Bagaimana Kutahu

Tahun terakhir di sekolah pascasarjana berarti pergolakan, tangis air mata, dan sakit pinggang yang mendera ketika merampungkan tesis. Haechan tidak bisa tidak setuju. Ia sudah duduk di kafe ini selama lebih dari setengah jam, menekuri alinea esai yang tengah ditulisnya, dan kali ini sudah masuk kali ke-lima dia menghapus dan menulis ulang kalimat yang diperdebatkan batinnya sendiri. Kepalanya pengar, rasa manis dari milkshake bisa membantu kendati sedikit. Haechan merebahkan punggung di kursi, membuka kunci ponselnya lagi, menjelajah ke kotak pesan, twitter, kemudian instagram, dan dia berhenti di situ. Bulatan-bulatan dengan lis warna pelangi berjajar di layar atas ponselnya, Haechan menekan satu yang paling awal, mengamati cerita-cerita yang dibagi temannya di sana. Sekiranya dimuat cukup lama—karena wi-fi gratis di kafe ini terkadang menyebalkan—maka Haechan akan menggesernya ke kiri, beralih ke cerita lain.

Banyak hal baru, tapi tak ada satupun yang menarik. Isi cerita instagram Renjun tidak pernah jauh dari tangkapan layar yang diambil dari profil artist lain di instagram, dan Haechan tahu, orang-orang yang disebut Renjun dalam ceritanya pun melakukan hal yang sama. mereka gemar mempromosikan karya satu sama lain kepada para pengikutnya. Milik jaemin biasanya terdiri dari lima sampai tujuh cerita perhari: lanskap, lanskap, lanskap, Renjun, hasil masakannya, lanskap lagi. Sedang Mark jarang sekali menulis cerita. Paling-paling soal musik baru yang didengarnya dari radio.

Lalu di tengah keasyikannya, sebuah notifikasi mencuat di puncak layar. Kalimat jeno.lee_23 started following you muncul selama beberapa detik kemudian lesap. Haechan nyaris mengeluarkan suara saat ia menghela napas.

Lee Jeno. Jeno. Si bodoh dengan mata yang membentuk lengkung bulan sabit ketika ia tertawa. Seorang teman lama yang ingin Haechan hapus jejak-jejaknya dari ingatan. Selama lima tahun terakhir ini Haechan hanya mampu menghapus namanya dari daftar kontak, menghapus dari ingatan terlalu sulit.

Haechan menahan diri untuk tidak membuka profilnya, apalagi mengikutinya balik. Jantungnya berdegup lebih kencang dari lima menit yang lalu. Ponsel itu ia kunci dan letakkan di samping laptop, ia perlu berpikir jernih.

Haechan memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya sejenak. Langit yang semula dipenuhi warna kini gelap, tak ada bintang yang menggantung sebab kilapnya bersaing dengan gemerlap kota di malam hari. Musim panas sudah sampai pada penghujungnya, tapi orang-orang masih ramai berlalu lalang mengenakan pakaian cerah dengan ornamen yang akan selalu mengingatkan Haechan pada sapuan ombak, siuran angin, matahari yang membakar kulit, dan sialnya, Jeno. Sebab pertemuan terakhirnya dengan lelaki itu terjadi di musim panas.

Notifikasi lain kembali muncul, ia kira itu layanan pesan singkat dari operator telepon, tetapi, jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. jeno.lee23 liked your post. Kalimat itu muncul berulang-ulang tiap kali Haechan menyisihkannya dengan ibu jari. Ia tidak mengerti kenapa Jeno melakukan semua ini. Menghilang kemudian muncul kembali. Secara artifisial maupun tidak.

Ia balik mengamati pelataran kafe dari balik jendela, berharap wajah orang yang dikenalnya — bisa Jaemin atau Renjun, mereka sering berkunjung ke sini — menyembul dari kerumunan orang dan lekas-lekas membebaskannya dari sepi. Namun sejauh yang ia lihat, hanya orang asing yang berada di luar sana. Akan tetapi, sekonyong-konyong, jantungnya terasa berhenti berdetak. Bak menemukan sesuatu yang tengah mengintip dari celah pagu di malam hari. Mengundang rasa penasaran sekaligus takut.

Di salah satu kursi di luar sana, empat orang lelaki duduk mengelilingi meja bundar, dan salahsatunya tengah menekuri ponsel dengan senyum lebar. Meskipun tak pernah melihat wajahnya selama separuh windu, tetapi jejak-jejaknya memang selalu tersimpan jauh di sudut kamar dalam dada Haechan. Kadang-kadang mereka menyelinap lewat mimpi dan itu adalah yang paling Haechan benci. Maka tentu saja, setelah bertahun-tahun tak bersua, Haechan bisa tahu kalau lelaki itu adalah Jeno. Dan yang tengah dipandangnya dalam ponsel, bisa saja profil instagram Haechan.

jeno.lee_23 wants to send you a message.

