Harapan dan Keberanian

Warning: slight NSFW, arguments, non-graphic violence

Sudah menjadi kebiasaan Mikasa mengisi waktu malam hari menunggu Eren pulang kantor. Terkadang ia isi dengan kegiatan merajut baju, mempelajari resep baru, menggosip bersama Sasha dan Annie, atau sekedar membaca buku. Ia pun baru bisa tidur nyenyak setelah melihat Eren pulang dengan utuh.

Hari ini berbeda dari biasanya. Di kantor tadi siang pun, Eren hanya berkata bahwa ia ada urusan sehingga Mikasa tidak pulang dengan Eren. Ditambah mood suaminya yang sedang di bawah batas normal.

Ketika rapat weekly review yang selalu diadakan setiap jumat, Eren sama sekali tidak tersenyum dan hanya berbicara seadanya. Tidak ada pertengkarannya dengan Jean, aksi freak dengan Connie, ataupun mengobrol dengan Armin. Ia hanya mengurung dirinya di dalam ruang kerja.

Mikasa menghela napas, ia mengeluarkan gawainya untuk meminta izin ke Porco agar me-reschedule rencana meet-up mereka.

Kira-kira Eren sedang mengurus apa? Apakah itu urusan dengan perusahaan Tybur? Entah lah, setahu Mikasa hari ini bukan jadwal Eren untuk rapat karena minggu ini sudah rapat 3 kali.

Atau mungkin ada hal lain.

Hal yang selama ini ia takuti. Hal yang tidak berani ia bayangkan sekali pun.

Hal-hal destruktif. Hal-hal meniadakan. Ilusi dan bukti berada diantaranya. Petunjuk telah berdiri dihadapannya, namun Mikasa terus menutup mata hingga bukti tersebut menikam kembali ilusi yang telah ia bangun.

Dalam harapan itu terlukis senyum canda tawa di tengah lahan hijau nan luas, tempat kusuma pancawarna bersemi, buah dan umbi segar siap santap. Dunia di mana bintang hijau terang itu menyusun pernak-pernik mahkota di bawah rembulan yang tersenyum. Sungguh mudah Mikasa mengadakan bayang-bayang tersebut, namun ia sadar, menggapainya saja rasanya sudah mustahil.

Seseorang tak bisa mencintai dalam samar. Setiap malam mengabur dengan tanda tanya sebagaimana mereka tak saling mencoba meluruskan. Mikasa mengutuk lidah kelunya yang tidak dapat merubah itu menjadi sebuah kalimat utuh.

Hingga semua terlambat.

Eren tidak mencintainya, ia merasa nyeri.

Brak!

Suara gebrakan pintu utama membuat remote TV hampir jatuh dari tangan Mikasa. Kepalanya menoleh mencari asal-usul suara. Ia bangkit dari duduknya, menepuk pelan baju tidur yang kusut akibat duduk terlalu lama di sofa ruang keluarganya.

Eren melangkah masuk ke dalam ruang keluarga. Urat leher lelaki itu menegang, napasnya berat, siapapun yang melihatnya pasti tahu lelaki itu sedang memendam amarah.

“Eren kamu gak apa-apa?”

Tampilan Eren sangatlah buruk, tak memberi sedikitpun upaya untuk membenahi. Bawah mata kanan Eren mulai membengkak, ujung bibirnya juga terlihat terluka.

Sontak Mikasa mengambil P3K di lemari obat dekat ruang makan dan kembali berniat mengobati luka Eren.

Eren mencekal tangan Mikasa yang hendak menutuk lukanya dengan kapas. “Seru ya, main dibelakang gue?”

Alis Mikasa bertaut, “Hah?” Tentu, genggaman Eren tidak berdampak bagi Mikasa. Justru ia lebih kaget mendengar pertanyaan Eren.

“Porco!”

Sial, menyebut namanya saja bikin Eren naik darah.

“Porco kenapa?”

