Ledakan Cahaya pada Pangkal Bulan Maret – 1

Usia Renjun empat tahun saat ia tahu bahwa bumi berwujud bola raksasa berwarna kebiruan yang besarnya tak lebih dari sebutir kelereng di hadapan matahari. Informasi ini didapatnya dari sebuah siaran dokumenter tv kabel—yang pada masa itu sangatlah jarang dijumpai—menumpang di rumah tetangga. Tak pernah terpikir olehnya bahwa biru berarti memiliki warna seperti langit, air laut dari kejauhan, dan celemek masak ibunya; kenapa?

Sebab warna adalah hal yang tak bisa dilihat setidaknya sampai seseorang menemukan siapa pasangan jiwa mereka.

Hingga usia dua puluh empat, semuanya masih terdiri atas warna-warna yang sama; hitam, putih, kelabu. Renjun tidak pernah terlalu mempermasalahkan. Banyak yang mengatakan dia terlalu pasif, sejatinya hidup harus sedikit agresif terlebih jika kau belum bertemu dengan pasangan jiwamu. Kendati demikian, tak pernah sekalipun ia menampik konsep-konsep kehidupan yang aneh ini. Suatu hari, ia ingin bertemu dengan pasangan jiwanya; menyaksikan warna-warni dunia karena ia tak ingin rona hitam dan putih menjadi pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum mati, hanya sebatas itu.

Sayangnya, banyak yang selalu mengaitkan pasangan jiwa dengan orang yang berarti ditakdirkan untuk menghabiskan sisa hidupnya denganmu. Padahal, tidak selalu begitu. Pemikiran ini dikandungnya bukan tanpa alasan; manusia miliaran jumlahnya, kau bisa memilih mana yang pantas untukmu ketimbang mengikat diri dengan orang yang mungkin tak kau cintai. Juga kemungkinan-kemungkinan bahwa pasangan jiwamu sudah meninggal sebelum mereka sempat bertemu denganmu atau mereka telah memiliki keluarga yang bahagia, tentu saja, kebahagiaan semacam itu tak patut dirusak.

Karena itu, Renjun tidak akan menunggu siapapun.