04 – i still get butterflies even though i’ve seen you a hundred times

Renjun menunggu taplak meja keluar dari mesin pengering sembari menghangatkan pizza. Andy sudah tidur lebih dulu karena ini sudah pukul delapan; Renjun sedang mencoba untuk mengubah siklus tidur anak itu. Biasanya Andy akan mengalami jam-jam rewel pada pukul empat sore lantaran kantuk, kemudian akan kembali terbangun di tengah malam dan tidak akan kembali tidur sebelum pukul tiga pagi.

Ia bersandar pada dinding dapur. Ini adalah hari ulangtahun pernikahannya yang ke-tiga dan Jaemin pulang terlambat. Jaemin tidak mungkin lupa, ia selalu ingat. Jaemin bisa menjawab dengan tepat ketika orang menanyainya tentang tanggal pernikahan tetapi memang bukan penggemar berat dari kejutan. Renjun pun tidak mengharapkan itu dari Jaemin.

Baik, dia sedikit berharap. Tapi hanya sedikit.

Mungkin pada tahun ke-tiga pernikahan mereka, romance bisa jadi mulai berkurang. Seperti yang pernah ia dengar dalam sebuah talk-show, bahwa fase memudarnya perasaan cinta dalam pernikahan adalah hal yang biasa. Kebanyakan orang mengalami itu. Hal itu tidak melulu berimplikasi pada berakhirnya sebuah hubungan, hanya saja memang menjadikan suasana sedikit redup. Renjun tidak menemukan tanda-tanda itu pada pernikahannya; Jaemin masih menciumnya saat bangun dan sebelum tidur, membuatkannya sarapan ketika tidak sempat, dan memberi pernyataan cinta kendati dalam cara yang begitu implisit.

Tetapi ketakutan itu tetap mengganggu pikirannya seperti petugas asuransi yang menawarkan jaminan masa tua melalui pesawat telepon selama seminggu berturut-turut.

Renjun kerap mendengar cerita tentang perceraian ketika ia masih bekerja di perusahaan lamanya. Rekan-rekan kerjanya yang telah bercerai seringkali menebar doktrin jahat tentang pernikahan, menjadikan diri mereka sebagai anti-fan nomor satu dan meskipun Renjun tidak terlalu gemar menggosip, sedikit banyak hal yang mampir di telinganya (secara tidak sengaja) tetap memengaruhi cara pandangnya.

Mereka sering bercerita bagaimana pasangan mereka mengalami perubahan mendadak ketika perceraian melanda. Biasanya menjadi super serakah karena besok-besok, semua hal yang awalnya mereka miliki bersama harus lekas dibagi dua sesuai hukum. Tak jarang mereka menjadi posesif terhadap cangkir-cangkir kopi, sangat gila soal pemanggang roti, dan terus mengoceh soal perkakas dapur lainnya. Satu hari akan penuh dengan aksi mengomel-omel di dapur, di ruang duduk, kamar tidur, bahkan pintu toilet.

Sebelum bertemu dengan Jaemin, Renjun kira ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan menyendiri—mengumpulkan gaji untuk investasi, berkeliling dunia, dan menyisakan sedikit dari itu untuk membiayai hidupnya selama di panti jompo. Ia percaya bahwa pernikahan tidak akan menambah apa pun dalam kehidupannya kecuali masalah.

Tapi, di sinilah ia sekarang. Hidup bersama suami dan juga seorang anak. Tidak pernah ada masalah yang kompleks dan menggiring migrain. Mana sudi ia kembali pada masa-masa penuh ketakutan itu?

“Sayang?” suara Jaemin membuatnya tersadar, ia mematikan kompor, gegas mengambil mitten dari kabinet dapur dan mengeluarkan satu loyang pizza kecil dari dalam oven.

“Wangi apa nih?” Jaemin berseru lagi, dari kisi-kisi jendela dapur, Renjun bisa mengintipnya tengah melepaskan sepatu. “Kamu masak apa?” Jaemin melongok masuk.

Alih-alih menjawab, Renjun malah berjalan ke arahnya, merentangkan tangan dan langsung disambut Jaemin dengan sebuah pelukan. Renjun tidak bisa bohong kalau bau tubuh Jaemin sepulang kerja bukanlah favoritnya; bau keringat, bawang, minyak goreng, dan parfum bercampur jadi satu.

“Masak surabi?” tanya Jaemin.

Renjun memukul bahunya pelan, “Ini pizza teflon.”

“Mekar banget, raginya kebanyakan ya?”

“Kayaknya gitu,” Renjun tertawa rikuh. “Happy anniversary,”

Jaemin balas tersenyum, “Happy anniversary juga, Sayang. Kamu masak spesial buat ini?”

“Iya, tapi yah ... biasa aja sih.”

