Ledakan Cahaya pada Pangkal Bulan Maret – 2

Renjun memang berencana menghabiskan uang pesangonnya untuk sebuah sesi liburan selama satu pekan, namun, bukan ini yang dibayangkannya; berada di belakang kemudi mobil sewaan, pukul lima dini hari, melaju sejauh 135 KM dari arteri New Delhi menuju Vrindavan bersama sahabat-sahabat terbaiknya. Ia dan Yangyang bergantian menyetir—karena mereka memiliki lisensi mengemudi internasional—dan hanya berhenti dua kali di tempat pengisian bahan bakar sekalian numpang ke kamar kecil. Perjalanan ini sepenuhnya disponsori oleh Hendery, setidaknya untuk dua hari pertama sebelum kartu kreditnya digondol copet di kereta malam.

Ia baru saja diberhentikan dari pekerjaan, dipecat, beberapa minggu sebelum bulan kelahirannya. Bosnya dengan sengaja merekrut seorang lelaki untuk mendepak orang-orang yang sudah tak diinginkannya—untuk alasan apapun—agar semua berjalan lancar, tanpa konflik, tanpa masalah yang berbuntut-buntut, atau sesederhana untuk menghindarkan diri dari rasa bersalah ketika memutus kerongkongan seseorang melalui pemutusan hubungan kerja. Lelaki itu menjalankan tugasnya dengan baik, dia berhasil menyelami emosi Renjun, mengatakan bahwa ia terlalu bagus untuk bekerja di tempat seperti itu. Dia berusaha untuk menyingkirkan Renjun tanpa melucuti harga dirinya tapi tetap saja, ketika seseorang ditetapkan sebagai pengangguran, beban itu benar-benar kontan terasa.

Beruntung, tidak banyak masalah bermunculan setelah berita pemecatan itu sampai ke telinga keluarganya. Ia langsung mendapat pekerjaan baru sebagai pegawai di restoran daging milik pamannya, agak banting setir memang, tapi ini hanya pekerjaan sementara sebelum ada perusahaan yang sudi mempekerjakannya kembali atau kalaupun ia tak berubah pikiran dan menjadikannya sebagai karir utama. Ayahnya coba menghibur dengan membenarkan ucapan lelaki yang memecatnya, bahwa dia terlalu bagus, dan pelan-pelan Renjun mencoba mengamini hal itu ketimbang menyangkalnya. Memang benar, tempat itu tidak cocok untuknya. Gajinya banyak, tetapi tekanannya pun tak kalah dari itu. Bekerja sebagai penyelia tabloid gosip selalu memiliki deritanya tersendiri, menelisik kehidupan orang asing, membuat spekulasi-spekulasi kacangan, lalu mengedarkannya. Kadang Renjun menemukan dirinya duduk di kafetaria kantor, menekuri layar laptop sambil bertanya, apa yang sebenarnya kulakukan?

Maka dari itu, teman-temannya menyeret Renjun untuk sebuah sesi liburan, sebelum Renjun kembali ke dunia pekerjaan yang melelahkan. Tapi sungguh, India memang belum pernah lewat dalam benaknya sama sekali.

Yangyang mengecilkan volume radio yang memutar lagu pop berbahasa India lalu menodong Hendery dengan sebuah pertanyaan lewat kaca spion depan. “Apa kau sudah mengecek reservasi hotel? Sudah kaupastikan tidak ada kesalahan?”

“Sudah, aku memesan satu kamar untuk lima orang.”

Seketika tawa Lucas meledak, “Apa kau gila? Kita akan tidur berdempet seperti ikan sarden!”

“Dan kau akan makan tempat paling banyak!” timpal Xiaojun, tertawa keras dan mengguncang kursi depan.

“Mau bagaimana lagi? Uang kita sudah tidak akan cukup untuk memesan dua kamar, ah, lagipula mau kondisi seperti apapun, tidur itu tetap sama. Menutup mata.”

