03.2 – 心配しないで、お前の面倒は見るから。

Seorang bocah berambut hitam melesat dari pintu depan, tungkai-tungkai mungil yang dibalut kaos kaki doraemon itu bergerak kencang, rambutnya masih basah, dan bedak coreng moreng di wajahnya. Jaemin menggelengkan kepala lalu merapikan sepatu anak itu di samping pintu.

“Kak Apid, Papanya mana?” seru Jaemin.

David tidak mengindahkan panggilan itu, alih-alih berteriak memanggil Andy dengan lantang. “Dedeee! Ayo main sama kakaaak!” ia sudah menyergap Andy, menariknya dalam sebuah pelukan erat.

Jaemin berjalan tergesa menghampiri David, berjongkok di depannya hingga tinggi mereka sepantar. “Kak Apid jangan teriak-teriak ya, soalnya ada yang lagi sakit.” kata Jaemin sambil menaruh satu telunjuk di mulut.

“Dede sakit?”

“Papanya Andy yang sakit.”

“Oooh ...” anak itu mengangguk. David kemudian berjalan mengendap-endap seperti pencuri, duduk di samping Andy dengan berhati-hati, menggemaskan sekali. Dia melirik kiri kanan lalu dengan suara yang sangat pelan nyaris seperti bisikan, dia berkata lagi, “Dede, ayo main sama kakakkk.”

Jaemin hampir saja melempar tawa keras kalau dia tidak ingat bahwa Renjun sedang berusaha tidur di kamar mereka. Ia tidak tahu apakah rencana ini akan berhasil atau apakah hal ini memang sepantasnya dia lakukan. Anak-anak selalu berisik dan tidak bisa dihentikan, tetapi mengurus Andy dan Renjun berbarengan dalam kondisi seperti ini agak sulit. Meskipun Renjun adalah pria dewasa yang becus mengurus dirinya sendiri, tetap saja Jaemin khawatir.

“Andy? Ini om tadi mampir supermarket beli cemilan.” Jeno sekonyong-konyong muncul dari arah pintu depan, kemudian menjatuhkan sekantong besar belanjaan di meja ruang tengah.

“Kamu beli cemilan atau sembako sih, Jen?” kata Haechan yang juga kini berjalan masuk, menghampiri David dan mengoleskan minyak telon di perutnya. “Apid nih main kabur-kabur aja, itu udelnya nanti dingin.”

“Papa sstt!”

“Ooh iya iya, enggak boleh berisik ya.”

Jaemin mengangkat sebelah alis melihat Jeno yang tersenyum lebar. Bertahun-tahun mengenal, sepertinya baru sekarang Jaemin melihat senyumnya yang seperti itu.

Sadar diperhatikan, Jeno menggaruk pipi dan berdeham. Lalu, “Jadi rencananya gimana?” tanya Jeno.

“Ya simpel sih, kita cuma perlu kasih Andy distraksi supaya enggak inget Renjun. Jangan sebut-sebut namanya, pokoknya jangan melakukan apapun yang bikin dia inget sama Papanya.” kata Jaemin dengan suara pelan. “Dia tuh meskipun gue ada di sini, pasti yang dia cariin ya Papanya.”

“Gue kira dia lebih attached sama lo?” tanya Haechan. “Mengingat lo lebih lama urusin dia di rumah pas Renjun belum resign.”

Jaemin mengangkat bahu, “Enggak. Yang pertama diteriakin kalau bangun pagi selalu Papa kok.”

“Tapi kayaknya Andy anteng tuh sama David?”

“Ya sekarang anteng, tapi lama-lama mah liat aja deh nanti.”

🐸

“Apiihhh ...” Andy menarik ujung celana Jaemin, ia berdiri bersama David, memakai topi ultraman yang sama. Sekarang pukul sebelas, saatnya menyiapkan makan siang, dan ini berarti sudah empat jam Andy terpisah dari Renjun. “Apiiih ... Pah manaa?” tanya Andy sekali lagi.

