sleepenthusiast

Twitter: @sleep_nthusiast

CW // slight NSFW Minor tanggung dosa sendiri ya

Semalam, seisi bumi cemburu. Sebab senyum wanitanya yang tertimpa cahaya purnama telah menenggelamkan birunya langit sehingga ia enggan pulang. Cepat sekali rasanya sang fajar menggarahkan rembulan. Bukan kah Eren sudah menitip pesan kepada penguasa tentang fajar yang bertandang?

Padahal, ia sedang menikmati deting simfoni yang mengalun lembut dari mulut kecil wanitanya. Merdu sekali. Bahkan burung pun kalah, enggan menyuarakan melodinya.

Walau kehadiran wanita itu membiaskan sinar merah rona mawar segar dari kuncup pelataran fajar –seakan mengalahkan segala yang ada, Eren menjumpai persamaannya dengan langit.

Langit selalu ada.

Tak peduli buminya sedang hancur atau cuaca konyol, ia selalu ada.

Di mana pun ia menapakkan kaki. Di mana pun ia melambungkan intuisinya.

Langit akan setia menaunginya.

Meski ia membayangkan tempat aman di suatu lahan belantara jauh sekali di kaki gunung dengan kebun kecil dan hasil buruannya, langit akan tetap ada.

Langit pasti ada.

Kemarin malam, ribuan kerlip bintang menyapanya. Ada satu bintang kristal hijau terang yang telah membawanya terbang ke ujung langit.

Membawanya pergi membelah pekatnya malam. Kilatan cahaya itu sangat sulit digapai. Namun, rantai keberuntungan berpihak di Mikasa.

Lantunan sajak cinta telah bersuara.

Diantara ribuan bintang itu, Eren adalah lentera paling terang.

Sekarang, Mikasa mengerti mengapa tidak ada bintang hijau di langit maha luas.

Mereka semua redup. Takut menunjukkan dirinya dengan keindahan yang mutlak berpindah. Pendarnya redup tersesap habis indah bintang ke netra pria itu.

Ada yang spesial dari bintang ini. Bintang ini berprinsip kuat, bintang ini tegar, teguh, selalu berlari mengejar ambisinya

Ia fenomenal.

Dan langit bagai lembaran kosong tanpa kehadiran bintang.

Belaian hamparan binar fajar membuat wanita bersurai hitam itu membuka mata. Pagi ini udara cukup membuat rambut kulit berdiri. Terima kasih kepada radiasi ultraviolet datang dari celah gorden yang menghangatkan sepasang kekasih.

Butuh beberapa detik untuk Mikasa agar menyadari keadaan sekitarnya.

Ah, ini kamar Eren.

Baru dua kali Mikasa menginjak kakinya ke kediaman suaminya sebelum ini.

Memang benar kata orang, third time's a charm.

Senyumnya merekah saat Mikasa menyadari sepasang tangan tertaut di pinggangnya melingkari perutnya. Tangan wanita itu ia letakkan di atasnya, membelai lembut jemari kokoh suaminya.

Semalam luar biasa.

Kata orang, mereguk madu kasih untuk kali pertama rasanya sakit. Menurut Mikasa, itu spektakuler.

Eren, yang memang tidak pernah ahli dengan kata-kata, memainkan indranya untuk menyalurkan kasih sayang.

Di pembaringan yang sama, keduanya menyusuri sesama untuk waktu yang sangat lama. Bukan hanya dengan hasrat namun bersamaan dengan rasa ingin tahu –yang meningkat setiap mereka ragu untuk bersentuhan. Namun mereka pun mempercayakan semua itu terhadap insting naluri manusia. Eren menginginkan Mikasa bagaimana ia menginginkannya.

Eren bukanlah penyuka makanan manis, ia lebih suka makanan dengan bumbu yang berani dan pedas. Lamun klaim itu dipatahkan begitu bibir Mikasa menyentuhnya.

Bibir Mikasa manis, lebih manis daripada pertama kali ia menciumnya. Rasa apa ini? Hmm? Strawberry?

Ah iya, itu buah kesukaan Mikasa. Dasar, makan enak tidak bagi-bagi.

Ia menciumnya lagi.

Lagi dan lagi. Tak lupa menggigit bibir Mikasa sesekali sampai mendapatkan suara yang ia rindukan.

Bibirnya bergerak saling mengunci, mereka terlarut dalam kesenangan sebab tak sadar bahwa lidah mereka saling bertaut, berdansa seakan ada musik romantis mengiringi, beradu saling mendapatkan kehangatan.

Pagutan demi pagutan seolah mensyaratkan untuk terus berlanjut.

Tangan Mikasa mendorong kepala bersurai coklat itu semakin dekat. Sedangkan Eren mengayunkan tangannya melepas helaian kain yang menutupi tubuh wanita itu dan melempar ke sembarang.

Hampir seketika, mereka kembali merasakan satu sama lain. Sentuhan semakin melemahkan, sampai jemari Mikasa yang sibuk meraba kancing kemeja Eren layak disematkan piala jari terceroboh sedunia.

Ayolah, Mikasa! Kendalikan dirimu!

Eren, yang tersadar istrinya sedang bergumul dengan dirinya sendiri, terkekeh.

“Sini, gue bantuin.”

Rasa malu Mikasa menguap seketika melihat sosok suaminya. Mengagumi tubuh gagah dengan surai coklat semrawut akibat rematan jari lentiknya ketika kemeja hitam itu terjatuh dari pundak. Kata-kata saja tidak cukup untuk mengungkapkan perasaannya, jadi dia tetap memilih bergeming.

Eren menangkup kedua belah pipi Mikasa, berusaha menarik perhatian. Merasakan hangat kulit mereka bersentuhan. Kedua ibu jarinya menyapu lembut pipi yang memerah karenanya, sembari memanggil namanya.

Mendengar suara berat dari pria itu, Mikasa mengangkat kepalanya. Sepasang netra hijau Eren mencermati mata Mikasa yang berubah menjadi lebih sayu. Eren tersenyum kembali. Ribuan ide terlintas di kepalanya. Oh, Eren, lihat apa yang kau lakukan. Bibir Mikasa menjadi bengkak merah merona, mengkilap, telinganya ikut berpadu warna, napasnya terengah-engah.