Tawa mereka memecah kesunyian di pagi buta, Renjun tersenyum kecil. Ia tahu bahwa India adalah destinasi yang selalu didambakan teman-temannya terlepas dari penipuan yang tersebar di mana-mana, jalanan sesak, dan makanan kali lima yang bagi Renjun tak terlalu menggugah selera. Selalu ada surga di India, tetapi sayang, Renjun belum menemukannya lagi terkecuali dalam bentuk sepiring samosa yang dilahapnya tiga hari lalu di Candigarh. Ia ingin cepat kembali ke Shanghai sebab tak ada apapun yang bisa dilakukannya di sini dan pekerjaan baru sudah menanti.

Usai tawa teman-temannya reda, ia merasakan tepukan di pundak menyadarkannya kembali dari lamunan. “Kautahu, kau satu-satunya orang yang seperti tak mau berada di sini,” kata Yangyang. “Kau lelah? Mau gantian lagi?”

“Ya, aku lelah setelah semua kegilaan yang kita lewati. Dan aku tidak mengerti kenapa kalian mengajakku ke sini ketika aku mengatakan dengan jelas kalau tempat terakhir yang ingin kudatangi adalah pantai.” dengus Renjun, ia menatap ke luar jendela. Jalanan sepi, langit jingga—berdasarkan apa yang dikatakan Yangyang—dan berkabut tebal, Renjun bahkan tak bisa melihat jendela gedung-gedung besar itu dari kejauhan, ia yakin jarak pandangnya tak serendah itu. Semoga ia tidak menabrak apa pun. “Aku sudah kena tipu dua kali selama empat hari terakhir, Hendery kena copet, Lucas mencret, ah … kuharap tidak akan terulang lagi di tempat ini.”

“Hei, itu juga karena kau menantangku adu makan makanan pedas! Lalu soal penipuan itu, suruh siapa kau terlalu lugu!” seru Lucas dari kursi belakang.

“Sudah kubilang, jangan bicara dengan siapapun di India atau kau akan kehilangan sesuatu!”

Xiaojun tertawa kecil kemudian menepuk pundaknya, “Kau tidak akan kehilangan sesuatu di Vrindavan kali ini, percayalah.”

“Atas jaminan apa?”

“Tentu saja karena semua orang terlalu sibuk untuk perayaan Holi, mana sempat mereka menipu!” sahut Hendery. “Dan lagi, mereka tak akan selancang itu pada dewa Wisnu.”

“Aku tidak akan ikut, aku akan tidur di hotel dan menunggu kalian pulang seperti anak baik.”

“C’mon, Junjun. Ini hari terakhir kita di India! Kau tidak mau melewatkannya.”

“Aku tak yakin.” Renjun tersenyum menyeringai. “Sekembalinya ke Shanghai aku harus langsung memanggang daging-daging itu di restoran Pamanku, aku butuh tenaga banyak. Jelas tak akan kuhabiskan di sini. Ditambah lagi, aku tidak mau berada di festival itu karena pemandangannya tak akan sedap buatku.”

Yangyang tertawa tertahan, matanya terbeliak seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kau bercanda? Holi sangat menyenangkan! Kapan lagi kau bisa melihat orang-orang berseliweran sambil menyanyi, menari, menabur warna-warna dalam serbuk dan air? Seisi kota seperti hujan pelangi!”

Renjun menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Saat Renjun berbelok ke kiri memasuki jalan kecil menuju tempat penginapan, GPS-nya mengatakan bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan. Renjun menjalankan mobil melewati bangunan penginapan itu sejauh lima puluh meter agar bisa mundur di lahan parkir dan berjajar dengan mobil lain. Setelah belakang mobilnya berada di posisi yang pas, Renjun memindahkan persneling ke posisi parkir, menurunkan kaca jendela, dan mematikan mesin. Ia tak langsung turun, alih alih menarik napas panjang seraya merosot beberapa senti di tempat duduk, satu kaki tertopang di dasbor. “Kalian mungkin lupa, kalau buatku, isi festival ini akan terlihat seperti orang-orang yang saling lempar abu dan juga minyak oli.” Seisi mobil itu saling pandang, terlambat untuk menyadari sesuatu—Renjun masih belum bertemu dengan pasangan jiwanya.

