Ledakan Cahaya Pada Pangkal Bulan Maret – Pt 3

Renjun memarkir sepeda motornya di bagian belakang restoran dan segera berlari menuju dapur dengan dua kantong besar daging babi yang baru dijemputnya dari tempat penjagalan. Ia meletakkan kantong-kantong itu di tengah dapur, lalu mencoba mendapatkan napasnya kembali sambil memegang belakang pinggang yang ngilu. Renjun lekas menggulung lengan kemeja dan mencuci daging-daging itu di wastafel, memberikan sekeranjang penuh pada bibinya untuk direbus dalam sebuah kuali besar.

Di saat jam makan siang seperti ini, restoran pamannya biasa dipenuhi orang-orang kantoran di sebelah selatan jalan yang tengah istirahat. Mereka akan memesan berbungkus-bungkus untuk dibawa kembali ke dalam gedung karena tak memungkinkan jika memakannya di sini lantaran sudah kepalang penuh dan waktu yang tak cukup.

“Renjun, pergilah ke depan dan catat beberapa pesanan. Biar aku yang urus dagingnya.” ujar bibinya sambil memutar tombol kompor, menaikkan api.

“Bukannya sudah ada Zhaowei di depan?”

“Dia kebelet, aku tidak mau ada pegawai yang berak di depan tamu.”

Bagi Renjun, menghadapi pelanggan adalah pekerjaan yang melelahkan, lebih banyak menguras tenaga ketimbang mengangkat kuali besar di dapur. Tidak sulit, tapi tidak mudah juga. Jika tersenyum terlalu lebar mereka akan menganggapmu sedikit memaksa, jika senyummu tipis-tipis saja bakal dituduh tidak serius, jika tidak tersenyum maka mereka akan memesan makanan lebih sedikit atau mungkin memesan menu yang aneh-aneh agar pelayan itu dibuat kerepotan.

Setumpuk kertas menu di tangan Zhaowei segera beralih ke tangan Renjun. Lelaki itu selalu sarapan dengan bubuhan bubuk cabe di hari Jumat agar ia bisa memiliki alasan untuk mundur dari tugasnya pada jam makan siang. Renjun tak akan heran kalau rekan kerjanya itu akan menghabiskan waktu selama tiga seperempat jam di toilet, entah untuk apa. Renjun tahu kalau manusia tidak akan makan waktu lama untuk buang air besar jika bukan karena sembelit. Ia tiba-tiba tersenyum sendiri, memikirkan perkara buang hajat di dalam restoran benar-benar konyol. Tapi kemudian ia teringat perkataan pasangan jiwanya: tidak ada yang benar-benar konyol di dunia ini.

Jaemin pastinya belum pernah merasakan sensasi bolak-balik mengalihkan kode bahasa pada tiap turis asing yang tak mengerti aksara cina di lembaran kertas menu. Belum lagi jika bahasa Inggris mereka pas-pasan, Renjun terpaksa menggunakan bahasa isyarat. Padahal, apa susahnya menggunakan aplikasi penerjemah di ponsel? Selain itu, Renjun pun tidak mengerti kenapa pamannya bersikeras untuk tetap memajang menu dalam huruf cina padahal pengunjung restorannya berasal dari mana-mana. Minimalnya tambah pinyin kek, supaya dia tidak terlalu pusing mengoreksi pengucapan para turis itu.

Tapi, untuk apa juga Jaemin merasakan sensasi macam ini? Dia bisa merasakan sensasi yang lebih hebat dengan berkeliling dunia bukannya menghidu asap lemak dari daging babi.

Minggu lalu adalah hari ulang tahunnya, restoran ditutup lebih awal dan sebuah kue besar dengan lilin angka dua dan lima telah ditaruh di sebuah meja yang ada di tengah ruangan. Ayah dan Ibunya sudah berangkat pagi-pagi sekali dari Jilin dan membawa beberapa masakan rumah untuk disimpan Renjun di lemari pendingin pribadi kamarnya, sedang sisa masakan di restoran segera dihidangkan kembali dan Renjun tidak dibiarkan membantu sedikit pun. Keluarganya percaya jika si empunya pesta ikut campur maka tahun-tahun berikutnya dalam kehidupan mereka akan dirundung kesialan. Semacam kutukan dari dewa atau entahlah, Renjun yakin betul keluarganya bukan tipikal yang terlalu religius akan tetapi fanatik terhadap beberapa pepatah kolot.