Jaemin mengeringkan permukaan tangannya yang basah sehabis mencuci buah pir. Dia membungkuk, mengusap puncak kepala Andy lembut. “Papa kan lagi bobo. Main dulu sama Kak Apid ya?”

“Hmmm ...” Andy menunduk, bibirnya yang kecil mengerucut lucu. “Iyyaa ...”

🐸

“Piiiihhh ... Pah manaaa?” Andy bertanya lagi, sekarang pukul satu siang. Hampir semua jenis permainan sudah dicobanya bersama David, dan sekarang dia mulai bosan. David sendiri kini tidak banyak bicara, ia malah duduk di bawah karpet, membolak-balik buku mewarnai yang coret moret.

“Papa masih bobo,” Jeno bantu menjawab. “Andy main aja sama kita di sini ya,”

“Hmmm ...” lagi-lagi cemberut.

“Main gelembung aja yuk sama Om,”

“Nga mau...”

“Main basket?”

Andy menggeleng lagi.

“Kuda!! Papa, naik kuda!” tiba-tiba David mengajukan usulan itu dengan mata berbinar. Jaemin melihat Jeno mereguk ludah. Sepertinya bukan ide yang bagus.

-

“Oke, sekarang kita lomba ya!” Haechan mengibaskan selembar sapu tangan dengan semangat. Kuda siapa yang bisa sampai ke finish lebih cepet, nanti dapet kue coklat!

David dan Andy melonjak-lonjak di atas punggung dua orang dewasa yang mereka tunggangi. Jeno dan Jaemin sudah bersiap dengan posisi kedua tangan dan kaki yang sejajar di atas lantai, menjadi kuda untuk dua anak itu. Rasanya agak bodoh, tetapi mendengar gelak tawa Andy dan David merupakan kompensasi yang sangat adil.

“Satu ... dua ... tiga!”

Dua pria dewasa itu merangkak dengan anak kecil di punggung masing-masing, Jeno bergerak lebih cepat dan berhasil meraih garis finish (yang ditandai dengan tiga boneka mike wazowski yang berjajar) lebih dulu.

David bersorak karena berhasil memenangkan permainan. Dirasa belum cukup puas, ia meminta babak tambahan yang langsung diiyakan oleh Andy dengan jerit bahagia.

Jaemin mulai merasakan nyeri yang menjalar di pinggangnya setelah merangkak selama kurang lebih dua puluh menit. Semula hanya kesemutan di pangkal kaki dan lengan, lama-lama nyeri juga. Melihat bagaimana cara Jeno menunduk, sepertinya sang sahabat mengalami hal serupa. Ini memang ide yang buruk.

🐸

“Nih, biarpun tadi Kak Apid yang menang. Andy tetep dapat kue karena Andy pantang menyerah,” Haechan memberi sebungkus kue coklat buatan rumah kepada Andy. Anak itu melonjak senang, dia mengacung-acungkannya dengan bangga ke hadapan Jaemin.

“Wooowww keren banget Jalu! Papi dikasih enggak?”

Andy mengangguk, ia merogoh kantong linen itu, mengeluarkan sekeping kue dan menyuapi Jaemin dengan itu. Kemudian dia mengambil sekeping lagi, menatapnya sebentar lalu mendongak menatap Papinya.

“Pah manaa?”

Pasti Andy ingat lagi karena kue coklat adalah favorit Renjun.

“Wah! Udah waktunya tidur siang!” Haechan mengalihkan perhatian, Jeno sekarang sibuk menggelar kasur kecil dan beberapa helai selimut. “Andy, ayo tidur sama Kak Apid!”

Andy hanya mengulum bibir, matanya mulai berkaca-kaca. Dia meremas kaos yang Jaemin kenakan, menariknya beberapa kali. “Pah manaaa?”

“Papanya masih bobo. Jalu juga bobo siang sekarang, sama Kak Apid ya?”

“Nga mau...”

