Malam ini rembulan bersinar dengan terang pun embus angin malam begitu dingin menusuk tulang. Semestinya, tiap insan telah disapa oleh mimpi. Namun, perihal tersebut tak berlaku untuk Lumine. Sepasang iris emas berpusat ‘tuk menatap pemandangan kota Mondstadt yang sepi di balik jendela lantaran jam menunjukkan pukul satu dini hari. Meski mencoba memejamkan kelopak mata, sang puan tak kunjung terlelap. Kala melirik kawan berpetualang, Paimon, sosok itu telah terlelap. Hela napas berat keluar dari bibir, tak terpikir bila akan menghabiskan waktu sendirian hingga mentari kembali bersinar.

Satu ide terlintas dalam benak membuat kedua sudut bibir Lumine membentuk lengkungan senyum. Mungkinkah ada seseorang yang belum terlelap juga? Tanpa berpikir panjang, tungkai melangkah guna menghampiri pintu sebelum keluar meninggalkan ruangannya. Semoga saja, dia belum terlelap. Semoga saja. Lumine bermonolog dalam hati. Sesampainya di depan kamar sosok yang belakangan dekat dengan ia, hendak kuasa terulur guna mengetuk pintu. Niat tertahan lantaran wanita yang ingin ditemui lebih dahulu menarik gagang pintu hingga pandangan mereka kini bertemu.

“Oh? Selamat malam, manis. Mengapa masih terjaga?” Senyum merekah pada paras Lisa, dengan sabar menanti sahut yang kelak diberi oleh lawan bicara. Atensi Lumine bergulir ‘tuk menatap objek terdekat guna menepis kecanggungan menyelimuti sebelum kembali bertemu pandang pada iris zamrud mempesona milik wanita di hadapan. “... Aku tak bisa terlelap.” Padahal tubuh terasa begitu letih sebab misi yang dilimpahkan cukup banyak meski tiada keluh terlepas dari bibir.

Seakan mengerti makna tersirat dari vokal yang terdengar rungu, sang pustakawan meraih salah satu tapak tangan mungil milik Lumine serta menggenggamnya erat. “Kalau begitu, ayo satu ranjang denganku?” Satu tawaran lolos begitu ringan tanpa beban diiringi kekeh jenaka sementara air muka terkejut terpatri jelas pun rona memerah samar menghiasi kedua pipi pengembara. Oh, manisnya. Bahkan hingga sekarang Lisa tak mampu menepis impresi kala pertama kali bersua dengan sosok tersebut.

Usai memakan waktu sepersekian sekon, satu angguk diberi sebagai pengiring sahut, “A-aku tak keberatan...” Tiada penolakan. Jauh dalam benak, Lumine berharap bila kehadiran sosok di dekatnya kelak membantu agar lekas terlelap. Sesuai pengharapan, lantas mereka melangkah memasuki ruangan di balik Lisa. “Lisa sendiri, mengapa masih terjaga?” Akhirnya pertanyaan yang sempat tertahan melantun keluar dari bibir. “Aku baru saja menyelesaikan sesuatu, hendaknya membuat teh kamomil namun tak disangka kamu ingin bertemu,” Kekeh lembut lagi-lagi mengiringi sahut yang diberi, “sebuah kebetulan yang tak disangka, bukan? Aku mengurungkan niat sebab ingin menemani si manis ‘tuk terlelap~”

Manis, satu panggilan khas dari Lisa entah mengapa selalu membuat perasaan asing menyelimuti kendati tak pernah sekalipun Lumine menolak panggilan tersebut. Perlahan namun pasti, kelak ia mengerti tabiat sang pustakawan. Impresi yang terekam oleh memori tak kunjung berubah, Lisa tetaplah sosok wanita dewasa yang lembut serta penuh kasih sayang. Perlu diingat, selama tak memancing sisi lain yang tak terduga.

Genggaman tangan pada tapak tangan Lumine kini terlepas, disusul Lisa yang terlebih dahulu merangkak naik guna mendudukan diri pada empuknya ranjang. Sepasang iris zamrud milik pustawakan tak sedikitpun teralih dari rupa manis nan cantik milik puan di dekatnya, sampai akhirnya ia membuka suara, “Apakah kamu ingin pakai piyamaku? Meski kuyakin mungkin akan longgar di tubuhmu.” Itu lebih baik daripada terlelap memakai pakaian yang biasa dikenakan, kan? Setidaknya menginginkan kenyamanan kepada sosok tersayang.