Pompa jantungnya bekerja berkali-kali lebih cepat. Cara Eren memperlakukannya selalu menimbulkan efek; baik gelenyar aneh seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dalam perut maupun rasa hangat yang datang secara tiba-tiba. Bohong kalau Mikasa ingin berhenti. Ia sangat menyukainya. Ingin lagi dan lagi. Sangat candu,

Sangat memabukkan

Ingin rasanya mereka saling pandang berlama-lama. Meneguk nyala api dalam iris hijau diantara paras tampannya. Belum lagi keringat tipis yang menyelimuti kulit pria itu. Surai coklat panjang tepat di bawah tengkuk leher terlihat sedikit basah menambah kerupawannya berkali-kali lipat.

Pandangannya berbinar tatkala ia menyentuhnya menikmati satu sama lain.

Demi tuhan, itu pendar terindah yang pernah Mikasa lihat.

Eren mendekatkan bibirnya ke telinga Mikasa. “Cantik.” ia berbisik parau.

Eren melanjutkan menggigit daun telinganya, sesekali meniup untuk mendapatkan tawa kecil.

Bibirnya terus merasakan setiap inchi kulit putihnya dari telinga turun berhenti di leher. Mikasa mengadahkan kepalanya untuk memberi Eren lebih banyak akses. Ia terus menghirup aroma mawar segar yang membuat candu.

Mulut yang sama menggerayangi kulitnya sampai menemukan titik sensitif Mikasa. Geraman si empunya semakin menambah rasa serakah. Desiran arus listrik berdenyar di perutnya merambat ke punggungnya dan berakhir ke ujung kakinya. Lengan Mikasa –yang sedari tadi merengkuh tubuh Eren– reflek mengais punggung terbuka Eren.

Perasaan ini

Afeksi ini

Emosi ini

Sensasi ini

Memiliki kata rindu atas sepasang insan dalam memadu kasih.

Telapak tangan pria itu mengular terus dari bahunya berakhir menangkup dadanya. Sangat pas. Tangan besar Eren sepadan dengan apa yang dihadapannya. Rasanya seperti…

Rasanya seperti ia diciptakan hanya untuk Mikasa.

Mikasa kembali melenguh begitu Eren memijat dengan perlahan tapi yakin.

Keduanya bukanlah pribadi yang berbicara banyak ketika di sana. Sekalinya pria itu membuka mulut, Mikasa rasa cinta padanya semakin bertambah.

Eren berhenti sejenak, ia khawatir terlalu kasar dan terbawa suasana. “Lo gapapa? Sakit gak? Kalo sakit bilang ya, gue bak—”

Tanpa memberikan kesempatan bagi Eren untuk melanjutkan, Mikasa menarik pundak Eren kembali. Menenggelamkannya dalam kecupan hangat.

Netra hijau itu bertumbukkan dengan hitamnya seakan meminta izin untuk menyematkan gelar istri padanya.

Pria itu menitipkan janji kepada angin malam berhembus tatkala ia berada di dalam wanitanya.

Ia berjanji untuk selalu melindungi Mikasa.

“Selamat pagi, sayang.” Mikasa berbisik parau. Menatap penuh cinta pada lelaki yang masih berada di loka imajiner.

Kira-kira apa yang ia mimpi kan?

Apakah bunga tidur sama dengan milik Mikasa?

Mikasa menenggelamkan kepalanya di dada Eren, tak bosan menghirup aroma parfum walau tubuh yang sama telah bersimbah keringat semalam. Dada Eren bidang sekali. Jantung yang berdetak di pipinya menjadi musik favoritnya.

Mikasa gagal menghitung semalam. Yang ia ingat hanyalah anggukkan antusias setiap Eren bertanya, mau lagi?

Untung saja wajah Mikasa tertutupi dada Eren, ia yakin sekarang wajahnya berubah menjadi merah padam mengingat semua yang terjadi malam itu.

Mikasa mendongakkan kepalanya, Ah, Eren ternyata masih tidur. Dasar kebo.

Tangan kanannya menangkup pipi kiri Eren, merambah tekstur roman parasnya. Kedua mata lelaki itu masih saja menutup. Mikasa mengulum sebuah senyuman.

Wajah Eren ketika tidur sangat lepas, tidak ada alis yang bertaut, tidak ada iris hijau yang menyembunyikan rasa sakit. Seperti tidak memiliki beban yang dipikul.

Ibarat sayap kanan seekor burung menandakan penerimaan diri serta keterbukaan dan sayap kiri melambangkan keyakinan, ia siap mengantar Eren melambung ke angkasa mengejar apapun mimpinya.

Mikasa tak sabar akan menjadi bagian dari hidup pria itu begitu mereka meyakinkan satu sama lain.

“Eren,” Mikasa kembali memanggilnya setelah kecupan manis mendarat di ujung hidung Eren.

Suara geraman keluar dari mulut si iris hijau, ia melepaskan dekapannya, menarik selimut sampai ke atas kepala, dan berguling membelakangi Mikasa.

“Eren,” Mikasa memanggilnya sekali lagi. Ia mengelus bahu yang sudah tertutupi oleh kemul, dengan lembut menggoyangkan tubuh itu. “Semalam–”

Eren menepis tangan Mikasa. “Berisik.” Ia mengeratkan selimut itu seakan tidak ingin apapun mengganggu tidur nyenyaknya. “Kemaren gue cuma khilaf.”

Hanya satu kalimat,

Hanya dari sebuah kalimat, langit itu runtuh.

Warning: slight NSFW, arguments, non-graphic violence

Sudah menjadi kebiasaan Mikasa mengisi waktu malam hari menunggu Eren pulang kantor. Terkadang ia isi dengan kegiatan merajut baju, mempelajari resep baru, menggosip bersama Sasha dan Annie, atau sekedar membaca buku. Ia pun baru bisa tidur nyenyak setelah melihat Eren pulang dengan utuh.

