Family Bonds

Tolong jangan ada drama lagi. Levi memutarkan mantra itu berkali-kali sebelum masuk ke dalam rumah kediaman kekasihnya.

Terkadang terlintas di pikirannya tentang mengapa ia bisa jatuh cinta pada pria gagah petinggi perusahaan sebelah kantornya. Disaat Levi siap menelan mentah-mentah takdir yang menjadikan dunianya monokrom, duda tua beranak 2 seenak jidat datang mewarnai hari-harinya. Yah, walaupun hanya 1 warna; kuning.

Percaya atau tidak, satu warna itu telah menghadirkan emosi dalam hidupnya. Bukan, bukan emosi negatif. Yaitu rasa nyaman dan bahagia berada di dekapan seseorang. Rasa yang lama hilangnya. Rasa yang tak pernah ada sejak kepulangan ibunda.

Namun, benar kata orang, namanya juga hidup. Pasti tidak sepenuhnya berjalan mulus.

Si kembar benci Levi.

Ah, benci itu kata yang kuat. Lebih tepatnya… tidak suka?

Tidak jarang tatapan sinis si perempuan dilemparkan ataupun si laki-laki yang ekspresinya rapuh.

Namun, Erwin selalu berkata —frasa yang menjadi favorit levi ssst rahasia— bahwa selalu mendedikasikan diri ke dalam apapun yang dilakukan.

Levi memutuskan untuk berdedikasi menghadapi tantangan demi merebut hati mereka. Siapa tahu, dua jin ifrit itu akan turut memulas dinding kehidupan tiga warna Levi menggunakan crayon kesayangan mereka.

Lagipula, gerak-gerik anak kecil terbatas. Mereka tak mungkin macam-macam.

Ya kan?

Oh, Levi. Bisa-bisanya dia meremehkan kemampuan berpikir anak-anak. Apalagi turunan seorang Erwin Smith.

Kepulan kabut putih menghalangi pandangan Levi tepat setelah ia membuka pintu dapur. Bukan. Itu bukan kabut, itu…

“Hisu! I told you not to use eggs as snowballs!”

“Let it go! Let it go! The perfect girl is gone!!”

Levi terdiam.

Anjing. Kenapa gue setuju sama ide bobrok ini.

Jorok. Jijik. Ngeres. Semua kata sifat negatif pantas disematkan pada rumah ini. Perlengkapan rumah yang sudah terkubur tepung terigu, jejak kaki gremlin tercetak pada lantai, belum lagi teriakan nyaring yang dapat memecahkan gendang telinga.

Ingin rasanya Levi pulang saat itu juga tapi enggan menerima konsekuensi diputusin oleh Erwin.

Levi menghela napas. Mau tidak mau.

Ia berdeham. Namun, pemilik rumah nampak menuli. Suara perempuan itu jauh lebih kencang daripada eksistensi Levi.

Historia sedang bernyanyi di atas meja sambil memegang spatula seolah ia sedang konser. Sementara kakaknya membuat sound effect dari mulutnya sambil menebarkan tepung sebagai efek salju.

Jangan lupa wajah dan tubuh mereka yang celemotan tepung.

Untung saja, ada peralatan masak tergeletak di lantai. Levi mengambil panci dan mengetuk memakai sendok. Dan akhirnya perhatian mereka tertuju pada Levi.

“Ada apa ini?”

Levi mendekati kedua anak itu.

“Jangan dekat-dekat!” Perempuan rambut pirang itu mengancam menggebuk Levi dengan spatula.

Levi mengangkat salah satu alisnya.

“Mulut om bau! Seperti kaos kaki papa!”

Oalah ngelunjak.

“Ada yang mau jelasin kenapa berantakan?” Levi melipat tangannya.

We wanted to make a cake. Tetapi Hisu punya ide lain.” Armin menepuk-nepuk kaos biru mudanya agar lepas dari tepung.

“Kenapa berantakan?”

“Karena menyenangkan!” Historia berputar lagak menari balet, dress merah mudanya ikut mengembang. “Om harus nyanyi juga supaya mukanya tidak seperti ikan piranha!”

“Gak.”

Historia mengikuti gaya Levi. Alisnya saling bertautan, pipi gembilnya ikut merengut. “Nyanyi!”

“Gak.”

“Nyanyi atau Hisu lapor Miss Rico! Biar dimarahin!”

Miss Rico siapa… “Oke, gini. Janji Hisu bakal turun dan gak nakal kalo om nyanyi?”

“Pake mahkota.”

“Hah?”

“Nyanyi sambil pakai mahkota dan baju princess.” Hisu menghentakkan kakinya. “Dan! Di makeup!”

”...Deal.”

Ujian hidup ada aja.


Levi tidak pernah merasa hina daripada ini.

Tidak hanya aksi nyanyi Let It Go ala princess di depan ruang TV penuh jendela tembus pandang, namun juga riasan wajahnya yang membuat dia sedikit tersentak ketika melihat cermin. Badut Pennywise saja kalah.

“Halo Princess Om Levi! Di mana pangeranmu?” Impresi Historia bak keturunan bangsawan.

“Pangeran saya sedang membeli perlengkapan berkebun, princess.” Ujar Levi dengan nada datar.

“Apakah pangeranmu berambut pirang?”

“Iya.”

“Bernama Erwin Smith?”

“Ya.”