“E-eh? Aku tak ingin merepotkan...” Sahut yang telah diandai menjadi kenyataan, tentu Lisa telah mengantisipasi. “Ah, tentu saja tak merepotkan. Kamu tak akan pernah merepotkanku, manis.” Sorot mata yang ditunjukkan kepada Lumine terlihat begitu teduh seakan terselip ketulusan ‘tuk memberikan sesuatu yang terbaik. Bila seperti ini, memberi penolakan akan membuat perasaan tak enak hati kian menggerogoti. “Baiklah...” Itu jawaban yang diinginkan. Lantas terbangunlah ia dari posisi guna mengambil dua piyama dari almari. Tentu ‘tuk dirinya pula sosok yang kini bersamanya.

Tak memakan waktu lama, Lisa kembali membawa pakaian yang dimaksud. “Silakan berganti pakaian. Tak perlu malu-malu, kita sesama wanita.” Kekeh ringan sebagai pencair suasana meluncur bebas dari bibir sementara Lumine hanya bergeming dengan rona memerah senantiasa menghiasi paras. Sorot mata semata tertuju pada helai sutera yang kini berada di atas kedua tapak tangan, piyama persik dengan beberapa motif bunga mawar seperti tipikal pemiliknya sementara piyama yang akan Lisa kenakan berupa piyama ungu polos tanpa motif.

Kini keduanya telah mengganti pakaian masing-masing menjadi piyama, sang pustakawan menepuk pelan sisi kosong yang ada di sampingnya agar Lumine menyusul ‘tuk membaringkan diri. “Kemari, aku akan membuatmu merasa nyaman~” Senyum senantiasa menghias paras Lisa sementara puan berhelai pirang tersebut dengan canggung merangkak lalu berbaring sesuai permintaan. Alangkah terkejut kala lengan Lisa melingkari pinggang pun tubuh yang ditarik ‘tuk lebih mendekat. Rona memerah kembali hadir lantaran malu, terlebih degup jantung mulai perpompa kian cepat.

Mengapa aku merasa aneh? Dengan Lisa sedekat ini... Lumine bergeming meski pemikiran aneh mulai terlintas dalam benak. Mungkinkah Lisa mampu mendengar suara degup jantungnya? Bagaimana ini? Lantaran sibuk memikirkan tiap spekulasi kemungkinan terburuk, lengan yang memeluk tubuh kian mengerat diiringi elus lembut turut berlabuh pada punggung membuat tersentak. “Aku berharap kehadiranku bisa membantumu lekas terlelap. Semoga mimpi indah, manis.” Satu kecup diberikan tepat di puncak kepala Lumine sementara sang puan hanya membatu. Oh, astaga. Bila seperti ini, ia semakin sulit ‘tuk memejamkan kedua mata.

Kesunyian yang menyelimuti membuat suara detik jam di ruangan terdengar. Menit demi menit berlalu, namun Lumine masih terjaga meski telah berupaya ‘tuk bertemu mimpi. Apa yang harus dilakukan? Keinginannya hanya beristirahat, mengapa sulit sekali digapai? Tubuh dalam dekap hangat Lisa sedikit menggeliat berhasil membuat sosok tersebut menyadari bila Lumine tak kunjung terlelap. “Masih belum bisa memejamkan kedua matamu? Mmm, mungkin aku bisa memberi bantuan lainnya bila kamu tidak keberatan.” Sebentar, sebentar. Bantuan seperti apa? Sekoyong-koyong menggeleng pelan lantaran tak ingin merepotkan kedua kali, Lisa kembali membuka suara. “Aku perlu mengatakan berapa kali bahwa kamu tidak pernah merepotkan?” Satu usapan berlabuh pada puncak kepala Lumine, setelahnya senyum turut merekah. “Apapun akan aku lakukan demi kamu, sayang. Jangan merasa canggung lagi, ya?”

Entah tiap lantun kalimat dari sang pustawakan merupakan kenyataan ataupun mimpi, perasaan hangat pelahan hadir dalam benak. Takdir yang menghampiri membuat betapa bersyukurnya Lumine bersua dengan Lisa. Angguk pelan diberi sebagai sahut awal, “Aku tidak keberatan... selama kamu senang, maka aku juga senang.” Darimana ia belajar kalimat seperti itu, eh? Memalukan. Lekas melingkarkan lengan pada pinggang Lisa lalu menyembunyikan paras yang dihiasi rona memerah tepat di dada sang pustakawan. Kekeh kecil terlepas dari bibir Lisa lantaran tingkah menggemaskan Lumine seakan membuat kupu-kupu terbang bebas dalam perut.

