Terkadang, momen-momen mengesankan dalam hidup justru terjadi tanpa rencana: mendapat boneka sapi super besar dari permainan menembak di pasar malam (yang dilakukan atas rasa penasaran); mendapatkan potongan harga tujuh puluh persen di toko kelontong karena hari itu mereka memberikan hadiah bagi pelanggan ke-1000 yang membayar barang secara tunai di kasir; Haechan bertemu dengan laki-laki yang kini menjadi pacarnya saat tak sengaja bertubrukan di kolam renang umum—yang mana berpengaruh pada situasi yang dialaminya sekarang ini.

Dia menunggu di area showroom, furnitur dapur. Goodluck, jagoan!

Alis Renjun menjengit saat membaca pesan terakhir yang Haechan tulis untuknya, jagoan, sejak bergaul dengan Jeno — pacarnya tadi — dia seringkali melontarkan frasa-frasa yang kadang terlalu konyol untuk didengar atau bahkan dibaca. Beberapa detik berikutnya, ponselnya mati. Renjun menggelengkan kepala dengan cepat lalu mengembuskan napas berat. Ia memasukan ponselnya kembali ke dalam saku parka dan mengambil selembar pamflet dari salah satu rak yang ia datangi, kakinya tanpa sadar melangkah ke arah barat, menginjak lantai dengan panah putih yang janggalnya terasa ia lalui berulang kali.

Renjun berjalan sambil sesekali mengedarkan pandang, ke deretan lampu, boneka, rak kecil, atau ke beberapa orang dengan ciri rambut coklat, hidung mancung, bibir tipis, dan tinggi badan di atasnya. Ia melirik jam tangan, sudah ada empat puluh lima menit ia berjalan mengelilingi tempat ini dan orang yang dicarinya tak kunjung terlihat.

Hari Sabtu berarti jadwalnya untuk berbaring di atas tempat tidur, mendengarkan lagu, dan menonton video-video konyol di douyin; menikmati hari libur dengan senarai kegiatan tanpa faedah. Kali ini, ia sengaja meluangkan waktu untuk pergi ke IKEA, membeli beberapa perabotan untuk apartemen barunya. Sekalian mengusir perasaan sakit hati yang parah setelah ditinggal menikah oleh mantan kekasihnya beberapa minggu lalu. Laki-laki itu, pada akhirnya memilih menikahi wanita tapi konyolnya, pernikahan mereka dilangsungkan di Taiwan — yang mana sudah menerima pernikahan sesama jenis — jadi Renjun tidak mengerti kenapa ia tidak dipilih dan malah ditinggalkan. Toh, orangtua mereka sudah sama-sama tahu. Mungkin memang dia lebih suka perempuan atau entahlah. Renjun enggan mengingat-ingat. Ia selalu menjalani hari-hari pasca tragedi itu dengan wajah tenang kendati hatinya remuk redam.

Saat ia menceritakan rencana belanja perabotnya pada Haechan, sahabatnya itu langsung menyambar dengan sebuah usul yakni, Renjun harus berbelanja bersama salah satu teman Jeno. “Dia bisa diandalkan!” Imbuhnya saat itu.

Renjun sempat menolak dengan mengatakan bahwa dia sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun dan mengakrabkan diri dengan orang asing itu benar-benar menyusahkan. Tapi Haechan menuduhnya hanya beralasan dan tidak menghargai usaha orang. Renjun tidak mengerti usaha siapa yang tengah dibicarakannya. Dan, usaha dalam hal apa?

Mencari area yang ditunjukkan Haechan saja lumayan sulit apalagi sekalian mencari orang. Ditambah, Haechan tidak pernah memberi foto atau nama lengkapnya, ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja. Sengaja, biar jadi kejutan, katanya. Renjun kurang suka kejutan.

Dan sampai sekarang Renjun tidak paham mengapa dia menurutinya begitu saja.

Renjun masih berjalan menyusuri lorong lengang, merasa seakan-akan ia adalah manusia terakhir di muka bumi. Sendirian di tengah deretan rak yang menjulang. Ia ingin sekali lanjut berbelanja sendiri kemudian meninggalkan tempat ini dan mengatakan pada Haechan kalau ada urusan yang mendadak harus ia lakukan, tapi baterai ponselnya habis dan ia pun tidak membawa pengisi daya. Akan tetapi, Renjun pun tidak tahu bagaimana cara keluar dari tempat ini karena sepertinya ia tersesat.

