01 – タッチ

Renjun merasakan perutnya seakan bergolak saat Jaemin membuka pintu garasi rumah mereka. Bukan artifisial, perasaan itu memang nyata dan membuatnya sedikit sesak. Aroma pengharum mobil mendadak menjadi hal yang paling ia benci, begitu memuakkan seakan menuntutnya untuk memuntahkan semua makan siang ditambah sarapan pagi yang mungkin sekarang dalam perjalanan menuju usus halus.

Ia membuka kunci, Jaemin dengan sigap membuka pintu mobil samping, melepaskan sabuk pengaman yang membelit tubuh anak mereka kemudian menggendongnya dalam sekali gerakan. Renjun belum beranjak, kepalanya pengar, dan ia kesulitan bernapas – kendati tidak dalam level yang kronis.

Samar-samar ia mendengar Andy tertawa dan berdeguk dalam gendongan Jaemin, mulutnya yang mungil menyerukan, “Pi…ipiii…ipiiii,” dalam jeda tawa.

“Sayang?” Jaemin membuka pintu, mengusap bahu, dan menyadarkannya dari lamunan (atau perasaan bingung karena sakitnya begitu mendadak).

Renjun mengangkat wajah, menatap Jaemin dan senyum itu tiba-tiba merekah begitu saja kendati rasa sakit tetap bercokol di kepala, dada, dan perutnya. Bertemu dengan Jaemin setelah lima hari tak bersua rupanya begitu menyenangkan, Renjun seolah kembali pada saat-saat pertama ia bertemu dengan Jaemin. Pada saat ia jatuh cinta dengan senyum dan juga tawanya, yang membuat darah terasa hendak menyembur lewat setiap pori-pori sekujur tubuhnya. Satu hari tak melihat Jaemin secara langsung rasanya seperti menyendiri selama satu dekade. Sial sekali kenapa ia harus sakit perut di hari penting seperti ini.

“Kamu enggak apa-apa?” Jaemin memerhatikan Renjun keluar dari mobil dengan cemas. Renjun makin merasa tidak enak karena membuat suaminya khawatir padahal perjalanannya pulang pastilah begitu melelahkan.

“Enggak apa-apa, agak puyeng aja soalnya tadi macet. Maaf ya pulang malem-malem, tadi hujan. Aku nunggu reda dulu. Takut nyetirnya.”

“Enggak apa-apa, yuk masuk.” Jaemin menggenggam tangannya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih menggendong Andy. Anak itu meronta, ingin berpindah ke pelukan Renjun – ia memang selalu lebih dekat dengan Papanya – tapi laki-laki itu merasa tak punya tenaga. Dan Jaemin mengerti. “Aku bawa oleh-oleh banyak banget.”

Renjun hanya tersenyum, meremas tangan Jaemin pelan. Wajahnya sedikit merah, ia benar-benar seperti kembali pada episode romansa belianya.

Sepanjang perjalanan menuju ruang keluarga, Jaemin bercerita bagaimana ramainya Yogyakarta. Ia membeli banyak camilan, cukup untuk dibagikan ke tetangga dekat, orangtua, dan juga mertua, katanya. Renjun tidak menginterogasi Jaemin seputar detail makanan. Membayangkannya saja ogah, ide apapun tentang makanan membuatnya ingin muntah. Salahkan perutnya. Ia hanya diam dan memerhatikan bagaimana mata Jaemin bergerak-gerak dengan jenaka, lalu menyipit saat ia tertawa, kemudian menatapnya lunak.

Renjun sadar akan itu, jadi ia bertanya, “Kenapa?”

”You okay? Pucat banget, sayang.”

Renjun ingin sekali berkelit karena ia telah melanggar ucapan Jaemin tadi siang. Ia makan 2 porsi besar sayur daun singkong di rumah mertuanya, ditambah camilan sagon kelapa, tak heran jika lambungnya terasa akan meledak.

“Perut aku sakit… “ kata Renjun lirih. Ia harap Jaemin tidak tertawa atau marah. Sebab ia sedang tidak ingin diperlakukan demikian.