Hari ini berbeda dari biasanya. Di kantor tadi siang pun, Eren hanya berkata bahwa ia ada urusan sehingga Mikasa tidak pulang dengan Eren. Ditambah mood suaminya yang sedang di bawah batas normal.

Ketika rapat weekly review yang selalu diadakan setiap jumat, Eren sama sekali tidak tersenyum dan hanya berbicara seadanya. Tidak ada pertengkarannya dengan Jean, aksi freak dengan Connie, ataupun mengobrol dengan Armin. Ia hanya mengurung dirinya di dalam ruang kerja.

Mikasa menghela napas, ia mengeluarkan gawainya untuk meminta izin ke Porco agar me-reschedule rencana meet-up mereka.

Kira-kira Eren sedang mengurus apa? Apakah itu urusan dengan perusahaan Tybur? Entah lah, setahu Mikasa hari ini bukan jadwal Eren untuk rapat karena minggu ini sudah rapat 3 kali.

Atau mungkin ada hal lain.

Hal yang selama ini ia takuti. Hal yang tidak berani ia bayangkan sekali pun.

Hal-hal destruktif. Hal-hal meniadakan. Ilusi dan bukti berada diantaranya. Petunjuk telah berdiri dihadapannya, namun Mikasa terus menutup mata hingga bukti tersebut menikam kembali ilusi yang telah ia bangun.

Dalam harapan itu terlukis senyum canda tawa di tengah lahan hijau nan luas, tempat kusuma pancawarna bersemi, buah dan umbi segar siap santap. Dunia di mana bintang hijau terang itu menyusun pernak-pernik mahkota di bawah rembulan yang tersenyum. Sungguh mudah Mikasa mengadakan bayang-bayang tersebut, namun ia sadar, menggapainya saja rasanya sudah mustahil.

Seseorang tak bisa mencintai dalam samar. Setiap malam mengabur dengan tanda tanya sebagaimana mereka tak saling mencoba meluruskan. Mikasa mengutuk lidah kelunya yang tidak dapat merubah itu menjadi sebuah kalimat utuh.

Hingga semua terlambat.

Eren tidak mencintainya, ia merasa nyeri.

Brak!

Suara gebrakan pintu utama membuat remote TV hampir jatuh dari tangan Mikasa. Kepalanya menoleh mencari asal-usul suara. Ia bangkit dari duduknya, menepuk pelan baju tidur yang kusut akibat duduk terlalu lama di sofa ruang keluarganya.

Eren melangkah masuk ke dalam ruang keluarga. Urat leher lelaki itu menegang, napasnya berat, siapapun yang melihatnya pasti tahu lelaki itu sedang memendam amarah.

“Eren kamu gak apa-apa?”

Tampilan Eren sangatlah buruk, tak memberi sedikitpun upaya untuk membenahi. Bawah mata kanan Eren mulai membengkak, ujung bibirnya juga terlihat terluka.

Sontak Mikasa mengambil P3K di lemari obat dekat ruang makan dan kembali berniat mengobati luka Eren.

Eren mencekal tangan Mikasa yang hendak menutuk lukanya dengan kapas. “Seru ya, main dibelakang gue?”

Alis Mikasa bertaut, “Hah?” Tentu, genggaman Eren tidak berdampak bagi Mikasa. Justru ia lebih kaget mendengar pertanyaan Eren.

“Porco!”

Sial, menyebut namanya saja bikin Eren naik darah.

“Porco kenapa?”

“Gak usah sok suci lo.” Eren dengan tangan bebasnya merogoh saku celana dan mengeluarkan salah satu cinderamata yang Porco janjikan pada Mikasa.

Benda itu Eren tampilkan tepat di wajah gadis di depannya, dengan tatapan tajam. “Nih, dari cowok lo.”

Mikasa tersentak, ngomong apa sih Eren? kenapa asumsinya gitu “Porco cuma temen,” kalimatnya diucapkan dengan lemah.

“Cuma temen tapi chatnya romantis! Aku lagi disini dong” Eren meniru gaya bicara Porco dengan sedikit cemoohan. “Kalo Eren tau status kita gimana?

Eren tahu, sebelum mereka menikah, Mikasa dekat dengan Porco. Setiap Jean meledek Mikasa untuk membuat Eren cemburu, ia mengelak hanya teman.

Bodohnya Eren percaya.

Dan sekarang, sejarah terulang kembali.

“Gimana, sa? Menurut lo reaksi gue apa?”

“Ren,”

Andai lo tau apa yang terjadi di restoran tadi, Sa.

Ada sedikit rasa iba terpendam ketika tinju mendarat di pipi Porco, namun pernyataan pria itu bagai minyak menyulut api.

Sambil memegang pipinya yang panas, Porco mendengus geli. “Main pukul-pukul aja, di rumah gitu juga ya? Pantes Asa nempel sama gue terus.”

Rahangnya mengeras, terdapat kilatan amarah di mata Eren. Alih-alih bungkam, si rambut pirang malah tersenyum miring penuh kemenangan melihat raut wajah Eren, merasa puas bisa mengalahkan lelaki bersurai coklat.

Bukan hanya itu, ia melanjutkan dengan menghantam Eren dengan pukulan. Enak saja, ia pikir cuma Eren yang bisa main tangan?

Porco berjalan mendekati Eren setelah Eren terdorong akibat pukulannya. “Oh iya, ada salam dari Nenek Kiyomi. Eh bukan buat lo maksudnya. Katanya, dia kangen sama gue.” Porco menarik kerah Eren. “Kasian, gak direstuin. Gue punya banyak temen pengacara buat ngebela Asa di sidang perceraian lo.”

Pandangannya samar dan yang terakhir Eren ingat, mereka diusir dari restoran karena beberapa barang pecah dan mengganggu ketertiban pengunjung lain akibat saling adu fisik.

“Gue tau gue masih banyak kekurangan! Tapi gue lagi berusaha memperbaiki diri buat lo!”

“Dan lo segampang itu nyia-nyiain usaha gue?!” Eren menatap Mikasa tidak percaya. Cengkramannya melemah, ia menghempas tangan Mikasa ke sembarang arah.

“Gila lo ya!” Umpat Eren.

