write.as

EXTRA XIV

“Lu kalo masih demen sama Marcel kan makanya cepu kaya kemaren?” sudah berkali-kali Harvi mencecar Rendi dengan pertanyaan yang sama.

“Kaga anjir, demi Tuhan.” sumpah Rendi sambil mengangkat kedua jarinya membentuk V.

“Gua kemaren beneran cuma kesel aja sama Atra,” jelasnya, “Gua emang kegabah langsung ngomong sama temen-temennya Marcel, gua juga nyesel banget anjing, Vi.”

“Dia yang ngejagain kita selama ini,” suasana rumah Christian yang semula sepi nan hening berubah menjadi ramai karena cek-cok Harvi dan Rendi yang tidak berujung — mereka tidak tahu kalau di balik dinding sana, ada sosok lain yang ikut mendengarkan.

“Coba sekarang lu pikir, kalo Atra yang disakitin sama Marcel, siapa yang bisa ngejagain?! Gua gak mau Atra sakit hati juga Vi, gua akuin cara gua salah, cuma niat gua pure buat lindungin Atra, gua gak mau dia sama Marcel berujung sakit ati.” argumen Rendi diangguki oleh Karina dan Chrsitian; mereka sama-sama ingin menjaga Atra, dengan memisahkan hubungan yang terjalin.

“Lu coba pikir Rendiii, lu liat sekarang Atra bahagia gak ngeliat kelakuan lu?! Selain ngancurin hubungan kita sama dia, lu juga ngancurin hubungan dia sama Sena,” Harvi sudah gemas, “Mikir Rendiiii, mikir bangsat.”

“Vi, udah.” Claire melerai, ia tahu, Harvi akan menjadi yang paling protektif jika urusannya menyangkut Atra.

“Maaf, gua salah.” Rendi tidak punya pembelaan lain, ia menundukan kepala.

“Gua juga salah, gue minta maaf, gue yang mulai.” Karina angkat bicara.

“Gua juga salah, gua gak tau kalo bakalan jadi sejauh ini, Bro.” Christian menimpali.

“Minta maaf ke Atra kalo dia udah dateng.” dengan kasar Harvi menyisir rambutnya ke belakang, sambil mengatur deru napasnya yang sedikit menggebu; tidak bisa dipungkiri kalau saat ini rasa kesal di dadanya masih menumpuk.

Di balik sana, Atra mematung. Rasa bersalah kembali menyelimuti, tapi kali ini bersamaan dengan rasa hangat yang menjalar di dada. Rasa bersalah itu hinggap kembali karena menyadari, bahwa selama enam bulan belakang ia membohongi teman-temannya, siapapun berhak marah saat mengetahui fakta tersebut — namun tidak bisa dipungkiri, rasa hangat yang menyelimuti membuat perasaan gundah yang dirasakan berhari-hari perlahan sedikit sirna, fakta bahwa temannya melakukan hal konyol untuk menjaganya, membuat hati Atra menghangat.

Sorry, gua telat.” pandangan tertuju pada Atra ketika memasuki ruang keluarga milik Christian yang sejak lama sudah mereka boikot menjadi ruang berkumpul dan bermain.

Hening — alih-alih mengeluarkan kata maaf, Rendi, Karina dan Christian mematung di tempat sambil menatap Atra.

“Lu semua… kenapa?” jujur saja pandangan itu membuat Atra kikuk, bahkan ia jadi enggan untuk duduk.

Sementara Harvi dan Claire saling bertukar pandang, sama-sama bingung saat melihat tiga temannya mematung.

“ATRA MAAFIN GUEEEEEE.” tangis Karina pecah, memang dia yang paling sensitif kalau perkara begini, tapi ini diluar ekspektasi.

Dengan cepat Karina beranjak dari duduknya, berhambur ke dalam peluk Atra yang masih berdiri di ambang pintu.

“Maaf gue udah bikin lo malu, gue gak tau kalo bakal jadi kaya gini.” ujar Karina sejelas mungkin ditengah isak tangisnya, sementara Atra — aduh ini lucu tapi ia tidak mungkin tertawa, kan?

Atra melempar pandang ke arah teman-temannya yang juga merasa ‘lucu’ dengan momen ini — beruntung ada Karina diantara mereka yang bisa mencairkan suasana dengan tingkahnya yang diluar nalar, seperti saat ini; siapa coba yang menyangka kalau si cantik akan berderai air mata bersalah?!

“Rin, udah jangan nangis.” Claire maju untuk melepas Karina dari pelukan Atra, “Ingus lo tuh nempel di kaos Atra.” celetukan Calire membuat fokus mereka beralih, benar saja, kaos bagian bahu Atra sudah membentuk pulau air mata yang sontak mengundang tawa.

“ANJINGGGG. LUCU BANGET.” Christian tidak kuat menahan tawa.

Atra menggeleng kecil — ya sudahlah, sudah terlanjur kaosnya basah. Namun begitu, tak selang berapa lama sambutan hangat kembali Atra dengar, Rendi dan Christian juga langsung mengucapkan maaf dan rasa bersalah mereka; tidak menutup kesempatan Atra untuk melakukan hal yang sama dan menjelaskan detail yang terjadi antara dirinya bersama… Marcel.

Bicara soal Marcel.

“Gue gak tau Marcel bisa berubah kaya gitu. Lo keren banget, Tra.” Karina menatapnya kagum, bak anak kecil yang habis mendengar cerita dongeng.

“Gua jadi merasa bersalah juga sama Marcel, sorry ya, Tra.” Rendi menimpali.

Senyum Atra menghilang — sadar kalau Marcel bukan lagi miliknya.

“Lu kenapa, Tra?” Harvi mengerutkan kening, tahu kalau ada hal lain yang belum Atra jelaskan.

“Lo kok diem, Tra?” Claire juga menangkap air muka Atra yang berubah.

“Gua putus.”

“GOBLOK.” Harvi berseru, kisahnya… terulang lagi.

“Kok bisa?! Karena kita ya, Tra?! SORRY TRAAA.”

“Demi apa anjing? Marcel yang minta putus?!”

It didn’t work out. Hubungan gua sama dia,” kalimatnya menggantung, “Ternyata gak berhasil, tapi kita selesai baik-baik kok.”

Bohong, tidak ada yang baik dalam berakhirnya sebuah hubungan, apalagi setelah mendengar cerita Atra, tidak ada masalah besar yang bisa menjadi alasan mereka untuk putus — melihat dari bagaimana senyum Atra yang tidak henti mengembang tiap kali meceritakan tentang Marcel, rasanya mustahil hubungan mereka berakhir karena tidak berhasil.

Okay, jangan berubah melow. Tenang, Tra. Gue bakal bantu lo untuk cari pengganti Marcel, no need to worries.” — usaha Karina untuk menghibur Atra mendapat tatapan tajam dari ke empat temannya yang lain.

“Oh, sorry…”

“Gapapa, santai.” senyum itu mengembang, sedikit di paksakan, “Thanks, Rin.”

Atra sadar, sangat sadar — kalau sampai detik ini, sampai kapanpun, tidak ada yang bisa menggantikan Marcel; Atra tidak akan membiarkan Marcel terganti.

Tapi, entahlah.