hadir dalam benak. Takdir yang menghampiri membuat betapa bersyukurnya Lumine bersua dengan Lisa. Angguk pelan diberi sebagai sahut awal, “Aku tidak keberatan... selama kamu senang, maka aku juga senang.” Darimana ia belajar kalimat seperti itu, eh? Memalukan. Lekas melingkarkan lengan pada pinggang Lisa lalu menyembunyikan paras yang dihiasi rona memerah tepat di dada sang pustakawan. Kekeh kecil terlepas dari bibir Lisa lantaran tingkah menggemaskan Lumine seakan membuat kupu-kupu terbang bebas dalam perut.

“Kalau begitu,” Elusan lembut diberi Lisa pada helai pirang Lumine kian lama menurun guna membuat atensi keduanya bertemu kemudian jemari lentik tangannya bergerak lagi, kali ini membelai pipi pengembara. Tiada sepatah kalimat keluar darinya hingga bibir mereka bersentuhan. Lihatlah sepasang iris emas milik Lumine yang terbelalak lantaran terkejut dengan pemandangan yang tersaji meski penolakan tak diberi. Ciuman itu tak berlangsung lama, Lisa lebih dahulu menarik diri. “izinkan aku menyentuhmu dengan lembut.” Angguk pelan dari Lumine sebagai pertanda bila izin diterima lebih dari cukup ‘tuk melanjutkan kegiatan.

Bibir mereka kembali bertemu, kali ini terasa lebih leluasa sebagaimana Lisa mencoba menyelipkan lidah pada rongga mulut Lumine. Remasan diberi oleh gadis berhelai pirang pada piyama milik ia. Bukan, itu bukanlah penolakan melainkan penyalur perasaan aneh yang disertai keingintahuan lebih. Perlahan namun pasti, keduanya mulai terbiasa dengan cumbuan panas sampai akhirnya dipisahkan dengan tali liur kasatmata. Rona memerah kini dapat dilihat di pipi mereka. Tentu saja, Lisa akan menuntun Lumine penuh kesabaran. Tak lupa akan keinginan agar menjaga sosok tersayang merasa nyaman.

“Bila merasa tak nyaman lekas beritahu aku ya, sayang?” Lisa bertutur seraya mengubah posisi, kini berada di atas tubuh Lumine sementara atensi tak teralih kemanapun selain menatap puan di bawah. “I-iya...” Lumine menyahut terbata lantaran deru napas yang tak beraturan. Perlahan kedua tapak tangan Lisa bergerak guna menyelip ke dalam piyama yang dikenakan Lumine, tak sengaja menyentuh kulit perut. Tak disangka bila sentuhan tersebut dihadiahi lenguhan manis. Perlahan keinginan baru muncul dalam benak ia. Aku ingin mendengar Lumine mengeluarkan suara itu lagi.

Lisa mulai menggerakkan jemari lentik ‘tuk melabuh usap kembali pada perut lalu naik menyentuh payudara milik Lumine. “L-Lisa...” Satu nama keluar dari bibir diiringi lenguh manis kala sentuhan demi sentuhan dirasa kian membuat suasana di sekitar mereka memanas. “Mmm?” pemilik nama yang dipanggil memberi sahut singkat namun pergerakan kedua tapak tangan perlahan berubah menjadi intens, dimulai dari elus hingga remasan pelan diberi. Lumine tak lagi membalas dengan kalimat melainkan lenguhan tanpa henti terdengar bagai melodi indah.

Ini merupakan pengalaman pertama bagi Lumine. Disentuh dengan stimulasi seperti ini terasa begitu aneh pun memabukkan. Aku ingin lebih... Aku ingin menyentuh Lisa... Andaikata tiap sentuhan yang terlabuh pada tubuh kunjung terhenti, Lumine sulit menyampaikan keinginan. Apalagi perasaan malu serta canggung masih membelenggu. Perlahan Lisa menundukkan kepala guna mendekatkan paras di leher Lumine sebelum mendaratkan kecupan lembut sementara pergerakan kedua tapak tangan yang memanjakan payudara dalam genggam kian menggoda. “H-Hnn─! Ahh─L-Lisa... Lisa─” Lamban laun ia mengerti bila pasangannya semata memanggil ‘tuk menyalurkan rasa nikmat yang diperoleh.