“Gak usah sok suci lo.” Eren dengan tangan bebasnya merogoh saku celana dan mengeluarkan salah satu cinderamata yang Porco janjikan pada Mikasa.

Benda itu Eren tampilkan tepat di wajah gadis di depannya, dengan tatapan tajam. “Nih, dari cowok lo.”

Mikasa tersentak, ngomong apa sih Eren? kenapa asumsinya gitu “Porco cuma temen,” kalimatnya diucapkan dengan lemah.

“Cuma temen tapi chatnya romantis! Aku lagi disini dong” Eren meniru gaya bicara Porco dengan sedikit cemoohan. “Kalo Eren tau status kita gimana?

Eren tahu, sebelum mereka menikah, Mikasa dekat dengan Porco. Setiap Jean meledek Mikasa untuk membuat Eren cemburu, ia mengelak hanya teman.

Bodohnya Eren percaya.

Dan sekarang, sejarah terulang kembali.

“Gimana, sa? Menurut lo reaksi gue apa?”

“Ren,”

Andai lo tau apa yang terjadi di restoran tadi, Sa.

Ada sedikit rasa iba terpendam ketika tinju mendarat di pipi Porco, namun pernyataan pria itu bagai minyak menyulut api.

Sambil memegang pipinya yang panas, Porco mendengus geli. “Main pukul-pukul aja, di rumah gitu juga ya? Pantes Asa nempel sama gue terus.”

Rahangnya mengeras, terdapat kilatan amarah di mata Eren. Alih-alih bungkam, si rambut pirang malah tersenyum miring penuh kemenangan melihat raut wajah Eren, merasa puas bisa mengalahkan lelaki bersurai coklat.

Bukan hanya itu, ia melanjutkan dengan menghantam Eren dengan pukulan. Enak saja, ia pikir cuma Eren yang bisa main tangan?

Porco berjalan mendekati Eren setelah Eren terdorong akibat pukulannya. “Oh iya, ada salam dari Nenek Kiyomi. Eh bukan buat lo maksudnya. Katanya, dia kangen sama gue.” Porco menarik kerah Eren. “Kasian, gak direstuin. Gue punya banyak temen pengacara buat ngebela Asa di sidang perceraian lo.”

Pandangannya samar dan yang terakhir Eren ingat, mereka diusir dari restoran karena beberapa barang pecah dan mengganggu ketertiban pengunjung lain akibat saling adu fisik.

“Gue tau gue masih banyak kekurangan! Tapi gue lagi berusaha memperbaiki diri buat lo!”

“Dan lo segampang itu nyia-nyiain usaha gue?!” Eren menatap Mikasa tidak percaya. Cengkramannya melemah, ia menghempas tangan Mikasa ke sembarang arah.

“Gila lo ya!” Umpat Eren.

Mikasa terdiam sebentar, memendam semua emosinya. membiarkan Eren menyelesaikan apapun yang akan ia keluarkan.

Sampai...

“Ternyata pikiran gue kalo lo cewe baik-baik itu salah.” Eren tertawa sinis.

“Jadi… kamu nuduh aku selingkuh?” Ditatapnya Eren dengan mata berkaca-kaca. “Porco cuma teman, Ren! Yang harusnya dituduh selingkuh diantara kita ya kamu!”

cukup

Mata Eren membulat, “Kenapa lo jadi muter balikin fakta?”

“Muter balikin fakta? Coba ngaca, siapa tau pantulanmu itu bisa ngasih tau siapa yang tiap meeting cium sana-sini!”

Keduanya terkesiap. Seumur hidupnya, Eren tidak pernah melihat Mikasa membentak seseorang. Di sisi lain, Mikasa pun ikut terkejut karena tidak tahu amarahnya berhasil menghasut untuk membocorkan fakta yang selama ini ia pendam.

“Maksud lo apa?!”

cukup sudah

Mikasa mengambil handphone-nya dan memperlihatkan foto yang ia dapatkan secara anonim pada tempo hari.