Baiklah, satu keliling lagi dan jika orang itu tidak ditemukan di manapun, ia akan berjingkat pergi — mencari jalan keluar — tak peduli jika Haechan meneriakinya nanti.

Tinggi, hidung mancung, bibir tipis, rambut coklat. Sial. Semua orang di Korea Selatan nyaris seperti itu.

Renjun sudah berada di area — yang ia duga sebagai — dapur, ia tidak melihat barang yang ia inginkan ataupun lelaki dengan ciri-ciri demikian. Ia menduduki sebuah sofa linen, pinggangnya merasa nyaman saat ia bersandar di sana. Ia coba menyalakan ponselnya sekali lagi, berharap baterainya terisi secara ajaib, namun barang itu tak kunjung menyala kendati tombol daya-nya ditekan berulang kali. Lalu ia kembali mengangkat wajah, mendapati seorang laki-laki berdiri di samping meja bundar besar tengah memegang ponsel. Laki-laki itu mengangkat ponsel setinggi wajah, mencuri lihat ke arahnya dan balik melihat ponselnya. Hal itu dilakukannya lebih dari tiga kali.

Aneh. Yang seperti ini jelas orang aneh.

Dia menyunggingkan bibir, memberi senyum tipis yang Renjun tampik jauh-jauh. Mungkin memang orang aneh, atau orang iseng, atau sedang melakukan tantangan di internet, dan mungkin saja ia tersenyum pada orang lain bukan padanya. Ini adalah pelajaran dasar bagi setiap umat manusia: jangan berinteraksi dengan orang yang bahkan tidak kauketahui warna matanya.

Renjun pikir ia tengah mengada-ada; bahwa lelaki itu mulai berjalan menghampirinya, tetapi lama-kelamaan jarak antara mereka semakin menyempit hingga hanya dipisahkan satu petak ubin. Renjun kembali mendongak, laki-laki itu masih mengangkat ponsel dan menilik wajahnya dengan alis bertaut. Sejurus, senyumnya mengembang.

“Renjun?” suaranya serak, agak dalam, di luar dugaan. Pikiran Renjun kemudian melayap pada ciri tinggi, berambut coklat, hidung mancung, dan bibir tipis. Laki-laki ini cocok dengan semua itu, kecuali beberapa ekstra.

Ekstra. Haechan tidak cerita kalau dia memiliki banyak tindikan di telinga dan juga tato, dan dia memakai selop tanpa kaos kaki, di awal musim semi. Diam-diam ia mengutuk Haechan. Jeno dan Haechan sudah berpacaran lebih dari setahun dan dia tidak pernah sekalipun bercerita kalau Jeno punya teman yang sangat menawan.

Renjun adalah tipe yang suka menempelkan stiker. Bemper mobilnya memang polos, tapi ada pernak-pernik imut menggantung di kaca spion, juga mainan yang kepalanya bergerak-gerak ketika mobil tengah melaju; di cangkang iPadnya penuh tempelan gambar. Tapi, ia tidak pernah, dan tidak akan mau menempelkan gambar apapun di atas kulit, lebih-lebih jika permanen.

“Er … ya?” jangan bilang, dia adalah teman Jeno yang akan menemaninya berbelanja perabotan rumah. “Jaemin?”

“Ah! Benar ternyata!” Jaemin berseru riang. “Ya, Na Jaemin.” Ia meraih tangan Renjun dan menjabatnya erat.

Renjun masih terkejut dengan semua ini, tapi ia berhasil mengendalikan diri untuk membalas keramahannya dengan remasan sederhana saat mereka berjabat tangan. “Menunggu lama?”

“Tidak terlalu,” Jaemin melepas pegangannya di tangan Renjun. “Untung aku ke area showroom ruang tamu, tadi aku menunggumu di area dapur.”

Renjun mengernyit, “Ini area dapur.”

Jaemin menyipitkan mata lalu tersenyum menyeringai, “Kurasa bukan. Aku yakin tidak akan ada yang menyimpan sofa empuk di dapur.”

“Aku akan jadi orang pertama yang melakukannya.”

