03.1 – 心配しないで、お前の面倒は見るから。

“Bobonggg! Ayuu ... apih apah bobong!” Jaemin tertawa mendengar celotehan Andy pukul tujuh pagi. Anak itu tengah mengudap sekeping biskuit setelah terbangun dan menagih janji yang dibuat Jaemin kemarin malam; perihal piknik sederhana mereka dan acara bermain dengan kecebong di tepian danau. Sejak Renjun memperlihatkan tayangan dokumenter tentang berbagai satwa, antusiasme Andy untuk berjalan-jalan ke luar semakin tinggi saja. Rasanya tiada hari terlewat tanpa rengekan jika saja mereka berdiam di rumah seharian.

Jalu ngomongnya makin lancar ya,” Jaemin mengusak rambut anaknya pelan.

Andy bertepuk tangan dan tergelak, membuat biskuit yang dipegangnya remuk dan menghambur ke mana-mana.

“Yeeeaayy tepuk tangan!! Anak papi jagoan eh,” Jaemin memberinya kepingan biskuit yang baru. “Ayo kuenya diabisin, nanti pulang piknik kita ke supermarket. Kemarin Jalu mau apa ceunah? Boneka ayam-ayaman? Ayam beneran juga Papi beliin sok.”

“Apih aaaa...” Andy menyodorkan kepingan biskuit yang langsung diterima Jaemin. “Aaaa apiiiiihhhh ...”

“Kok papi lagi yang makan? Jalu juga makan dong, kalau makannya banyak, nanti larinya makin kenceng.”

“Apih aaaaa ...”

Jaemin tertawa kecil, Andy sedang gemar-gemarnya meniru. Karena ia sering disuapi, anak itu jadi ikut-ikutan ingin mencoba menyuapi orang. Mungkin ada perasaan bangga tersendiri ketika melihat orang lain makan, Jaemin juga sering merasa seperti itu; lebih senang melihat orang lain makan ketimbang mengisi perut sendiri. “Terakhir nih ya papi makannya? Abis ini Jalu yang papi suapin ya?”

“Mam diri,”

Jalu mau mam sendiri?”

Andy mengangguk,

“Enggak mau disuapin papi?”

“Ngaaak.” Mungkin hari ini dia sedang mood menjadi anak besar, padahal pup saja masih di dalam popok.

Jaemin menggulir kanal televisi ke Disney Channel, menyaksikan acara anak-anak yang menampilkan sebuah boneka anjing dan kucing yang bisa bicara. Andy menonton dengan mata yang berkilat-kilat semangat, Jaemin perlu mengingatkannya untuk mengunyah biskuit kalau-kalau ia sudah mulai terlena dengan tayangan di televisi.

Pagi hari ini cukup cerah dan tenang, dan memang agak sedikit aneh. Sebab biasanya Renjun akan membuat gaduh seisi rumah dengan cerita-cerita tentang mimpinya semalam atau mengobrol heboh dengan Andy tentang apa saja. Renjun terbangun lebih dulu seperti biasa, menghilang ke loteng untuk mengambil udara segar, kemudian menekuri bekal piknik di dapur selama setengah jam terakhir. Jaemin sekarang belajar untuk tidak terlalu ikut campur mengenai rumah; Renjun sering merasa tersinggung dan salah paham. Paling-paling Jaemin hanya bantu mengganti air galon dan gas masak, membetulkan jaringan internet, atau menyetrika. Memang agak gatal dan tidak biasa sih, Jaemin selalu ingin memanjakan suami dan anaknya. Tapi apa boleh biat, dia tidak mau dihadapkan kembali pada hunusan centong nasi seperti minggu lalu (sepele sih, waktu itu Jaemin membantu Renjun—tanpa izin—mengiris tomat untuk campuran nasi liwet, tapi siapa sangka laki-laki Aries itu malah marah besar.

Suara ribut mengusik lamunan Jaemin, sepertinya baskom jatuh atau panci atau gelas atau semua itu karena bunyinya nyaring dan beruntun selama beberapa detik. “Sayang? You okay?” seru Jaemin, ia lekas mengangkat Andy dari kusri, menggendongnya di pinggul kemudian berjalan cepat ke dapur.

“Aku oke. E-enggak kenapa-kenapa kok tadi cuma licin aja.” Renjun buru-buru menjawab sembari mengangkat toples sereal dari lantai. Isinya tercerai-berai, bergabung dengan genangan sup tomat, dan sendok garpu di lantai. Kalimat yang baru diucapkan Renjun jelas bertolak belakang dengan apa yang Jaemin lihat. Wajah suaminya putih lesi, pinggiran matanya memerah, bibir kering, dan tubuh yang terlihat sedikit lebih lemah dari biasanya.

Ah, pantas saja hari ini tidak ada ciuman selamat pagi.

Saat Jaemin mengulurkan tangan untuk mengusap keningnya, Renjun menarik satu langkah mundur.

“Sini,” kata Jaemin.

“Mau apa?”

“Sini dulu,”

“Mau ngapain sih, Sayang?”

“Huang Renjun,” Jaemin berkata asertif, tidak mengacuhkan penolakan yang Renjun berikan dan menyentuh keningnya dengan sedikit paksaan. “Lho? Sayang, kamu demam?”

