Overgrown [ 1 / 2 ]

Jisung/Chenle ; Andy/David

summary:

yang istimewa akan selalu kalah dengan yang selalu ada. tapi david adalah keduanya.

__

“aku suka sama andy.” david berkata dengan mulut penuh cilok hingga pipinya membulat seperti hamster di jendela pet shop seberang sekolah. saus kacang menodai sudut bibir kirinya yang sedikit kering.

sebelah alis andy terjinjing naik, david sungguh aneh siang ini.

usai bermain basket bersama teman-teman sekelasnya lepas pelajaran olahraga, ia gegas menelepon andy dan menyuruhnya untuk mencarikan tempat duduk di kantin lantai dua. andy sudah makan lebih dulu, kelas bahasa indonesia dipotong lima belas menit karena gurunya ada keperluan mendadak, menjadikan jam istirahatnya seperempat jam lebih panjang. dia tidak mengerti apa tujuan david memanggilnya ke mari selain untuk mengatakan suka—yang sesungguhnya tidak mengherankan sama sekali.

“aku juga suka sama kak david.” kata andy setelah terdiam beberapa menit.

david mengibaskan tangan lekas-lekas, “bukan suka yang begitu.”

“terus yang kayak gimana?”

“ya ... ” david melarikan bola matanya ke langit-langit, lalu kembali menatap andy. wajahnya merah, siang ini memang sangat panas. “ya ... yang begitu.”

“aku enggak ngerti.”

“aku suka sama andy, aku mau jadi pacar andy.”

“kak david kalah taruhan lagi?”

david mengembuskan napas, menyugar rambutnya yang berantakan karena keringat. andy pikir, ia perlu membasuhnya sebelum masuk kelas berikutnya.

“enggak. aku cuma mikir, aku harus ngomongin ini ke kamu. daripada aku eungap sendiri.”

“jadi kak david serius?”

david menusuk dua cilok sekaligus, bumbu kacangnya masih tertinggal banyak sekali di mangkuk. “iya.”

andy mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ujung kuku jari yang belum sempat dipotong, menghitam karena disisipi debu-debu selepas acara piket di perpustakaan. sejujurnya, ia bingung untuk merespons. sejujurnya, ia tidak tahu juga, respons seperti apa yang david inginkan.

dan sejujurnya, andy juga tidak tahu bagaimana cara untuk menolak seseorang tanpa melukai perasaan mereka.

andy suka david, tapi bukan suka yang begitu.

“maaf, kak ...” andy tidak tahu lagi, mungkin mengucapkan apologi terlebih dulu adalah jalan yang paling tepat.

“karena aku cowok?” tanya david.

“bukan lah. papa sama papi juga sama-sama cowok.”

“kali aja kamu doyannya cewek.”

“enggak ada hubungannya sama itu kok.”

“terus?”

“aku suka sama orang lain.”

david mengangguk, kemudian beringsut mengambil ransel dan dompetnya dari atas meja. “kamu habisin,” david mendorong mangkuk plastik itu ke hadapan andy. “aku balik ke kelas dulu ya, mesti cuci rambut dulu.” lalu pemuda itu berlari kecil menuruni tangga.

andy bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan menuju pagar lantai dua, menunggu david muncul dari mulut anak tangga dan memerhatikannya berlari kecil memburu sekelompok temannya yang sedang duduk-duduk di teras anak kelas duabelas. tawanya masih mengembang, andy merasa sedikit lega.

andy lupa kapan pertama kali ia mengenal david. anak itu sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak dulu; sejak otaknya mulai mampu merekam memori, david sudah ada di sana. bahkan, menurut keterangan yang diberikan oleh papanya, mereka dulu sempat bertetangga sampai david berusia tiga tahun. andy sudah menyaksikan momen-momen spektakuler dalam hidup david; menjadi juara umum di SMP maupun SMA, melakukan slam dunk saat turnamen basket antarsekolah (yang membuat cewek dan cowok yang naksir berat pada david makin tergila-gila), atau saat ia lolos audisi sampai tahap ke-empat dalam acara indonesian idol kendati mundur karena tidak mau bolos sekolah. david sedekat itu, sehebat itu, tapi andy tidak pernah melihatnya sebagai seseorang dalam tanda kutip.

