when you feeling upset and take a moment for looking around. You realize, there’s no shoulder for you
Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.
Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.
Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.
Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.
Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.
Tanpa dukungan.
Tanpa apresiasi.
Tanpa dihargai.
Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.
Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.
Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.
Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.
Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.
Lagipula, apa yang dia harapkan?
Kepedulian?
Siapa dia?
Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.
Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.
“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.
“Ini.”
“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”
Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?
Cuman Luna.
Luna saja yang dibelikan.
Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.
“Ra—“
“Gue ke atas dulu, ya. Duluan Kak Dewa.”
Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.