“Bobo sama Papi?”

“Bobo sama Paah.”

“Jalu—”

“Paaaaaaahhhhhhh!!!!” Andy menangis kencang, tubuh kecilnya terentak-entak karena kesal dan rindu.

Mendengar Andy meraung-raung, David mulai terisak dan detik berikutnya, dua anak ini menangis bersama di dalam rumah Jaemin. Haechan menggendong David dan membawanya keluar rumah, sementara Jaemin masih berkutat memikirkan cara terbaik untuk membuat tangis Andy mereda.

“Jalu, Jalu, hei, berhenti dulu nangisnya ayo?” Jaemin menggendongnya dengan kedua tangan, mengangkatnya agar wajah mereka saling berhadapan. “Oke, oke, sekarang ketemu Papa ya?”

“Enggak apa-apa tuh, bro?” Tanya Jeno.

“Enggak ada cara lain soalnya,” Jaemin tersenyum tipis. “Lu temenin calon anak lu sana,”

“Enggak ah, yang ada dia tambah nangis.”

Jaemin berdecak, “Sana, samperin.”

🐸

“Papaaahh!” Andy langsung berteriak begitu pintu kamar orangtuanya dibuka, ia masih menangis, ingus mengalir dan mata membengkak.

Renjun terbatuk, berusaha duduk di tempat tidur, dan saat itulah Andy berhenti menangis. Ia menatap Papanya takut, lalu menoleh pada Jaemin, dan menangis lagi. “Papah akiit! Papah kesian ...”

Renjun merentangkan kedua tangan, Jaemin kali ini mengalah dan memberikan Andy padanya. Andy langsung merangkak di atas pangkuan Renjun lalu menangis lagi.

“Aduh, aduh, kasian ini anak ganteng dibikin nangis sama siapaa?” kata Renjun dengan suara serak.

“Papah ksiann...”

“Papa enggak kenapa-kenapa kok, cuma sakit sedikiit. Jadi Papa izin dulu enggak main sama Andy hari ini. Nanti kalau Papa udah sembuh, Papa main lagi ya sama Andy ya,” kata Renjun menenangkan, menepuk-nepuk bokong anak itu dengan sayang. “Andy harus nurut sama Papi ya?”

“Iya ...”

Jalu, kalau orang yang kita sayang sakit, rasanya emang kita jadi ikutan sakit. Selalu pengen bareng-bareng kan ya?” Jaemin mengusap puncak kepala Andy, “Tapi kan cuma buat sebentar, nanti mah enggak bakal kayak gini lagi. Bukan cuma kamu aja kok, Papi juga nahan kangen lho sama Papa.”

Andy kembali mengulum bibir, menahan tangis yang tiba-tiba hendak muncul kembali.

“Harus sabar ya, kan bentar lagi ulangtahun? Bentar lagi jadi anak gede. Harus belajar jagain Papa mulai dari sekarang.”

Renjun tertawa melihat bocah kecil di pangkuannya mengangguk-angguk sambil menahan tangis. “Tadi seru main sama Papi?” Andy mengangguk lagi, dia masih belum mau melepaskan Renjun hingga akhirnya Jaemin menarik anak itu pelan untukkembali ke gendongannya.

“Udah capek dia, ini jam tidur siang juga.” kata Jaemin, memandang putra mereka sambil mengulas senyum kecil. “Kamu gimana? Udah enakan?” Jaemin mengusap wajah Renjun, merapikan poni yang jatuh di keningnya, merasakan suhu tubuh sang suami yang sedikit mendingin.

“Udah ... kan aku udah bilang, it's not a big deal,” Renjun mengecup telapak tangan Jaemin sekilas. “Kamu jangan lupa makan,”

“Iya, ini mau makan kok. Plester kompresnya udah diganti?”

“Udah, enggak usah khawatir. Kan aku juga pengen cepet sembuh, biar bisa jaga kalian lagi.”

