—mengotori beranda ; jeong jaehyun / dong sicheng

Setiap kisah cinta yang klise, salah satunya, dimulai dengan sebuah kafe. Pemicunya bisa datang dari mana saja; pengunjung reguler yang selalu datang di akhir pekan dan memesan minuman yang sama, rekan kerja yang sering membentak tapi diam-diam penuh kasih sayang, atau bos yang kepalang memesona dan menjadi alasan dasar kenapa kau melamar kerja ke tempat ini meskipun jaraknya belasan kilometer dari rumahmu. Jaehyun berada di nomor tiga. Sayangnya, kisah cinta klise milik Jaehyun tak bisa dipastikan untuk berakhir dengan bahagia.

Tak peduli kalau dia memiliki puluhan ribu pengikut di instagram, masuk rubrik majalah street fashion sebagai pegawai kafe paling tampan se-ibukota, atau lulus sebagai mahasiswa terbaik—yang pada akhirnya, tak berguna karena ia tak kunjung mendapat panggilan kerja yang bagus. Ditambah lagi seruan dari sahabatnya, Johnny, perihal aturan bahwa mengencani rekan kerja adalah tindakan H satu N empat alias hina. Tapi Sicheng adalah bosnya, bukan rekan kerja. Jadi agak sedikit beda, mungkin? Di samping masalah itu, batu karang paling besar yang perlu dilalui Jaehyun adalah fakta bahwa Sicheng memiliki tingkat kebebalan di atas rata-rata menyangkut urusan romansa. Kata Doyoung—rekan kerjanya yang sering membentak itu—Jaehyun tidak punya harapan. Doyoung pernah melihat Sicheng gila karena dana investasinya terancam gagal cair, tapi tidak pernah melihatnya gila lantaran seseorang dalam tanda kutip.

“Menyerah saja, resign dari kafe, dan berternak ayam potong bersama Taeyong. Sudah saatnya panjat sosial karena usaha orang itu sedang bagus-bagusnya. Mungkin dengan cara itu, Sicheng bisa melirikmu.”

Omzet kafe bisa anjlok kalau pelanggan tahu dia naksir seseorang, dan bukannya tidak mungkin ada barisan orang-orang patah hati berdemo di pelataran kafe. Ew, Doyoung tidak mau melihatnya. Memungut tisu-tisu bekas dengan bubuhan nomor telepon dari tiap pelanggan saja sudah cukup menjengkelkan.

Lain dengan Doyoung, Kun, rekan kerjanya yang lain yang jauh lebih manusiawi memberi dukungan kendati setengah hati. “Tetesan air bisa menghancurkan batu. Masalahmu juga sama. Jika terus dicoba, pasti bisa. Tapi kau bakal dipecat kalau dia merasa terganggu.” Jaehyun sedikit meringis mendengar kata pemecatan, sebab ia tidak mau menjalani hari-harinya tanpa bertemu Sicheng. Dipendam selama apapun ia sanggup, asal bisa melihatnya setiap hari, Jaehyun rasa sudah cukup.

“Mana cukup?” Doyoung memutar bola mata, memasukkan stok gula kastor terakhir ke dalam kabinet.

“Memang harus pesan lagi, kalau mendadak habis, kita juga yang repot. Membuat pelanggan kecewa itu bukan ide yang bagus.”

Jaehyun mengintip dari balik meja kasir, Doyoung tengah berdiskusi dengan Sicheng mengenai stok barang. Demi Tuhan, hari ini pun Sicheng begitu memesona. Ia mengenakan kacamata bulat berbingkai perak, rambut coklatnya disisir belah tengah dan sedikit acak-acakan, kaos turtle neck hitam yang membungkus leher, dan tungkainya yang ramping diayom celana katun krem yang tak sampai menutup mata kakinya. Itu baju biasa-biasa saja, tapi karena Sicheng yang memakainya, jadi tidak biasa. Semua orang di dunia adalah ubi jalar di mata Jaehyun, kecuali Dong Sicheng!

“Pagi, Jaehyun-ah.” Sicheng menyapanya, mengulas senyum yang membuat tenggorokan Jaehyun mendadak kering. Kepalanya sedikit pusing, padahal ia baru saja menegak kopi hitam pekat beberapa menit lalu.

