Suatu Siang di Sebuah Tanjakan

“Apa kau akan membawanya juga?” Jaemin menunjuk sepeda Jeno dengan ujung dagu, terlalu malas untuk melepas tangan dari setang hanya untuk sekadar memberi isyarat.

Jeno menjawab tanpa menoleh, “Ya, aku membutuhkannya—” debu menyusup ke rongga hidung, ia bersin. “Hitung-hitung menghemat pengeluaran selama di sana.”

“Australia itu jauh …” kata Jaemin lagi. Ia kembali mengayuh sekali lalu membiarkan kedua kakinya bergeming di pedal saat melalui turunan singkat.

“Tidak terlalu jauh, jaraknya hanya sepanjang dua telunjuk di peta dunia.”

Jaemin tersenyum. Mengukur jarak menggunakan jari adalah kegiatan yang sempat mereka lakukan selama beberapa bulan saat taman kanak-kanak. Jeno pernah menemukan gulungan peta dunia bau apak dari loteng rumahnya. Ia dan Jaemin begitu terobsesi. Mereka mengukur jarak dengan jari, menganggap bahwa dunia rupanya begitu kecil dan kota-kota itu berdekatan. Berandai bahwa Korea Selatan dan Cina bisa diseberangi hanya dengan mendayung perahu kecil. Pergi ke Jepang, tinggal menyeberang sungai, berenang pun bisa. Dan Matahari bisa digapai kalau kita mendaki gunung tertinggi. Ketika malam datang, masih dari atas puncak gunung, kita bisa memetik bintang untuk disimpan di kotak pensil. Esok pagi bisa dibawa pulang untuk dipamerkan ke teman sekelas.

“Telunjuk kita sudah lebih panjang sekarang,” ujar Jeno, kayuhan sepedanya mendahului Jaemin. “Harusnya jaraknya bisa lebih dekat.”

“Memang. Renjun bilang, semesta tidak merenggang. Justru kian hari kian mendekat dan suatu saat akan berbenturan. Lalu bumi ini meledak, deh.”

Jeno mengerutkan dahi, “Imajinasi pacarmu aneh. Dia kok suka sekali membayangkan dunia ini kiamat?”

Jaemin hanya menanggapinya dengan kekehan kecil, sulit untuk menjabarkan Renjun. Jeno tidak akan mengerti. Lagipula, fokus hari ini bukan kekasihnya melainkan sahabatnya; Jeno. Besok pagi ia akan pergi ke Australia untuk sekolah selama tiga tahun, tidak tahu apakah bisa lebih lama jika dia ogah pulang.

“Berapa jam perbedaan waktu antara Seoul dan Sydney?” tanya Jaemin.

“Hanya dua jam. Sydney lebih dulu.”

“Rupanya tak seberapa, kukira sampai dua belas jam.”

“Tidak lah, Australia kan masih sejajar dengan Korea Selatan. Kau lupa? Telunjuk kita lurus di situ.”

Mereka berhenti bicara saat kembali melewati jalur landai, angin menabrak wajah Jaemin, keringat di dahinya mendingin. Bibirnya mulai kering didera terik. Mereka sudah berkendara dari pukul sembilan pagi, dan kini matahari sudah berada sejajar dengan kepala. Jaemin mengeratkan pegangannya di setang sepeda begitu menyaksikan sebuah tanjakan, Jeno mengayuh lebih dulu, menyempatkan diri untuk menoleh dan mengatakan, “Yang tinggal di belakang adalah telur busuk.”

Jaemin menarik napas panjang, ia memutar kendali beban sepeda dengan jempol kanan, bokong terangkat dari jok, lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia mendaki tanjakan. Kini ia kembali bersisian dengan Jeno dan tak melewatkan kesempatan untuk memberi senyum meremehkan hingga pada akhirnya mereka tiba di puncak tanjakan dalam tempo berbarengan.

“Jangan lupa menelepon.” kata Jaemin dengan napas tersengal.

Tenggorokan Jeno kering, jadi ia membasahinya dengan air dalam botol yang kini menghangat. “Jangan lupa mengangkatnya.”

Mereka saling pandang lalu tertawa bersama. Benar kata orang tentang rangkaian momen hidup yang terjadi antara dirimu dan lawan bicaramu yang akan terlintas dalam kelebat-kelebat pendek ketika menyadari bahwa perpisahan di depan mata. Tiba-tiba, Jaemin merasa sedikit sedih. Sadar bahwa mulai esok hari, ia akan bersepeda sendiri.

Jaemin berseru, “Yang paling terakhir sampai ke minimarket, harus traktir ramyeon.”

“Baguslah, kebetulan aku tidak bawa uang,” sahut Jeno pongah. “Sudah firasat kalau hari ini kau yang kalah dan mentraktir.”

Keduanya kembali melaju, menuruni tanjakan yang cukup curam dan tak memerlukan banyak tenaga untuk dilalui. Jaemin menarik rem, memperlambat putaran roda sepedanya. Ia membiarkan Jeno melaju lebih dulu, sedikit agak jauh. Tak apa. Esok hari, ia tidak akan bisa mentraktirnya lagi.