Semenjak tinggal satu atap dua minggu lalu, Renjun nyaris tidak pernah membutuhkan alarm di ponsel untuk bangun. Jaemin selalu membangunkannya lebih dulu, dengan usapan di puncak kepala dan guncangan ringan di bahu. Bukan karena Jaemin rajin bangun pagi, hanya saja di minggu-minggu kemarin dia memang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ikut marathon kota — yang tidak dimenangkannya tetapi ia berhasil membawa pulang sebuah dispenser sebagai hadiah lawang.

Usai acara marathon itu lewat, mereka kembali pada rutinitas normal; Renjun terbangun karena nyala alarm sedang Jaemin masih tertidur pulas di sampingnya tanpa terlihat niatan terusik bangun. Renjun penasaran, jika kemarin-kemarin ia mampu untuk bangun dan menyempatkan diri untuk lari pagi, kenapa hal itu tidak dijadikan kebiasaan saja?

Renjun memindai layar ponsel setelah mematikan alarm, melihat suhu hari ini dan juga perkiraan cuaca. Sepertinya hujan akan turun rintik-rintik ketika sore menjelang, ia akan menyelipkan payung lipat di ransel Jaemin sebelum lelaki itu pergi bekerja. Renjun kemudian berbalik pada Jaemin dan, wah.

Rasa-rasanya Renjun tidak pernah menaruh perhatian lebih pada wajah Jaemin saat ia tertidur. Atau mungkin pagi ini wajahnya sedang terlihat bagus dari biasanya? Entahlah. Renjun menyingkirkan helaian poni yang jatuh menutup alis Jaemin, lalu ia menelusuri garis dan lekuk di wajahnya. Ibu jarinya mengusap jejak air liur yang tertinggal di sudut bibir Jaemin, Renjun terpikir untuk membangunkannya dengan ciuman seperti yang biasa ia lihat dalam komik-komik 4 koma tentang sepasang kekasih. Menggelikan, memang. Sedikit menjijikan juga karena mereka berdua belum menggosok gigi.

Renjun menaruh tangannya di sebelah pipi Jaemin, mencondongkan kepala hingga bibir mereka sejajar, lalu ia diam, tidak melakukannya. Terlalu memalukan dan jika Jaemin tahu, ia bakal besar kepala. Lalu dalam detik yang tak terduga, Jaemin membuka matanya dan tersenyum lebar. Renjun membeliak.

“Jadi nyium aku nggak nih? Kalau nggak jadi, aku yang cium kamu.”