02 – ゆっくり

Kepala pink itu akhirnya menoleh usai membaca pesan di ponsel, separuh wajah Renjun tersinari cahaya lampu taman yang terpasang di tiap sisi pagar. Laki-laki itu tengah duduk di atas hamparan rumput hijau imitasi, di hadapannya, Andy—mengenakan jaket tebal yang baru kali itu Jaemin lihat—tengah berlari-lari menangkap balon-balon gelembung bersama beberapa anak lain. Renjun jelas tidak mempersiapkan diri untuk kedatangan Jaemin; ia meletakkan pistol mainan yang meniupkan gelembung-gelembung itu dan bersiap untuk berdiri namun lesatan bocah kecil di hadapannya membuat Renjun urung.

“Apiiiiiiihh!!!” Andy berteriak begitu menyadari kedatangan Jaemin, dengan kaki-kaki kecilnya anak itu berlari dan membentangkan tangan lebar-lebar sambil tertawa, ketika Jaemin menggendongnya dalam satu tarikan, tawanya semakin keras kemudian dia menangis.

“Lho, kok nangis?” tanya Jaemin sambil tertawa, dia berjalan ke arah Renjun kemudian mengambil tempat duduk di samping laki-laki itu.

“Kangen kamu kayaknya,” jawab Renjun pelan. “Maaf bawa Andy sampe jam segini.”

“Karena dia kelihatan happy dan pakai baju hangat, enggak apa-apa sih,” Jaemin menepuk-nepuk pundak Andy dalam gendongan. “Tapi kamu kok malah nangkring di sini? Kenapa enggak langsung pulang?”

Renjun menggigit bibir bawah, “Aku tadi khilaf ...”

Jaemin tercenung sesaat. Khilaf tidak terdengar enak untuk dijadikan alasan kenapa Renjun begitu murung. Apa jangan-jangan—

“Aku belanja kebanyakan ...” kata Renjun lirih.

Beban berat serasa dicabut secara instan, Jaemin kira ada apa. “Belanja apa aja emang?”

“Banyak ... struknya aja sampe kayak ular, panjang. Aku belanja banyak banget, dari makanan sampe spatula baru. Aku jadi enggak enak aja, karena uang mingguan langsung habis. Padahal, maunya ada sisa. Ini mah boro-boro.” Renjun mengacak rambut karena kesal. “Aku enggak enak sama kamu karena aku boros.”

Jaemin melempar tawa yang ia tahu tak akan melukai Renjun, alih-alih memberikan rasa tenang, lega, dan memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja . Semenjak Renjun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah jadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun, Jaemin paham kalau suaminya itu memiliki pe-er besar sekarang. Ia perlu beradaptasi dalam urusan-urusan domestik seperti ini; berbelanja, mengurus anak, memasak, dan lain-lain. Dan kalau harus jujur, Renjun memang tidak selalu menjadi tipe yang cepat belajar. Terkadang ada beberapa hal yang perlu dilaluinya lewat proses kegagalan—membuat capcay yang seperti sayur sop contohnya—tapi tidak apa-apa. Pelan-pelan. Tidak terburu-buru. Renjun masih punya banyak waktu dan Jaemin akan selalu memberikannya semua itu.

“Uangnya habis?”

Renjun hanya mengangguk.

“Kenapa enggak pakai uang kamu kalau begitu? Jadi aku enggak tahu.”

“Bohong sama kamu dong,” dengus Renjun. “Aku kan enggak pernah bohongin kamu.”

Jaemin mengeratkan pegangannya di tubuh Andy, kemudian beringsut untuk memberi Renjun kecupan di pipi.

Nanaonan, malu!”

“Enggak ada yang lihat kok,” Jaemin menjulurkan lidah. “Pulang yuk, dingin nih. Nanti masuk angin.”

“Kamu enggak marah?”

“Enggak.”

“Kamu harusnya marah, harusnya kamu ada demand ke aku dong.”

“Namanya juga belajar, Yang. Tanpa aku minta sesuatu, kamu juga selalu kasih.” Jaemin beranjak lebih dulu, kemudian mengulurkan tangannya untuk membanti Renjun berdiri. “Lagian, habis ini, kamu pasti tahu kok ke depannya kamu harus gimana. Aku enggak mau dikte kamu yang macem-macem.”

“Berarti kita enggak jadi cerai, ya?”

“Ya Tuhan, siapa juga yang mau cerai?”