*

“Kau yakin tidak mau ikut?” Hendery adalah orang terakhir yang menyembulkan kepala dari balik pintu kamar hotel setelah yang lainnya turun ke jalan dan berdiskusi dari mana petualangan mereka akan dimulai.

Renjun, masih meruyak tasnya untuk mengeluarkan sebungkus sereal, menggeleng dan tersenyum kecil. “Tidak. Aku ingin tidur dan berhentilah merasa bersalah, oke?”

“Bagaimana mungkin kami bisa tidak merasa bersalah? Euforia kami benar-benar tidak berguna.”

“Kalian hanya lupa, karena memang hidup kita sudah seperempat abad dan ya, aku masih seperti ini,” Renjun menarik napas panjang. “Aku mau-mau saja ikut, tidak peduli kalau semuanya hitam putih. Tapi sungguh, aku lumayan capek dan memang ingin istirahat saja.”

“Baiklah, hubungi kami kalau kau berubah pikiran. Kami akan menjemputmu, oke?”

Raut rasa bersalah masih kentara di wajah Hendery dan Renjun benar-benar ingin menggosoknya dengan kedua tangan hingga ekspresi itu hilang. Ia benci menjadi peletus balon-balon kebahagiaan tapi rasa lelahnya benar-benar tidak bisa ditawar, dan memang, hadir di festival Holi ketika dia bahkan tak mengenali warna apapun selain hitam dan putih terdengar seperti perbuatan yang sia-sia belaka.

Hotel pilihan Hendery untuk malam terakhir mereka di India tidak terlalu buruk. Semula ia kira mereka akan tidur dengan kasur model futon yang digelar di atas lantai tapi rupanya ini hotel untuk backpacker dengan gaya seperti asrama. Satu kamar memuat dua ranjang bertingkat ditambah satu kasur tambahan dan Renjun akan tidur di sana. Tidak ada AC—yah, memang apa yang kauharapkan dari hotel seharga 2.000 rupee—dan satu-satunya sumber kesejukan adalah kipas angin yang tertempel di dinding dan jendela yang menghadap langsung ke deret pedagang kaki lima di pinggir jalan. Renjun membongkar beberapa barang lagi dari dalam tasnya lalu memutuskan untuk mandi, berkendara selama empat jam meskipun di saat pagi tetap membuat badan berkeringat.

Renjun keluar dari kamar mandi dan membelitkan handuk di pinggang, lantas mengeringkan rambut dengan alat pengering portabel sambil berhadap-hadapan dengan cermin buram. Jika malam menjelang, mungkin tempat ini akan terlihat dua kali lebih seram. Tapi apa boleh buat, semuanya serba mepet setelah Hendery kehilangan dompetnya.

Renjun memerhatikan bintik-bintik yang mulai merambati wajahnya, bentuknya seperti sekumpulan noda-noda pensil. Ia tidak pernah melewatkan tabir surya ketika bepergian keluar, tetapi cuaca di sini memang tidak ada duanya di manapun. Sekembalinya ke Cina, ia harus menaruh perhatian ekstra pada kulitnya yang kenyang dijemur selama sepekan di India.

Saat mencoba tidur, suara letusan membuatnya terperenyak. Tak lama setelah itu, tabuhan-tabuhan mulai terdengar dari kejauhan dan klakson sahut menyahut di bawah sana. Renjun mengerang, semua ini tak semudah yang dibayangkannya. Meskipun sudah mencoba menyumbat telinga dengan earphone, gemuruh dari luar tetap terasa dan perutnya sedikit mual akan itu.

Usai kontemplasi singkat selama beberapa menit, Renjun memutuskan untuk pergi ke luar, melihat apa yang terjadi, menyegarkan pikiran, lalu kembali ke kamar dan mencoba untuk tidur (lagi). Ia menghubungi Hendery dan teman-temannya, sekadar untuk bertanya mengenai keberadaan mereka dan informasi tambahan bahwa dia yang membawa kunci hotel, namun tidak ada jawaban.

Mereka pasti sedang bersenang-senang. Langit sudah sedikit cerah dan jalanan dua kali lebih padat dari sebelumnya. Renjun melihat jongko-jongko dadakan yang menjual gulal warna-warni dalam burlap kecil, topi-topi unik (Renjun tidak tahu namanya) dan air mineral dengan harga dua kali lipat. Yeah, tentu saja, semua orang pasti haus selepas berpesta.