Historia tercengang. “Prajurit! Tangkap dia!” Historia menunjuk Levi dengan tongkat sihirnya. “Dia telah merebut pangeranku!” Armin, sebagai prajurit, datang dengan borgol mainan. “Dasar pelakor!”

Kenapa jadi sinetron.

Levi, seorang Ackerman, yang katanya keluarga terpandang di kotanya karena keturunan mafia, ditakal oleh dua bocil 8 tahun? Lebih parah, Historia meniban Levi sampai ia terjatuh.

Kalau iya Erwin akan mempersuntingnya, Levi siap-siap mengalami fenomena tumbuhnya uban prematur.

Armin mengambil papan catur dan meletakkannya di sebelah kepala Levi. “Kamu akan bebas dari hukuman kalau menang dalam perlombaan catur.” Kata Armin. Historia yang masih di atas punggung Levi, mengguncangkan badan Levi sambil bersorak mendukung kakaknya.

Anjir. Terakhir kali gue main catur, pion item nyangkut di lobang idung orang.

Dan benar saja. Levi skakmat dalam 2 kali giliran.

“Sebagai hukumannya,” jari telunjuk tambun Armin mengarah ke dapur. “Om Levi harus bersihin dapur.”

Anak kurang ajar. Oke, Levi tidak kaget jika semua kerusuhan ini didalangi oleh Historia. Energi anak itu melampaui batas anak 8 tahun pada umumnya. Tapi Armin ikut-ikutan? Yang ia dengar selama ini dari mulut sang ayah adalah Armin anak manis, pemalu, nggak neko-neko.

“Ayo, Hisu.” Armin menggandeng tangan adiknya dan melengos pergi. “Let's watch the movie you really want.

Tebak, Erwin. Kamu salah. Salah besar.

Bahkan anak itu berani-beraninya nyuruh Levi bersihin rumah.

Untung itu hobi gue kalo ga tu 2 bocil udah gue lempar ke samudera hindia.

Setidaknya mereka sudah duduk anteng menonton Cinderella, bisa meninggalkan Levi sendiri untuk berbenah.

Meski terlihat jengkelnya bulan main, jauh di lubuk hati Levi, terdapat kasih sayang tulus tak terhingga kepada dua anak yang kelakuannya kayak monyet itu. Bukan hanya sebagai anak dari orang yang dicintai, juga sebagai seseorang yang layak tersenyum di balik dunia busuk ini. Hanya saja, sulit untuk memancarkannya.

Tanpa diketahui orang, bahkan Erwin sekalipun, Levi telah mengikuti seminar parenting. Setengil apapun anak, mendapatkan afeksi tetap menjadi hak.

Dan pemikiran tentang penelantaran anak membuat Levi ingin mengeluarkan isi perutnya.

“Om… ” Tangan kecil menarik apron belakang milik Levi ketika asik mengelap meja makan.

Levi melihat kebawah, menemukan dua pasang manik biru lebar menatapnya dengan wajah yang... Sendu?

Mata Levi melebar. Kagetnya bukan main ketika dua kurcaci itu memeluk kaki Levi. Suara isakan keluar dari bibir mereka, membasahi celana jeans milik Levi.

“Maafin kita om..” Rengek Historia.

“Kita sudah jahat seperti Cinderella's stepmother.” Ujar Armin.

Hatinya terenyuh. Seketika semua kejengkelan Levi menguap begitu saja.

“Jangan diulangi lagi ya.” Levi menahan agar nadanya tetap datar.

Sesi tangisan mereka pun diakhiri dengan membantu Levi membersihkan dapur dan meja makan. Meski Levi harus mengeluarkan energi ekstra untuk menuntun si kecil, ia menikmati setiap proses pendekatan kepada dua calon anaknya. Seperti biasa, mulut comel Historia tidak pernah berhenti bergerak. Dia bercerita tentang cita-citanya jadi mermaid supaya bisa tinggal di atlantis dan memiliki hewan peliharaan seperti Gary.

Sedangkan Armin menyahuti dengan fakta-fakta unik tentang laut. Walaupun tidak semua pantas untuk dikonsumsi anak kecil, seperti teori segitiga bermuda penyimpan sejuta mayat.

Itulah keindahan keluarga. Tidak ada yang bisa menduga apapun yang terjadi. Hanya terus berjalan dan tergantung kitanya mau menghadapi atau melarikan diri.

Dan Levi bersyukur telah menyediakan kesempatan bagi Historia dan Armin untuk menetap.


Erwin tersenyum.

Ia tersenyum melihat pemandangan di depan matanya. Bersyukur telah percaya dengan penilaiannya setelah berkali-kali gagal.

Levi tertidur pulas di sofa bersamaan dengan si kembar di dekapannya. Dilihat dari buku cerita yang tergeletak di lantai, sepertinya rencananya berjalan dengan sangat baik.

Armin meringkuk di rangkulan Levi, Historia terlentang di sebelahnya dengan kepala di atas paha Levi.

Dengan hati-hati tanpa mengganggu tidur 3 malaikat kecilnya, Erwin mengecup bibir Levi.

Tangan kanannya membelai lembut pipi pria itu.

Terima kasih sudah berjuang sampai sini. Sekarang giliran aku yang membahagiakanmu.

Sedangkan tangan kirinya memainkan kotak perhiasan merah yang sedari tadi menempati saku jaketnya.