“Ya ampun… “ Jaemin menariknya dalam sebuah pelukan, tidak terlalu erat tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit tenang. Tangan besar itu mengusap-usap punggungnya pelan. “Mau ke dokter?”

“Enggak… minum mylanta aja, sama air anget.”

“Ya udah, ke kamar gih, ganti baju. Jangan mandi ya, nanti masuk angin. Nanti aku bawain obat sama airnya. Andy biar aku yang urus.”

“Tapi kan, kamu capek?”

“Aku udah tidur bentar kok, Sayang,” Jaemin mengecup kening Renjun, mengusap poninya ke belakang sekilas. “Tiduran ya, nanti aku samperin.”

“Aku bisa sendiri,”

“Iya, tahu. Tiduran ya? Nanti aku bawain.”

Saat Renjun menarik dirinya menjauh, Andy memberengut kemudian mulai menangis. Anak itu mengeluarkan sebuah raungan, menarik napas panjang dengan mulut terbuka lebar dan mata terpejam, lantas meraung lebih keras. Tangannya masih menggapai-gapai, hendak meraih Renjun tetapi Jaemin menariknya lebih dulu.

“Papanya lagi sakit, Andy sama Papi dulu, ya? Andy enggak kangen emangnya sama Papi?” Jaemin kini memegangnya dengan dua tangan, mengayun-ayunkannya sejenak. Renjun suka pemandangan ini. “Sama Papi dulu, ya? Papi kangen nih sama Jalu, ya?”

Andy masih belum berhenti menangis, seharian ini ia memang sedang manja-manjanya. Pada saat berkunjung ke rumah neneknya pun, ia enggan sulit turun dari gendongan Renjun. Sekalipun ketika lepas, ia akan mengekor ke manapun Papanya pergi bahkan pada saat pergi ke toilet. Hal ini sering terjadi dan cenderung fluktuatif, selaiknya orang dewasa, anak-anak memiliki mood yang tak bisa dikendalikan. Ada hari di mana Andy begitu ingin memonopoli Papinya, kemudian di hari yang lain ia mencari perhatian habis-habisan dari Papanya.

Renjun menyerah. Mengabaikan rasa sakit di perut, ia mengambil alih putra semata wayang mereka dari tangan Jaemin. “Sini, sini, aduh anak pinter lagi mau sama Papa aja ya?”

Jaemin masih menatapnya khawatir, alisnya mengernyit. Renjun menyentuhnya dengan ibu jari, memijat kerutan di antara alis itu dan terkekeh. “Jangan gitu dong mukanya, Pi.”

“Apa dia lupa sama aku ya, gara-gara lama ditinggal?”

Renjun memukulnya pelan, “Ya enggaklah! Emang lagi kumat aja nih manjanya, tadi pas di rumah bunda juga enggak mau lepas.”

“Kamu harus istirahat,”

“Abis bawa Andy bobo, deh. Ini dia rewel juga gara-gara ngantuk kayaknya,”

“Dia sedih, Papanya sakit,” Jaemin tersenyum. “Bandel sih Papanya. Pasti makan santan kebanyakan.”

“Salah Ibu kamu, kalau masak kok enak terus.”

Jaemin tidak membalas perkataannya lagi. Laki-laki itu memilih pergi ke habitatnya: dapur. Renjun memerhatikan sang suami melalui kisi-kisi jendela yang memisahkan ruang keluarga dengan dapur, laki-laki itu mengambil sebuah teko beling, mengisinya dengan air dari dispenser, kemudian memanaskannya di atas kompor. Di rumah mereka memang tidak ada dispenser listrik dengan air panas – dingin, untuk beberapa alasan yang tidak bisa disebutkan, Jaemin lebih pilih menaruh galon air di atas dispenser gerabah yang terbuat dari tanah liat. Ketika butuh air panas, ia akan menjerangnya secara manual. Lebih enak dan sehat, katanya. Renjun menilainya sama saja, tapi ia enggan memperdebatkan masalah sepele. Prinsip yang kukuh dipegangnya saat ia memutuskan untuk menjadi suami Jaemin adalah: berhenti membahas sesuatu yang akan membuat pasanganmu tersinggung dan tidak berdampak apa-apa pada kehidupan rumah tangga. Mendebat Jaemin soal keputusannya jelas tidak berujung pada hal yang lebih baik – sebab hal yang dilakukan suaminya pun tidak buruk, toh hanya perkara dispenser saja.