“Aww ... manis banget,” Jaemin mengusap kepalanya, Renjun paling suka kalau kepalanya diusap, dielus, diacak-acak rambutnya. “Aku juga punya kado untuk kamu.”

Oh, dompet Di0r itu! Renjun berusaha memasang ekspresi setenang mungkin. Ia tidak ingin menggagalkan kejutan yang telah Jaemin susun untuknya. Renjun telah mendambakan dompet itu selama berbulan-bulan, tetapi tidak pernah membelinya karena merasa tak perlu. Mungkin ia pernah bercerita dan Jaemin menangkap itu sebagai kode, atau Jaemin memang peka untuk urusan semacam itu.

“Tutup matanya dong,” astaga, jantung Renjun berdebar-debar meskipun tahu apa yang akan disodorkan Jaemin untuknya.

“Apaan ...”

“Tutup dulu,”

Renjun memejamkan mata, mengulum senyum. Sejurus ia rasakan sesuatu di tangannya, sebuah kotak kecil terbuat dari plastik. Tunggu dulu, ini bukan yang ia temukan di laci tadi?

“Sekarang buka matanya,”

Renjun membuka mata, memerhatikan gantungan kunci dengan figur karakter Monster Inc. di tangannya. Jantung terasa copot, jika hadiah ulangtahun pernikahannya adalah gantungan kunci, lantas dompet di kamar tadi ...?

“Suka?” Tanya Jaemin, “Aku juga punya satu, jadi couple.”

Sebentar, sebentar. Apakah mereka punya hari penting lain? Hari jadi pacaran? Ah, tapi mereka tidak pernah pacaran. Jaemin melamarnya di hari pertama mereka berkenalan. Renjun bingung, jika memang untuk seseorang yang ia tahu, Jaemin pasti sudah mengabarinya dari kemarin-kemarin dan tidak perlu menyembunyikannya di lemari celana dalam.

“Sayang?”

“I-iya suka, aku ... kamu tahu aku suka banget sama Mike.”

Jaemin tersenyum cerah, “Syukurlah. Aku ganti baju dulu ya,”

Renjun duduk di depan meja makan. Dia tidak mempermasalahkan nilai barangnya, tapi untuk apa, untuk siapa, dan kenapa dompet itu ada jika bukan untuknya atau pun Jaemin? Sulit rasanya untuk berpikir positif ketika kepercayaan dirimu berada dalam batas terendah.

Apa ada orang lain? Tidak mungkin.

“Hadiah lanjutan,” sebuah tas kertas tersodor tiba-tiba. Itu dompet yang dilihatnya tadi siang.l

“Hah?” Renjun tidak mengerti. Kenapa?

Jaemin pada akhirnya meletakkan tas itu di atas meja, karena Renjun tak kunjung menerimanya. Laki-laki itu kembali mengusap puncak kepala Renjun dengan lembut.

“Buatku?” Tanya Renjun memastikan.

“Iya,” Jaemin mengangguk. “Memangnya ada orang lain lagi di sini?”

“Hah?”

“Dompet kamu katanya udah rusak, kan?”

“Aku kira kamu cuma kasih gantungan kunci doang...”

“Kan dompetnya di kamar, kuambil dulu. Aku umpetin sih, biar surprise. Kaget enggak?”

“Ini kamu beneran?”

“Ya beneran ...?”

“KAGET BANGET, YA ALLAH...” Renjun berseru lalu sedikit terisak; fusi antara kelegaan, haru, dan rasa terkejut. Ini adalah kejutan terburuk. Tapi untung saja hasilnya baik. Kalau genre bacaan, ini adalah angst with happy ending atau mungkin semacam plot-twist?

“Kamu suka banget ya? Sampe segitunya,”

Renjun pada akhirnya tidak bisa membendung tangis, semuanya turun meskipun tidak sedramatis adegan-adegan di sinetron TV. Ada perasaan bersalah karena menaruh kekhawatiran pada pernikahan mereka; pada suami sebaik Jaemin. Yang benar saja, Renjun?

Jaemin membungkuk, memeluknya erat dan mengecup puncak kepalanya sambil menyugar helaian rambut itu dengan jari. Renjun tidak tahu apakah cinta memang bisa memudar, dia tidak yakin kalau ia akan tahu bagaimana rasanya ketika memiliki Jaemin.

“Sayang, kok enggak pakai baju?” Renjun baru sadar kalau Jaemin dari tadi hanya mengenakan celana kolor oleh-oleh dari pangandaran yang kini merangkap jadi pakaian tidur.

Jaemin menarik tubuhnya menjauh, “Ah, iya. Aku baru mau tanya, kok lemari kosong banget? Kasur juga enggak ada seprainya. Pada ke mana?”

Renjun mereguk ludah, “Ah ... aku cuci semua ...”

Sepertinya metode menghilangkan rasa khawatirnya perlu diubah.