Mikasa terdiam sebentar, memendam semua emosinya. membiarkan Eren menyelesaikan apapun yang akan ia keluarkan.

Sampai...

“Ternyata pikiran gue kalo lo cewe baik-baik itu salah.” Eren tertawa sinis.

“Jadi… kamu nuduh aku selingkuh?” Ditatapnya Eren dengan mata berkaca-kaca. “Porco cuma teman, Ren! Yang harusnya dituduh selingkuh diantara kita ya kamu!”

cukup

Mata Eren membulat, “Kenapa lo jadi muter balikin fakta?”

“Muter balikin fakta? Coba ngaca, siapa tau pantulanmu itu bisa ngasih tau siapa yang tiap meeting cium sana-sini!”

Keduanya terkesiap. Seumur hidupnya, Eren tidak pernah melihat Mikasa membentak seseorang. Di sisi lain, Mikasa pun ikut terkejut karena tidak tahu amarahnya berhasil menghasut untuk membocorkan fakta yang selama ini ia pendam.

“Maksud lo apa?!”

cukup sudah

Mikasa mengambil handphone-nya dan memperlihatkan foto yang ia dapatkan secara anonim pada tempo hari.

Eren kalah telak, bahunya merosot. Matanya mencoba meyakinkan bahwa semua hanya salah paham. Eren hanya mencium parfum lama yang ada di tangan Lara! Bukan menciumnya! Bahkan, ia sendiri tidak tahu kenapa foto tersebut bisa ada. “Itu..” Ucap Eren, suaranya melunak.

“Itu kamu sama Lara.” Ia melanjutkan dengan sorot mata terluka. “Mantan kamu.” Mikasa sengaja menekan kata mantan agar tersirat jelas apa yang mau ia sampaikan.

“Lo salah...”

“Salah apa, Ren?!” Mata Mikasa memanas menatap wajah pucat Eren. “Mau ngelak gimana lagi?!”

Eren bergeming. Roman muka Eren tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada rasa perih dibalik buncahnya dan Mikasa tak kuasa menatap tanpa menghadirkan rasa sesak.

“Selama ini aku ngebela kamu di depan semua orang! Tapi kamu sendiri yang buktiin kalo itu semua bener kayak yang mereka bilang!”

Tanpa membendung luapan air mata.

Cukup. Aku capek

“Mikasa…”

“Aku gak tau lagi ren.” Akhirnya, air yang tergenang di kelopak mata ikut turun bersamaan intonasinya. Tangisannya pecah. Seperti semua angan dan harapan yang ia pegang. “Kalo kamu mau pisah…”

Mikasa menarik napas sedalam-dalamnya agar suara selanjutnya tidak keluar dengan getaran. Masih berat. Masih terasa berat. Seakan setiap inchi tubuhnya menolak. Semua usahanya nihil. Ia tidak pernah merasa serapuh ini.

Ia benci terlihat lemah di hadapan Eren. Di hadapan siapapun.

Jikalau tidak disampaikan, itu akan menjadi pedang bermata dua.

“... tolong… tolong kasih tau aku.”

“Mikasa,” Diangkatnya dagu Mikasa menghadap wajahnya. “Sampe kapanpun gue gak akan ngomong itu.”

Mikasa menyentuh dada suaminya, memberikan pertanda Eren tidak boleh mendekat. “Aku ngerti, Ren. Kita nikah cuma karena ketahuan berduaan, aku ngerti kalo kita udah berusaha sejauh ini. Tapi buat apa kita lanjutin kalo hubungan ini cuma satu sisi?”

Itu memecahkan tembok kasat mata diantara mereka. Satu sisi? Apa maksudnya Mikasa juga menyayanginya? Selama ini? Selama ini Mikasa Ackerman..?

Kedua tangan Eren menangkup wajah Mikasa. Mengusap lembut aliran air mata di atas pipi tirus itu. “Di hubungan kita, gak ada yang satu sisi, Sa.”

Netra hitam Mikasa mencari sisa-sisa kebohongan dibalik hijau terangnya. Dan Eren yakin, Mikasa tidak akan pernah menemukan apa yang ia cari.

Dibalik ini hanya ada sebuah impian dan ketakutan. Eren takut. Ia takut ditolak, ia takut menerima, ia takut menyakiti, takut mencintai, ia takut jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Sebab tiap kali cintanya sudah menjadi keyakinan, mereka akan berubah menjadi badai raksasa menghancurkan kembali.

Lantas, siapa dunianya jika Mikasa pergi meninggalkannya?

Padahal, hati ini milik Mikasa seorang. Selalu. Seakan semestanya berpusat padanya. Eren ingin mencintai Mikasa. Ingin mengasihinya. Namun bukan seperti ini.

Eren ingin memperlihatkan pada semua orang, bahwa dia benar mencintai istrinya. Ia ingin mencintai dengan berani, tidak perlu berpura-pura cuek ketika Mikasa dengan jelas memberinya kasih sayang, tidak perlu mengumpat dengan beribu alasan untuk mengetahui kabar Mikasa, tidak perlu berkata kasar terhadap perempuan yang ia cintai.

Eren ingin berani.

Akan tetapi, Mikasa sayang, gue tau gue bukan pelafal yang baik dan gue mau menegaskan semuanya ke diri lo.

“Er–” Tak diberi kesempatan untuk bertanya maksud lelaki itu. Sebab Mikasa terhipnotis dengan kristal hijau menyala tanpa tersadar bahwa jarak diantaranya sudah terkikis.

Seakan diberi lampu hijau, kedua bibir itu menyentuh lembut bibir Mikasa. Sangat halus. Sangat hati-hati. Meskipun Eren sendiri tidak menyangka ia dapat selembut ini setelah argumen panas.

Pipinya menampilkan semburat merah muda dengan cepat. Seperti hantaran listrik mendesir di sekujur tubuhnya. Mikasa menutup matanya, Astaga! Eren menciumku!

Tidak bisa dipungkiri, ini lah yang Mikasa inginkan sejak lama. Namun, dua sisi bagaikan sedang bertengkar. Satu menitahkan untuk tetap di sini dan memberikan apa yang selama ini ia simpan. Lainnya berteriak tidak sekarang, ia ingin mengakhiri semua kegilaan ini, menyuruhnya berhenti.