Renjun tidaklah spesial, dia hanya satu dari sekian anak yang memboyong marga Huang. Segala hal yang dimilikinya selalu berada dalam kategori rata-rata; tinggi badan, caranya bersosialisasi, kemampuan olah tubuh, bahkan nilai ujiannya semasa sekolah. Dia tidak pernah mendapat tempat di peringkat tiga besar, tapi tidak pernah keluar dari sepuluh peringkat teratas. Dibilang membanggakan tidak, kalau dibilang memalukan juga tidak. Seluruh keluarganya memang selalu seperti ini ketika mengadakan pesta ulang tahun. Tanpa kejutan, ledakan petasan, ataupun badut. Barangkali karena tinggal berjauhan, mereka memanfaatkan momen apapun sebagai alasan untuk berkumpul.

Renjun biasanya tidak terlalu menantikan hari itu. Tentu saja sampai Jaemin datang dan meledakkan dunianya dua minggu lalu—dia masih suka diksi itu. Tapi hingga detik ini, tak ada satupun pesan atau panggilan masuk ke ponselnya. Renjun khawatir jika ia salah menuliskan nomor telepon saat Jaemin memotretnya kemarin. Semoga saja begitu. Setidaknya itu lebih baik ketimbang menduga-duga bahwa Jaemin melupakan janjinya.

*

Renjun baru saja menghabiskan sebutir apel dan semangkuk nasi yang ditabur sukyung sebelum akhirnya duduk-duduk di balkon, menyemprot tanaman yang daun-daunnya menguning terkena hama. Di bawah sana, jalanan lengang dan bau tanah basah menguar. Hujan turun lagi, kali ini tidak terlalu rapat dan tanpa kabut tapi cukup untuk membuat Renjun sudi menggunakan selapis jaket.

“Hei, bro.

Renjun menoleh, dari balkon kamar sebelah, Hendery tengah mengenakan piyama sambil menyesap kopi.

“Tumben kau sudah pulang jam segini?” tanya Renjun.

Selama setahun bertetangga, ini adalah jam pulang Hendery yang paling pagi. Terlebih dalam tiga bulan terakhir, jam pulang Hendery pulang kantor molor sampai jam sembilan bahkan setengah sebelas malam. Kota jadi semakin macet setelah ada sebuah mal baru yang dibuka. Hendery tampaknya lebih pilih menghabiskan waktu di luar sampai kepadatan di jalan raya mereda. Atau mungkin juga dia memiliki teman kencan yang baru. Renjun tidak tahu dan dia pun tidak pernah menuntut sahabatnya untuk bercerita.

“Aku pulang lebih awal karena mengurus kartu kreditku yang tempo hari hilang,” jelasnya. “Oh! Hampir aku lupa! Apa pintumu dikunci?”

“Tidak, masuk saja.”

Selang beberapa menit kemudian, ia mendengar Hendery membuka pintu dan berjalan masuk masih bersama cangkir kopi, tapi ada sebuah kotak bersampul coklat seukuran dus sepatu diapit ketiaknya. “Ada paket untukmu! Dari luar negeri!” ia mengucapkan kata luar negeri dengan begitu bersemangat, seperti memenangi undian.

“Kau yakin itu untukku?” tanya Renjun dengan alis bertaut. Satu-satunya orang yang dikenalnya dan kini tinggal di luar negeri adalah Mark, senior yang sempat ditaksirnya semasa SMA. Laki-laki itu tidak mungkin mengirim paket seperti ini tanpa bilang-bilang.

“Lihat, lihat, ini namamu kan?”

Renjun mengambil paket itu dari tangan Hendery, menaruhnya di tengah-tengah meja makan. Ada namanya, tertulis dalam romaji. Ia melirik bagian pengirim, tidak ditemukan apapun. Sebuah paket rahasia? Tapi dari siapa?

“Oh, sepertinya ini dari … Irak?”

Irak? Wah, jauh sekali. Nama negara itu benar-benar asing dalam kepala Renjun. Mark tinggal di Kanada, seingatnya ia tidak pro Saddam Hussain bahkan mungkin tidak mengenalnya.