dan lagi, andy memang suka seseorang, baru empat hari yang lalu ia sadari.

namanya taehyun, baru pindah dari jakarta di awal semester. logat betawinya kental saat ia bicara, tapi ketika pelajaran bahasa inggris, mendadak seperti tom holland nyasar ke pasar ciroyom. fasih sekali dan sedikit lucu kalau taehyun melakukannya sembari mengudap seblak campur di kantin lantai tiga. taehyun suka sekali seblak dan es krim coklat mint. andy benci keduanya. tapi andy suka taehyun.

mereka juga berbagi tanggal lahir yang sama, yang langsung diresponsnya sebagai takdir. tak heran kalau artis dalam daftar putar di spotify mereka nyaris identik sampai-sampai tidak ada yang bisa direkomendasikan karena taehyun sudah mendengar semuanya. andy mungkin tidak mengenal taehyun sebaik david, tapi andy tahu kalau yang dirasakannya saat ini, memang rasa suka.

suka yang seperti itu. yang membuat jantung kebat-kebit tak keruan. yang membuat kerlingan mata taehyun seolah jadi senjata paling mematikan.

sejenak andy membayangkan, seberapa sakit yang akan ia rasakan jika taehyun menampik perasaannya? seberapa sakit david saat ini akibat penolakan barusan?

—-

“lu ngapain berdiri di sini?” taehyun mendongak, masih menyiram widara di taman sekolah menggunakan semprotan, bagian dari piket untuk mengurusi taman di depan kelas masing-masing. anak-anak rambut taehyun lepek dibasuh keringat, tapi berkilauan di bawah terangnya matahari.

“kali aja kamu kepanasan.” jawab andy acuh tak acuh.

“terus kalau lu di sini, udara ngedadak sejuk?”

“enggak sih,” andy memendar tawa. “tapi aku kan lebih tinggi dari kamu, jadi matahari-nya kehalangan.”

” ya elah, timbang beda tiga senti doang,” cibir taehyun.

“tetep aja lebih tinggi.”

“panas-panas gini enaknya berenang.”

“bolos, yuk!”

kini taehyun yang tertawa, “emang lu berani?”

“berani!”

“emang lu bisa berenang?”

andy mengangkat bahu, “kamu ajarin aku lah.”

taehyun menahan tawa, mengarahkan semprotan air sekilas pada andy kemudian menariknya kembali. “polontong.”

“hei, itu siapa yang ngajarin!”

“kak beomgyu.”

“yang anak band itu?”

taehyun mengangguk. semprotan airnya diarahkan ke jajaran bunga pukul empat yang masih menguncup.

“kamu jadi gabung sama ekskul musik?”

“kayaknya sih gitu.”

“kenapa enggak ikut ekskul komputer?”

“ogah, ntar jadi anak warnet kayak lu.”

“hari ini mau pulang bareng enggak?” tanya andy, mengganti topik.

“enggak.”

“kenapa? kan searah.”

“lagi enggak pengen.”

___

sore itu, andy sedang menenggelamkan wajah di lipatan bantal dan memikirkan alasan kenapa taehyun menolak diajak pulang bersama. lagi enggak pengen, lagi enggak pengen, lagi enggak pengen, katanya. lantas apa yang perlu andy lakukan agar taehyun mau diajak pulang bersama kalau alasannya buram begitu? tepat saat ia mulai ingin mengeluh untuk yang ke-sekian kalinya hari itu, ponselnya berdering.

panggilan masuk dari david.

andy ingat kalau hari ini ia pun tidak pulang bersama david.

“halo?” sapa andy terlebih dulu.

“andy?”

“kenapa, kak?”

“enggak apa-apa. cuma mau ngasih tahu kamu buat nyalain sctv.”

“kenapa emang?”

“nyalain aja,”

andy meraih remot di atas sofa, mengganti saluran ke angka empat. wajah aktor dalam ftv itu menggelikan. tawa melecut dari mulutnya begitu saja, cukup nyaring sampai membuat Papanya mengangkat wajah dari laptop yang tengah ditekurinya selama satu jam terakhir.

“apaan sih, kak?”