“Aku tidak menyarankan,” Jaemin tertawa. “Um … IKEA virgin?”

“Sori?”

“Itu julukan untuk orang yang baru pertama kali mendatangi IKEA.”

“O-oh, ya, kurasa. Kau?”

“Jelas bukan.”

Jaemin mulai menginisiasi langkah pertama untuk keluar dari area tersebut, pikiran Renjun menerawang ke mana pria ini akan mengajaknya pergi.

“Apa Haechan memaksamu untuk membantuku?” tanya Renjun.

“Tidak. Kebetulan, aku juga ada urusan pekerjaan.” Jaemin mengeluarkan buku catatan kecil dari tas selempangnya dan sebuah pena dengan cangkang coklat mengilap, ia membuka halaman pertama — yang sepertinya berisikan daftar belanjaan — kemudian menilik barang-barang yang ada di sekitar mereka. Sesekali dia menggumam sendiri atau bersenandung, suaranya biasa-biasa saja, tapi Renjun bisa hafal beberapa lagu yang ia nyanyikan. Sepertinya mereka berbagi selera musik yang mirip-mirip dan berada dalam garis usia yang sama.

“Kau juga mencari sesuatu?” Renjun bertanya lagi.

“Mm-hm … pesanan orang.” ia menulis sesuatu di bukunya. Tulisannya juga biasa-biasa saja, tidak mirip tulisan dalam buku doa dengan tujuh jepitan perak yang dilihatnya dalam pameran buku tahun lalu.

“Kau jadi penjual tangan kedua untuk perabotan?”

“Bukan.”

“Lalu?” Renjun enggan menebak-nebak, sebaiknya bertanya langsung. Menilik penampilannya, dia seperti seorang … apa ya? Pekerjaan macam apa yang dandanannya nyentrik seperti itu?

“Arsitek.”

“Hah?”

“Arsitek.”

“Yang benar?”

“Aku sedang tidak bawa kartu nama, tapi, kau bisa mempercayaiku.”

“Wow, tanpa bermaksud kasar atau menyinggung tapi, kau pergi bekerja … seperti ini? Memangnya boleh?”

Jaemin tertawa. “Sebenarnya itu menyinggung — “

“Oh, sori, aku — “

“Tapi jawabannya tentu saja tidak. Ini hari libur. Sesekali perlu menjadi diri sendiri, kan?”

Renjun terkekeh melihat sebelah alis Jaemin yang naik. “Kukira kau seorang disjoki atau semacamnya.”

“Aku tidak berbakat di bidang itu.”

“Pernah coba?”

Jaemin menggeleng, matanya menyipit ketika membaca sesuatu yang tercetak di label kuning. “Tidak pernah berminat.”

“Apa arsitek juga memilihkan perabotan?”

“Kadang-kadang. Tapi, sedikit selingkuh dari pekerjaanku, yang ini hanya hobi. Aku suka menata furnitur,” Jaemin meliriknya. “Haechan bilang, temannya juga sedang memilih perabotan. Jadi aku rasa berbelanja bersama seorang teman bisa jadi ide yang bagus, tapi, maaf kalau aku jadi mengganggu hari liburmu seperti ini.”

“Nah, aku bisa libur kapan saja kok. Aku berniat libur lagi di hari Rabu.”

“Begitu ...” Jaemin memberikan tanda centang di ujung halaman lalu menutup buku dan mengembalikannya kembali ke dalam tas. “Bukan hari yang biasa untuk libur.” kata Jaemin.

Renjun menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, “Aku kerja di rumah. Hanya pekerjaan kekanakan kalau orang bilang.” Dia sedikit benci untuk menahan napas ketika berbicara dengan Jaemin. Tapi memang orang ini enak dipandang. Kepalanya pening.

“Haechan tidak bilang begitu padaku,” Jaemin mengulum senyum.

“Apa yang dia katakan?”

“Kau merakit miniatur.”

“Ya memang.”

“Seperti apa?”

“Model pesawat terbang, tank, dan kapal tempur. Itu spesialisasiku. Aku tidak merakit gundam, by the way.”

Mata Jaemin membulat, “Jadi memang ada pekerjaan seperti itu?” kemudian, seakan sadar akan pertanyaanya yang kurang sopan, Jaemin membekap mulutnya sendiri. “Sori, aku tidak—“

“Oke, kita impas. Tidak apa-apa,” Renjun mengibaskan sebelah tangannya, tertawa kecil alih-alih tersinggung. Pria ini benar-benar lucu.