Segerombol orang tiba-tiba berjalan ke arahnya, menyeretnya dalam sebuah arus yang sulit untuk dilawan. Renjun merasa panik, ia mengedarkan pandang dan mencari cara untuk melarikan diri, namun tak ada satupun celah yang bisa dilewatinya. Ia terpaksa mengikuti ke mana orang-orang ini akan pergi; berjalan melalui gang-gang kecil dengan nyanyian kencang, konversasi dalam bahasa yang tak ia mengerti, dan beberapa orang yang sekonyong-konyong tersenyum lalu mengulas wajahnya dengan gulal. Jika ia bisa bercermin sekarang, pastilah wajahnya seperti tentara pada film perang alih-alih peserta festival, penuh coreng moreng noda hitam.

Usai berjalan selama beberapa menit, ia tiba di sebuah lapang luas yang rupanya merupakan bagian dari sebuah kuil besar. Orang-orang muncul dari setiap sisi pintu gerbang bagai tulah belalang. Wajah mereka dipenuhi noda-noda tetapi tampak amat bahagia sedang Renjun masih memikirkan bagaimana caranya untuk kembali, tetapi tempat ini begitu sesak bahkan untuk sekadar menggaruk leher. Kepalanya pengar dan tabuhan genderang yang kian keras sama sekali tidak membantu. Rona mukanya mungkin terlihat kontras memberengut di tengah wajah-wajah bahagia. Semoga dewa tidak tersinggung, Renjun hanya lelah dan ingin berbaring.

Debu-debu gulal beterbangan di udara, semuanya kelabu di mata Renjun. Ada yang mengguyurkan air dari balkon atas tak kunjung henti, seperti hujan di tengah matahari terik, beberapa mengenai matanya dan rasanya seperti terbakar dan Renjun tidak bisa membuka pandangannya sedikit pun. Saat Renjun hendak menggosoknya dengan punggung tangan, seseorang mencekal pergelangan tangannya. “Hey, hey, don’t rub it with your hands.” Aksen bahasa inggrisnya terdengar agak Amerika dan sedikit cadel, sama sekali tidak seperti logat bahasa inggris a la India yang kental dan khas. “Come here, come here.” laki-laki asing itu menariknya membelah kerumunan, dia terbentur badan orang beberapa kali sebelum merasakan kelegaan entah di bagian kuil sebelah mana.

“Here, use this. It’s clean.”

Renjun meraba bungkusan kecil yang diberikan kepadanya, memijitnya beberapa kali untuk memastikan. Sebungkus tisu basah, aromanya seperti parfum bayi. “T-thanks.”

Renjun membesut kedua matanya beberapa kali sampai rasa perih itu berangsur-angsur memudar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, menunggu agar pandangannya kembali fokus. Matanya masih panas dan air belum berhenti merembes keluar dari tepian matanya.

“Better?”

Dalam kekaburan, kemudian segalanya terjadi begitu saja. Saat Renjun mendongak dan menatap mata orang asing yang memberinya tisu, ia merasa ditarik dalam sebuah gelombang asing dan yang dilihatnya di kedua bola mata itu bukan hitam, putih, atau kelabu melainkan warna yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya. Apakah itu yang dinamakan coklat? Biru? hijau?

Dia dan orang asing di hadapannya melakukan sesi saling tatap dengan ekspresi tak percaya selama beberapa detik, terpinga-pinga, sebelum Renjun memburai tawa dan tangis dalam tempo bersamaan. Sebelah tangan lekas berpindah untuk membekap mulut. Renjun hampir mengumpat dalam bahasa ibunya dan sepertinya, orang itu pun bakal melakukan hal yang sama. Dunia seolah meledak, dipenuhi dengan warna-warna asing yang tak pernah ia lihat bahkan ketahui namanya. Renjun membalikkan badan, mengarahkan pandangan kembali ke keramaian dan, astaga, segalanya jauh terlihat berbeda. Air mata yang semula muncul dan berkumpul karena debu gulal kini benar-benar jatuh dan membanjir di wajahnya.

