aurora, nirvana, and i prefer you to world


cw: mental health issues and implisit suicidal thought and suicidal scene


sebatang karanya

terduduk ia di samping sebuah nisan tua yang tanahnya digali ulang. menempatkan peti adik kecilnya yang didapatkan dari uang belasungkawa warga, yin bersimpuh dengan lutut yang membeku. kuburan bapaknya itu sudah ia bongkar dua kali dalam setahun ini. empat bulan lalu untuk menyemayamkan ibunya dan hari ini menyamankan tidur kekal adiknya. penyakit bangsat, persetan duit dan pemerintahan. menangis ia tersedu menyalahkan intensitas dirinya yang masih bertahan. mengapa dunia menahannya dalam kesendirian bukannya menyatukan dengan keluarganya? kenapa bukan ia yang sakit dan meninggal dunia?


racun otaknya

bila gelap itu malam dan terang itu siang, maka yin tak tau lagi yang lainnya. penjara bertajuk dunia ini terlalu menekannya. l'appel du vide. saat ia di ketinggian, maka kepalanya menggemakan hasrat meloncat. saat ia berada di jalanan, maka kepalanya meneriakkan loncatlah ke depan kendaraan yang melaju kencang. dan saat ia berdiri di hadapan ombak ganas menghantam karang, maka bisikan di telinganya menitah untuk ikut menghantamkan diri ke karang di antara sapuan ombak dan kerasnya bebatuan. ia hanya tak memiliki harapan, itu saja. bila dunia memang nafsunya ketidakadilan, maka bolehkah yin menjuluki dirinya sebaga korban atas penganiayaan?


secercah terang selain siang

seterik mentari yang bersinar di awal musim semi, yin menggeret lunglai tungkainya kembali ke pemakaman. dehidrasi menggerogot dan kewarasan menguap perlahan bersama sadar. ia jatuhkan dua lututnya di hadapan gundukan yang masih bersemu coklat tanah dibalik tanpa rerumputan. adiknya pasti haus, maka ia curahkan sebotol air sungai segar yang ditangkup sendiri dari sungai samping rumah. sekian waktu berlalu, angin malam berhembus membawa beku selimuti kering tubuhnya. “kupikir kamu setan” kekanakkannya suara itu membelai gendangnya. sambutan sebuah sapu tangan yang diikat membalut leher berosarionya mengagetkan yin beserta sang sukma. “malam ini dingin, tapi ribuan bintangnya bertaburan” dia yang mendudukkan diri di samping yin menengadahkan pandangan pada langit berhias titik-titik berkilauan. seolah hangat menyamankan, atensi si asing menyerobot dalam gundahnya. “namaku war” dalam pandang yang tenggelam, sebuah kata yin telan: indah.


keindahan yang dibawanya

udaranya kering dengan sapuan angin yang menggigil. wajarnya, banyaknya manusia memilih menyeduh ramuan rempah apabila tiada kerja. namun beda yang satu dengan tawa dan semua cahayanya, war berlari di antara ilalang separuh tingginya. membawa telapak mungilnya menggerayah helai-helai yang menyapanya. rumah kecil yang selalu membangkitkan kebencian yin, sejenak benderang. semua loncatan dan kekehan riangnya membius segala dunia yin. kiblat barunya, doa di tiap ibadahnya: sosok kecil yang sedang berputar itu termakna begitu luar biasa memutar arah sengsaranya menjadi berkah. “alangkah indahnya kalau tulip-tulip bermekaran di halaman rumahmu” ia berbalik dan tersenyum. detik selanjutnya, seolah menghipnotisnya: sebuah anggukan yin utarakan menanggapi usul yang dikasih.