Namun sisi kedua tersebut dikalahkan dengan bisikan serak basah pria itu —yang sedikit tertahan— tepat di telinga Mikasa. “Gue sayang...”

Pikiran Mikasa berkabut, semua titahnya seakan hilang setelah pria itu menciumnya. “Eren,” Ucap Mikasa sebelum Eren kembali mendaratkan bibirnya.

Surai coklat panjang Eren menggelitik pipi Mikasa, menutup bagaikan gorden yang memberikan kedua insan itu privasi.

Bibir Eren manis. Lembut. Kenyal. Candu.

Jika saja Eren tidak sigap menangkap Mikasa, ia sudah tersungkur akibat tubuhnya melemas.

Ciuman pertama penuh kasih sayang bagaikan permintaan maaf Eren kepada Mikasa, memberinya kenyamanan yang selama ini absen dari kehidupannya.

Sementara yang kedua lebih panas.

Sentuhannya berasa lebih lantang menyatakan bahwa Eren mendambakannya. Satu lengan Mikasa bergerak dari dada Eren melingkar ke leher suaminnya, lainnya menyelipkan jemarinya disela-sela rambut Eren. Tubuh mereka kini sudah tak berjarak.

Dan tanpa disadari, Eren telah mengangkat Mikasa dan membawanya ke pembaringan di kamarnya. Eren menopang tubuhnya dengan kedua sikut.

Keduanya mematahkan sejenak, terengah-engah mencari oksigen. Eren mengambil kesempatan itu untuk melabuhkan kecupan di rahang, turun ke leher, meninggalkan bekas kepemilikan. Tangannya mengeksplor lekuk tubuh wanita itu.

Mikasa menggigit bibir bawahnya, menahan agar suara nafas beratnya tidak keluar tanpa kendali. Tatkala Eren menyadari, ia menyentuh bibirnya, menatapnya dengan lembut, “jangan ditahan, gak baik.”

Kini, gelora api dalam Eren terus terpicu setiap namanya disenandungkan bersamaan dengan lirihan napas.

Tubuh Mikasa hangat, harum, halus, seperti sedang menghirup rangkaian bunga mawar. Eren tidak ingin semua ini berakhir.

Mikasa pun juga, berharap mentari tak kunjung menyinari.

Malam ini, sepasang kekasih telah meyakinkan sesama. Tanda tanya dalam hubungan mereka sudah menjadi kalimat utuh. Kalimat dengan koma sebab perjalanan mereka masih panjang. Dan yang harus di garis bawahi adalah

Mikasa Ackerman resmi menjadi wanita Eren Jaeger.

Dia Lara.

Seorang yang tidak kenal lelah, sang pemimpi dengan ambisi, perempuan yang berani berdiri di tengah impian seluas biru samudera. Wanita yang melakukan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan.

Segala cara.

Pagi itu matahari ikut tersenyum melihat seorang pria menatap puas penampilannya pada cermin di hadapannya. Kemeja yang tidak terbilang murah sudah membalut tubuh kekarnya. Rambut coklatnya telah ia rapihkan dengan gel rekomendasi Floch. Tidak lupa butiran parfum favorit Lara yang membasahi helaian kain yang dikenakan. Kota itu seolah-olah ikut mengindahkan langkah Eren untuk merencanakan pernikahan yang tinggal terhitung 8 bulan lagi, tidak hambatan macet, tidak ada orang yang membuat Eren naik darah ketika menyetir mobilnya.

Bahkan, ketika ia masuk ke dalam lobby hotel tempat yang telah disepakati untuk bertemu calon mertuanya, semua berjalan lancar. Beberapa skenario bagaimana berjalannya pernikahan impiannya selalu terlintas di sela-sela kegiatan.

Dalam restoran pun kedua orang tua lengkap dengan keluarga kakaknya menyambut hangat kehadiran Eren.

Semuanya tersenyum,

Kecuali Lara.

Tentu, Eren menyadarinya.

Terlihat kaki rampingnya digerak-gerakkan tanda gelisah, tangannya langsung ditepis tanpa sebab ketika Eren mencoba menenangkan dengan cara menggenggam lengannya. Sayang sekali, mini dress hitam Diornya ikut terbawa suasana sang pemilik.

Kenapa dia seperti itu? Apa salah Eren? Tadi malam saat sleep call, mereka baik-baik saja kok, tidak ada tanda-tanda Lara sedang dalam masalah.

Mungkin ia gugup?

Atau mungkin Eren hanya berpikir berlebihan Atau ia terlalu dibutakan imajinasi sampai hal kecil yang mengganggu Lara tidak terlihat.

“Sebelum kita masuk ke inti acara, Lara mau bicara sesuatu.” Wanita itu memainkan jari-jemarinya. Beberapa kali ia menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.

Seorang Lara gugup di depan keluarganya sendiri?

“Pertama, kita udah nyewa Paradis Tower untuk office kita!”

Semua orang bertepuk tangan. Bisikkan ‘selamat’ dari para anggota keluarga terdengar pada meja bundar berbalut kain putih. Eren pun tersenyum, mengingat perjuangan mereka berdua bersamaan dengan Willy Tybur, sang kakak, membangun start up ini dari nol. Bisnis yang telah mereka rancang sejak menginjak semester 4. Ratusan malam ia korbankan untuk meniti karir sebagai entrepreneur muda, demi Paradis yang semakin hari semakin menyusut lapangan pekerjaannya. Demi memajukan perkembangan teknologi Paradis dalam ranah dunia. Demi mengangkat derajat orang tua.

Apalagi saat ini, perjanjian kerja sama dan segala macam investor mulai berdatangan.

“Kabar kedua,” Ia berhenti sejenak. Wajahnya yakin sekaligus tidak yakin harus melanjutkan atau tidak. Rahangnya mengeras. Tatapan kosong melihat entah kemana mencoba menahan air mata yang merebak.

Eren menghela napas. Entah berapa kali ia merutuki dirinya yang tidak sadar bahwa Lara sedang tidak baik-baik saja.