“Bukankah kesenangan membeli miniatur seperti itu adalah saat kau merakitnya sendiri?”

“Tidak semua orang suka melakukannya. Aku suka.”

“Keren.”

“Biasa saja kok. Pekerjaanmu jauh lebih keren,” mereka mulai melemparkan pujian satu sama lain, dan Renjun makin merasa lucu.

“Di sebelah mananya?” Jaemin mengatakannya dengan nada yang dinaikkan, membuatnya terdengar sangat menyedihkan secara berlebihan.

“Membuat rumah untuk orang lain, kurasa itu keren.”

“Nah, terkadang orang-orang yang banyak maunya itu bisa sangat menjengkelkan. Misalnya, mereka minta tangga yang berbunyi seperti piano tiap kali diinjak, atau rumah dengan banyak kaca tetapi tidak panas. Meskipun malas dan agak mustahil, ya terpaksa harus kuusahakan. Minimalnya 80 persen mendekati harapan.”

“Kau seperti jin kalau begitu,”

“Jin?” alis Jaemin terjinjing naik.

“Mengabulkan keinginan?”

“Astaga, aku tidak keluar dari dalam botol untungnya,” Jaemin menggiringnya menuju sebuah lorong, “Sebelah sini.”

Ruangan ini sangat besar dan sengaja dipetak-petak menjadi beberapa bagian, masing-masing dibuat ruang tanpa dinding. Ketika Jaemin membawanya ke area khusus furnitur dapur, dia tidak pernah membayangkan bentuknya akan seperti ini. Dia seperti diajak berkeliling ke dapur-dapur orang lain. Beberapa keluarga terlihat mengitari salahsatu dapur buatan dan bertingkah seolah itu adalah milik mereka sendiri. Barangkali terbawa suasana, karena Renjun pun begitu.

Dia juga baru sadar akan mudahnya percakapan dibangun ketika bersama Jaemin. Renjun mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang gampang bersosialisasi terlebih lagi jika hanya berdua saja seperti ini. Barangkali karena tindak-tanduk Jaemin menarik bagi Renjun atau mungkin karena hal lain yang belum bisa ia jabarkan.

Jaemin kembali mengeluarkan catatannya dan berjalan menuju satu dapur, Renjun mengekorinya. “Haechan bilang kau juga mencari beberapa perabotan untuk dapur, ya?” tanya Jaemin sembari menilik konter yang berjejer.

“Uh-huh.”

“Bagus. Karena kebetulan PR-ku banyak sekali untuk urusan dapur,” kian lama senyum Jaemin semakin lebar, Renjun tak melihat tanda-tanda canggung lagi di wajahnya seperti di menit-menit awal mereka bicara. “Jadi bisa sekalian.”

Tetapi senyuman itu malah membuatnya canggung alih-alih rileks. Renjun mencoba mengalihkan perhatian dengan menyentuh setiap barang yang ia lewati, menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, dan mengecek ponsel yang mati. Entah apa yang ia cek; layar ponsel itu hitam karena kehabisan daya. Ketika dia akan memasukkan ponsel ke dalam saku untuk yang ketiga kalinya, dia menjatuhkannya. Ponsel miliknya membuat debam kecil di linoleum yang membuat Jaemin sadar lalu menoleh ke arahnya. Mata Jaemin kemudian jatuh pada ponsel di dekat kaki meja dan ia langsung membungkuk, memungutnya.

“Ya Tuhan, ponselmu mati.” Katanya.

Renjun tergelak, “Baterainya memang habis,”

“Oh ... kupikir gara-gara jatuh,”

Renjun memberinya tatapan terimakasih dan masih berusaha untuk rileks, tapi demi Tuhan, kakinya pegal.

“Renjun,” Jaemin memanggilnya, dia mendongak. “Apa kau suka ini?” Jaemin menunjuk sebuah keranjang susun yang ditempel di dinding. Keranjang susun itu memang cantik, polanya minimalis dan tampak kokoh. Akan tetapi, tinggi susunan keranjang itu nyaris sepantar dengan kepala Jaemin, malah lebih tinggi. Bakal jadi masalah buat dirinya sendiri kelak.