semalam hangat bersamanya

sibuknya sedari sore memotong ilalang, merapikan taman dan menanam umbi tulip terbayar sudah. di hadapan gemericik aliran sungai, mereka berpelukan dalam balutan selimut yang sama. jari-jari kaki mereka mungkin membeku, namun tak apa karena ada satu sama lain yang saling menghangatkan. lembayung langit yang membentang dan bintang yang bertaburan seolah ingin mencurahkan afeksi pada keduanya. jemari kecil tangan si mungil menunjuk gemerlap itu, menghubungkan satu rasi dengan rasi lainnya dan menceritakan seluruh kisah yang mungkin ia ketahui tentang perbintangan tersebut. gemasnya membawa yin mengeratkan rengkuhan, mengikis jarak dan menyapukan nafasnya di pundak war. seolah waktu enggan beralih, cumbuan mereka menegaskan cinta. setiap detik yang terlewat, menyalurkkan kata yang bahkan tak perlu mereka ungkapan dan satu sama lain sudah saling mengerti artinya. “aku suka melihat bintang, tiap satuannya memiliki arti dan keindahannya masing-masing”, yin mengusap perut war pelan sedang bibirnya sibuk mencium ringan ujung lengan kanan memperdengarkan kecipak manis, “namun, mereka paling indah di pemakaman, dimana tiada cahaya lain maka mereka menjadi luar biasa”. war tersenyum menolehkan kepalanya. dan syukur yin, keputusasaannya membawa dirinya bertemu si pencinta gemerlap itu.


bisikan mimpinya

kalau ada hal yang paling ingin yin lakukan dalam hidupnya adalah: bukannya kehidupan, ia hanya ingin bersama war. mengawal cintanya itu menggapai apapun yang ia inginkan. bahkan sejak lalu, yin tak mengharapkan lagi nafas. namun, hadirnya war menjadi oksigen baru baginya. tiada hidupnya, jikalau war tak merengkuhnya. pernah sekali war mengatakan suatu tentang aurora. tanpa tau apa itu, yin bekerja pagi buta menabungkan pundi uang demi mencari cara mewujudkan obsesi war menggenggam aurora. sakit persendiannya tak terasa karena fatamorgana senyuman semestanya terukir di kepala. naasnya, warlah yang kesakitan menatap nanar luka dan lebam di tubuhnya. “kenapa kerja kalau malah terluka?” yin membuang mukanya: tak sanggup ia menatap indah mata war yang mengakumulasikan sendu, “katanya kau ingin aurora”. war memukul bahunya pelan, dengan cemberut di bibirnya membimbing yin berbaring dalam ketidakempukan kasur lawas rumah kecil yin. mengikuti disampingnya, menempatkan diri di dalam rengkuhan lengan kiri yin, war memeluk pingangganya erat. “legendanya, kamu akan bisa bertemu arwah yang meninggal dalam aurora” war mengangkat jemarinya, memainkan ujung poni yin yang mulai panjang, “aku memang ingin bertemu dengan keluargaku yang tiada, namun aku tak ingin kehilangan kamu yang kini keluargaku juga”. ia kecup ringan sisi rahang yin terdekat, “jangan bekerja terlalu keras, jangan sakit”. hangat.


akhir kesebatangkaraannya

tanaman di taman mulai menguncup. bakal tulip indah itu: membulat kuning, ungu dan putih. semestanya jadi gemar duduk di depan pintu atau sekedar di balik jendela saat anginnya berhembus kencang. hal yang selalu ia gumamkan tiap sore tatkala menyiram kuncup-kuncup itu adalah, sudah setahun ya. senyumnya cerah sejalan dengan awal musim semi yang kembali menyapa keduanya. bila yin telisik lagi, betapa hebatnya war mampu membuatnya hidup setahun penuh gembira. yin yang menimbakan air dari sungai menyenandungkan irama syahdu bukti syukurnya pada tuhan, rosarionya menggantung di leher bergandengan dengan dua buah cincin murah pasaran yang ia pilih hati-hati sambil mengingat si kasih. maaf, apabila murah tiada uang yang yin mampu kumpulkan. “bulan depan taman ini pasti akan penuh warna-” war mengambil alih ember di tangan yin dan kembali menyirami bakal bunga luas mereka, “mari undang warga desa melihat tulip-tulip yang bermekaran”. yin tersenyum, semua tentang war selalu menghangatkannya. “war” ia turunkan ember di genggaman war ke tanah, matanya menatap lekat manik kemilau karamel itu. usai melepas sebuah cincin dari kalungnya, ia raih kembali tangan war pada telapaknya, “saat bunga ini bermekaran, maukah kamu menjalani sisa hidupmu bersamaku?”. dalam senyum malu-malu yang lucu, ia anggukkan kecil kepalanya. dan waktu-waktu setelahnya, hanya diisi pelukan dan bisikan aku mencintaimu.