Renjun menyobek pinggiran kertas pembungkus lalu terhenti saat Hendery mencekal punggung tangannya.

“Kau yakin mau membukanya?” Hendery menatapnya dengan horor.

“Memangnya kenapa?”

“Kaulihat, ini paket dari Irak! Bisa saja ada virus mematikan atau bom waktu di dalamnya, kita bahkan tak tahu siapa pengirimnya!”

“Kau benar. Sebaiknya aku tidak membukanya. Kau saja yang buka.” canda Renjun.

“Enak saja!”

“Aku ini bukan siapa-siapa, kau tidak perlu khawatir.” Renjun tertawa kecil. Paket itu benar-benar dibungkus pakai dus sepatu merek olabelz, Renjun tidak pernah mendengarnya.

Saat tutup kotak itu diangkat, Hendery mengambil langkah mundur sementara Renjun terpaku pada selembar foto yang dibungkus plastik. Renjun mengambilnya, memerhatikan gambar itu dengan saksama kemudian membaliknya, menampakkan beberapa deret tulisan tangan dalam bahasa korea yang sedikit acak-adut berukuran kecil, sengaja agar muat di satu halaman.

17 Maret, Sulaymaniyah, Irak

Ni hao,

Selamat ulang tahun! Kuharap barang ini sampai ke tanganmu tepat pada tanggal 23 Maret. Aku diberi tahu petugas pos kalau aku pakai paket kilat, mereka akan mengirimkannya kurang dari seminggu.Terdengar mustahil tapi aku percaya saja, haha.

Aku sedang berada di Iraq, kebetulan melewati jalan kecil yang menurutku menarik sekali. Karena waktu itu kau bercerita bahwa kau adalah seorang editor, kupikir kau akan menyukainya. Editor suka buku, bukan? Aku membeli satu, yang menurutku lumayan menarik. Kuberikan untukmu.

Lalu, aku membeli beberapa camilan. Menilik bagaimana caramu melahap enam butir gulab jamun membuatku menarik simpulan bahwa kau suka makanan manis. Maaf jika aku keliru, tolong ceritakan lebih banyak tentangmu jika kita bertemu kembali. By the way, dunia benar-benar indah ketika kau bisa melihat segala jenis warna. Hari-hariku selalu menyenangkan, aku selalu tak sabar untuk bangun! Kuharap harimu juga menyenangkan, Renjun.

Salam,

Na Jaemin

Ada beberapa bungkus camilan di dalam kotak itu, sebuah buku dengan jilid yang menguning dan lembaran-lembarannya agak kusut. Renjun membuka halaman pertama, terdapat tulisan tangan dalam aksara arab yang tak ia mengerti tetapi buku itu sendiri ditulis dalam bahasa Inggris. Twenty Thousand Leagues Under the Sea. Diterbitkan tahun 1870. Kakeknya bahkan belum lahir saat itu.

“Dari siapa?” tanya Hendery, dia sudah kembali berdiri di sisi Renjun.

Renjun menarik napas panjang, mengembuskannya lega. “Pasangan jiwaku.”

“Oooh! Laki-laki Korea yang waktu itu bertemu denganmu di India? Apa yang dikirimnya?”

“Makanan, buku lama, dan selembar foto ini.” Renjun mengacungkan foto itu di hadapan Hendery kemudian lekas menariknya kembali, tersadar bahwa isi surat Jaemin bukan untuk dibaca orang lain.

“Apa katanya?”

Renjun menepis kepala Hendery dengan sebungkus manisan. “Tidak perlu tahu.”

“Tapi kau tersenyum seperti gadis SMA barusan! Karena itu aku penasaran.”

Renjun mengernyit lalu tertawa, “Kau mengada-ada,”

“Aku serius,” Hendery menarik kursi untuk duduk, cangkir kopi yang diletakkannya membentur lapik. “Kau harus membalas suratnya.”

“Kurasa tidak perlu. Selain karena dia tidak memberikan alamatnya padaku, dia juga nomaden. Hari ini dia di Irak, besok mungkin sudah ke Afghanistan atau mungkin Kroasia. Buang-buang ongkos kirim saja. Lagipula, kurasa ini suratnya yang pertama dan terakhir.”

“Kenapa begitu?”