Renjun perlu beberapa menit untuk memamah segala hal yang tengah terjadi. Ia baru saja keluar hotel pagi ini, berencana untuk memeriksa situasi, sekadar menjajal dan seharusnya dia sudah kembali masuk ke kamarnya. Akan tetapi, ia malah terseret dalam arus sekelompok orang, menuju sebuah kuil besar dan tanpa diduga, hal ini terjadi. Pertemuan dengan pasangan jiwanya di tengah-tengah festival warna.

Bersamaan dengan tawa orang-orang dan tabuhan genderang yang tak kunjung berhenti, siraman-siraman air mulai mengguyur Renjun dan pasangan jiwanya dari segala sisi. Lelaki itu menarik lengannya menghalau siraman air di wajah Renjun dengan kedua tangan yang ditudungkan seperti kanopi di antara kedua alisnya.

“Umm … Hi.” kata lelaki itu. Matanya basah, mungkin dia baru menangis juga atau debu gulal sama-sama mengenai matanya.

“Hi.” balas Renjun ragu.

“Your eyes, they might hurt.”

“I-it’s okay, I can handle it.”

“We are soulmates,” katanya lagi, kali ini lebih tegas namun senyumnya merekah seperti bunga di musim semi. “My name is Jaemin. Jaemin Na.”

“Orang Korea?” tanya Renjun dalam bahasa Korea.

Sepasang mata Jaemin bersinar lebih cerah dari sebelumnya, “Ya. Kau juga?”

“Bukan, aku dari Cina. Tapi aku mengerti bahasa Korea.”

“Wah, keren sekali!”

“Ah, tidak juga. Kebetulan ada keluargaku yang berasal dari sana, jadi aku bisa sedikit-sedikit.”

“Kau terdengar seperti penutur asli menurutku.”

“Begitu kah?”

“Yeah, lancar sekali. Aku tak akan bilang begitu tanpa sebab,” kata Jaemin. “Berlibur sendiri?”

“Bersama teman-temanku, tapi kami terpisah. Kau?”

“Aku sendirian, tapi tidak sedang liburan.” Jaemin tertawa ringan. Suara tawanya memberi kesan ramah dan hangat. “Mau keluar dari sini dan … entahlah, mengobrol sedikit?”

Renjun mengerahkan usaha terbaiknya untuk menahan senyum yang, di luar keinginannya, mengambil alih wajahnya. Bahkan meskipun dirinya masih terjebak dalam pandangan hitam dan putih, Renjun tidak akan menampik kenyataan bahwa pasangan jiwanya begitu memesona. Rasa lelah yang dikeluhkannya menguap. “Jika kau tidak keberatan.”

Jaemin melepas kamera yang tadi dicangklongnya di bahu kanan untuk kemudian dipindahkan agar mengalung di lehernya. Ia mengulurkan sebelah tangan pada Renjun, menyodorkan telapak yang dipenuhi warna-warna ganjil. “Supaya tidak hilang.” kata Jaemin. Renjun menatap telapak tangan dan mata Jaemin bergantian selama beberapa detik lalu memutuskan untuk menyambutnya. Tangan Jaemin hangat dan sedikit berkeringat, tapi Renjun tidak keberatan.

Saat air dan percik gulal kembali dilemparkan ke arah mereka, Jaemin gegas menariknya, membawanya menyusuri pintu gerbang yang berangsur-angsur lengang, menelusuri gang-gang sempit, berlari di tepi trotoar, melalui bangunan dengan kanopi-kanopi warna-warni yang berkelepak-kelepak diterpa angin sepoi-sepoi. Napas Renjun memendek dan Jaemin menghentikan petualangan singkat mereka tepat di sebuah warung makan luas yang ramai.

“Sudah sarapan?” tanya Jaemin. Renjun menggeleng. “Sama, ayo sarapan bersama.”

Jaemin kembali menariknya, ia seperti tidak punya kuasa untuk menentukan arah jalannya sendiri. Lagipula, Renjun masih betah melihat-lihat pemandangan di sekitarnya. Ia tidak sabar untuk menemukan tempat duduk, entah untuk lekas membuka laman internet dan mencari tahu perihal warna-warna itu atau ingin segera berbicara sedikit lebih banyak dengan Jaemin. Renjun rasa keduanya bisa dilakukan berbarengan.