“cuma mau kasih tahu aja, ada yang lucu gitu. konyol banget kan?”

“iya, ngakak banget.” kata andy dengan tawa berderai.

“udah baikan sekarang?”

andy tertegun sejenak, “eh? emang kenapa, kak?”

“kamu sekarang ketawa, tapi tadi pas aku nelepon kayaknya lesu banget. berarti pas dong ya timing aku nelepon kamu?”

” ... iya, makasih banget, kak.”

sekonyong-konyong, david tertawa. “jujur banget sih! itu salah satu alasan kenapa aku suka sama kamu.”

andy memutar bola mata, mengulum senyum. “makasih, kak. aku tutup ya, pr aku belum beres.”

“yaaah, sayang banget. tapi enggak apa-apa deh, ayah udah minta aku datang ke workshop.”

“semangat, kak!”

“oke, kamu juga!”

benar-benar ajaib; magis, tak masuk akal. padahal beberapa menit yang lalu, andy merasa dunianya gelap dan menyedihkan tetapi hanya karena sebuah panggilan telepon, perasaan itu lesap entah ke mana. lagi-lagi david ambil bagian, seperti biasa.

david selalu membuatnya merasa lebih baik.

___

hari-hari berlalu lebih cepat dari yang andy duga. sudah jalan dua bulan sejak penolakannya terhadap pernyataan david, dan juga penolakan taehyun akan tawaran pulang yang diajukannya di hari yang sama. dan andy masih belum menerima david sedang taehyun masih tidak mau diajak pulang bersama.

usai pelajaran matematika, andy memiliki waktu luang selama sepuluh menit sebelum berpindah kelas. ia kemudian diberi titah oleh ketua kelas untuk mengambil hasil fotokopi rangkuman di koperasi sekolah, saat kepalanya celingukan ke kiri dan kanan—mencari taehyun—ia menemukan teman sekelasnya itu tengah tertidur dengan tangan terlipat sebagai bantal. buku catatan dan ponsel masih berserakkan di atas meja, tampak terlalu lelap untuk merasa tergubris oleh bisingnya teriakan anak-anak di kelas.

andy berjalan mendekat, dengan langkah paling pelan yang sesungguhnya tidak berguna digunakan saat berada di kelas yang super berisik. tangan kurusnya terulur, mengguncang bahu pemuda itu beberapa kali. kemudian sepasang mata itu mengerjap, berbarengan dengan gerlip ponsel di atas meja. andy melihat layar selebar enam inci itu, ada foto taehyun dengan beomgyu. pipi pemuda itu dikecup dalam foto. tangannya tiba-tiba kebas.

“oh! sori, sori! ketiduran gue!” kata taehyun cepat, kemudian merapikan barang-barangnya dengan tergesa. “pindah kelas ya sekarang?”

tunggu dulu. andy tidak mengerti.

sejak kapan?

kenapa dia baru tahu?

apa bendera merah itu sudah berkibar dari lama tetapi tak pernah disadarinya?

“andy?” taehyun memanggilnya, menarik andy dari lamunan siang bolong. “lu enggak apa-apa?”

“oh, iya, iya. maaf, tadi kayak lupa sesuatu.”

“hayu, pindah.”

“taehyun,” panggil andy, kini berjalan mundur menuju pintu. “kamu pacaran sama kak beomgyu?”

“hah? kok lu — ah, wallpaper gue! iya, maksa banget doi.”

“jadi kepaksa?”

“ya enggak lah. gue juga suka sama dia. cuman dia nembaknya kayak ngajak tawuran. taehyun, ayo jadian sama aku! pokoknya kamu sejahtera lah kalo kita bareng mah! gila tuh orang.” taehyun memaparkannya dengan suara yang belum pernah andy dengar, nadanya tinggi dan kaya akan antusiasme, senyumnya merekah cerah seperti bunga pukul empat kala mekar. andy suka senyumnya. tapi tidak bohong, hatinya memang agak tercerai-berai.

“andy! ayo!” tahu-tahu taehyun sudah berdiri di depan pintu, mendahului langkahnya—atau mungkin, sedari tadi andy memang tidak bergerak sama sekali.

“aku ke koperasi dulu, ambil fotokopian. kamu duluan aja.” katanya sambil tersenyum.

