25th Wedding Anniversary of The Batara

“Vel, ini kemejanya” kepala Adam, supir keluarga Harvel yang seumuran dengannya, menyembul dari balik pintu kamar Harvel yang tidak tertutup rapat.

“Oh iya makasih, taro di kasur aja, Dam” Harvel menjawab sambil menutup pintu kamar mandi.

Selesai mandi, Harvel siap-siap sambil ngaca di kaca full body berukuran besar. Rambutnya di hair dryer, lalu memakai parfum Coco Mademoiselle favoritnya untuk acara-acara semi formal kayak sekarang. Beda sedikit dengan parfum yang biasa dipakainya ke kantor, tapi masih ada hint citrus yang kuat seperti wangi khasnya.

“Vel, udah?” Mama masuk kamar Harvel, mengecek putra satu-satunya yang masih ngaca dengan gugup.

“Udah, Ma” Harvel menjawab, menepis deg-degan yang merayapi hatinya. Harvel menarik nafas, meyakinkan diri sendiri kalau Marvel nggak seburuk yang ada di pikirannya.


“Anjir, gue kira siapa” Harvel mengembuskan nafas kesal saat bahunya ditepuk oleh seseorang yang ternyata Rendra.

“Tumben ikutan, ada Julius?”

Rendra mengangguk, mengambil tempat duduk di sebelah Harvel yang duduk di kursi paling pinggir.

“Ikut semua tuh anaknya, tiga” merujuk ke keluarga Dewantara. “Gue mau nginep tempat Julius, nanti ada temen kuliah juga nyusul maleman”

Harvel meringis. Pengen caper sama Julius, tapi nggak jadi soalnya jiper bayangin Marvel.

'Lah, peduli setan sama Marvel' Harvel ngebatin, menepis pikiran sebelumnya.

Nggak lama kemudian, Julius dan Marvel bergabung. Kalau Sebastian nggak usah ditanya, emang nggak pernah duduk sama barisan anak-anak. Lebih sering keliatan bergaul sama om om temen-temen Papanya, soalnya banyak ngobrol tentang bisnis juga sih.

“Geser sini, Ren” Julius tiba-tiba aja duduk di sisi meja satunya, tapi di posisi ujung. Kemudian mengisyaratkan Rendra untuk geser dua bangku, jadi berhadapan dengan Juliusnya sendiri.

Posisinya adalah mereka duduk di meja panjang berkapasitas delapan orang yang dibagi empat-empat berhadapan, tapi Harvel juga nggak tahu dari enam bangku yang kosong kenapa Rendra disuruh geser ke ujung. Ujung-ujungnya Harvel geser dua bangku juga, ngebiarin bangku di sisi kanannya kosong dan bener aja, Marvel duduk di sebelahnya.

“Sengaja ya lu” Harvel mendesis pelan saat semuanya udah duduk rapi.

Marvel mengangkat alis. “Apanya?”

Harvel menggeleng, malas kalau ternyata Marvel cuma pura-pura nggak tahu. Matanya dipusatkan ke buku menu yang dikasih pelayan yang baru aja naro menu di meja, tanpa dia tahu kalau Marvel dan Julius lagi bertukar pandang. Julius mengulum senyum, menerima ucapan terima kasih kakaknya via telepati.

“Ren” Harvel menyenggol Rendra yang lagi baca buku menu. “Itu Jay Miller bukan sih?”

Rendra mengangkat wajah sebentar, lalu mengangguk. “Iya”

“Kok bisa ada di sini?”

“Anaknya JKings” kali ini Julius yang menjawab.

Bibir Harvel membulat. Baru tahu kalau Jay Miller yang artis juga anaknya JKings. Dia kenal anak-anak JKings, tapi dia pikir anaknya cuma perempuan, dua orang.

“Kayaknya dia baru kali ini ikut, gue berapa kali ngobrol sama dia sih dia nggak pernah cerita apa-apa” Julius menjawab rasa penasaran Harvel.

“Lu kenal?”

“Kenal” Julius mengangguk. “Pernah satu series project

Harvel mengangguk-angguk. Masih kagum kenapa relasi Papanya aneh-aneh banget, setiap profesi mulai dari udara, darat sampai laut ada semua kayaknya.

“Halo halooo” Jevion muncul dengan heboh. Tangannya menggandeng Javier yang lebih kelihatan kayak saudara kandungnya daripada Clinton.

Mereka saling bertukar sapa. Marvel hampir aja kelepasan tertawa saat Julius mukanya sepet soalnya Jevion malah duduk di sebelahnya, baru Javier baru Clinton. Nggak ada peka-pekanya sama sekali.

“Jev, sini aja lu ngapain di situ” Clinton memanggil.

Julius rasanya pengen sungkem. ’Clinton pengertian banget, besok harus dikirimin big mac 5 paket ke rumahnya.' Julius mencatat dalam hati.

Javiernya sih nurut nurut aja, nggak pusing sama keadaan sekitar soalnya keburu asik ngobrol dengan Rendra dan Harvel.

Nggak lama kemudian, acara dimulai. Nggak terlalu formal, cuma acara doa bersama kemudian potong kue dan tiup lilin. Lalu seperti biasa, sambutan dari anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa, alias kembar yang nggak ada mirip-miripnya. Acara berjalan hangat, suara tawa terdengar dimana-mana beradu dengan dentingan piring dan alat-alat makan.

“Vel” Harvel memanggil Marvel yang lagi asik sama ponselnya.

Yang lain entah kemana. Ada yang ke toilet, ke depan sebentar entah ngapain, terus nggak tahu lagi. Di meja sisa mereka berdua. Mungkin break makan bentar, soalnya abis ini bakal ada dessert yang akan diantar ke meja.

