Ledakan Cahaya pada Pangkal Bulan Maret – Pt.4

Kiriman ke-dua dari Jaemin telah datang, tepat sebulan sejak dus sepatu bekas itu mampir di kotak surat Hendery. Selembar kartu berimbuh potret hasil jepretannya sendiri dengan bubuhan tanggal dan sekelumit pesan.

18 April, Prizren, Kosovo

Përshëndetje!

Saat kau menerima kartu ini, mungkin aku sudah berangkat ke Sarajevo naik pesawat (baru dapat hasil berburu diskon awal tahun ini). Saat menulis ini, aku sedang haus dan mampir ke kedai jus terdekat, papan namanya lucu, kaulihat sendiri. Warnanya kuning.

Aku beli rasa mangga, segar sekali. Apa jus favoritmu?

Semoga harimu menyegarkan juga, Renjun. Sampai bertemu lagi.

Salam,

Na Jaemin

Renjun membaca kartu itu sembari merapikan isi lemari es. Mengeluarkan makanan yang sudah lewat masa kedaluwarsanya dan menggantinya dengan yang baru.

Lagi-lagi Jaemin tidak meninggalkan kontak; nomor telepon atau minimalnya alamat surel. Renjun tidak tahu kenapa Jaemin harus mengirim foto itu lewat pos, padahal dia bisa menelepon ketimbang membuang uang untuk perangko. Toh, panggilan lintas negara tak lagi memerlukan sambungan telepon yang mahal. Dia bisa menghubunginya pakai whatsapp atau skype, jika perlu, Renjun akan menerobos blokade menggunakan VPN. Dengan begitu mereka bisa terus bicara, Jaemin bisa memamerkan foto sebanyak apapun yang ia mau dan Renjun bisa menanggapi balik alih-alih mengandalkan pengiriman kartu pos yang seperti siput ngantuk.

Renjun mengambil sebuah magnet berbentuk saturnus, menempel kartu pos itu di pintu kulkas dan menuang jus stroberi ke gelas kaca—mengurungkan niat menyeduh teh.

*

1 Mei, Mostar, Bosnia

Zdravo!

Sebenarnya aku hanya singgah di sini untuk transit, tetapi ingin lekas menulis sesuatu untukmu. Aku baru sadar kalau aku bodoh sekali. Aku sampai lupa menanyakan ini di hari pertama kita bertemu: Renjun, apa warna favoritmu?

P.S. foto ini diambil pada tanggal 23 April, di hari ulang tahun sahabatku, tapi percayalah aku memang sengaja memotret ini untukmu.

Salam,

Na Jaemin

“Bagaimana reaksimu saat melihat warna pertama kalinya?” Renjun bertanya pada Hendery yang tengah mencoba menyambungkan kembali gagang sapu yang patah menggunakan lem putih sementara ia duduk di ranjang, memindahkan saluran televisi dengan asal.

“Kau tahu betul seperti apa.”

“Haha yeah, kau menyuruhku untuk mencubitmu berulang kali. Tapi Xiaojun malah menempeleng kepalamu.”

“Fantastik. Itu saja yang bisa kukatakan.”

“Warna apa yang pertama menarik perhatianmu?”

“Merah muda.”

“Kenapa?”

“Apa kau perlu alasan ketika menyukai sesuatu?”

Renjun mengangkat pundak, “Dalam beberapa hal, iya. Tapi kau benar, urusan warna favorit tidak perlu alasan. Kau melihatnya, kau suka. Sederhana sekali.”

“Bagaimana denganmu? Warna apa yang menarik perhatianmu untuk pertama kali?”

“Aku belum tahu … semuanya menarik. Mungkin harus tunggu sampai bosan dulu.” Renjun memandang ke luar jendela, mendapati matanya terarah ke barat. “Oh, iya. Tanggal berapa sekarang?”

“Tujuh belas.”

“Gila, kartu posnya makan waktu lebih dari dua minggu.”

“Itu masih mending,” dengus Hendery. Tangkai sapu yang dia lumuri dengan lem tampak begitu menyedihkan. “Lumayan cepat malah.”

“Tapi kan, ini hanya selembar kartu.”

“Justru karena hanya selembar kartu, duh. Bisa saja hilang entah ke mana karena hanya selembar.”

“Konyol sekali, dia sudah dua kali mengajukan pertanyaan di kartu-kartu ini, tapi dia tidak memberiku jalan untuk membalas.”

“Menurutmu dia sengaja?”

“Tentu saja, aku tidak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya.”