“Sayang, mau pakai teh?” seru Jaemin.

Renjun sulit berteriak, Andy tengah menyandarkan kepala ke bahunya dan memasukkan ibu jari ke mulut. Putranya kelelahan. Seharian penuh bermain dengan anjing peliharaan neneknya.

Jaemin menyembul dari dapur, “Mau pakai teh?” tanyanya lebih pelan sekarang.

Renjun menggeleng, Jaemin manggut sekali kemudian kembali ke dapur. Setelah yakin anaknya terlelap, Renjun menegakkan tubuh, memeluk tubuh kecil itu erat-erat. Andy memancarkan aroma keringat bocah dan matahari. Renjun tak sempat memandikan ataupun melapnya dengan air hangat, ia akan membalurnya dengan bedak sebelum mengganti pakaiannya dengan piyama.

Begitu sadar bahwa Andy memang benar-benar mengantuk, Renjun berjalan menuju bagian selatan rumah, tempat di mana kamarnya dan kamar Andy bersisian. Ruangan itu berukuran lumayan besar untuk diisi manusia sekecil Andy, tapi memang sengaja, agar ia tidak perlu meninggalkan kamar seiring dengan pertembuhan yang kelak dijalaninya di tahun-tahun mendatang. Renjun ingin Andy melihat berbagai fase hidupnya, melakukan perbandingan, kemudian menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Ah, betapa khayalannya akan masa depan anaknya itu selalu membawanya terbang terlalu jauh. Andy bahkan belum bisa pegang sendok dengan benar. Tempat tidur bayi diletakkan di salah satu sisi ruangan, rapat ke dinding bercat abu-abu muda dengan tempelan berbagai ilustrasi hewan. Monitor bayi ditaruh Jaemin di atas lemari sedang mainan dan perlengkapan lainnya diletakkan di sudut kamar.

Renjun menurunkan Andy dari gendongan, membaringkannya di atas kasur kasur kecil yang digelar di atas karpet. Tempatnya melap dan mengganti popok, “Sebentar ya, Papa ambil bedak sama baju tidurnya dulu,”

“Enggak… enggak…” Andy melafalkannya begitu jelas, ia merengek lagi.

“Sebentaaarr aja, ya? Kalau enggak pakai bedak nanti keringetan, nanti gatel-gatel lagi hiiiii nanti kulitnya Andy merah lagi kayak apa coba? Kayak apa? Bener, kayak plang forbidden.”

Renjun mendengar tawa tertahan dari ambang pintu, ia menoleh, Jaemin berdiri di sana dengan cangkir yang asapnya mengepul dan obat maag cair di genggaman.

“Perumpamaannya kok plang forbidden sih, Pa?”

“Kan merah, ya ‘kan Andy?”

Anak itu menatapnya, kemudian tergelak. Bayi memang aneh. Sedetik lalu ia menangis, di detik berikutnya tawa meledak begitu saja.

“Nah gitu dong, ketawa. Kan ganteng tuh. Sekarang pake bedak sama ganti baju, ya?”

“Biar aku aja yang ambilin,” Jaemin menyodorkan cangkir dan obat maag serta sendok takar obat. “Minum obatnya ya, sayang.”

Andy memekik senang, kedua kakinya menendang-nendang ke udara saat Jaemin membuka bajunya yang sudah bau keringat. Renjun kini duduk di sebuah kursi yang berada di samping jendela, menelan obatnya, dan merebahkan diri. Andy sekarang mulai berguling, Jaemin menahannya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain dengan terampil membuka sebungkus tisu basah. Anak itu menjerit senang entah karena apa. Suaminya tertawa keras saat Andy tanpa sengaja memukul wajahnya sendiri karena ia tidak bisa berhenti bergerak. Renjun paling suka melihat senyuman Jaemin yang lebar – yang membuatnya jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi.