“Tidak.”

“Kalau ini bagaimana?” kali ini lelaki itu menunjuk shelving unit yang lebih sederhana dan pendek.

“Aku rasa oke.”

Jaemin menunjuk banyak barang dan meminta persetujuan Renjun, setelahnya dia akan mengecek label harga untuk melihat lokasi produk; nomor rak dan bagiannya. Dia akan mencatatnya untuk diserahkan pada petugas toko nanti.

Satu jam berlalu tanpa Renjun sadari, pegal di kakinya belum berangsur-angsur membaik. Dia berjalan agak lambat dan Jaemin nampaknya menyadari hal itu. Lelaki berambut coklat itu sengaja memperlambat langkahnya juga dan mencoba untuk mencairkan suasana dengan sedikit bermain-main.

“Renjun,” entah sudah berapa kali namanya dilesatkan melalui suara itu. “Kupu-kupu dalam bahasa spanyol, Rimforsa.” Jaemin memegang sebuah keranjang kayu dengan label Rimforsa.

Renjun memutar bola matanya, “Itu Mariposa, Jaemin.”

Jaemin tergelak, “Oh, don’t call my name, don’t call my name, Allehanda.” Dia menyanyikan satu baris lagu Lady Gaga sembari memegang mangkuk pengaduk kue.

“Alejandro.”

You’re so sensuell, Renjun.” Pada kalimat ini, Renjun bisa paham bahwa Jaemin hanya membuat plesetan kata Sensual dengan merek peralatan masak, tapi dia merasa sedikit senang untuk yang satu ini.

“Hentikan, kau konyol sekali,” Renjun mengurut kening sambil menahan kikik geli di tenggorokannya. “Aku tidak tahu kalau kau suka bercanda.”

“Memang tidak,” Jaemin kembali menggantungkan satu panci besar di dinding dan mencatat nomor rak di kertas lagi. “Hanya pada saat-saat tertentu dan orang-orang tertentu.”

Apa laki-laki ini sedang merayunya? Mana mungkin.

Apalagi di menit ke-lima setelah kalimat candaan itu mulai lenyap dalam benaknya, Renjun baru menyadari bahwa di salah satu jari Jaemin terselip cincin perak tanpa ornamen yang membuatnya tetap spesial. Cincin kawin atau cincin tunangan atau cincin yang pasti sepasang dengan milik pacarnya, memangnya apa lagi.

Siapa sangka dia bisa memupus ingatan perihal mantan pacarnya dalam sekejap kemudian kembali mengingatnya dalam hitungan waktu yang tidak terduga pula. Ingin mengatakan semua laki-laki sama saja, tapi toh dia laki-laki juga. Lagipula, Jaemin memang tidak benar-benar merayunya kok.

“Menghabiskan waktu untuk berbelanja perabotan, terlebih lagi untuk orang lain. Apa tidak sayang?” tanya Renjun.

“Tidak juga. Aku punya banyak waktu luang,”

“Tidak menghabiskannya bersama keluarga?” Renjun mulai mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Ia hanya perlu tahu, demi Tuhan. Untuk keperluan sains.

“Ayah dan Ibuku baru pindah ke Sincheon-dong bulan lalu, jadi —” Jaemin mengedikkan bahu.

“Istrimu atau mungkin dengan pacarmu?”

“Hah? Apa Haechan dan Jeno tidak memberitahumu bahwa aku—oh,” Jaemin mengangkat tangan kirinya. “Ini bukan apa-apa.” seolah bisa membaca pikiran Renjun, Jaemin memberikan penjelasan singkat mengenai cincinnya.

“Bagaimana mungkin itu bukan apa-apa?” senyum Renjun terasa getir.

“Tidak, sungguh. Di usia segini, aku mulai direcoki pertanyaan soal pasangan terutama di tempat kerja. Tentu saja aku belum ada di usia wajib menikah, kau tahu. Tapi orang-orang selalu ingin bertanya soal itu.”

“Jadi?”

“Jadi aku beli cincin bohongan.”

“Apa kau mengatakan ini pada orang tertentu saja?”

“Hanya pada orang yang curiga, seperti dirimu,” Jaemin mengedipkan sebelah matanya, jantung Renjun seperti hendak ditarik keluar. “Dan omong-omong, aku gay. Kau keberatan?”