“Apa kartu-kartu itu mengganggumu?” pada poin ini, Hendery sudah membanting sapunya ke muka pintu, menjadikannya belah dari dua menjadi tiga bagian.

Renjun terkikik geli, “Sejauh ini, tidak. Aku bahkan tidak menantikannya. Tapi aku memang tidak mengerti, untuk apa dia melakukan ini.”

“Dia kaya?”

“Sepertinya begitu. Dia punya usaha sendiri, bukan pegawai. Dia bisa berkeliling dunia. Tiket pesawat itu kan tidak murah.”

“Aaah, kudengar dari kolegaku, orang kaya memang biasa punya hobi yang aneh-aneh.”

“Seperti apa?”

Hendery naik ke atas ranjang, berbaring di sisi Renjun dan menatap layar televisi di kamarnya dengan bosan. Tayangan masak lagi.

“Menonton video kucing kawin misalnya.”

Wajah Renjun mengerut sesaat lalu menyengih, “Kau serius?”

“Kolegaku itu yang bilang.”

“Kurasa Jaemin tidak punya waktu nonton video kucing kawin dan dia sepertinya bukan orang kucing.”

“Well, siapa yang tahu? Mungkin saat di dalam pesawat, dia melakukannya juga.”

Gross. Jangan memberi tuduhan-tuduhan bodoh padanya.” Renjun memendar tawa. “Mungkin dia hanya kesepian dan butuh bercerita.”

Kali ini giliran Hendery yang tertawa meremehkan, “Lewat kartu pos yang tak mau dibalas? Yang benar saja. Pasangan jiwamu itu aneh, akuilah. Sebenarnya tidak heran karena kau juga aneh. Oh, aneh di sini tidak bermaksud buruk, tahu sendiri lah maksudku apa.”

“Bagaimana hubunganmu dengan pasangan jiwamu?”

“Kami baik-baik saja, sebenarnya … kami kembali berkencan seminggu yang lalu.”

Renjun menatapnya tak percaya lalu mengeluarkan tawa tertahan, “Si bajingan satu ini, waktu itu kau bilang padaku ketertarikan pada pasangan jiwa itu cuma mitos!”

“Aku … ah kurasa aku tidak berada di posisi yang tepat untuk menyangkal itu sekarang,” Hendery melanjutkan, “Tapi aku tidak bisa memercayai sepenuhnya juga. Aku menyukai gadis itu sebagai pribadinya sendiri, bahkan, kalaupun dia bukan pasangan jiwaku, aku akan tetap menyukainya. Tapi aku harus jujur, embel-embel pasangan jiwa ini memang membantu. Minimalnya membantu dia yakin kalau aku pria yang pantas.”

*

6 Mei, Makarska, Kroasia

Zdravo

Aku ingin berselancar, tapi ombak di sini sangat tenang. Bahkan kurasa perahu kertas tidak akan rusak jika dibiarkan berlayar sendiri. Sepertinya aku salah alamat. Apa kau tahu caranya melipat perahu kertas, Renjun? Ajari aku, mungkin suatu saat aku memerlukannya untuk mengusir kekecewaan seperti hari ini.

Sampai kita bertemu lagi,

Na Jaemin

Da ge! Bisa ke sini sebentar?”

Renjun menyelipkan kartu pos Jaemin di saku belakang, lekas menghampiri Chenle—calon karyawan baru yang sedang dalam masa pelatihan selama seminggu terakhir—di depan tempat penggorengan. Minyak bersibaran ke dinding dapur, sedikit lebih banyak dari biasanya dan anak itu terlihat berdiri di pojok ruangan, tubuhnya terlihat lebih kecil karena terbungkuk-bungkuk.

Da ge, babinya mengamuk!”

Renjun memutar bola mata, “Kalau begitu, jinakkan.” Renjun mengangkat jaring penggorengan, minyak memancit kulit tangannya seperti sengatan tawon tapi lekas mereda karena telah terbiasa. “Berapa kali kubilang, apinya jangan terlalu besar, minyaknya jangan terlalu panas, seka air pada daging sampai kering sebelum kau memasukkannya.”

“Aku lupa soal temperaturnya …”

“Tidak apa-apa, lain kali hati-hati.” Renjun menatap onggokan daging babi di penggorengan, masih bisa dijadikan bahan untuk sup. Syukurlah. “Itu kenapa ponimu mencuat dari topi?”

“Apa harus kumasukkan ke dalam topi?”

“Kaupikir apa fungsi topi itu, Chenle?” Renjun tertawa gemas. Antara ingin marah dan juga menganggapnya manis.