“Pagi, bos.” Jaehyun turut tersenyum, lekuk kecil di kedua pipinya begitu memesona. “Apa Anda mau secangkir kopi?”

Sicheng mengibaskan sebelah tangannya, “Sudah kubilang jangan formal begitu ah, kita kan seumur. Panggil nama saja, tidak apa-apa.”

“Mana bisa begitu, bos? Saya tidak mau dipecat karena kurang ajar, anjing saya masih butuh makan.” Ia tertawa rendah, lantas mengeluarkan sebuah poci beling kecil dari kabinet beserta sebuah cangkir. Jaehyun bohong, sebenarnya dia tidak punya anjing. Dia melakukannya karena tahu kalau Sicheng suka anjing.

“Wah, coba kalau pegawaiku yang lain juga sopan sepertimu ya.”

“Sicheng, aku dengar lho!” Seru Kun di ujung pintu, ia baru saja membalik tanda open di jendela kafe. Jaehyun hanya mengulum senyum, menjadi pegawai teladan adalah salahsatu langkah untuk mendapatkan hati bosmu.

“One shot?”

“Two shots. Aku sedang sangat lelah pagi ini.”

“Pembaharuan stok bulanan?”

“Yep. Kemarin ada beberapa kuitansi pembelian yang lupa kutaruh di mana, jadi sekarang aku juga mau mengira-ngira pengeluaran kafe kemarin.”

“Semoga tidak berdampak pada gaji saya.” Canda Jaehyun.

Di belakangnya, Doyoung mendengus geli. “Sepertinya uang tip dari pelanggan untukmu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang gaji kita deh, tidak usah takut jatuh miskin.”

“Sejak kau bergabung di sini, pendapatan kita memang naik lumayan pesat lho.” Sicheng mencondongkan tubuh, kedua tangannya bertopang di pelipir konter. Bingkai kacamata bulatnya mengilap terkena bias cahaya lampu. “Kami harus berterima kasih pada wajahmu itu.”

Jaehyun menahan diri untuk tidak menjadi kubangan saat itu juga. Sicheng memang suka memuji orang, tanpa maksud lain di belakang kata-katanya. Jadi Jaehyun tidak bisa melesat terbang ke lapisan langit ke-tujuh hanya karena secuil komplimen. Di atas langit masih ada langit masih ada langit dan masih ada Dong Sicheng. Aduh, mana mungkin Jaehyun lancang menyandingkan manusia sepertinya dengan malaikat. Sicheng adalah pria jujur, berkebalikan dengan dirinya yang penuh tipu muslihat—ini juga kata Doyoung lagi.

“Kalau begitu, saya harus berterima kasih pada orangtua saya, karena berkat mereka, saya punya wajah begini.”

Sicheng memendar tawa, “Sampaikan ucapan terima kasihku pada mereka juga.”

“Ah, saya rasa lebih enak kalau bos menyampaikannya sendiri.” Jaehyun menyodorkan cangkir kaca yang mengepul-ngepul ke hadapan Sicheng. “Suatu hari, bos pasti saya kenalkan pada orangtua saya.” Ia mengedip, lalu menunggu respons Sicheng dengan hati yang meletup-letup—tapi tak nampak dalam raut wajahnya yang tenang itu.

Sicheng hanya kembali tertawa lalu menepuk pundak Jaehyun. Dia tidak tersipu ataupun kaget sama sekali. Sicheng mengapit buku yang dipegangnya di antara lengan dan ketiak, lalu mengambil cangkir yang disodorkan Jaehyun dengan dua tangan; sebelah memegang tatakan dan sebelah lagi memegang telinga cangkir.

“Pertahankan.” kata Sicheng sambil berjalan ke salah satu meja.

Pertahankan? Apanya? Cinta bertepuk sebelah tangan ini?

Jaehyun menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, ia bisa melihat Doyoung tengah terkikik karena usahanya yang kembali gagal. Memang nikmat dunia yang tak terdustakan itu adalah menertawai penderitaan orang lain. Sialan.