“Aku dapat kabar duka,” perempuan itu menggerakkan kakinya. “Kabar ini sudah lama, tetapi aku gak pernah kasih tau ke kalian. Setiap hari aku berharap kabar ini hanya suatu fitnah. Ada yang ingin menjatuhkan kita atau apapun alasannya.”

Semuanya terdiam, menunggu Lara melanjutkan apapun yang ingin ia sampaikan. Perempuan itu menunduk, “Eren, dia telah berhubungan dengan wanita lain di belakangku.”

Eren tercengang. Selingkuh? Sejak kapan ia selingkuh? Dan yang paling penting, sama siapa?

Berkali-kali ia terserak dan ia tak mampu merangkai sebuah kalimat pembelaan utuh. Rasanya ingin ia menimpal seluruh pikirannya, namun yang ia lakukan hanyalah menatap kekasihnya, menuntut penjelasan di balik semua ini.

Eren bisa merasakan sorot tajam dari setiap pasang netra penghuni meja restoran.

“Bedebah kamu, Eren!” Bu Tybur lekas memeluk putri bungsunya. Gadis yang selalu ia jaga agar tidak ada seorang pun yang menyakitinya telah hancur berkeping-keping.

Lara mengubur wajahnya di pundak sang ibunda, “maafin Lara, bu. Lara belum bisa menjadi… menjadi perempuan yang selalu ibu bilang. Lara… Lara gagal jagain Eren.”

Tangisnya pun pecah.

Berbagai sumpah serapah menyeruak tertuju pada si objek pembicaraan. Pak Tybur hampir membuat kekacauan di restoran itu, kepalan keras tangannya hampir mendarat di wajah Eren kalau Kak Willy tidak mencegahnya.

“Anak anjing!” Pekik Pak Tybur, “Tega sekali! Lara sedang setengah mati berjuang membangun karirnya dan kamu dengan gampang buka kaki di belakang?! Biadab!”

Napasnya terengah-engah. Seorang ayah di penjuru dunia mana yang menerima anaknya disakiti oleh lelaki lain?

Pak Tybur tahu betul bagaimana perjuangan Lara dan Willy dalam membangun perusahaannya ini. Tidak jarang keduanya jatuh sakit demi kesuksesan mencapai target. Bahkan mereka rela menyita waktu bersantai mereka.

Dan Eren, yang ia kira adalah seseorang lelaki berperilaku santun, perhatian, gentle, berambisi, yang ia kira pasangan paling sesuai untuk memimpin rumah tangga Lara, kini menumbangkan ekspektasinya.

Eren masih bergeming. Bagaikan ribuan panah yang menusuk jantungnya, ia terasa sesak. Dari mana fitnah ini datang? Eren bersumpah, ia tidak pernah mendekati wanita lain, apalagi sampai berhubungan. Lara adalah satu-satunya perempuan yang berada di hidupnya saat ini, selain bunda.

Oh, mungkin ini adalah rencana Lara untuk menaikkan rating perusahaannya.

Mungkin ini hanya sandiwara.

Mungkin ini hanya lelucon untuk kejutan ulang tahun Eren bulan depan.

Lara mencintainya kok.

Setiap malam, melalui telepon ia juga berkata seperti itu.

Tenang, ini hanya bohongan.

Kalaupun benar, pasti ini hanya mimpi buruk.

Lara mencintainya, Eren pun demikian.

Benar saja, sampai saat ini Eren tidak lekas bangun dari mimpi buruk itu.

Tolong jangan ada drama lagi. Levi memutarkan mantra itu berkali-kali sebelum masuk ke dalam rumah kediaman kekasihnya.

Terkadang terlintas di pikirannya tentang mengapa ia bisa jatuh cinta pada pria gagah petinggi perusahaan sebelah kantornya. Disaat Levi siap menelan mentah-mentah takdir yang menjadikan dunianya monokrom, duda tua beranak 2 seenak jidat datang mewarnai hari-harinya. Yah, walaupun hanya 1 warna; kuning.

Percaya atau tidak, satu warna itu telah menghadirkan emosi dalam hidupnya. Bukan, bukan emosi negatif. Yaitu rasa nyaman dan bahagia berada di dekapan seseorang. Rasa yang lama hilangnya. Rasa yang tak pernah ada sejak kepulangan ibunda.

Namun, benar kata orang, namanya juga hidup. Pasti tidak sepenuhnya berjalan mulus.

Si kembar benci Levi.

Ah, benci itu kata yang kuat. Lebih tepatnya… tidak suka?

Tidak jarang tatapan sinis si perempuan dilemparkan ataupun si laki-laki yang ekspresinya rapuh.

Namun, Erwin selalu berkata —frasa yang menjadi favorit levi ssst rahasia— bahwa selalu mendedikasikan diri ke dalam apapun yang dilakukan.

Levi memutuskan untuk berdedikasi menghadapi tantangan demi merebut hati mereka. Siapa tahu, dua jin ifrit itu akan turut memulas dinding kehidupan tiga warna Levi menggunakan crayon kesayangan mereka.

Lagipula, gerak-gerik anak kecil terbatas. Mereka tak mungkin macam-macam.

Ya kan?

Oh, Levi. Bisa-bisanya dia meremehkan kemampuan berpikir anak-anak. Apalagi turunan seorang Erwin Smith.

Kepulan kabut putih menghalangi pandangan Levi tepat setelah ia membuka pintu dapur. Bukan. Itu bukan kabut, itu…

“Hisu! I told you not to use eggs as snowballs!”

“Let it go! Let it go! The perfect girl is gone!!”

Levi terdiam.

Anjing. Kenapa gue setuju sama ide bobrok ini.

Jorok. Jijik. Ngeres. Semua kata sifat negatif pantas disematkan pada rumah ini. Perlengkapan rumah yang sudah terkubur tepung terigu, jejak kaki gremlin tercetak pada lantai, belum lagi teriakan nyaring yang dapat memecahkan gendang telinga.

Ingin rasanya Levi pulang saat itu juga tapi enggan menerima konsekuensi diputusin oleh Erwin.

Levi menghela napas. Mau tidak mau.