“Lumine…” Tak biasanya sang pustawakan memanggil bukan dengan nama panggilan biasanya, entah mengapa usai mendengar panggilan tersebut paras Lumine kian memerah bagai kepiting rebus. Sosok di atas tubuh hanya tersenyum tanpa menghentikan kegiatan yang tengah dilaku. Lisa mengangkat piyama bagian atas milik Lumine agar lebih leluasa memandang tubuh dalam kuasa sesuka hati. Kedua kelopak mata Lumine yang sebelumnya tertutup kini terbuka, memperlihatkan sepasang iris emas yang sayu lantaran mulai tertutup oleh kabut nafsu. Pandangan mereka bertemu, senyuman lembut dipersaksikan oleh Lisa sebelum mendekatkan bibir pada salah satu puting payudara Lumine. Lidah yang dikeluarkan menyapu tiap inci bagian sensitif tersebut. Lantas apa yang Lisa lakukan dihadiahi pekikan oleh empunya.

Lisa sempat terhenti ‘tuk menatap Lumine, dari sorot mata seolah mengisyaratkan agar tetap tenang dan menikmati tiap sentuhan yang diperoleh. Angguk pelan sebagai tanda mengerti diberi, Lisa kembali tersenyum sejenak lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. Tangan kanan pustakawan bergerak guna memberi stimulasi tambahan pada payudara Lumine lainnya sementara tangan kiri perlahan turun menyentuh perut hingga berakhir tepat di selangkangan yang masih tertutup piyama bagian bawah. Menyadari sesuatu yang dirasa tak menghentikan diri ‘tuk berkelaluan memberi afeksi. Apa yang dilakukan Lisa membuat remasan pada piyama sosok tersebut mengerat. Tubuhnya sedikit gemetar lantaran tiap sentuhan yang dirasa memberi sensasi menakjubkan.

“Lisa... L-Lisa, aku juga hnngh─ingin menyentuhmu…” Angan yang tersimpan dalam benak kini terlisankan. Apa yang didengar oleh Lisa membuat ia berhenti memanjakan puting payudara Lumine serta sentuhan di bawah sana, satu kecup dilabuhkan pada kening pengembara. “Tentu, manis. Kamu juga bisa menyentuhku.” Usai memberi sahut, Lisa meraih pinggang ramping milik Lumine sebelum membuat sosok tersayang terbangun dari posisi terbaring. Keduanya kini terduduk di atas empuknya ranjang, saling berhadapan satu sama lain.

Piyama yang menutupi tubuh bagian atas mereka telah terlepas meski dinginnya malam tak menghalangi dua insan yang saling menyalurkan kehangatan dengan sentuhan. Jemari tangan mereka saling mengisi celah kemudian bibir kembali bertaut dalam cumbuan. Sedikit demi sedikit, Lumine mulai terbiasa dengan tiap sentuhan dari Lisa, ia juga ingin membuat Lisa merasakan apa yang dirasa. Selama bersama Lisa, aku bahagia. Perasaan nyaman yang tumbuh antara mereka kian kuat bahkan mungkin tak terbendung lagi.

Lenguhan tertahan mampu terdengar oleh rungu lantaran cumbuan tak kunjung terhenti sementara Lisa maupun Lumine perlahan mulai saling menyentuh. Dimulai dari kedua payudara hingga tubuh bagian bawah. Lumine mencoba menahan suara kala jemari tangan kanan milik Lisa menyelip ke dalam celana piyama yang dikenakan oleh puan berhelai pirang, sayangnya tak berhasil. Tiap sentuhan yang diperoleh terbalas dengan lenguhan sensual. Elusan lembut berlabuh di sana meski hanya sepersekian sekon kemudian ibu jari mulai bergerak guna menggoda labia serta kelentit milik Lumine, mulai dari menekan, memilin, hingga menggesek. Kenikmatan bertubi-tubi yang dirasakan seolah membuyarkan pemikiran yang tak perlu lantaran nafsu lebih mengusai, tak ada yang dipikirkan selain sosok yang kini bersama dengan mereka.

Lumine tak ingin kalah. Kedua tangan kian intens dalam menyentuh Lisa, perlahan namun pasti ia mampu menyeimbangi apa yang Lisa beri kepadanya. Tentu apa yang dilakukan turut dihadiahi lenguh manis. “... Sesuai dengan ekspektasiku, kamu pasti bisa mengikuti tiap pergerakanku.” Penuturan terlepas dari bibir sang pustawakan, intonasi vokal sosok tersebut kian memberat seiring kian memanas pula suasana yang mengelilingi mereka. Lumine memberi senyum penuh arti, “Sebab aku ingin Lisa merasakan juga... adil, kan? Hngh─! Lisa...!” Pekikan kembali lolos tanpa sadar kala Lisa mempercepat tempo pergerakan jemari. Apa yang dilakukukan Lisa membuat Lumine menghentikan kegiatan yang dilaku, hendak melayangkan protes nahan tertahan dengan suara memalukan. Buyar, susunan kata berupa kalimat protes dalam benak telah lenyap.