Jeno adalah badai, datang mendadak hanya untuk mengacaukan langit jernih di hati Haechan. Kedatangannya tak dapat diprediksi dan entah apa pula yang hendak ia sampaikan pada Haechan melalui pesan di instagram. Di luar sana, Jeno tengah berbincang dengan seorang teman yang belum pernah Haechan lihat sebelumnya, mungkin ia boyong dari Australia atau entah belahan bumi yang mana. Dan entah kenapa, melihat Jeno sedemikian bahagia membuat Haechan merasa lega.

Ia putuskan untuk kembali mengalihkan pikiran pada tesis yang tengah ia tulis, toh dari gelagatnya, Jeno sebentar lagi akan pergi bersama teman-temannya itu. Tidak mungkin ia yang berjingkat pergi keluar dari tempat ini, karena kesempatannya untuk berpapasan dengan Jeno begitu tinggi jika ia melakukannya.

“Haechan-ah?” Haechan menoleh secara spontan, menyesali dua pilihan terakhir dalam hidupnya yang baru saja ia buat. Memutuskan untuk tinggal dan juga menoleh ketika namanya dipanggil.

“Benar-benar kamu rupanya!” Jeno berseru, suaranya tidak berubah. Haechan tidak tahu harus berbuat apa, otot wajahnya kaku, ia tidak biasa melihat Jeno dengan latar Seoul setelah lelaki itu meninggalkan tempat ini selama bertahun-tahun. Ia balas tersenyum, sedikit memaksa tertawa karena ia pikir itu diperlukan.

“Lucu banget karena barusan aku follow instagram kamu,” aku Jeno.

“O-oh? Aku belum cek, nanti aku follow back.”

“Apa kabar?”

Pertanyaan itu begitu singkat, namun Haechan perlu waktu, banyak sekali waktu, untuk memilih jawabannya. Apa kabar? Keadaan yang mana yang sebenarnya ia tanyakan? Apakah kabarnya sekarang? Atau selama lima tahun terakhir sejak mereka tak lagi saling melihat? Setelah debat kusir panjang di dalam kepalanya, Haechan memutuskan untuk menjawab, “Baik. Kamu kapan balik ke sini?”

“Baru tadi malam,” Jeno mengulas senyum. Dia selalu tersenyum. “Aku tadi iseng pengin datang ke sini, karena dulu kita suka bikin tugas bareng di sini kan. Kamu ingat? Di bangku ini juga.”

Haechan tercekat. Tidak ingat. Atau lebih tepatnya tidak pernah sadar? Sebelum ataupun setelah Jeno pergi, spot ini selalu jadi favoritnya. Tidak adil kalau Jeno main klaim begitu saja.

“Haha, iya aku inget. Kuliah kamu selesai?”

“Yap. Tapi aku tetep tinggal di Perth, aku pulang karena ada urusan.”

“Nggak mau balik ke sini?”

Jeno tertawa, “Aduh, mau lah. Tapi nggak sekarang. Aku udah ada kerjaan juga di sana.”

“Oh, ya? Kerja apaan sekarang?”

“Industri tekstil, kantoran kok.”

“Eh? Kok jauh banget. Kukira kamu bakal jadi teknisi IT atau apa gitu.”

“Takdir kan memang begitu, awalnya A jadinya B. Bisa juga jadi Z.”

“Nggak capek berdiri terus?” Haechan mendorong kursi di depannya dengan ujung kaki.

Jeno duduk, lalu memandang ke luar dan tersenyum sekilas. “Kan, kayak dulu.”

Haechan ingin sekali menyiram wajah teman lamanya itu dengan segelas air. Mendengarnya mengulang-ulang frasa seperti dulu membuatnya jengkel. Karena mau tidak mau, Haechan mereka ulang semua hal itu dalam memorinya. Bagaimana ia dan Jeno menghabiskan sore untuk mengerjakan tugas-tugas kala SMA, memesan sepiring kentang goreng dan milkshake untuk berdua karena uang jajan keduanya tak cukup, membicarakan teman sekelas, membangun mimpi-mimpi tak masuk akal. Dan semua itu berakhir ketika Jeno memutuskan untuk melanjutkan studi di Australia dan pilihan itu diambilnya tanpa berdiskusi dengan Haechan.

Keputusan yang Jeno ambil saat itu umpama petir di siang bolong; tanpa pertanda, tiada tedeng aling-aling, langsung terlontar dari mulutnya begitu mereka menyelesaikan makan siang. Ah, dan Haechan baru sadar. Hari itu, percakapan mereka berlangsung di sini. Jeno beralasan, ia tidak mau mempermalukan dirinya dengan mengatakan rencananya pada Haechan sebelum ia mendapat surat rekomendasi, karena ketika ia gagal, ia tidak ingin Haechan tahu. Tapi bagi Haechan, tetap saja hal itu membuatnya kecewa. Bukankah teman dekat seharusnya saling berbagi?

Akan tetapi, binar matanya saat ia memberitahukan kelulusannya itu masih terpeta jelas di benak Haechan. Ada rasa senang, sedih, dan cemburu. Dan pada saat itu ia sadar bahwa dirinya menyukai Jeno lebih dari sekadar teman.