Mereka memesan paratha galli dan mencari tempat duduk paling pojok yang agak terasing. Renjun menarik ponsel dari saku celana, membuka halaman internet dan mencari daftar tentang warna-warna yang dilihatnya. Sejenak ia mendongak, memerhatikan sapuan warna di kening Jaemin, oh, pink. Kemudian pandangannya tertuju pada tapak jari yang melintang di pipi kiri pemuda itu, biru.

“Sedang lihat apa?” tanya Jaemin.

Renjun terlihat seperti rusa yang tersorot lampu. Tersadar bahwa ia tengah menelisik wajah Jaemin selama lebih dari satu menit tanpa berkata-kata. Saat ia hendak berbicara dan menatap kembali sepasang mata paling indah itu, batinnya berucap, coklat.

“Warna-warna gulal di … wajahmu.”

“Oh,” Jaemin kembali tertawa. “Sekembalinya ke penginapan akan kuhapus.”

“Apa wajahku penuh coreng moreng sepertimu?”

Jaemin memiringkan kepalanya, hanya sekilas, lalu tersenyum. “Ya, tapi tidak aneh. Bagus.”

“Mungkin karena kita belum familiar dengan warna-warna ini, jadi terlihat bagus.”

“Kurasa begitu,” Jaemin melepas kamera yang menggantung di lehernya, melepaskan bungkusan plastik yang diikatnya dengan gelang karet di corong lensa lalu meletakannya di meja. “Hei, aku belum tahu namamu, dan kurasa caraku memperkenalkan diri tadi kurang sopan.” Jaemin mengulurkan tangannya kembali, “Na Jaemin.”

Renjun menjabat tangannya, memberinya remasan sederhana. “Huang Renjun.” “I believe?” Sepasang alis Jaemin terjinjing, lalu ia melirik ke bawah, tatkala tempat di mana ponsel Renjun tergeletak dengan kunci layar yang terbuka. Renjun mendadak malu hati. Wallpaper ponselnya adalah gambar alien berkepala hijau dengan kata-kata I believe yang mengelilinginya. Renjun menyukai segala hal yang berkaitan dengan fiksi ilmiah—dan sedikit mempercayainya—tapi ia tidak mau jika Jaemin menganggapnya aneh atau norak. Tangan Renjun terjulur, menarik ponselnya kembali masuk ke dalam saku.

“Kau percaya alien?” tanya Jaemin.

Renjun menggigit bibir bawahnya sejenak, “Ya.”

“Adikku juga mempercayainya,” sahut Jaemin. “Dia suka sekali A Space Odyssey, dan kulihat, kaupun sepertinya begitu.”

Renjun mengerjapkan mata, tidak menduga kalau judul film itu akan keluar dari mulut pasangan jiwanya.

“Kau suka fiksi ilmiah juga?”

“Lumayan. Tapi kurasa tidak segila adikku.”

“Kau percaya alien?”

“Nah, kalau itu,” Jaemin memberi jeda saat pelayan mengantarkan sarapan mereka. Ia menaruh piring pertama yang diambilnya dari pinggan di hadapan Renjun, “Tidak terlalu.”

“Kenapa? Kau pasti mengiranya kekanakan.”

“Tidak, kok. Kurasa karena aku tidak terlalu memerhatikan, itu saja. Tapi aku suka membaca buku atau menonton fiksi ilmiah, hanya saja tidak aku masukkan ke dalam hati, mungkin?”

“Alien itu ada, aku percaya itu.”

“Oh, ya? Kenapa? Apa kau pernah melihatnya?”

“Tidak. Tapi, apakah kau tahu kalau jagat raya itu luas sekali. Tidak mungkin jika kita benar-benar sendiri.”

Jaemin menyobek paratha dengan sebelah tangan, melipatnya dua kali dan memasoknya ke dalam mulut. Sejenak ia memandang ke luar jendela, lalu kembali pada Renjun. “Tell me more about it.”