Eren kalah telak, bahunya merosot. Matanya mencoba meyakinkan bahwa semua hanya salah paham. Eren hanya mencium parfum lama yang ada di tangan Lara! Bukan menciumnya! Bahkan, ia sendiri tidak tahu kenapa foto tersebut bisa ada. “Itu..” Ucap Eren, suaranya melunak.

“Itu kamu sama Lara.” Ia melanjutkan dengan sorot mata terluka. “Mantan kamu.” Mikasa sengaja menekan kata mantan agar tersirat jelas apa yang mau ia sampaikan.

“Lo salah...”

“Salah apa, Ren?!” Mata Mikasa memanas menatap wajah pucat Eren. “Mau ngelak gimana lagi?!”

Eren bergeming. Roman muka Eren tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada rasa perih dibalik buncahnya dan Mikasa tak kuasa menatap tanpa menghadirkan rasa sesak.

“Selama ini aku ngebela kamu di depan semua orang! Tapi kamu sendiri yang buktiin kalo itu semua bener kayak yang mereka bilang!”

Tanpa membendung luapan air mata.

Cukup. Aku capek

“Mikasa…”

“Aku gak tau lagi ren.” Akhirnya, air yang tergenang di kelopak mata ikut turun bersamaan intonasinya. Tangisannya pecah. Seperti semua angan dan harapan yang ia pegang. “Kalo kamu mau pisah…”

Mikasa menarik napas sedalam-dalamnya agar suara selanjutnya tidak keluar dengan getaran. Masih berat. Masih terasa berat. Seakan setiap inchi tubuhnya menolak. Semua usahanya nihil. Ia tidak pernah merasa serapuh ini.

Ia benci terlihat lemah di hadapan Eren. Di hadapan siapapun.

Jikalau tidak disampaikan, itu akan menjadi pedang bermata dua.

“... tolong… tolong kasih tau aku.”

“Mikasa,” Diangkatnya dagu Mikasa menghadap wajahnya. “Sampe kapanpun gue gak akan ngomong itu.”

Mikasa menyentuh dada suaminya, memberikan pertanda Eren tidak boleh mendekat. “Aku ngerti, Ren. Kita nikah cuma karena ketahuan berduaan, aku ngerti kalo kita udah berusaha sejauh ini. Tapi buat apa kita lanjutin kalo hubungan ini cuma satu sisi?”

Itu memecahkan tembok kasat mata diantara mereka. Satu sisi? Apa maksudnya Mikasa juga menyayanginya? Selama ini? Selama ini Mikasa Ackerman..?

Kedua tangan Eren menangkup wajah Mikasa. Mengusap lembut aliran air mata di atas pipi tirus itu. “Di hubungan kita, gak ada yang satu sisi, Sa.”

Netra hitam Mikasa mencari sisa-sisa kebohongan dibalik hijau terangnya. Dan Eren yakin, Mikasa tidak akan pernah menemukan apa yang ia cari.

Dibalik ini hanya ada sebuah impian dan ketakutan. Eren takut. Ia takut ditolak, ia takut menerima, ia takut menyakiti, takut mencintai, ia takut jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Sebab tiap kali cintanya sudah menjadi keyakinan, mereka akan berubah menjadi badai raksasa menghancurkan kembali.

Lantas, siapa dunianya jika Mikasa pergi meninggalkannya?

Padahal, hati ini milik Mikasa seorang. Selalu. Seakan semestanya berpusat padanya. Eren ingin mencintai Mikasa. Ingin mengasihinya. Namun bukan seperti ini.

Eren ingin memperlihatkan pada semua orang, bahwa dia benar mencintai istrinya. Ia ingin mencintai dengan berani, tidak perlu berpura-pura cuek ketika Mikasa dengan jelas memberinya kasih sayang, tidak perlu mengumpat dengan beribu alasan untuk mengetahui kabar Mikasa, tidak perlu berkata kasar terhadap perempuan yang ia cintai.