“Tentu saja tidak. Aku juga sama.”

“Wah, syukurlah!”

Apa laki-laki ini sedang merayunya? Mungkin saja.

Lagi-lagi terperangkap dalam kesenyapan yang begitu kontras dengan riuhnya pengunjung toko. Pembicaraan mengenai orientasi seksual memang bukanlah hal yang ringan meskipun cuma selewat, meskipun sudah bukan menjadi hal yang ditutup-tutupi. Seharusnya dia merasa sedikit senang akan pengakuan Jaemin, serius, dia punya hak untuk berbahagia barang sebentar saja.

“IKEA membuatku linglung.” cetus Renjun. Ia tidak suka kesenyapan di antara mereka.

Sudut-sudut mata Jaemin mengerut ketika dia tersenyum, “Tetapi bagiku dan juga mungkin kebanyakan orang, tempat ini seperti hutan modern yang menyenangkan. Kau tersesat tetapi kau bahagia,”

“Oh, yang benar saja,”

“Aku bilang kan untuk beberapa.”

“Terlalu banyak barang, sulit untuk menentukan pilihan.”

“Karena itu sebaiknya kau membuat daftarmu sendiri. Mereka punya katalog kok.”

“Aku tidak akrab dengan barang-barang begini dan ngomong-ngomong, nanti yang memasang barang-barang tadi di dapurku siapa? Aku tidak bisa melakukannya. Aku mahir menyusun barang-barang dengan skala satu banding tiga ratus tapi kalau yang besar begini, jangan harap.”

“Mereka punya pekerja yang bisa dimintai tolong untuk memasangkannya. Jangan khawatir.”

“Barang ini bagus,” Renjun menunjuk sebuah panci dengan polesan cat kuning.

“Yang itu bisa diambil langsung.”

“Aku tidak harus mencatatnya lagi?”

“Hanya perlu kau ingat-ingat saja. Labelnya merah.”

“Apa artinya?”

“Artinya bisa kau ambil sendiri di lantai bawah.”

“Kau tahu banyak.”

“Pengalaman.”

Mereka bertukar senyum. Jaemin sudah berlagak seperti pegawai IKEA karena ia tahu banyak hal tentang toko ini.

Jaemin menuliskan nama barang terakhir di lembaran yang dipegangnya lalu menguap. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, tetapi Renjun tak yakin. Tanpa sepatah kata pun, Jaemin berjalan meninggalkan area dapur; menuju lantai bawah tempat di mana Renjun bisa mengambil perabotan kecil yang ia inginkan lalu setelahnya mereka berjalan menuju tempat pembayaran.

Betapa waktu berjalan begitu cepat ketika kita sedang terlibat dalam situasi menyenangkan. Renjun agak menyayangkan hal ini. seandainya saja ia pergi ke IKEA dari pagi hari.

Di tengah perjalanan, sekonyong-konyong Jaemin berhenti dan berjalan menghampiri Renjun—sebab Renjun berjalan begitu lambat dan jarak di antara mereka menjadi sangat jauh.

“Jam berapa?” Jaemin menunjuk jam di pergelangan tangan Renjun menggunakan matanya.

“Delapan, kenapa?”

Satu setengah jam sebelum toko tutup. “Setelah ini kau ada urusan lain?”

“Tidak. Mungkin aku akan pulang dan memasang rak yang baru kubeli tadi.”

Jaemin menggaruk pelipisnya, senyumnya agak kaku. “Er, apa kau tahu kalau IKEA juga punya restoran? Aku rasa belum terlambat untuk mengajakmu makan malam.”

Apa pria ini sedang merayunya? Sepertinya begitu.

“Aku tak yakin, makan malam di rumah sepertinya lebih menyenangkan. Kudengar makanan di restoran IKEA tidak terlalu enak.”

“Memang sih, rasa kopinya juga biasa-biasa saja.” Alis Jaemin turun, senyumnya kini pudar alih-alih, senyum Renjun kian lebar. Pipinya agak sakit.

“Aku ingin mengundangmu makan malam, jika belum terlambat. Sekalian coba panci baru ini.”

Jaemin terlihat menarik napas lega. Semoga saja. “Aku akan membantumu memasang raknya, sebagai balas budi.”