“Hm”

“Marvel”

Kali ini, Marvel menoleh. Pandangannya bertemu dengan pandangan Harvel yang udah gugup setengah mati. Bibirnya digigit-gigit, keliatan banget nervousnya.

“Soal yang kemarin” Harvel menelan ludah. “Maaf ya. Gue nggak tahu kenapa refleks, tapi gue minta maaf banget. Gue nggak berniat kayak gitu”

Tulus. Marvel bisa merasakannya, tapi hatinya pengen ngerjain Harvel aja dulu.

Marvel memasang wajah datar. Tangannya meraih gelas berisi lemon tea di atas meja. “Iya”

“Udah gitu doang?” Harvel bertanya, kesel sendiri.

Marvel masih mainin es batu di dalam gelasnya, lalu mengangkat wajah. “Terus lu maunya gue gimana?”

“Nggak gimana gimana” Harvel buang muka, nyesel protes.

'Goblok, ngapain protes sih uda bagus diiyain'

“Dimaafin, Harvel” Marvel berucap.

Harvel pengen nangis aja, suara Marvel lembut banget kayak sutra. Hatinya kayak diremes-remes, memaki-maki dirinya dalam hati kenapa harus nampar orang yang nggak bersalah. Dia tahu Marvel nggak terluka gara-gara tamparannya, tapi harga dirinya kayak habis diinjak-injak.

Marvel mengusap belakang kepalanya, bikin Harvel menoleh tapi nggak sanggup menatap mata Marvel.

“Eh, lu nangis?” Marvel bertanya panik pas sadar Harvel nggak bisa natap matanya.

“Nggak, apaan sih” Harvel menepis tangan Marvel yang bertengger di kepalanya.

“Jangan pegang-pegang, nggak enak diliat orang” kali ini Harvel berucap dengan suara pelan.

Marvel mengangguk, balik ke minumannya buat ngunyah es batu.

“Kenyang nggak?” Marvel bertanya tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Kenyang nggak? Gue nanya”

“Nggak”

“Abis ini makan nasi goreng yuk, ada yang enak di Taman Suropati. Nggak jauh kok, belakang Mandarin Oriental doang”

Harvel mengangkat alis. “Gue nggak bawa mobil”

“Yailah, gue anter. Lu balik ke mana?”

“Balik ke rumah. Udah nggak usah, nanti bokap nyokap gue nanya nanya”

“Biarin aja, kan kenal sama gue”

Harvel menimbang-nimbang. Sebenernya kalau Marvel mau anterin balik, Mama Papanya pasti setuju. Tapi kan, Harvelnya nggak setuju. Cuma bayangan makan nasi goreng malem-malem sambil strolling kota Jakarta seru banget, Harvel pengen juga. Romantis. Udah gitu dia emang laper karena porsi makanannya lebih mirip anak SD diet. Dikit banget, ini mah makan indomie dua porsi juga dia masih kuat.

'Idih apanya yang romantis, gue kan nggak lagi nge-date' buru-buru dihilangkannya pikiran barusan. Capek juga, ngebatin mulu selama deket-deket Marvel.

“Mau nggak? Gue tau lu nggak kenyang makan cantik model begituan”

“Yaudah. Mau sate taichan sekalian nggak? Gue pengen makan itu”

“Boleh. Yang di parkiran Senayan kan?”

“Hu um”

Tuh kan bener, waktu Marvel dan Harvel minta ijin ke Mama Papa masing-masing yang lagi duduk satu meja, semuanya ngeliatin mereka berdua dengan tatapan kaget dan bertanya-tanya. Nggak cukup keluarga mereka berdua, disana ada keluarga Adhinata dan Batara yang juga terheran-heran. Biasanya, anak-anak mereka nggak ada yang seakrab itu sampai bisa cabut bareng.

Harvel rasanya pengen tenggelem aja. Seakan-akan penderitaannya belum cukup, waktu mereka pamitan sama temen-temen yang lain, satu meja senyum-senyum. Ketara banget ngeledekin. Marvel juga nggak membantu, tingkat pedenya diatas rata-rata banget.

“Pulang ke rumah kan, Kak?” Julius bertanya, menekankan kata rumah.

Harvel mendelik, harga dirinya udah nggak ada lagi.

“Aduh, pertanyaan lu ga penting banget” Clinton berkomentar sambil ketawa-ketawa.

“Biarin aja mau pulang ke mana, udah gede” Jevion menambahi.

“Udah sana cabut” Rendra berucap, yang lain dadah dadah.

“Anjir gue udah ga tau mau taro muka di mana lagi” Harvel nyap-nyap pas keduanya udah nutup pintu mobil.

Sebenernya Marvel nggak bawa mobil. Kemarin Papanya nyuruh anak-anak buat pulang dulu ke rumah, biar berangkat bareng. Tapi pas dapet ide kayak gini, buru-buru dia ngechat asisten rumah tangganya buat minta supirnya bawain mobil. Tumben banget Harvel nggak ada angin nggak ada hujan mau diajak jalan, jadi dijabanin aja dulu. Biarpun setelah itu dia harus nambah uang lembur supirnya, tapi nggak apa-apa. Demi Harvel, jiaaakh.

Marvel ketawa doang, tangannya sibuk sama audio.

“Nih, pasang lagu” hpnya disodorkan ke depan Harvel.

Harvel ngalah, males mikirin kejadian barusan. Tangannya mengetikkan profile spotifynya sendiri, lalu muter playlistnya.

“Taichan dulu atau nasi goreng dulu?”

“Deketan mana?”

“Hampir sama”

“Taichannya kita take away, terus makan bareng nasi goreng. Gitu aja?”

Harvel mengangguk setuju. “Yaudah”