Ia berdeham. Namun, pemilik rumah nampak menuli. Suara perempuan itu jauh lebih kencang daripada eksistensi Levi.

Historia sedang bernyanyi di atas meja sambil memegang spatula seolah ia sedang konser. Sementara kakaknya membuat sound effect dari mulutnya sambil menebarkan tepung sebagai efek salju.

Jangan lupa wajah dan tubuh mereka yang celemotan tepung.

Untung saja, ada peralatan masak tergeletak di lantai. Levi mengambil panci dan mengetuk memakai sendok. Dan akhirnya perhatian mereka tertuju pada Levi.

“Ada apa ini?”

Levi mendekati kedua anak itu.

“Jangan dekat-dekat!” Perempuan rambut pirang itu mengancam menggebuk Levi dengan spatula.

Levi mengangkat salah satu alisnya.

“Mulut om bau! Seperti kaos kaki papa!”

Oalah ngelunjak.

“Ada yang mau jelasin kenapa berantakan?” Levi melipat tangannya.

We wanted to make a cake. Tetapi Hisu punya ide lain.” Armin menepuk-nepuk kaos biru mudanya agar lepas dari tepung.

“Kenapa berantakan?”

“Karena menyenangkan!” Historia berputar lagak menari balet, dress merah mudanya ikut mengembang. “Om harus nyanyi juga supaya mukanya tidak seperti ikan piranha!”

“Gak.”

Historia mengikuti gaya Levi. Alisnya saling bertautan, pipi gembilnya ikut merengut. “Nyanyi!”

“Gak.”

“Nyanyi atau Hisu lapor Miss Rico! Biar dimarahin!”

Miss Rico siapa… “Oke, gini. Janji Hisu bakal turun dan gak nakal kalo om nyanyi?”

“Pake mahkota.”

“Hah?”

“Nyanyi sambil pakai mahkota dan baju princess.” Hisu menghentakkan kakinya. “Dan! Di makeup!”

”...Deal.”

Ujian hidup ada aja.


Levi tidak pernah merasa hina daripada ini.

Tidak hanya aksi nyanyi Let It Go ala princess di depan ruang TV penuh jendela tembus pandang, namun juga riasan wajahnya yang membuat dia sedikit tersentak ketika melihat cermin. Badut Pennywise saja kalah.

“Halo Princess Om Levi! Di mana pangeranmu?” Impresi Historia bak keturunan bangsawan.

“Pangeran saya sedang membeli perlengkapan berkebun, princess.” Ujar Levi dengan nada datar.

“Apakah pangeranmu berambut pirang?”

“Iya.”

“Bernama Erwin Smith?”

“Ya.”

Historia tercengang. “Prajurit! Tangkap dia!” Historia menunjuk Levi dengan tongkat sihirnya. “Dia telah merebut pangeranku!” Armin, sebagai prajurit, datang dengan borgol mainan. “Dasar pelakor!”

Kenapa jadi sinetron.

Levi, seorang Ackerman, yang katanya keluarga terpandang di kotanya karena keturunan mafia, ditakal oleh dua bocil 8 tahun? Lebih parah, Historia meniban Levi sampai ia terjatuh.

Kalau iya Erwin akan mempersuntingnya, Levi siap-siap mengalami fenomena tumbuhnya uban prematur.

Armin mengambil papan catur dan meletakkannya di sebelah kepala Levi. “Kamu akan bebas dari hukuman kalau menang dalam perlombaan catur.” Kata Armin. Historia yang masih di atas punggung Levi, mengguncangkan badan Levi sambil bersorak mendukung kakaknya.

Anjir. Terakhir kali gue main catur, pion item nyangkut di lobang idung orang.

Dan benar saja. Levi skakmat dalam 2 kali giliran.

“Sebagai hukumannya,” jari telunjuk tambun Armin mengarah ke dapur. “Om Levi harus bersihin dapur.”

Anak kurang ajar. Oke, Levi tidak kaget jika semua kerusuhan ini didalangi oleh Historia. Energi anak itu melampaui batas anak 8 tahun pada umumnya. Tapi Armin ikut-ikutan? Yang ia dengar selama ini dari mulut sang ayah adalah Armin anak manis, pemalu, nggak neko-neko.

“Ayo, Hisu.” Armin menggandeng tangan adiknya dan melengos pergi. “Let's watch the movie you really want.

Tebak, Erwin. Kamu salah. Salah besar.

Bahkan anak itu berani-beraninya nyuruh Levi bersihin rumah.

Untung itu hobi gue kalo ga tu 2 bocil udah gue lempar ke samudera hindia.

Setidaknya mereka sudah duduk anteng menonton Cinderella, bisa meninggalkan Levi sendiri untuk berbenah.

Meski terlihat jengkelnya bulan main, jauh di lubuk hati Levi, terdapat kasih sayang tulus tak terhingga kepada dua anak yang kelakuannya kayak monyet itu. Bukan hanya sebagai anak dari orang yang dicintai, juga sebagai seseorang yang layak tersenyum di balik dunia busuk ini. Hanya saja, sulit untuk memancarkannya.

Tanpa diketahui orang, bahkan Erwin sekalipun, Levi telah mengikuti seminar parenting. Setengil apapun anak, mendapatkan afeksi tetap menjadi hak.

Dan pemikiran tentang penelantaran anak membuat Levi ingin mengeluarkan isi perutnya.

“Om… ” Tangan kecil menarik apron belakang milik Levi ketika asik mengelap meja makan.

Levi melihat kebawah, menemukan dua pasang manik biru lebar menatapnya dengan wajah yang... Sendu?

Mata Levi melebar. Kagetnya bukan main ketika dua kurcaci itu memeluk kaki Levi. Suara isakan keluar dari bibir mereka, membasahi celana jeans milik Levi.

“Maafin kita om..” Rengek Historia.

“Kita sudah jahat seperti Cinderella's stepmother.” Ujar Armin.

Hatinya terenyuh. Seketika semua kejengkelan Levi menguap begitu saja.

“Jangan diulangi lagi ya.” Levi menahan agar nadanya tetap datar.