Kekeh samar diberi sebagai balasan ‘tuk Lumine, puan di hadapan mulai bergetar sebelum Lisa merasa likuid lengket kian membasahi jemari tangannya. Oh, rupanya telah mencapai puncak. Lantas dihentikanlah pergerakan pada vagina puan di hadapan lantaran ingin sosok tersebut merasakan euforia yang masih mengalir dalam tubuh. Satu kecup mendarat pada puncak kepala puan berhelai pirang lalu berbisik, “Gadis baik~” Lumine yang masih berada dalam kondisi lemas hanya bergeming meski dalam hati merasa begitu kacau, bagaimana bisa kalimat berbahaya seperti itu terucap jelas?

Perlahan tangan yang menyentuh bagian bawah Lisa kembali bergerak pun dihadiahi lenguh sensual dari sang empu. Tak menyangka bila Lumine akan melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Tentu saja, tiada penolakan terselip dalam benak. Lantaran tak ingin hanya ia yang kini menikmati tiap sentuhan yang diperoleh maka Lisa menggerakkan kedua tangan ‘tuk memanjakan Lumine dengan remasan-remasan sensual di payudara sosok tersebut sementara membiarkan jemari tangan yang lain menyentuh vaginanya, membuat daerah intim dalam kuasa kian melembap hingga Lisa menggapai puncak kenikmatan.

Pandangan mereka bertemu, kilatan nafsu masih terpampang jelas di sana seolah tiada indikasi ‘tuk menghentikan kegiatan ‘panas’ yang masih berlangsung. Kiranya Lumine bisa beristirahat sejenak, namun Lisa kembali memberi stimulasi pada kelentit miliknya. Lenguh panjang diloloskan disusul kedua paha sang empu yang sekoyong-koyong tertutup guna menghentikan sentuhan yang didapat. “T-tunggu sebentar ...” Intonasi vokal dari Lumine sedikit terputus lantaran deru napas memburu, dari sorot mata yang diperlihatkan terselip angan yang tersirat, “beri aku waktu beristirahat lima menit? Aku juga ingin melepaskan celana yang menghalagi...” Penuturan tersebut tak terpikir akan keluar dari bibir Lumine, Lisa tersenyum seraya mengangguk sebagai tanda menyetujui permintaan dari puan tersayang, pergerakan jemari di bawah sana terhenti kini tergantikan oleh kecupan-kecupan ringan yang mendarat di puncak kepala Lumine kemudian turun menuju kening, pipi, dan berakhir di hidung.

Mereka melepaskan helai pakaian yang menutupi tubuh bagian bawah serta meletakkannya di tempat yang sama dengan piyama atas yaitu di sisi ranjang. Kini keduanya mampu menyentuh satu sama lain lebih leluasa. Sampai dirasa napas mulai teratur, izin agar Lisa kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda diberikan. Lantas Lisa mulai mendekatkan paras guna mencium puting payudara bagian kanan Lumine sementara tangan kanan bergerak ‘tuk menyentuh vagina puan di hadapan. Perlahan lenguh mulai terlepas dari bibir Lumine lantaran kenikmatan yang dirasa.

Tak ingin diam, Lumine ikut memberi stimulasi kepada Lisa. Lengan kiri melingkari pinggang ramping sosok tersayang sementara tangan kanan menyentuh vagina milik Lisa. Mereka saling memberi kenikmatan pun lenguhan diiringi nama kembali memenuhi ruangan. “L-Lisa...” Lumine meringkuk dalam kuasa Lisa sebelum puncak kenikmatan digapai kedua kali. Tak lama setelahnya, Lisa pun menyusul menggapai euforia.

Tubuh terasa begitu lemah lantaran euforia yang dirasa masih menyelimuti. “Ayo tidur, manis. Pasti kamu kelelahan.” Senyum mengiringi kalimat Lisa sementara Lumine menggangguk pelan, entah mengapa merasa sulit ‘tuk membuka suara. Hanya deru napas yang tak teratur terdengar. Sang pustakawan membaringkan tubuh Lumine di empuknya ranjang, kemudian ia ikut berbaring di sisi kosong yang tersedia. Lumine mengubah posisi menjadi menghadap ke Lisa sementara Lisa yang melihat perilaku sosok tersebut hanya bergeming kendati tak mampu dipungkiri kekeh lembut terlepas dari bibir.

Tanpa disadari ternyata Lumine telah terlelap lebih dahulu, dalam hati Lisa merasa bersyukur bila puan tersayang kini berhasil memejamkan kedua mata. Selimut ditarik agar tubuh tanpa busana mereka tetap hangat kemudian dengan penuh kasih sayang ia mengelus serta mengecup puncak kepala Lumine. “Selamat malam, manis... Semoga mimpi indah.” Lisa membaringkan diri, salah satu lengan bergerak ‘tuk merengkuh Lumine sebelum kesadaran perlahan memudar.

── SELESAI