“Kalau begitu,” Elusan lembut diberi Lisa pada helai pirang Lumine kian lama menurun guna membuat atensi keduanya bertemu kemudian jemari lentik tangannya bergerak lagi, kali ini membelai pipi pengembara. Tiada sepatah kalimat keluar darinya hingga bibir mereka bersentuhan. Lihatlah sepasang iris emas milik Lumine yang terbelalak lantaran terkejut dengan pemandangan yang tersaji meski penolakan tak diberi. Ciuman itu tak berlangsung lama, Lisa lebih dahulu menarik diri. “izinkan aku menyentuhmu dengan lembut.” Angguk pelan dari Lumine sebagai pertanda bila izin diterima lebih dari cukup ‘tuk melanjutkan kegiatan.

Bibir mereka kembali bertemu, kali ini terasa lebih leluasa sebagaimana Lisa mencoba menyelipkan lidah pada rongga mulut Lumine. Remasan diberi oleh gadis berhelai pirang pada piyama milik ia. Bukan, itu bukanlah penolakan melainkan penyalur perasaan aneh yang disertai keingintahuan lebih. Perlahan namun pasti, keduanya mulai terbiasa dengan cumbuan panas sampai akhirnya dipisahkan dengan tali liur kasatmata. Rona memerah kini dapat dilihat di pipi mereka. Tentu saja, Lisa akan menuntun Lumine penuh kesabaran. Tak lupa akan keinginan agar menjaga sosok tersayang merasa nyaman.

“Bila merasa tak nyaman lekas beritahu aku ya, sayang?” Lisa bertutur seraya mengubah posisi, kini berada di atas tubuh Lumine sementara atensi tak teralih kemanapun selain menatap puan di bawah. “I-iya...” Lumine menyahut terbata lantaran deru napas yang tak beraturan. Perlahan kedua tapak tangan Lisa bergerak guna menyelip ke dalam piyama yang dikenakan Lumine, tak sengaja menyentuh kulit perut. Tak disangka bila sentuhan tersebut dihadiahi lenguhan manis. Perlahan keinginan baru muncul dalam benak ia. Aku ingin mendengar Lumine mengeluarkan suara itu lagi.

Lisa mulai menggerakkan jemari lentik ‘tuk melabuh usap kembali pada perut lalu naik menyentuh payudara milik Lumine. “L-Lisa...” Satu nama keluar dari bibir diiringi lenguh manis kala sentuhan demi sentuhan dirasa kian membuat suasana di sekitar mereka memanas. “Mmm?” pemilik nama yang dipanggil memberi sahut singkat namun pergerakan kedua tapak tangan perlahan berubah menjadi intens, dimulai dari elus hingga remasan pelan diberi. Lumine tak lagi membalas dengan kalimat melainkan lenguhan tanpa henti terdengar bagai melodi indah.

Ini merupakan pengalaman pertama bagi Lumine. Disentuh dengan stimulasi seperti ini terasa begitu aneh pun memabukkan. Aku ingin lebih... Aku ingin menyentuh Lisa... Andaikata tiap sentuhan yang terlabuh pada tubuh kunjung terhenti, Lumine sulit menyampaikan keinginan. Apalagi perasaan malu serta canggung masih membelenggu. Perlahan Lisa menundukkan kepala guna mendekatkan paras di leher Lumine sebelum mendaratkan kecupan lembut sementara pergerakan kedua tapak tangan yang memanjakan payudara dalam genggam kian menggoda. “H-Hnn─! Ahh─L-Lisa... Lisa─” Lamban laun ia mengerti bila pasangannya semata memanggil ‘tuk menyalurkan rasa nikmat yang diperoleh.

“Lumine…” Tak biasanya sang pustawakan memanggil bukan dengan nama panggilan biasanya, entah mengapa usai mendengar panggilan tersebut paras Lumine kian memerah bagai kepiting rebus. Sosok di atas tubuh hanya tersenyum tanpa menghentikan kegiatan yang tengah dilaku. Lisa mengangkat piyama bagian atas milik Lumine agar lebih leluasa memandang tubuh dalam kuasa sesuka hati. Kedua kelopak mata Lumine yang sebelumnya tertutup kini terbuka, memperlihatkan sepasang iris emas yang sayu lantaran mulai tertutup oleh kabut nafsu. Pandangan mereka bertemu, senyuman lembut dipersaksikan oleh Lisa sebelum mendekatkan bibir pada salah satu puting payudara Lumine. Lidah yang dikeluarkan menyapu tiap inci bagian sensitif tersebut. Lantas apa yang Lisa lakukan dihadiahi pekikan oleh empunya.