Naon,” Renjun menepis tangan Jaemin. “Wajah aku cuma kepanasan aja tadi abis nyalain kompor. Kita kan mau piknik, masa aku—aku—astaga.” Tubuh Renjun terhuyung, ia memegang pelipir meja sebagai tumpuan kemudian memijat pelipis sambil meringis.

“Apah ... akit..?”

“Eng—”

“Mau bohong sama anaknya?” Tanya Jaemin.

Renjun menatap Jaemin sambil bersungut-sungut, jelas tidak menyukai konfrontasi yang Jaemin lakukan. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada Andy dan sekonyong-konyong ekspresinya melunak, “Iya, papa lagi sakit sedikiiit.”

“Kan, pantesan semalem perasaan aku enggak enak.”

“Udah mendingan kok,” sambar Renjun cepat. “Aku udah minum obat, bentar lagi juga sembuh. Kita jadi piknik, kan?”

“Pikniknya batal,” Jaemin berjalan melewati Renjun, mengambil kain lap yang teronggok di dekat pintu menuju garasi lalu menelungkupkannya di atas kubangan sup. “Sana tiduran,” katanya pada Renjun.

“Aku udah enggak apa-apa, beneran.”

“Sayang, kok kamu jadi kayak Andy sih? Andy aja nurut lho kalau aku bilangin.”

“Soalnya aku udah baikan, kamu tuh suka berlebihan.”

“Aku enggak mau debat ah, sana tiduran.”

Andy merentangkan sebelah tangannya pada Renjun, minta digendong tetapi Jaemin menjauhkannya. Laki-laki itu mengambil panci yang tergantung di dinding dapur, mengisinya dengan secangkir beras dan mencucinya di wastafel dengan sebelah tangan.

“Andy pengen digendong,” kata Renjun, mulai kesal ketika mendengar Andy merengek.

“Nih udah digendong kok.”

“Dia maunya digendong sama aku,”

No, kamu istirahat, Andy aku yang urus.”

“Tuh anaknya mulai nangis, siniin. Kamu juga sambil masak ituu, ribet.”

Jaemin mengerutkan kening, dari dulu dia memang paling susah berdamai kalau Renjun sudah mulai memaksa dan tak mau kalah untuk hal remeh temeh semacam ini. Bagian yang paling tak Jaemin sukai tentu saja karena Renjun sering merugikan diri sendiri. Lagipula, tidak digendong Renjun sehari tidak akan membuat Andy turun berat badan sampai ratusan gram juga.

“Papi, siniin Andy-nya!” Nada bicara Renjun meninggi, saatnya mengeluarkan senjata pamungkas.

Jalu, Papa bikin Papi sedih. Papa nakal ya?” Jaemin bertanya pada Andy dengan bibir mengerucut dan ekspresi mirip anjing yang memohon-mohon.

Andy berhenti merengek, sekarang melihat Renjun lalu kembali pada Jaemin, “Apih angis?”

“Iya, ni Papi mau nangis nih,”

Husband, kok kamu curang gitu!”

“Apah nakaaal.”

“Suruh Papa bobo gih, Papanya kan sakit,”

“Apah bobo!”

Renjun mengembuskan napas keras-keras, Jaemin mengecup keningnya. “Tuh, anaknya udah nyuruh bobo tuh.”

“Kamu curang!”

“Cium dulu Papanya, kasih good dream kiss,” Jaemin mendekatkan Andy di gendongannya pada Renjun, lalu anak itu mencium pipi Renjun sekilas dan tertawa. Jaemin ingin menangis karena pemandangan ini terlalu menggemaskan.

🐸

Kerutan di kening Jaemin makin bertambah saat melihat deretan angka digital di layar termometer. 38,7 derajat. Renjun berbaring di kamar mereka dengan selimut setinggi dada, telapak kakinya dingin seperti es saat Jaemin sentuh, sementara keningnya memendarkan panas yang tidak wajar. Jaemin mendadak merasa bersalah karena tidak menyadari semua ini lebih awal.

“Andy mana?” tanya Renjun, suaranya pun kini mulai serak.

“Lagi nonton. Kamu jangan deket-deket Andy dulu ya, meskipun ini demam yang enggak bakal nular, tapi nantinya kamu enggak bisa istirahat. Andy kalau udah nempel sama kamu kan enggak bisa diem.”

Renjun mengangguk, aih menyenangkan sekali jika diturut seperti ini. Renjun memang mudah diserang ketika sedang lemah begini.

“Aku udah masakin bubur, kamu jangan banyak pikiran, Andy biar aku yang urus ya.”

“Maaf ya, padahal udah lama kita enggak piknik.”

Jaemin mencium tangan Renjun kemudian mengusapnya pelan. “Bukan salah kamu kok. Masih ada minggu depan,”

“Iya sih, tapi sayang aja ...”

“Mau gimana lagi? Eh terus, kamu ini mau sampai kapan sih keras kepala?” tanya Jaemin halus. “Kita nikah kan bukan baru kemaren, lean on me more, ya?”

“Aku enggak mau ngerepotin.”

“Enggak repot sama sekali, Sayang. Kita saling jaga ya?”

“Kamu jangan bikin aku emo dong!”

Jaemin kembali menciumnya sebelum meninggalkan kamar.