“oh, ya udah kalo gitu. duluan ya!”

hari ini, andy tidak perlu repot untuk mengajaknya pulang bersama.

_

“andy! tangkap!” bola basket itu melesat lebih cepat dari kedipan, andy refleks beringsut ke samping, membiarkannya menghantam dinding kemudian memantul-mantul keluar area lapangan. “yaah! kok enggak ditangkap? payah nih.” david meraung, kemudian berlari menghampiri andy. lagi-lagi bau keringat dan matahari, padahal jam sekolah masih lama berlangsung.

“kak david enggak ada kelas?”

“enggak, cuma pemantapan aja kok hari ini. mau ke mana?”

“ke koperasi, ambil fotokopian.”

“kenapa?”

“disuruh anak kelas.”

“enggak, maksud aku, kamu kenapa?”

“aku?” andy menunjuk dirinya sendiri. “aku kenapa?”

“kayak sedih.”

heran. padahal andy tidak mengatakan apapun. david bahkan tidak tahu kalau ia suka pada teman sekelasnya dan beberapa saat lalu, ia merasa dicampakkan padahal belum pernah menyatakan cinta sama sekali. kalah sebelum berperang. memang david sepertinya tidak usah tahu.

“aku cium deh biar semangat lagi!” david tergelak, tawanya yang melengking, entah kenapa, begitu menyejukkan. padahal kemarau sedang galak-galaknya.

melihatnya bergeming, david kembali bicara, “bercanda kok, enggak usah dipikirin. apa yang aku bilang dulu bikin situasi kita terkadang kerasa kagok,” david melemparkan bola basket ke tanah, memantulkannya beberapa kali. “aku mau kita kayak dulu lagi kalo bisa. eh tapi, kalau kamu enggak mau juga enggak apa-apa.”

“kak david,”

“eh, aku juga mau beli minum ke koperasi, ayo bareng.”

david mengambil langkah lebih dulu, andy mengikutinya dengan langkah tertahan karena kakinya yang jenjang bisa mendahului david kapan saja. tapi ditahannya. andy suka berjalan di belakang david. seperti saat mereka kecil. seperti dulu.

“aku lupa bilang. hari ini dan seterusnya, aku enggak bisa pulang bareng kamu lagi.” kata david begitu mereka sampai di depan lemari pendingin koperasi.

hati andy mencelus. “kenapa, kak?”

“aku disuruh ikut les sama ayah.”

“emang kakak masih butuh les? nilai udah pada bagus begitu.”

“kata ayah sih, jaga-jaga enggak ada salahnya. biar un nanti lancar.” david melempar senyum. “nih, buat kamu. biar enggak sedih lagi.”

andy menerima sebatang coklat kecil dari david, merek yang sama yang dulu biasa dibelikan david untuknya sepulang les bahasa inggris sewaktu sd. yang biasa mengusir rasa sedihnya saat hari begitu buruk. yang selalu mengingatkannya akan kebaikan david. memori-memori itu muncul secara mendadak, seperti serbuan ikan-ikan kecil di tepian kolam nenek saat hari minggu.

hmmm, siapa lagi memangnya, yang membuat andy selalu merasa terselamatkan jika bukan david?

andy merasa begitu bodoh dan jahat karena saat ini dia tengah patah hati, dan yang menghiburnya justru orang yang pernah ia tolak cintanya.

“kak apid,”

“hah?” rona merah itu menjalar di wajah david, menyebar hingga leher dan ujung telinga. “kok kamu tiba-tiba manggil aku pake nama kecil! malu banget!”

“sori, keceplosan,” andy menggaruk tengkuk. merasa gugup dengan respons david yang menurutnya begitu ... manis. “ya udah, aku balik ke kelas. makasih coklatnya, kak!”

andy mulai berlari, padahal ia benci kegiatan itu setengah mati. lebih cepat. lebih cepat. bel sudah berbunyi. lebih cepat. lebih cepat. jangan sampai david lihat kulitnya yang kini sewarna tomat matang atau pun dengar jantungnya yang tiba-tiba berdebar tidak keruan, lebih kencang dari yang dirasakannya ketika melihat senyum taehyun. seperti letusan kembang api di malam tahun baru.