Eren Lara

Dia Lara.

Seorang yang tidak kenal lelah, sang pemimpi dengan ambisi, perempuan yang berani berdiri di tengah impian seluas biru samudera. Wanita yang melakukan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan.

Segala cara.

Pagi itu matahari ikut tersenyum melihat seorang pria menatap puas penampilannya pada cermin di hadapannya. Kemeja yang tidak terbilang murah sudah membalut tubuh kekarnya. Rambut coklatnya telah ia rapihkan dengan gel rekomendasi Floch. Tidak lupa butiran parfum favorit Lara yang membasahi helaian kain yang dikenakan. Kota itu seolah-olah ikut mengindahkan langkah Eren untuk merencanakan pernikahan yang tinggal terhitung 8 bulan lagi, tidak hambatan macet, tidak ada orang yang membuat Eren naik darah ketika menyetir mobilnya.

Bahkan, ketika ia masuk ke dalam lobby hotel tempat yang telah disepakati untuk bertemu calon mertuanya, semua berjalan lancar. Beberapa skenario bagaimana berjalannya pernikahan impiannya selalu terlintas di sela-sela kegiatan.

Dalam restoran pun kedua orang tua lengkap dengan keluarga kakaknya menyambut hangat kehadiran Eren.

Semuanya tersenyum,

Kecuali Lara.

Tentu, Eren menyadarinya.

Terlihat kaki rampingnya digerak-gerakkan tanda gelisah, tangannya langsung ditepis tanpa sebab ketika Eren mencoba menenangkan dengan cara menggenggam lengannya. Sayang sekali, mini dress hitam Diornya ikut terbawa suasana sang pemilik.

Kenapa dia seperti itu? Apa salah Eren? Tadi malam saat sleep call, mereka baik-baik saja kok, tidak ada tanda-tanda Lara sedang dalam masalah.

Mungkin ia gugup?

Atau mungkin Eren hanya berpikir berlebihan Atau ia terlalu dibutakan imajinasi sampai hal kecil yang mengganggu Lara tidak terlihat.

“Sebelum kita masuk ke inti acara, Lara mau bicara sesuatu.” Wanita itu memainkan jari-jemarinya. Beberapa kali ia menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.

Seorang Lara gugup di depan keluarganya sendiri?

“Pertama, kita udah nyewa Paradis Tower untuk office kita!”

Semua orang bertepuk tangan. Bisikkan ‘selamat’ dari para anggota keluarga terdengar pada meja bundar berbalut kain putih. Eren pun tersenyum, mengingat perjuangan mereka berdua bersamaan dengan Willy Tybur, sang kakak, membangun start up ini dari nol. Bisnis yang telah mereka rancang sejak menginjak semester 4. Ratusan malam ia korbankan untuk meniti karir sebagai entrepreneur muda, demi Paradis yang semakin hari semakin menyusut lapangan pekerjaannya. Demi memajukan perkembangan teknologi Paradis dalam ranah dunia. Demi mengangkat derajat orang tua.

Apalagi saat ini, perjanjian kerja sama dan segala macam investor mulai berdatangan.

“Kabar kedua,” Ia berhenti sejenak. Wajahnya yakin sekaligus tidak yakin harus melanjutkan atau tidak. Rahangnya mengeras. Tatapan kosong melihat entah kemana mencoba menahan air mata yang merebak.

Eren menghela napas. Entah berapa kali ia merutuki dirinya yang tidak sadar bahwa Lara sedang tidak baik-baik saja.

“Aku dapat kabar duka,” perempuan itu menggerakkan kakinya. “Kabar ini sudah lama, tetapi aku gak pernah kasih tau ke kalian. Setiap hari aku berharap kabar ini hanya suatu fitnah. Ada yang ingin menjatuhkan kita atau apapun alasannya.”

Semuanya terdiam, menunggu Lara melanjutkan apapun yang ingin ia sampaikan. Perempuan itu menunduk, “Eren, dia telah berhubungan dengan wanita lain di belakangku.”

Eren tercengang. Selingkuh? Sejak kapan ia selingkuh? Dan yang paling penting, sama siapa?

Berkali-kali ia terserak dan ia tak mampu merangkai sebuah kalimat pembelaan utuh. Rasanya ingin ia menimpal seluruh pikirannya, namun yang ia lakukan hanyalah menatap kekasihnya, menuntut penjelasan di balik semua ini.

Eren bisa merasakan sorot tajam dari setiap pasang netra penghuni meja restoran.

“Bedebah kamu, Eren!” Bu Tybur lekas memeluk putri bungsunya. Gadis yang selalu ia jaga agar tidak ada seorang pun yang menyakitinya telah hancur berkeping-keping.

Lara mengubur wajahnya di pundak sang ibunda, “maafin Lara, bu. Lara belum bisa menjadi… menjadi perempuan yang selalu ibu bilang. Lara… Lara gagal jagain Eren.”

Tangisnya pun pecah.

Berbagai sumpah serapah menyeruak tertuju pada si objek pembicaraan. Pak Tybur hampir membuat kekacauan di restoran itu, kepalan keras tangannya hampir mendarat di wajah Eren kalau Kak Willy tidak mencegahnya.

“Anak anjing!” Pekik Pak Tybur, “Tega sekali! Lara sedang setengah mati berjuang membangun karirnya dan kamu dengan gampang buka kaki di belakang?! Biadab!”

Napasnya terengah-engah. Seorang ayah di penjuru dunia mana yang menerima anaknya disakiti oleh lelaki lain?

Pak Tybur tahu betul bagaimana perjuangan Lara dan Willy dalam membangun perusahaannya ini. Tidak jarang keduanya jatuh sakit demi kesuksesan mencapai target. Bahkan mereka rela menyita waktu bersantai mereka.

Dan Eren, yang ia kira adalah seseorang lelaki berperilaku santun, perhatian, gentle, berambisi, yang ia kira pasangan paling sesuai untuk memimpin rumah tangga Lara, kini menumbangkan ekspektasinya.

Eren masih bergeming. Bagaikan ribuan panah yang menusuk jantungnya, ia terasa sesak. Dari mana fitnah ini datang? Eren bersumpah, ia tidak pernah mendekati wanita lain, apalagi sampai berhubungan. Lara adalah satu-satunya perempuan yang berada di hidupnya saat ini, selain bunda.

Oh, mungkin ini adalah rencana Lara untuk menaikkan rating perusahaannya.

Mungkin ini hanya sandiwara.

Mungkin ini hanya lelucon untuk kejutan ulang tahun Eren bulan depan.

Lara mencintainya kok.

Setiap malam, melalui telepon ia juga berkata seperti itu.

Tenang, ini hanya bohongan.

Kalaupun benar, pasti ini hanya mimpi buruk.

Lara mencintainya, Eren pun demikian.

Benar saja, sampai saat ini Eren tidak lekas bangun dari mimpi buruk itu.