“Diem dulu sayangnya yaaa, diem dulu ya, nanti ketabok lagi lho,” bujuk Jaemin sambil melepas popoknya dan menggantinya dengan yang baru. “Andy besok mandi ya, hari ini pakai bedak aja enggak apa-apa soalnya kalau mandi nanti masuk angin.”

Usai mengganti popok, membalur bedak, dan mengganti pakaian, Jaemin menggendong Andy dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Ia bersenandung lagu-lagu anak yang liriknya repetitif. Tubuh lencirnya bergerak pelan mengitari ruangan, mengirimkan rasa nyaman bagi Andy.

Sejurus anak itu menguap, Renjun merasa lega. Perutnya – secara ajaib—terasa sedikit lebih baik.

Jaemin meletakkan Andy dengan perlahan di atas tempat tidur bayi lalu menyelimutinya dengan selimut bergambar keroppi. Jaemin kemudian memindahkan boneka Mike Wazowski dan mainan-mainan lainnya dari jangkauan Andy, berjaga-jaga akan kemungkinan SIDS yang selalu mengintai setiap bayi. Meskipun Andy sehat-sehat saja, tetapi tidak ada salahnya untuk waspada. Jaemin sedikit over protective memang. Renjun kadang memergokinya terjaga pukul tiga pagi, berjingkat ke kamar Andy untuk menghitung napas dan merapikan selimut. Mau bagaimana lagi, pria itu sangat menyayangi anaknya. Renjun merasa tidak perlu menghentikannya.

Renjun beranjak dari tempatnya duduk, berpindah ke kamar sebelah dan bergegas mengganti pakaian dengan piyama. Rasanya nyaman saat kain satin itu membelai kulitnya, begitu halus dan lembut. Sakit di kepalanya perlahan lenyap tetapi perutnya masih berbunyi dan Renjun bisa merasakan pergerakan gas di dalam lambungnya. Sungguh sangat mengganggu dan memalukan. Jaemin akan mendengarnya sepanjang malam. Tiga tahun menikah, Renjun bahkan kurang bisa buang angin dengan leluasa di depan suaminya sendiri.

Renjun berbaring menatap langit-langit kamar, kedua tangannya saling bertaut di atas perut. Nyanyian Jaemin di kamar sebelah sudah tak terdengar lagi, Renjun bisa mendengar langkah kakinya yang berat perlaha-lahan mendekat. Tempat tidur mereka bergerak, Jaemin merangkak kemudian berbaring di sebelahnya.

“Masih sakit?” tanyanya, sebelah siku bertelekan di atas kasur, telapak tangan menopang dagu.

Renjun mengangguk, masih merasa malu.

“Yakin enggak mau ke dokter?”

“Enggak usah, cuma kembung doang.”

“Perutnya mau aku usap-usap?”

Renjun tertawa, “Emangnya aku Andy?”

Jaemin tidak menggubris, tangannya bergerak menyibak piyama yang dikenakan Renjun kemudian mendaratkan telapak tangannya di sana. Renjun tertawa, rasanya geli namun lama-kelamaan ia merasa terbiasa. Usapan-usapan tangan Jaemin begitu pelan dan lembut. Ada kehangatan yang menancar, membuat perutnya terasa nyaman. Usai mengundurkan diri dari posisinya sebagai koki di restoran, tangan Jaemin kini terasa lebih halus. Kalus yang dulu selalu Renjun rasakan ketika mereka berpegangan tangan kini nyaris tak terasa.

Dulu Renjun kerap menakut-nakuti Jaemin akan kemungkinan otot-ototnya menghilang karena tak lagi mengangkat panci dan kuali besar, kemudian laki-laki Leo itu berseloroh, “Andy beratnya udah mau 12 kilo, lho. Jadi bapak rumah tangga masih bisa olahraga.” Lalu Renjun menciumnya.

Ah, iya. Ia belum mencium Jaemin hari ini, padahal itu sudah jadi agenda utama yang ia pikirkan sejak kemarin.

“Syukurlah, Andy enggak lupa sama aku.” Kata Jaemin.

“Ya enggak bakal lupa, kan videocall tiap hari.”

“Habis tadi nangis gitu, aku jadi parno kali aja muka aku berubah.”

