Write.as

suara

#Suara Dewa podcast 0.1

Adrianna Laura.

Begitu katanya, sewaktu dia pindah ke sebelah rumah dengan ia yang bersembunyi di belakang Luna yang justru memberikan seulas senyuman.

Pada mulanya, dua kembar cilik yang memiliki distansi dua tahun dengan saya itu, justru menaruh presepsi bahwa Luna yang kakak sementara Laura si adek.

Mungkin saking pemalunya, apalagi dia yang bersembunyi di belakang saudaranya itu.

Adrianna Laura.

Perempuan yang entah sejak kapan menjadi dekat. Padahal, dia tidak memiliki gestur distraksi, tetapi netra hitam ini menyorotnya terus-terusan sewaktu dia yang duduk di podium RPTRA sembari menopang dagu. Saat mengikuti arah pandangnya, barulah sadar bila perempuan itu memandang adiknya yang diajari sepeda oleh kedua orang tuanya.

Saat mendekat dan bertanya, “Kenapa gak belajar?”

Dia bilang, “Papa cuman mampu beli sepeda satu. Dan itu untuk Luna. Laura nanti dibeliin, sih. Tapi gak sekarang.”

Bocah itu mengerucutkan bibirnya, membentuk bebek dan menghela napas. “Mungkin karena Laura kakak. Jadi, harus mengalah.”

Terkekeh sedikit, lantas menghadiahkan perempuan itu dengan kepala yang diusap.

Lantas, momen itu terjadi begitu saja ketika saya membantunya mengendarai sepeda.

Adrianna Laura.

Dia baik.

Gadis itu memang baik dari dulu hingga sekarang. Pada mulanya dia memang pemalu, menutup diri dari keramaian, bahkan ketika ia menghadiri forum sekolah, saya yang duduk di barisan paling depan bersama Luna karena perempuan itu sama-sama menyukai kegiatan aktifis sekolah bisa melihat bahwa dia lebih memilih di sudut ruangan.

Saat diajak untuk ke depan karena ada saya di sana, jadi perempuan itu sedikit kemungkinan untuk mendapatkan sasaran pertanyaan, Laura tetap menolak dan bilang ia tidak biasa.

Dia memang pemalu, tetapi kalau bersama saya dia bisa membicarakan banyak hal, bahkan hal-hal tidak penting seperti melihat kucing hilang dengan bulu lebat bisa diobrolkan bermenit-menit olehnya.

Adrianna Laura.

Saya mungkin memang dekat, tapi ada di satu sisi bahwa bagian dari diri saya tidak terlalu mengenalnya. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak terlalu menahu mengenai perempuan itu apakah memiliki teman atau tidak.

Ketika saya kelas tiga SMP dan menunggu Pendalaman Materi berlangsung, saya melihat perempuan itu keluar sendirian. Tidak mengobrol dengan siapa pun, ketika orang-orang pulang dengan rombongannya.

Tidak ada Luna, karena tahu perempuan itu ada kegiatan OSIS di dekat podium. Saya bahkan tidak pernah barang sekali saja melihat Laura pulang dengan kembarannya, bahkan ketika ada kesempatan pun, saya hanya melihat Laura pulang terlebih dahulu sementara Luna yang akan paling terlambat ketika massa sudah membubarkan diri untuk mengobrol dengan teman kumpulannya.

Adrianna Laura.

Bilamana perempuan itu memiliki nama pasaran seperti Putri, Sasa, atau Dwi mungkin yang disebutkan oleh publik justru “putri-putri” yang lain dan namanya tidak akan pernah disebutkan sebab perempuan itu lebih memilih untuk membatasi dirinya.

Pun jika membahas tentang si kembar, nama yang paling disebutkan khalayak adalah Luna, bukan Laura.

Karena sedikit orang yang tahu tentang presensinya. Bahkan, saya yakin, hanya saya seorang yang tahu tentangnya.

Dulu, dia percaya dengan saya. Dan kini, saya menghancurkannya.

Sebab, saat Luna mengirimkan pesan tentang untuk menjemputnya dan berniat menunggu di dalam, langkah yang tadinya ingin memasuki rumahnya, terhenti ketika perempuan itu bersuara dengan keras meski terdengar parau tentang hak asuh anak.

Perempuan itu berhenti melangkah begitu menangkap presensi saya di muka pintu.

Sorotannya yang penuh luka, begitu menembus betapa hancurnya ia. Pandangannya tidak lagi sama dengan yang dulu.

Dan itu membuktikan betapa menyesal dan ikut hancurnya harga diri saya ketika Laura sama sekali tidak menatap dengan harapan.

Meski hancur begini, kelereng hitamnya tidak menyorot untuk meminta diselematkan, melainkan tatapan yang makin menyendu membuat saya sadar.

Bahkan untuk menyembuhkan lukanya tak akan pernah berarti sebab ketika dia yang dulu hanya memiliki saya, justru tangan yang seharusnya mengulur untuk menolongnya, justru ditepis dan mengulur pada seseorang yang bahkan lukanya tak sedalam gadis itu.

Saya menyia-nyiakannya.