Usaha yang ia bangun selama tiga tahun lebih untuk mengabaikan Jeno dari ingatan nyatanya dengan mudah runtuh. Tiba-tiba saja, kenangan yang dimilikinya tentang Jeno sekental kopi yang ia minum tiap pagi.

“Kamu lagi ngerjain apa?” tanya Jeno, ia baru saja menerima pesanannya, take out.

“Tesis.”

“Wah, lanjut S2?”

“Iya, habis cari kerja susah. Aku sekolah lagi dulu aja.”

“Kamu masih sering ngobrol sama Jaemin? Renjun?”

“Masih. Mereka S2 di tempat yang sama juga.”

“Aku udah lama nggak kontakan sama kalian. Kalian masih bareng-bareng terus selama tujuh tahun.”

“Susah ngatur jam, ya?” Haechan memendar tawa.

Alasan lain kenapa ia tidak pernah banyak bicara dengan Jeno, ya, karena memang dia merasa sesak. Lalu seiring berjalannya waktu — seolah memang natural untuk terjadi — ia mulai sibuk, pun Jeno. Mereka memiliki kehidupan baru, teman baru, dan petualangan-petualangan baru di mana keduanya tak terlibat satu sama lain.

“Oh, aku baru cek instagram Jaemin sama Renjun. Mereka beneran nikah?”

Haechan menjengitkan alis untuk kemudian terkekeh, “Iya lah beneran. Itu ada fotonya.”

“Ah … I see.”

“Kamu pikir cowok sama cowok nggak bisa nikah?”

“Bukan begitu, kaget aja karena ternyata jodoh mereka deket. Aku nggak ngira sama sekali mereka bakalan nikah.”

“Aku tahu,” jawab Haechan, ia mengelap permukaan meja yang basah dengan tisu sebelum mengenai laptopnya. “Dari SMA, Renjun suka Jaemin kok.”

“Renjun cerita?”

“Nggak. Aku tahu sendiri.”

“Tahu dari mana?”

“Tatapan matanya beda.

“Beda?”

“Renjun kalau lihat Jaemin, beda. Terus kalau kamu perhatiin, dia nggak pernah marah ke Jaemin dari dulu.”

“Lah kamu tapi sadar nggak kalau waktu SMA, aku pernah naksir kamu?”

Jemari Haechan berhenti bergerak di atas tombol keyboard, ia mendongak, menemukan mata Jeno yang tengah memandangnya santai. Lelaki itu tidak punya praduga sama sekali bahwa napas Haechan tiba-tiba tersendat dan hingga paru-parunya terasa bengkak.

“Hah?”

“Iya, aku naksir kamu dari kelas 2.”

“Ng-nggak.”

“Memangnya tatapan aku ke kamu nggak sama kayak Renjun ke Jaemin ya?”

Bagaimana mungkin ia tahu?

“Gimana aku bisa tahu?”

“Kamu bilang kamu bisa tahu tatapannya Renjun.”

“Tetep aja, aku nggak bisa menduga itu kalau dari kamu.”

Jeno menggaruk belakang tengkuk, mulai menyadari bahwa topik ini mungkin tidak diperlukan. “Yah, cinta monyet.”

Haechan ingin mengutuknya. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mekar di dalam dadanya. Mungkin, perasaan berharap atau andai-andai.

“Kamu kapan nyusul Jaemin sama Renjun?” tanya Jeno separuh bercanda.

“Kamu dulu lah yang susul mereka.” Balas Haechan.

“Bentar lagi.”

“Ya?”

“Aku kirim kamu pesan di instagram, habisnya aku nggak punya kontak kamu selain itu,” Jeno melirik jam di pergelangan tangannya, lalu melempar pandang ke luar jendela lagi. “Aku kirim undangan pernikahanku. Aku cuma undang beberapa orang aja, jadi kalau sempat, datang ya?”

“Kamu beneran nikah?!” Suara Haechan meninggi, kejutan hari ini terlalu banyak.

“Kamu pikir cowok sama cowok nggak bisa nikah?” Jeno menirukan gaya bicara Haechan beberapa menit lalu.

“Kamu nikah sama cowok?”

“Iya. Aku pacaran sama dia udah dua tahun.”

“O-oh … congrats.”

“Ah, aku udah ditungguin. Bales DMku ya, kita ngobrol lagi sebelum aku balik ke Australia.” Jeno beranjak, mengambil pesanannya dan melambaikan tangan sebelum ia pergi.

“Oke. Call.” Haechan memerhatikan punggungnya yang semakin bidang, pergi menjauh dan menghilang di balik pintu. Matanya masih mengikuti Jeno saat lelaki itu keluar kafe, berjalan ke arah teman-temannya dan saat Haechan hendak kembali pada laptop — atau mungkin lamunan-lamunannya — Jeno menoleh, melambaikan tangannya sekali lagi.

Haechan menarik napas dalam-dalam. Layar laptopnya menjadi tak terbaca. Tidak pernah ia menduga bahwa ia akan tiba pada fase terjebak antara sesal dan andai.

Jika saja, waktu itu, Jeno mengatakan semua ini lebih awal atau jika saja ia menyatakan perasaannya, apakah akhir cerita mereka akan berbeda?