Setelah Malam Itu

CW // slight NSFW Minor tanggung dosa sendiri ya

Semalam, seisi bumi cemburu. Sebab senyum wanitanya yang tertimpa cahaya purnama telah menenggelamkan birunya langit sehingga ia enggan pulang. Cepat sekali rasanya sang fajar menggarahkan rembulan. Bukan kah Eren sudah menitip pesan kepada penguasa tentang fajar yang bertandang?

Padahal, ia sedang menikmati deting simfoni yang mengalun lembut dari mulut kecil wanitanya. Merdu sekali. Bahkan burung pun kalah, enggan menyuarakan melodinya.

Walau kehadiran wanita itu membiaskan sinar merah rona mawar segar dari kuncup pelataran fajar –seakan mengalahkan segala yang ada, Eren menjumpai persamaannya dengan langit.

Langit selalu ada.

Tak peduli buminya sedang hancur atau cuaca konyol, ia selalu ada.

Di mana pun ia menapakkan kaki. Di mana pun ia melambungkan intuisinya.

Langit akan setia menaunginya.

Meski ia membayangkan tempat aman di suatu lahan belantara jauh sekali di kaki gunung dengan kebun kecil dan hasil buruannya, langit akan tetap ada.

Langit pasti ada.

Kemarin malam, ribuan kerlip bintang menyapanya. Ada satu bintang kristal hijau terang yang telah membawanya terbang ke ujung langit.

Membawanya pergi membelah pekatnya malam. Kilatan cahaya itu sangat sulit digapai. Namun, rantai keberuntungan berpihak di Mikasa.

Lantunan sajak cinta telah bersuara.

Diantara ribuan bintang itu, Eren adalah lentera paling terang.

Sekarang, Mikasa mengerti mengapa tidak ada bintang hijau di langit maha luas.

Mereka semua redup. Takut menunjukkan dirinya dengan keindahan yang mutlak berpindah. Pendarnya redup tersesap habis indah bintang ke netra pria itu.

Ada yang spesial dari bintang ini. Bintang ini berprinsip kuat, bintang ini tegar, teguh, selalu berlari mengejar ambisinya

Ia fenomenal.

Dan langit bagai lembaran kosong tanpa kehadiran bintang.

Belaian hamparan binar fajar membuat wanita bersurai hitam itu membuka mata. Pagi ini udara cukup membuat rambut kulit berdiri. Terima kasih kepada radiasi ultraviolet datang dari celah gorden yang menghangatkan sepasang kekasih.

Butuh beberapa detik untuk Mikasa agar menyadari keadaan sekitarnya.

Ah, ini kamar Eren.

Baru dua kali Mikasa menginjak kakinya ke kediaman suaminya sebelum ini.

Memang benar kata orang, third time's a charm.

Senyumnya merekah saat Mikasa menyadari sepasang tangan tertaut di pinggangnya melingkari perutnya. Tangan wanita itu ia letakkan di atasnya, membelai lembut jemari kokoh suaminya.

Semalam luar biasa.

Kata orang, mereguk madu kasih untuk kali pertama rasanya sakit. Menurut Mikasa, itu spektakuler.

Eren, yang memang tidak pernah ahli dengan kata-kata, memainkan indranya untuk menyalurkan kasih sayang.

Di pembaringan yang sama, keduanya menyusuri sesama untuk waktu yang sangat lama. Bukan hanya dengan hasrat namun bersamaan dengan rasa ingin tahu –yang meningkat setiap mereka ragu untuk bersentuhan. Namun mereka pun mempercayakan semua itu terhadap insting naluri manusia. Eren menginginkan Mikasa bagaimana ia menginginkannya.

Eren bukanlah penyuka makanan manis, ia lebih suka makanan dengan bumbu yang berani dan pedas. Lamun klaim itu dipatahkan begitu bibir Mikasa menyentuhnya.

Bibir Mikasa manis, lebih manis daripada pertama kali ia menciumnya. Rasa apa ini? Hmm? Strawberry?