“Identitas kalau aku adalah staf dapur?”

“Supaya rambutmu tidak ke mana-mana, anak pintar.” Renjun memastikan Chenle menyadari satir dalam ucapannya.

“Tapi aku akan terlihat jelek.”

“Kau hanya bekerja dengan panci-panci itu, tidak akan ada yang menghinamu.”

“Justru karena aku bekerja dengan panci, aku bisa berkaca.”

“Kau terlihat tampan, percaya padaku.” Renjun menyingkirkan bongkahan daging besar dari penggorengan, menaruhnya di sebuah alas kayu besar dan mengambil sebilah pisau rajang dari laci. “Ambil daging baru, gorenglah lagi. Aku akan mengawasimu kali ini.”

“Lalu siapa yang bertugas di depan?”

“Pamanku dan Xiaoping. Originalnya, aku ini staf dapur. Lihat topiku?”

“Kaubilang topi itu untuk melindungi agar rambut tidak jatuh ke mana-mana.”

“Dan sebagai identitas staf dapur, seperti yang kaubilang.”

“Berhenti menggodaku,” sergah Chenle. “Segini cukup?”

Renjun mengamati nyala api di bawah penggorengan. “Kecilkan lagi.”

“Segini?”

“Ya, cukup.” Renjun menyobek kulit daging yang gosong, membuangnya ke sebuah keranjang kecil. Dengan telaten ia memotong daging besar itu menjadi bentuk yang lebih kecil—kira-kira sebesar ibu jari—dengan cepat. “Hei, Lele. Apa kau tahu cara melipat perahu kertas?”

“Aku bahkan bisa melipat bintang, melipat perahu itu kecil.

Renjun menarik lengkung tipis di bibir, “Ajari aku kalau begitu.”

*

18 Mei, Venesia, Italia

Ciao!

Aku akan singgah agak lama di Venesia sekalian mengunjungi teman lama. Tempat ini mungkin terdengar sangat umum, ya? Tapi aku suka warna biru airnya, haha. Mengingatkanku pada coretan di dahimu sewaktu holi. Aku sedang dipaksa makan semifreddo, nih. Enak sekali. Renjun, apa restoran tempatmu bekerja juga menjual panganan manis? Aku ingin mencobanya suatu hari.

Sampai berjumpa kembali,

Na Jaemin

Renjun tidak langsung pulang dari restoran meskipun papan bertuliskan tutup itu telah dibalik di jendela. Ia membawa serta laptopnya ke tempat kerja hari ini, pamannya minta untuk dibuatkan tampilan menu baru seperti milik restoran kebanyakan; ada gambar, deskripsi, dan berlembar-lembar. Kini mereka duduk di sebuah meja kosong, mengudap makanan sisa dan menyulut sigaret.

“Teman lamaku datang berkunjung tempo hari, kau ingat? Pria gemuk yang tangannya buntat-buntat itu? Yang menyisir rambutnya ke samping padahal tinggal secuir? Masa, dia menyengih saat melihat kertas-kertas menu itu. Katanya, restoran kita terlalu kuno dan yang seperti itu hanya buang-buang pulpen saja karena kita harus menyediakan untuk setiap meja. Kukatakan padanya, buang-buang pulpen apa? Toh mereka cuma menconteng. Nah, bayangkan, katanya, kalau pulpen-pulpen itu dicuri oleh setiap tamu yang datang—mahasiswa kere sudah jelas jadi tersangka utama—maka berapa banyak kerugian yang mesti kita tanggung?

Awalnya, aku tidak memedulikan perkataan bodohnya itu. Dia itu terlalu sering berprasangka buruk pada orang, makanya bibirnya selalu melengkung ke bawah, menukik seperti pesawat kertas butut. Tapi beberapa hari kemudian, aku pergi makan di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng itu, kulihat mereka memajang menu di papan lampu LED di atas meja kasir. Aku ingin yang seperti itu, tapi menu kita tidak akan muat di sana. Kita kan tidak seperti mereka yang cuma modal jual ayam goreng tepung saja, daftar makanan kita lebih kaya dari itu. Lalu, aku dan bibimu pergi makan malam di sebuah restoran yang dari tampilannya sih biasa-biasa saja. Tapi Junjun, mereka memberikan menu dengan sampul yang dilaminasi, tiap halamannya pun dilaminasi tapi kertasnya lebih tipis. Kami jadi terbayang mau makan apa. Si pelayan memberi kami sebuah kertas untuk ditulis, ketika kami selesai menulis pesanan, dia datang dan menagih menu, kertas tadi, dan juga pulpennya. Aku membayangkan membuat yang seperti itu untuk restoran kita, lalu tahu tidak bibimu bilang apa? Dia bilang itu brilian. Bayangkan, bibimu yang biasanya cuma mengomel tentang lipatan perutku akhirnya memujiku.”