Renjun beringsut, kini wajahnya berhadapan dengan Jaemin. Usapan di perutnya belum berhenti. “Iteman sih, Sayang. Kamu seminar di luar ruangan apa gimana?”

“Yogya panas, Sayang. Kalau makan siang kadang di luar, buffetnya digelar di taman hotel. Aku suka makan di bawah pohon sama beberapa kenalan.”

“Dih, enggak elit banget di bawah pohon. Jangan bilang sambil jongkok?”

“Ya enggak atuh, ada kursi sama mejanya.”

“Ati-ati kesambet, penunggunya marah.”

“Sayang, ghost is not exist.

“Enggak mau debat,” Renjun membekap mulut Jaemin pelan. Alih-alih diempas, telapak tangannya malah dikecup. Renjun menariknya kembali. “Aku baru sadar lho kalau rumah kita isinya canggih banget.”

“Canggih gimana?”

“Tempat cuci piring otomatis, pengatur suhu ruangan otomatis, lampu otomatis, bahkan tempat sampah otomatis.”

“Biar praktis, enggak repot.”

“Kamu pasti capek banget ya ngurus rumah selama ini,”

“Kemarin kamu capek?”

“Lumayan. Tapi seneng, soalnya ada Andy.”

“Ya, sama. Aku juga gitu. Tapi kamu juga kan capek ngantor. Di kantor enggak ada Andy pula.”

Renjun mengulum senyum, tersipu akan pujian tak langsung itu. “Andy gedenya cepet banget, aku inget pas pertama dibawa ke sini, dia kecil bangeeet. Aku megangnya aja takut. Sekarang udah ada rambutnya, udah bisa marah, bisa ketawa kenceng, bisa panggil Papa sama Papi, bisa tahu kalau aku bawa coklat. Kamu tahu enggak sih, dia bisa ngomong coklat lho sekarang.”

“Oh, ya? Kayak gimana?”

“Lucu banget, dia kuajarin bilang coklat tapi dia bilangnya kojat kojat mulu.”

Jaemin menahan tawa, khawatir suaranya membangunkan Andy, “Ya ampun gemes banget. Besok aku coba pancing pake puding coklat, ah.”

“Aku mau puding stroberi dong.”

“Ngajak berantem nih?”

“Ya udah, puding matcha kalau gitu.”

“Iya, besok aku bikinin. Kamu masih cuti kan?”

“Masih, kan aku kira kamu pulangnya lusa.”

“Asik, bisa leyeh-leyeh bertiga.”

“Beli lemariii!”

“Oh, iya! Makanya cepet sembuh ya,” Jaemin menjawil pipinya selama beberapa saat. “Jangan kalap lagi.”

“Iya, iya. Udah dong jangan dibahas.”

“Udah enakan?”

Renjun mengangguk, ia beringsut memperpendek jarak di antara mereka. Tangan Jaemin berhenti mengusap karena tak lagi leluasa. Lengannya kini menyelinap ke belakang kepala Renjun, menjadikannya sebagai bantal tambahan.

Tangan Renjun terulur kemudian menangkup sebelah wajah Jaemin dan ia mengelus pipi lelaki itu menggunakan ibu jari. Ia selalu suka saat-saat seperti ini, begitu intim dan romantis. Jaemin menunduk hingga kening mereka beradu, Renjun bisa menghidu aroma krim cukurnya yang masih begitu kentara.

Jaemin menciumnya seolah hendak menebus ciuman-ciuman yang tercuri selama lima hari ini. Renjun merasakan sensasi serupa yang membanjiri dirinya di malam pertama mereka berciuman. Hari ini, semua perasaan itu datang lagi. Ia teramat merindukan sentuhan Jaemin. Sangat menyenangkan.

Saat Jaemin menarik diri dari ciuman mereka yang kian lama kian berbahaya, ia menarik Renjun masuk ke dalam pelukannya semakin dalam. Mereka tak bicara selama beberapa saat, membiarkan keheningan diisi oleh detak jantung masing-masing. Jaemin mengecup puncak kepalanya, lalu berbisik, “Sayang, apa enggak sebaiknya kamu resign aja?”