🐸

Jaemin tengkurap di atas karpet, memutar kubus-kubus rubik sambil mendengarkan lagu yang mengalun lewat ponsel. Mainan-mainan Andy berceceran di setiap sudut rumah, remahan biskuit dan tumpahan berbagai jenis cairan ada di mana-mana. Sekarang pukul lima sore, Haechan dan David sudah pamit pulang bersamaan dengan Jeno (yang sepertinya akan menginap bersama mereka malam ini). Andy duduk di atas pinggangnya, menata boneka-boneka di punggung Jaemin sambil mengoceh.

Separuh hari yang lumayan melelahkan. Jaemin heran, padahal dulu ia begitu telaten mengurus rumah dan Andy tapi kenapa sekarang rasanya sangat-sangat sulit? Mungkin karena situasi yang agak berbeda dengan hari-hari biasa. Sekalipun sudah diberi pengertian dan Andy sudah mengiyakan bahwa ia akan menahan kangen, tetap saja Jaemin masih menemukannya melirik pintu kamar Renjun beberapa kali saat bermain. Dia seperti menanti-nanti kapan Renjun akan keluar dari dalam sana.

“Apih bobo?” tanya Andy tepat di telinganya.

“Enggak, Papi bangun kok.”

“Peawaaat,”

“Iya, iya, ini Andy lagi naik pesawat ya,” Jaemin merentangkan dua tangan ke samping. “Mau naik pesawat ke mana? Ke Cikaso? Atau ke Cileunyi?”

“Ke Swiss dong, Pi. Sambil main Ski,” suara lembut menyapa, sejurus ada bobot tambahan yang mampir di atas tubuhnya.

“Hah—astaga, kaget. Ini eungap jangan didudukin gini dong tolong,”

Renjun terkekeh, dia beringsut kemudian duduk bersila di samping Jaemin. Sudah tidak ada lagi plester demam, suaranya tidak serak, dan wajahnya jauh lebih segar dari apa yang Jaemin lihat sewaktu pagi. Andy memandangnya sebentar serta-merta merangkak turun, berlari ke atas sofa dan duduk memeluk lutut di pojok yang paling jauh.

Jaemin dan Renjun saling pandang, merasa heran dengan tingkah Andy yang bertolak belakang dengan raungan dan rengekannya tadi siang.

“Kok lari ke situ? Sini dong,” Renjun mengulurkan kedua tangan, memberi ruang untuk sebuah pelukan.

Andy menggeleng lucu. “Nga boyeh!”

“Kenapa enggak boleh?”

“Papah akit, aku haus sabar!!” serunya keras-keras. “Jaga papah, sabar.”

“Papanya kan udah sehat dikit?” Tanya Renjun lagi.

“Nga boyeh iiihhh!”

Jaemin bangun dari posisinya semula dan memeluk Renjun; mengisi ruang kosong yang telah disiapkan untuk anaknya tadi. Ia melirik Andy dengan jahil, “Ya udah, Papi aja yang peluk Papa kalau Jalu enggak mau.”

“Aaaaaaaaaaaaaaa!!! Nga boyeh!!!!” Andy lekas turun dari sofa, menghambur dan memukul punggung Jaemin sambil menangis. “Punya aluuu! Apih awaaass!”

“Mana, katanya sabar?”

Renjun menepuk punggung Jaemin, “Bocah banget sih kamu!”

Andy mundur selangkah, meremat ujung kaosnya yang bergambar Olaf dan mengerucutkan bibir. “Sabar!”

Renjun tidak tega, dia menarik lengan Andy membawanya ke dalam rengkuhannya yang masih tersisa. Saat dipeluk, Andy masih sempat mendorong pundak Jaemin dan merengek karena terus digeser. Renjun perlu menjawil pundak suaminya agar pemandangan kekanakan itu lekas mereda.

“Makasih yaa,” kata Renjun. “Kalian udah jagain Papa,”

Jaemin balas memeluk Renjun dan Andy dengan erat, “Sama-sama, Papa.”