Lisa sempat terhenti ‘tuk menatap Lumine, dari sorot mata seolah mengisyaratkan agar tetap tenang dan menikmati tiap sentuhan yang diperoleh. Angguk pelan sebagai tanda mengerti diberi, Lisa kembali tersenyum sejenak lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. Tangan kanan pustakawan bergerak guna memberi stimulasi tambahan pada payudara Lumine lainnya sementara tangan kiri perlahan turun menyentuh perut hingga berakhir tepat di selangkangan yang masih tertutup piyama bagian bawah. Menyadari sesuatu yang dirasa tak menghentikan diri ‘tuk berkelaluan memberi afeksi. Apa yang dilakukan Lisa membuat remasan pada piyama sosok tersebut mengerat. Tubuhnya sedikit gemetar lantaran tiap sentuhan yang dirasa memberi sensasi menakjubkan.

“Lisa... L-Lisa, aku juga hnngh─ingin menyentuhmu…” Angan yang tersimpan dalam benak kini terlisankan. Apa yang didengar oleh Lisa membuat ia berhenti memanjakan puting payudara Lumine serta sentuhan di bawah sana, satu kecup dilabuhkan pada kening pengembara. “Tentu, manis. Kamu juga bisa menyentuhku.” Usai memberi sahut, Lisa meraih pinggang ramping milik Lumine sebelum membuat sosok tersayang terbangun dari posisi terbaring. Keduanya kini terduduk di atas empuknya ranjang, saling berhadapan satu sama lain.

Piyama yang menutupi tubuh bagian atas mereka telah terlepas meski dinginnya malam tak menghalangi dua insan yang saling menyalurkan kehangatan dengan sentuhan. Jemari tangan mereka saling mengisi celah kemudian bibir kembali bertaut dalam cumbuan. Sedikit demi sedikit, Lumine mulai terbiasa dengan tiap sentuhan dari Lisa, ia juga ingin membuat Lisa merasakan apa yang dirasa. Selama bersama Lisa, aku bahagia. Perasaan nyaman yang tumbuh antara mereka kian kuat bahkan mungkin tak terbendung lagi.

Lenguhan tertahan mampu terdengar oleh rungu lantaran cumbuan tak kunjung terhenti sementara Lisa maupun Lumine perlahan mulai saling menyentuh. Dimulai dari kedua payudara hingga tubuh bagian bawah. Lumine mencoba menahan suara kala jemari tangan kanan milik Lisa menyelip ke dalam celana piyama yang dikenakan oleh puan berhelai pirang, sayangnya tak berhasil. Tiap sentuhan yang diperoleh terbalas dengan lenguhan sensual. Elusan lembut berlabuh di sana meski hanya sepersekian sekon kemudian ibu jari mulai bergerak guna menggoda labia serta kelentit milik Lumine, mulai dari menekan, memilin, hingga menggesek. Kenikmatan bertubi-tubi yang dirasakan seolah membuyarkan pemikiran yang tak perlu lantaran nafsu lebih mengusai, tak ada yang dipikirkan selain sosok yang kini bersama dengan mereka.

Lumine tak ingin kalah. Kedua tangan kian intens dalam menyentuh Lisa, perlahan namun pasti ia mampu menyeimbangi apa yang Lisa beri kepadanya. Tentu apa yang dilakukan turut dihadiahi lenguh manis. “... Sesuai dengan ekspektasiku, kamu pasti bisa mengikuti tiap pergerakanku.” Penuturan terlepas dari bibir sang pustawakan, intonasi vokal sosok tersebut kian memberat seiring kian memanas pula suasana yang mengelilingi mereka. Lumine memberi senyum penuh arti, “Sebab aku ingin Lisa merasakan juga... adil, kan? Hngh─! Lisa...!” Pekikan kembali lolos tanpa sadar kala Lisa mempercepat tempo pergerakan jemari. Apa yang dilakukukan Lisa membuat Lumine menghentikan kegiatan yang dilaku, hendak melayangkan protes nahan tertahan dengan suara memalukan. Buyar, susunan kata berupa kalimat protes dalam benak telah lenyap.

Kekeh samar diberi sebagai balasan ‘tuk Lumine, puan di hadapan mulai bergetar sebelum Lisa merasa likuid lengket kian membasahi jemari tangannya. Oh, rupanya telah mencapai puncak. Lantas dihentikanlah pergerakan pada vagina puan di hadapan lantaran ingin sosok tersebut merasakan euforia yang masih mengalir dalam tubuh. Satu kecup mendarat pada puncak kepala puan berhelai pirang lalu berbisik, “Gadis baik~” Lumine yang masih berada dalam kondisi lemas hanya bergeming meski dalam hati merasa begitu kacau, bagaimana bisa kalimat berbahaya seperti itu terucap jelas?