“Jadi pada akhirnya kau membenarkan ucapan temanmu?” sahut Renjun sambil membuka laman baidu, mengetik referensi tampilan menu di kolom pencarian dan menekan tombol enter.

“Harus kuakui, ya memang dia benar.”

“Tapi kau tetap keluar modal pulpen tuh.”

“Tapi kan, mengurangi risiko pulpennya dicuri kalau bisa ditagih begitu.”

“Pakai menu yang sekarang juga bisa, kau tagih kembali pulpennya begitu mereka selesai menconteng.”

Wǒde mā ya… kenapa tidak terpkir olehku?”

Renjun terkekeh, “Tapi tidak apa-apa, buku menu itu bagus, jadi lebih menarik. Lagipula, bibi sudah setuju.”

“Memang menguntungkan sekali ada anak muda di restoranku. Wah, lihat, lihat yang ini.” pamannya menunjuk sebuah gambar di layar.

“Semua pegawaimu masih muda, justru aku yang paling tua di sini.”

“Ei, justru karena mereka terlalu muda. Mereka tidak sepandai kau.”

“Kau terlalu memujiku, paman.”

“Apa salahnya memuji keponakan sendiri?” Pamannya tertawa, gelambir di bawah dagunya berguncang senang. “Kau berbakat di bidang ini.”

“Bidang apa? Membuat menu?”

“Mengelola restoran lah.”

“Ah, aku hanya bekerja sebagaimana mestinya.”

“Apa menu ini bisa dicetak besok?”

“Tentu tidak,” Renjun mengulum senyum. “Kita harus memotret semua makanan di sini, minimal satu induk untuk yang memiliki varian. Kau mau menunya bergambar, kan?”

“Kau bisa memotret?”

Renjun mendadak teringat Jaemin. Ia menggeleng pelan. “Tidak terlalu bagus.”

“Kalau digambar, bagaimana?”

“Siapa yang akan menggambarnya?”

“Kau lah.”

Asap kretek menyentak rongga hidungnya, Renjun terbatuk.

“Aiyah, kalau tidak bisa merokok, jangan lakukan. Kakekku di alam baka pasti sedih melihat buyutnya begini payah.”

“Kau mengagetkanku.”

“Dengan apa? Dari tadi aku hanya duduk di sini.”

“Dengan menyuruhku menggambar.”

“Eh, gambarmu itu bagus, tahu tidak?”

“Tanganku bisa keriting kalau harus menggambar sebanyak itu,” Renjun tertawa. Jumlah makanannya puluhan dan tema kuliner jelas bukan keahliannya. “Besok aku suruh Chenle yang mengambil gambar, anak itu lebih paham urusan beginian ketimbang aku.”

Renjun menyimpan gambar-gambar pilihan pamannya pada sebuah folder baru yang tak ia ganti namanya, sengaja supaya mudah ditemukan. Setelah menunya selesai nanti, baru folder itu akan dihapusnya. “Paman, apa kita tidak menjual panganan manis?”

“Kita ini restoran daging, buat apa jual panganan manis?”

“Yah, siapa tahu ada yang mau cuci mulut dengan hongdoutang?”

“Kau mengada-ada saja!”

*

28 Mei, Venesia, Italia

Ciao!

Aku masih di sini, tapi besok tidak. Sesuatu terjadi di Seoul, aku harus menghentikan ekspedisi ini sementara.

See you later,

Na Jaemin

Renjun memberengut. Tidak ada pertanyaan dan masih tidak ada jalan untuk membalas pesannya. Sekarang bulan Juni, tanggal 20. Musim panas sudah dimulai, tidak ada lagi mekar bunga anggrek di balkon apartemen. Kartu posnya datang terlambat, tidak akurat.

*

“Junjun!” Pamannya berseru di meja kasir, Renjun masih menuang kuah sup tahu putih ke mangkuk kecil, berlomba dengan pengunjung yang semakin riuh. “Junjun!” suara itu kembali terdengar, Renjun terpaksa menyuruh Chenle mengambil alih tugasnya sebentar.

“Kenapa teriak-teria—”

“Renjun!”

Tenaga Renjun terkuras, berlepasan ke udara hanya karena sebuah wajah.