Sejenak, Renjun merasa takjub. Ia kira imajinasi Jaemin hanya sedalam kolam ikan cupang.

Renjun tidak tahu apa alasannya, tapi selama berbincang-bincang ia menceritakan kepada Jaemin seluruh teorinya tentang alam semesta. Ia juga menceritakan tentang pekerjaannya yang baru berakhir di awal bulan ini, pun hal-hal yang dialaminya selama berada di India. Jaemin mencondongkan badannya, mendengarkan dengan saksama dan hanya menyela sekali saat ia mengambil piring Renjun yang mulai kosong dan menumpuknya di tengah meja. Renjun bercerita tentang bagaimana ia bisa begitu terobsesi dengan fiksi ilmiah, alien-alien yang terdengar seperti omong kosong, juga tumpukan buku novel yang dibelinya dari bazar tapi tak kunjung dibaca.

Renjun tak mengerti kenapa ia tidak bisa berhenti mengoceh, segel mulutnya seakan lepas dan enggan menutup bahkan untuk mengambil napas santai. Renjun bukan tipikal yang serba tertutup tetapi membongkar semua cerita kepada orang yang baru dikenalnya selama beberapa jam tentu saja merupakan hal yang baru. Ia hampir mengoceh lebih dalam jika saja ponselnya tidak berdering dan Hendery meneriakinya di telepon.

“Bajingaaan! Kenapa baru angkat teleponmu? Kami khawatir setengah mati!” Renjun sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Teriakan sahabatnya bisa membuat kuping congek mendadak.

“Aku sedang di luar … tapi aku tidak tahu di mana—”

Jaemin menepuk punggung tangannya, “Aahileya ganj.”

“Aahileya ganj.”

“Jauh sekali! Sedang apa kau di sana?”

“Makan dan … oh! Apa kalian bisa masuk ke kamar? Aku lupa kalau kuncinya masih ada padaku.”

“Yeah, aku bawa kunci cadangan. Kau sendirian?”

Renjun melirik Jaemin sekilas, “Um … tidak.”

“Sungguh? Kau sedang bersama siapa? Kau tidak ingat apa yang Lucas bilang untuk tidak bicara dengan orang asing? Nanti kau kena tipu lagi!”

“Akan kujelaskan begitu aku kembali, oke?”

“Hubungi aku jika orang itu bergelagat aneh.”

“Oke, aku pasti bilang. Bye.”

Renjun mengakhiri panggilan kemudian menyulut tawa kecil, tanpa menunggu pertanyaan, dia memberi pernyataan pada Jaemin. “Salah satu temanku, dia khawatir.”

“Sudah kuduga begitu.”

“Kenapa kau tahu kalau aku sedang mencari nama jalan? Jangan-jangan kau mengerti bahasa Cina tetapi sengaja diam agar aku terus berbicara dengan bahasa Korea, ya?”

“Tidak. Itu tadi karena kau celingukan, jadi aku hanya menebak saja,” sahut Jaemin. “Hei, apa kau mau keluar dari sini? Kita ngobrol sambil jalan-jalan, membantu mencerna makanan.” katanya seraya menepuk nepuk perut.

Kali ini, Renjun lebih cepat mengiyakan. Ia tidak punya alasan menolak ketika berbicara dengan Jaemin sebegini menyenangkan. Aji-aji perlindungan yang diberikan Lucas dan Hendery lekas terlupakan. Sayang kali ini, Jaemin tidak menggenggam tangannya lagi. Renun berusaha untuk tidak terlalu kecewa karena toh, tindakan tadi dilakukan semata-mata agar tidak terpisah saat berjalan di keramaian. Ketika suasana mulai normal, tentu hal itu tak lagi diperlukan.

Dalam perjalanan singkat mereka, Renjun belajar bahwa Jaemin lahir pada bulan Agustus di tahun yang sama dengannya. Ia bekerja sebagai fotografer lepas sebuah tabloid gaya hidup di Korea Selatan dan juga memiliki bisnis sendiri di bidang lini pakaian. Selama setengah tahun ini Jaemin tengah mengambil jeda dari pekerjaan untuk mewujudkan mimpinya; meretas kelir dan berekspansi, mengambil gambar-gambar untuk dinikmati sendiri.