Perlahan tangan yang menyentuh bagian bawah Lisa kembali bergerak pun dihadiahi lenguh sensual dari sang empu. Tak menyangka bila Lumine akan melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Tentu saja, tiada penolakan terselip dalam benak. Lantaran tak ingin hanya ia yang kini menikmati tiap sentuhan yang diperoleh maka Lisa menggerakkan kedua tangan ‘tuk memanjakan Lumine dengan remasan-remasan sensual di payudara sosok tersebut sementara membiarkan jemari tangan yang lain menyentuh vaginanya, membuat daerah intim dalam kuasa kian melembap hingga Lisa menggapai puncak kenikmatan.

Pandangan mereka bertemu, kilatan nafsu masih terpampang jelas di sana seolah tiada indikasi ‘tuk menghentikan kegiatan ‘panas’ yang masih berlangsung. Kiranya Lumine bisa beristirahat sejenak, namun Lisa kembali memberi stimulasi pada kelentit miliknya. Lenguh panjang diloloskan disusul kedua paha sang empu yang sekoyong-koyong tertutup guna menghentikan sentuhan yang didapat. “T-tunggu sebentar ...” Intonasi vokal dari Lumine sedikit terputus lantaran deru napas memburu, dari sorot mata yang diperlihatkan terselip angan yang tersirat, “beri aku waktu beristirahat lima menit? Aku juga ingin melepaskan celana yang menghalagi...” Penuturan tersebut tak terpikir akan keluar dari bibir Lumine, Lisa tersenyum seraya mengangguk sebagai tanda menyetujui permintaan dari puan tersayang, pergerakan jemari di bawah sana terhenti kini tergantikan oleh kecupan-kecupan ringan yang mendarat di puncak kepala Lumine kemudian turun menuju kening, pipi, dan berakhir di hidung.

Mereka melepaskan helai pakaian yang menutupi tubuh bagian bawah serta meletakkannya di tempat yang sama dengan piyama atas yaitu di sisi ranjang. Kini keduanya mampu menyentuh satu sama lain lebih leluasa. Sampai dirasa napas mulai teratur, izin agar Lisa kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda diberikan. Lantas Lisa mulai mendekatkan paras guna mencium puting payudara bagian kanan Lumine sementara tangan kanan bergerak ‘tuk menyentuh vagina puan di hadapan. Perlahan lenguh mulai terlepas dari bibir Lumine lantaran kenikmatan yang dirasa.

Tak ingin diam, Lumine ikut memberi stimulasi kepada Lisa. Lengan kiri melingkari pinggang ramping sosok tersayang sementara tangan kanan menyentuh vagina milik Lisa. Mereka saling memberi kenikmatan pun lenguhan diiringi nama kembali memenuhi ruangan. “L-Lisa...” Lumine meringkuk dalam kuasa Lisa sebelum puncak kenikmatan digapai kedua kali. Tak lama setelahnya, Lisa pun menyusul menggapai euforia.

Tubuh terasa begitu lemah lantaran euforia yang dirasa masih menyelimuti. “Ayo tidur, manis. Pasti kamu kelelahan.” Senyum mengiringi kalimat Lisa sementara Lumine menggangguk pelan, entah mengapa merasa sulit ‘tuk membuka suara. Hanya deru napas yang tak teratur terdengar. Sang pustakawan membaringkan tubuh Lumine di empuknya ranjang, kemudian ia ikut berbaring di sisi kosong yang tersedia. Lumine mengubah posisi menjadi menghadap ke Lisa sementara Lisa yang melihat perilaku sosok tersebut hanya bergeming kendati tak mampu dipungkiri kekeh lembut terlepas dari bibir.

Tanpa disadari ternyata Lumine telah terlelap lebih dahulu, dalam hati Lisa merasa bersyukur bila puan tersayang kini berhasil memejamkan kedua mata. Selimut ditarik agar tubuh tanpa busana mereka tetap hangat kemudian dengan penuh kasih sayang ia mengelus serta mengecup puncak kepala Lumine. “Selamat malam, manis... Semoga mimpi indah.” Lisa membaringkan diri, salah satu lengan bergerak ‘tuk merengkuh Lumine sebelum kesadaran perlahan memudar.

── SELESAI