Eren ingin berani.

Akan tetapi, Mikasa sayang, gue tau gue bukan pelafal yang baik dan gue mau menegaskan semuanya ke diri lo.

“Er–” Tak diberi kesempatan untuk bertanya maksud lelaki itu. Sebab Mikasa terhipnotis dengan kristal hijau menyala tanpa tersadar bahwa jarak diantaranya sudah terkikis.

Seakan diberi lampu hijau, kedua bibir itu menyentuh lembut bibir Mikasa. Sangat halus. Sangat hati-hati. Meskipun Eren sendiri tidak menyangka ia dapat selembut ini setelah argumen panas.

Pipinya menampilkan semburat merah muda dengan cepat. Seperti hantaran listrik mendesir di sekujur tubuhnya. Mikasa menutup matanya, Astaga! Eren menciumku!

Tidak bisa dipungkiri, ini lah yang Mikasa inginkan sejak lama. Namun, dua sisi bagaikan sedang bertengkar. Satu menitahkan untuk tetap di sini dan memberikan apa yang selama ini ia simpan. Lainnya berteriak tidak sekarang, ia ingin mengakhiri semua kegilaan ini, menyuruhnya berhenti.

Namun sisi kedua tersebut dikalahkan dengan bisikan serak basah pria itu —yang sedikit tertahan— tepat di telinga Mikasa. “Gue sayang...”

Pikiran Mikasa berkabut, semua titahnya seakan hilang setelah pria itu menciumnya. “Eren,” Ucap Mikasa sebelum Eren kembali mendaratkan bibirnya.

Surai coklat panjang Eren menggelitik pipi Mikasa, menutup bagaikan gorden yang memberikan kedua insan itu privasi.

Bibir Eren manis. Lembut. Kenyal. Candu.

Jika saja Eren tidak sigap menangkap Mikasa, ia sudah tersungkur akibat tubuhnya melemas.

Ciuman pertama penuh kasih sayang bagaikan permintaan maaf Eren kepada Mikasa, memberinya kenyamanan yang selama ini absen dari kehidupannya.

Sementara yang kedua lebih panas.

Sentuhannya berasa lebih lantang menyatakan bahwa Eren mendambakannya. Satu lengan Mikasa bergerak dari dada Eren melingkar ke leher suaminnya, lainnya menyelipkan jemarinya disela-sela rambut Eren. Tubuh mereka kini sudah tak berjarak.

Dan tanpa disadari, Eren telah mengangkat Mikasa dan membawanya ke pembaringan di kamarnya. Eren menopang tubuhnya dengan kedua sikut.

Keduanya mematahkan sejenak, terengah-engah mencari oksigen. Eren mengambil kesempatan itu untuk melabuhkan kecupan di rahang, turun ke leher, meninggalkan bekas kepemilikan. Tangannya mengeksplor lekuk tubuh wanita itu.

Mikasa menggigit bibir bawahnya, menahan agar suara nafas beratnya tidak keluar tanpa kendali. Tatkala Eren menyadari, ia menyentuh bibirnya, menatapnya dengan lembut, “jangan ditahan, gak baik.”

Kini, gelora api dalam Eren terus terpicu setiap namanya disenandungkan bersamaan dengan lirihan napas.

Tubuh Mikasa hangat, harum, halus, seperti sedang menghirup rangkaian bunga mawar. Eren tidak ingin semua ini berakhir.

Mikasa pun juga, berharap mentari tak kunjung menyinari.

Malam ini, sepasang kekasih telah meyakinkan sesama. Tanda tanya dalam hubungan mereka sudah menjadi kalimat utuh. Kalimat dengan koma sebab perjalanan mereka masih panjang. Dan yang harus di garis bawahi adalah

Mikasa Ackerman resmi menjadi wanita Eren Jaeger.