“Ini hanya program ekspedisi kecil-kecilan dan kulakukan atas perintah diriku sendiri, aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya kulakukan. Semuanya selalu tanpa rencana.”

Ia bisa pergi tanpa beban, bisnisnya ia percayakan kepada seorang teman baik dan keduanya masih tetap bisa bekerja sama kendati dalam hubungan jarak jauh. Sesekali ia pulang, sekadar istirahat dari perjalanannya dan bertemu orang-orang terkasih. Hidup Jaemin terdengar menakjubkan, berbanding terbalik dengan Renjun yang saat ini hanya memiliki pekerjaan sementara—itu pun didapat dari pamannya—dan tentunya ia tak akan bisa pergi ke mana-mana dengan uang tabungan yang secuil. Kalaupun ia tetap bertahan dengan pekerjaan lamanya, tidak akan ada yang banyak berubah. Sejatinya dulu ia memang hanya pekerja kantoran yang karirnya tidak akan menanjak ke mana-mana dan tidak benar-benar membawa identitas sebagai dirinya sendiri melainkan di bawah naungan nama perusahaan.

Sesekali mereka berhenti ketika Jaemin menemukan tempat yang menurutnya bagus untuk difoto. Terkadang pemuda itu menarik jarak panjang di antara mereka, mengarahkan kameranya pada Renjun dan ketika hal itu terjadi semburan adrenalin menyembur sistem tubuhnya. Renjun mencoba mencari kecacatan dari Jaemin, supaya kekagumannya berhenti di situ, namun tak ada yang bisa ditemukannya.

“Berapa lama lagi kau akan tinggal di Vrindavan?” tanya Jaemin. Mereka telah memutar balik arah menuju kuil saat cahaya senja nyaris hilang diserap malam. Jaemin bersikeras mengantarnya untuk kembali ke penginapan. Tawaran yang tidak bisa diabaikan mengingat Jaemin lebih mengenal setiap sisi kota ini bak garis tangannya sendiri.

“Hanya sampai hari ini, besok kami harus pulang ke Cina.”

Kedua alis Jaemin tertekuk, “Tidak bisakah kau tinggal lebih lama lagi?”

“Tidak. Aku harus pulang tepat waktu.”

“Cinderella, eh?” sahut Jaemin jahil, sepasang alisnya berjungkat-jungkit. Renjun meninju bahunya pelan sembari menelan balok-balok tawa, mereka membuat tenggorokannya kering. “Aku harus bekerja dan sepuluh hari lagi, ada perayaan.”

“Dan … perayaan apakah itu?”

“Hari ulang tahunku. Terdengar konyol, bukan? Merayakan ulang tahun di umur segini bersama keluarga.”

Renjun kira Jaemin akan balas tertawa dan menyetujui ucapannya, namun pria itu malah mengulas senyum tipis dan menembaknya dengan kamera, menekan shutter dengan cepat. “Tidak ada hal yang benar-benar konyol di dunia ini.”

Jaemin lalu bertanya tentang nomor ponsel dan alamatnya, suatu hal yang seharusnya mereka bagi dari awal dan bukan di detik-detik menuju perpisahan. Pria itu meminta Renjun menulisnya dengan fon besar-besar di halaman catatan ponsel, lalu ia memotretnya. Jaemin kemudian membagi cerita bahwa ponselnya hilang sejak dua hari lalu dan mungkin tak akan pernah ditemukan kembali, ia bahkan tak ingat persis bagaimana kejadiannya. Renjun penasaran bagaimana caranya menghubungi Jaemin tapi Jaemin bilang akan menghubunginya lebih dulu di hari ulangtahunnya.

“Apa itu artinya aku harus menunggu selama seminggu sampai kau menghubungiku kembali?” tanya Renjun.

“Renjun,” dia memotret lagi, “Kita sudah sama-sama menunggu selama dua puluh lima tahun untuk bertemu, aku yakin seminggu bukan masalah besar.”

“Kau benar.” Renjun tidak berterus terang bahwa ia tidak pernah menunggu.