Ah iya, itu buah kesukaan Mikasa. Dasar, makan enak tidak bagi-bagi.

Ia menciumnya lagi.

Lagi dan lagi. Tak lupa menggigit bibir Mikasa sesekali sampai mendapatkan suara yang ia rindukan.

Bibirnya bergerak saling mengunci, mereka terlarut dalam kesenangan sebab tak sadar bahwa lidah mereka saling bertaut, berdansa seakan ada musik romantis mengiringi, beradu saling mendapatkan kehangatan.

Pagutan demi pagutan seolah mensyaratkan untuk terus berlanjut.

Tangan Mikasa mendorong kepala bersurai coklat itu semakin dekat. Sedangkan Eren mengayunkan tangannya melepas helaian kain yang menutupi tubuh wanita itu dan melempar ke sembarang.

Hampir seketika, mereka kembali merasakan satu sama lain. Sentuhan semakin melemahkan, sampai jemari Mikasa yang sibuk meraba kancing kemeja Eren layak disematkan piala jari terceroboh sedunia.

Ayolah, Mikasa! Kendalikan dirimu!

Eren, yang tersadar istrinya sedang bergumul dengan dirinya sendiri, terkekeh.

“Sini, gue bantuin.”

Rasa malu Mikasa menguap seketika melihat sosok suaminya. Mengagumi tubuh gagah dengan surai coklat semrawut akibat rematan jari lentiknya ketika kemeja hitam itu terjatuh dari pundak. Kata-kata saja tidak cukup untuk mengungkapkan perasaannya, jadi dia tetap memilih bergeming.

Eren menangkup kedua belah pipi Mikasa, berusaha menarik perhatian. Merasakan hangat kulit mereka bersentuhan. Kedua ibu jarinya menyapu lembut pipi yang memerah karenanya, sembari memanggil namanya.

Mendengar suara berat dari pria itu, Mikasa mengangkat kepalanya. Sepasang netra hijau Eren mencermati mata Mikasa yang berubah menjadi lebih sayu. Eren tersenyum kembali. Ribuan ide terlintas di kepalanya. Oh, Eren, lihat apa yang kau lakukan. Bibir Mikasa menjadi bengkak merah merona, mengkilap, telinganya ikut berpadu warna, napasnya terengah-engah.

Pompa jantungnya bekerja berkali-kali lebih cepat. Cara Eren memperlakukannya selalu menimbulkan efek; baik gelenyar aneh seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dalam perut maupun rasa hangat yang datang secara tiba-tiba. Bohong kalau Mikasa ingin berhenti. Ia sangat menyukainya. Ingin lagi dan lagi. Sangat candu,

Sangat memabukkan

Ingin rasanya mereka saling pandang berlama-lama. Meneguk nyala api dalam iris hijau diantara paras tampannya. Belum lagi keringat tipis yang menyelimuti kulit pria itu. Surai coklat panjang tepat di bawah tengkuk leher terlihat sedikit basah menambah kerupawannya berkali-kali lipat.

Pandangannya berbinar tatkala ia menyentuhnya menikmati satu sama lain.

Demi tuhan, itu pendar terindah yang pernah Mikasa lihat.

Eren mendekatkan bibirnya ke telinga Mikasa. “Cantik.” ia berbisik parau.

Eren melanjutkan menggigit daun telinganya, sesekali meniup untuk mendapatkan tawa kecil.

Bibirnya terus merasakan setiap inchi kulit putihnya dari telinga turun berhenti di leher. Mikasa mengadahkan kepalanya untuk memberi Eren lebih banyak akses. Ia terus menghirup aroma mawar segar yang membuat candu.

Mulut yang sama menggerayangi kulitnya sampai menemukan titik sensitif Mikasa. Geraman si empunya semakin menambah rasa serakah. Desiran arus listrik berdenyar di perutnya merambat ke punggungnya dan berakhir ke ujung kakinya. Lengan Mikasa –yang sedari tadi merengkuh tubuh Eren– reflek mengais punggung terbuka Eren.