Sesi tangisan mereka pun diakhiri dengan membantu Levi membersihkan dapur dan meja makan. Meski Levi harus mengeluarkan energi ekstra untuk menuntun si kecil, ia menikmati setiap proses pendekatan kepada dua calon anaknya. Seperti biasa, mulut comel Historia tidak pernah berhenti bergerak. Dia bercerita tentang cita-citanya jadi mermaid supaya bisa tinggal di atlantis dan memiliki hewan peliharaan seperti Gary.

Sedangkan Armin menyahuti dengan fakta-fakta unik tentang laut. Walaupun tidak semua pantas untuk dikonsumsi anak kecil, seperti teori segitiga bermuda penyimpan sejuta mayat.

Itulah keindahan keluarga. Tidak ada yang bisa menduga apapun yang terjadi. Hanya terus berjalan dan tergantung kitanya mau menghadapi atau melarikan diri.

Dan Levi bersyukur telah menyediakan kesempatan bagi Historia dan Armin untuk menetap.


Erwin tersenyum.

Ia tersenyum melihat pemandangan di depan matanya. Bersyukur telah percaya dengan penilaiannya setelah berkali-kali gagal.

Levi tertidur pulas di sofa bersamaan dengan si kembar di dekapannya. Dilihat dari buku cerita yang tergeletak di lantai, sepertinya rencananya berjalan dengan sangat baik.

Armin meringkuk di rangkulan Levi, Historia terlentang di sebelahnya dengan kepala di atas paha Levi.

Dengan hati-hati tanpa mengganggu tidur 3 malaikat kecilnya, Erwin mengecup bibir Levi.

Tangan kanannya membelai lembut pipi pria itu.

Terima kasih sudah berjuang sampai sini. Sekarang giliran aku yang membahagiakanmu.

Sedangkan tangan kirinya memainkan kotak perhiasan merah yang sedari tadi menempati saku jaketnya.

Armin selalu menjadi pelari lamban dibandingkan kedua sahabatnya.

Peringkat tiga dari tiga peserta dalam perlombaan menuju pohon yang bertengger di puncak bukit. Paras lugu tanpa pengaruh busuknya dunia hanya menghirau mimpi yang dianggap lelucon oleh orang dewasa. Namun, selama tangan mereka bertautan, tidak ada yang dapat menghalangi mereka.

Mereka akan selalu mengisi kekosongan satu sama lain.

Seperti ketika Armin menerima tendangan tidak terlihat di tulang keringnya.

Kedua sahabatnya dengan sigap menolong Armin yang terguling kembali ke dataran rendah bukit.

Mikasa dengan segala sifat naluriahnya memberi pertolongan pertama pada luka Armin. Kedua sahabatnya berekspresi aneh ketika mengobati luka lebam di dahinya. Yang benar saja, lukanya perlahan menghilang dengan sendirinya. Tanpa angin tanpa hujan.

Mikasa yang berusaha berpikir apa yang terjadi dan Eren menghibur dengan penuh antusias, “keren banget! Kamu gak usah takut lawan titan karena lukamu cepet sembuh! Akhirnya titan bisa musnah dari dunia ini!”

Ohahaha, tidak semudah itu, Eren.

Kenyataannya, kondisi Armin sekarang jauh lebih rapuh.

Disaat semua orang berbalut selimut karena hawa dingin malam menggelitik kulit, si pirang bersimbah keringat terbaring diatas kasur membendung rasa sakit yang ia alami dengan kain putih mengikat mulutnya agar suaranya tak lepas ketika menerima serangan tak terlihat. Semua jenis cobaan sudah pernah dirasakan, retakan tulang di jari-jari, pukulan di abdomen, benturan di kakinya.

Mama… Papa…

Sakit…

Entah berapa liter air mata yang telah merebak. Bahkan, bantalnya kini tak layak pakai.

Tak heran keadaan Armin mengundang simpati dari keluarga Jaeger. Kakek bukanlah orang yang memiliki harta banyak. Jangankan untuk berobat, untuk makan sehari-hari saja kakek harus bekerja mati-matian. Satu-satunya jalan adalah Dokter Grisha, itu pun ditebus secara cuma-cuma.

Dinding berkatilah Dokter Grisha, ia melakukan apapun untuk menyembuhkan Armin. Segala obat diracik demi si pirang bisa kembali berlari kesana kemari. Kata Eren, tidak jarang Dokter Grisha bermalam di laboratorium bawah tanahnya hanya untuk memecahkan misteri penyakit Armin.

Terkadang, ia menyuruh Mikasa dan Eren untuk bermalam agar bisa memonitor keadaannya.

Untung saja, semua itu terjadi hanya pada malam hari.

Ia bisa bermain dengan kedua sahabatnya ketika siang hari. Yah, itupun kalau tidak bertemu dengan segerombolan penindasnya.

Atau kembali melakukan hobi yang sempat tertinggal, pasti tahu kan? Ya, Membaca!

Si mata biru mengernyitkan alisnya. Buku dipangkuannya memperlihatkan halaman yang aneh. Halaman yang tak pernah ia lihat itu sangatlah lusuh dan kaku. Salah sedikit memegangnya, halaman itu akan hancur berkeping-keping. Ditambah isinya yang sebagian besar sudah luntur.

Soulmate Curse – di usia 11 tahun, yang terpilih berbagi rasa sakit dan luka yang sama dengan lainnya. bekas luka hanya muncul kemudian memudar dengan cepat.

Saat itulah, tugasmu menolongnya.

Armin telah menyelesaikan buku itu beberapa kali, baru kali ini dia menemukan halaman aneh tentang kutukan.

Tapi bagaimana caranya? Secara ilmiah, itu tidak mungkin terjadi. Bagaimana tepatnya seseorang mendapatkan cedera tanpa sesuatu terjadi pada mereka? Apakah pembuluh darah mereka pecah secara misterius? Atau kulit mereka terbelah tanpa alasan? Jika demikian, bagaimana—

Tunggu…

Jadi selama ini… Belahan jiwanya merasakan pukulan dari para penindas?

Manik biru mudanya menyelami berbagai probabilitas, ibu jari membelai lembut seluk tosca di pergelangan tangannya.

Maaf

Read more...