“Apa alasannya untuk mengirim surat kembali jika sebelumnya ia tak menerima balasan bahkan sepertinya tak mau dibalas?” Renjun menelan kelu di ujung lidah. “Padahal dia lumayan menarik, sayang sekali.”

Hendery tersenyum lalu menyeringai, “Ooh, jadi kau memang tertarik padanya!”

“Hei, kenyataannya dia memang menarik! Mungkin ini gara-gara efek pasangan jiwa itu!”

“Omong kosong, efek macam begitu hanya mitos.” pungkas Hendery.

“Apa dia setampan Martin?”

“Mark,” Renjun mengoreksi. “Menurutku Jaemin lebih tampan, sedikit.”

“Wow, ini langka sekali.” Sepasang mata Hendery masih menunjukkan binar ketertarikan yang tak kunjung surut. “Baru kali ini aku mendengar kau menyematkan kata menarik pada seseorang.”

“Ayolah, aku tidak sejahat itu.”

“Tidak jahat, tapi pemilih.”

“Memilih itu keharusan, mana bisa kau menentukan segalanya secara asal.”

“Hmm iya deh, aku tidak mau berdebat.” Hendery menjulurkan lidah. “Soal lamaran kerjamu bagaimana? Sudah ada yang nyangkut?”

Renjun mengedik, “Belum. Sepertinya rumah penerbit khusus literatur tidak mau mempekerjakan orang yang pernah bekerja di lini majalah gosip.”

“Aneh,” ujar Hendery. Renjun menjengitkan alis. “Padahal kan itu referensi yang bagus, mereka bisa menugaskanmu untuk mengedit novel tentang wartawan gosip, selebriti, atau apapun lah?”

“Kalau cara kerjanya seperti itu, aku bisa bosan. Mengedit hal yang itu itu saja.”

“Dalam urusan pekerjaan sebaiknya kau jangan terlalu pemilih. Masalah perut kan tidak bisa ikut selera.”

Renjun mengunyah pendapat Hendery pelan-pelan. Sangat pelan hingga ia masih memikirkannya saat membasuh wajah dan mematikan lampu, bersiap untuk tidur karena restoran akan buka lebih lama esok hari. Urusan pekerjaan, keuangan, dan romansa memang selalu menjadi perkara yang paling mengganggu ketika kau berada di usia seperempat abad katanya. Quarter-life crisis atau apa lah istilahnya.

Renjun tidak yakin apakah melanjutkan karir sebagai penyelia merupakan pilihan yang tepat. Bekerja di tabloid gosip sudah jelas sebuah siksaan baginya yang tidak pernah mau ambil pusing tentang masalah orang lain. Ia suka membaca, tetapi menjadikannya sebagai pekerjaan membuat rasa cintanya menghilang. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan melahap setiap kata-kata yang dibacanya dari sebuah buku, dia membaca, tapi tidak benar-benar memahami, tidak benar-benar ingin. Mungkin apa yang sebenarnya ingin dikatakan lelaki yang memecatnya pada saat itu bukanlah kau terlalu bagus tetapi kau tidak pantas.

Pekerjaan barunya menyenangkan kok. Memasak selalu menjadi hobinya dan hong shao rou buatannya mendapat pujian dari banyak pelanggan. Gaji yang diberikan paman dan bibinya pun tidak sedikit, secara jumlah mungkin lebih kecil dari gaji yang ia terima dari pekerjaan sebelumnya, tetapi beban kerja yang ia miliki tak seberat itu. Masih cukup untuk bayar sewa apartemen, tagihan listrik, kebutuhan sehari-hari, dan sedikit-sedikit bisa disisihkan untuk tabungan. Akan tetapi, Renjun takut kalau suatu saat, paman dan bibinya pun akan menganggapnya tidak pantas.

Renjun mengambil foto yang dikirim Jaemin, membaca tulisannya sekali lagi. Perpustakaan yang diperlihatkan Jaemin lewat bidikan kameranya itu penuh dengan rak buku laiknya gang-gang sempit yang sesungguhnya adalah dunia-dunia baru yang luas. Bibirnya tersengih miring, foto ini kejutan, yang hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Untuk urusan ini, Renjun pun tidak yakin apakah dia bisa kembali bertemu dengan Jaemin. Ia tidak ingin menunggu.