Perasaan ini

Afeksi ini

Emosi ini

Sensasi ini

Memiliki kata rindu atas sepasang insan dalam memadu kasih.

Telapak tangan pria itu mengular terus dari bahunya berakhir menangkup dadanya. Sangat pas. Tangan besar Eren sepadan dengan apa yang dihadapannya. Rasanya seperti…

Rasanya seperti ia diciptakan hanya untuk Mikasa.

Mikasa kembali melenguh begitu Eren memijat dengan perlahan tapi yakin.

Keduanya bukanlah pribadi yang berbicara banyak ketika di sana. Sekalinya pria itu membuka mulut, Mikasa rasa cinta padanya semakin bertambah.

Eren berhenti sejenak, ia khawatir terlalu kasar dan terbawa suasana. “Lo gapapa? Sakit gak? Kalo sakit bilang ya, gue bak—”

Tanpa memberikan kesempatan bagi Eren untuk melanjutkan, Mikasa menarik pundak Eren kembali. Menenggelamkannya dalam kecupan hangat.

Netra hijau itu bertumbukkan dengan hitamnya seakan meminta izin untuk menyematkan gelar istri padanya.

Pria itu menitipkan janji kepada angin malam berhembus tatkala ia berada di dalam wanitanya.

Ia berjanji untuk selalu melindungi Mikasa.

“Selamat pagi, sayang.” Mikasa berbisik parau. Menatap penuh cinta pada lelaki yang masih berada di loka imajiner.

Kira-kira apa yang ia mimpi kan?

Apakah bunga tidur sama dengan milik Mikasa?

Mikasa menenggelamkan kepalanya di dada Eren, tak bosan menghirup aroma parfum walau tubuh yang sama telah bersimbah keringat semalam. Dada Eren bidang sekali. Jantung yang berdetak di pipinya menjadi musik favoritnya.

Mikasa gagal menghitung semalam. Yang ia ingat hanyalah anggukkan antusias setiap Eren bertanya, mau lagi?

Untung saja wajah Mikasa tertutupi dada Eren, ia yakin sekarang wajahnya berubah menjadi merah padam mengingat semua yang terjadi malam itu.

Mikasa mendongakkan kepalanya, Ah, Eren ternyata masih tidur. Dasar kebo.

Tangan kanannya menangkup pipi kiri Eren, merambah tekstur roman parasnya. Kedua mata lelaki itu masih saja menutup. Mikasa mengulum sebuah senyuman.

Wajah Eren ketika tidur sangat lepas, tidak ada alis yang bertaut, tidak ada iris hijau yang menyembunyikan rasa sakit. Seperti tidak memiliki beban yang dipikul.

Ibarat sayap kanan seekor burung menandakan penerimaan diri serta keterbukaan dan sayap kiri melambangkan keyakinan, ia siap mengantar Eren melambung ke angkasa mengejar apapun mimpinya.

Mikasa tak sabar akan menjadi bagian dari hidup pria itu begitu mereka meyakinkan satu sama lain.

“Eren,” Mikasa kembali memanggilnya setelah kecupan manis mendarat di ujung hidung Eren.

Suara geraman keluar dari mulut si iris hijau, ia melepaskan dekapannya, menarik selimut sampai ke atas kepala, dan berguling membelakangi Mikasa.

“Eren,” Mikasa memanggilnya sekali lagi. Ia mengelus bahu yang sudah tertutupi oleh kemul, dengan lembut menggoyangkan tubuh itu. “Semalam–”

Eren menepis tangan Mikasa. “Berisik.” Ia mengeratkan selimut itu seakan tidak ingin apapun mengganggu tidur nyenyaknya. “Kemaren gue cuma khilaf.”

Hanya satu kalimat,

Hanya dari sebuah kalimat, langit itu runtuh.