hardiknya pada dunia

dua hari ia tak kembali ke rumah, yin terjebak di gudang bahan makanan desa. katanya musim panas ini akan terjadi paceklik agaknya panjang. kepala desa meminta beberapa pemuda yang bekerja padanya untuk mengecek isi gudang dan mencatatnya. sekembalinya ke rumah, dalam angannya terskenario pelukan-pelukan hangat dan menenangkan dari cintanya. harapnya akan hilangkan segala lelah tubuh dan batinnya, mengisi ulang energinya. namun, mencelos hatinya melangkahi petak ubin lantai rumah. war diam tak menyambutnya, ia tergeletak lemas di atas kasur dengan sehelai selimut menangkupnya. demam di kulitnya dan sesak di dadanya. war yang terbangun karena isak-isak kecil yin tersenyum membelai pipi kirinya, “hush, sebentar lagi aku juga pulih”. mengangguk ia menggenggam jemari war yang malah terasa dingin di pipinya. inginnya marah pada dunia, yin ketakutan akan rasa kehilangan lebih banyak lagi.


sebentar lagi adalah kebohongannya

lewat tiga hari sejak yin menemukan war sakit dan pada gelapnya malam, ia sepenuhnya kembali ditinggalkan. di pagi tatkala mentari menyapa masuk jendela depan, yang yin temui hanyalah tubuh war yang mulai dingin. cahaya dunianya meredup dan hilang. semestanya berputar dan hilang. cinta dan kasihnya meninggal dan hilang. runtuh bahagianya dan segala syukurnya. dunia benar-benar mempermainkannya. dikiranya anugerah tuhan tak terhingga, namun apakah yin hanya hamba yang tak didambakannya?


sebatang karanya: kedua kali

yin menuntun langkah dan condong tubuhnya kembali. mengelus pelan lemah rosario di pertengahan selangkanya. cincinnya ia tinggal bersandingan degan kuburan satu liang bersama keluarganya. langkahnya membawanya melangkah pada rumahnya, rumah kecil yang tak bernyawa. hanya bata dengan perapian tanpa bara yang tak menyala. dinginnya buruk, kukunya membiru. sekelebat bayang terimaji, dilihatnya pusat kegembiraannya berlarian di antara indah kuncup tulip. senyum abstrak terukir, sedihnya enggan mengambil alih. semestanya itu sedang tertawa seperti biasanya. menampakkan kecil kesepuluh gigi atasnya. pesonanya memabukkan, mengajak yin untuk menjemputnya.


akhir kesebatangkaraannya: kedua kali

di hadapan taman kuncup tulip dengan daun berembun air segar baru disiram, rumah kecil di antara pepohonan suram dan jernih sungai yang menyejukkan itu berkilauan di dalam api yang menjilat udara. oksigennya tipis, asap yang membumbung. dengan foto cinta kasihnya digenggaman kiri dan rosario di kanan, ia mendoakan hujan setiap sore paling tidak sampai april. dengan begitu, tamannya akan berkembang. alangkah indahnya, bila dari nirvana yin dan war dapat menikmati tiap bunga yang merekah sembari bergandengan.


sryingeryin