Dari Hati ke Hati

Harvel ngelirik jam di dashboard mobilnya.

11:50; masih ada sekitar 10 menit sampai jam makan siang. Harvel menghela nafas. Sebenarnya dia nggak suka cabut dari kantor untuk urusan yang nggak penting. Apalagi, belakangan ini kerjaannya bener-bener numpuk dan Harvel sendiri nyaris nggak punya waktu selain buat mandi, makan dan kerja. Makan pun, sambil kerja.

Tadi waktu dia cabut, dia bisa ngerasain aura nggak enak dari seluruh ruangan. Kali ini, Harvel milih buat bodoamat. Papanya udah minta dia buat naik dan megang jabatan baru. Setelah bertahun-tahun dia bertahan kerja di lingkungan yang sibuk nyinyir dengan privilege yang dia punya, akhirnya kali ini dia beneran pake privilege yang dia punya.

Beberapa waktu lalu, Harvel sempet ketemu sama Rendra dan dia malah berakhir cerita tentang masalah kerjaannya. Rendra cuma satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya “lu anak yang punya D&G, dikasih privilege buat langsung dapet posisi enak, ngapain mulai dari bawah?”

Jawaban Harvel selalu sama.

Pertama, dia emang beneran mau dan harus belajar dari nol. Papanya nggak segampang itu memberikan kemudahan buat dia. Ada bagusnya sih, Harvel juga tau kalau semuanya harus dilakukan secara bertahap.

Kedua, dia sendiri emang pengen mematahkan stigma orang-orang tentang privilege dan membuktikan kalau dia sanggup mulai dari nol.

Sampai akhirnya, Rendra yang sejak awal diem doang ngedengerin, nanya di akhir kalimat Harvel; “Emang lo mau ngebuktiin ke siapa?”

Harvel beneran cuma bengong selama beberapa detik, mencerna baik-baik pertanyaan Rendra yang sebenarnya nggak ada jawabannya.

Sama Papa? Jelas nggak. Papanya cuma nempatin dia jadi auditor independen selama setahun, buat ngebiasain Harvel aja. Suatu hari nanti, dia tetap akan naik dan menjabat jadi CFO. Makanya, dia juga harus ambil sertifikasi CMA.

Sama senior-senior dan rekan kerjanya yang sibuk julidin anak pemilik perusahaan yang cuma lagi pencitraan dengan mulai karirnya dari nol? Harvel juga nggak tau. Tapi stigma tentang privilege itu udah dia dapatkan dari sejak jaman kuliah.

Waktu orang-orang tau kalau Harvel anak yang punya D&G, semua orang melabelinya dengan kalimat “Masa depan lu mah udah terjamin, tinggal nerusin bokap”. Harvel nggak pernah sadar kalau asumsi orang-orang itu bikin batinnya berperang dan dia jadi sibuk memenuhi ekspektasi orang lain yang bahkan nggak akan pernah bisa dia puaskan.

Pertanyaan Rendra malem itu nggak terjawab karena Harvel cuma bisa nelen Patron Anejo yang malam itu nggak tau kenapa malah bikin kerongkongannya kering.


Harvel nggak bisa nahan senyum waktu baca chat terakhir dari Marvel. Biasanya, Marvel yang ngatain dia ketinggian gengsi. Sekarang, liat siapa yang gengsian setengah mati.

Manusia emang nggak pernah ngaca.

Harvel pindah ke seat belakang waktu dia liat Marvel keluar dari pintu kaca, terus celingak-celinguk bentar, habis itu baru jalan ke arah mobilnya. Jaraknya masih terpaut beberapa meter, tapi Harvel bisa liat Marvel sibuk ngulum senyum terus jalan dengan kedua tangan masuk kantong, ngejaga wibawanya tapi entah ke siapa.

“Sini, peluk” Harvel merentangkan tangan waktu Marvel balikin badan habis nutup pintu mobil.

Marvel narik kaki Harvel buat ditumpuk di atas pahanya, terus nggak ngomong apa-apa dan langsung meluk Harvel erat-erat. Hidungnya menghirup wangi shampoo yang menguar dari rambut Harvel di bawah dagunya.

“Mau makan nggak?” Harvel nanya waktu Marvel diem dengan posisi kayak gitu.

“Hm. Bentar” Marvel masih meluk tubuhnya erat. Suaranya agak mendem karena ketimbun rambut Harvel.

“Ih, kesemutan” akhirnya Harvel melepas pelukan mereka.

Marvel ketawa kecil, terus nyubit pipi Harvel. “Aneh-aneh aja sih, kamu”

“Kok aku? Kan kamu yang nggak nanya terus main cabut gitu aja”

“Tapi kan kamu demen sama Julius”

Harvel notice, kalimat itu diucapkan agak pelan. Kayak ada yang tertahan di dalam hati Marvel, tapi dia nggak tau cara ngungkapinnya.

“Iya, Julius ganteng”

“Tuh kan”

“Lah? Emang aku nggak boleh bilang artis ganteng?”

“Tapi kan Julius, adek aku”

“Kenapa?”

“Apanya?”

Harvel menangkup pipi Marvel, memaksa mereka bertukar pandang.

Hidung Marvel dicium sekilas, “Mau cerita?”

Marvel keliatan kayak menimbang-nimbang. “Julius ganteng”

“Hm”

“Yaudah. Nanti kamu suka”

“Kok gitu?”

“Semua mantan aku pas tau kalau Julius adek aku, caper sama Julius”

“Aku kan bukan mantan kamu”

Marvel menghela nafas. “Julius punya semua yang aku nggak punya”

“Apa?”

“Well, he's attractive”

Harvel bisa ngeliat Marvel ngegigit lidahnya sendiri di dalem mulutnya yang tertutup.

Nggak mudah buat Marvel mengakui, kalau dari kecil dia selalu insecure sama Julius. Julius udah sebersinar itu dari jaman mereka sekolah. Tipikal anak muda yang ganteng dan menuai perhatian dari semua orang, udah gitu ditunjang dengan kepribadian yang menyenangkan dan gampang berbaur sama siapa aja.

Julius juga disayang Papa. Kenyataan paling pahit yang harus dia telan karena untuk yang satu ini, Marvel nggak berniat ngebagi dengan siapapun. Bahkan dengan Harvel. Dia cuma pengen menjadikan ini sebagai bahan refleksi kalau suatu hari dia punya anak, dia pengen memastikan kalau anaknya nggak merasakan apa yang dia rasakan sekarang.

“Terus kenapa kalau Julius attractive?”

“Nggak apa-apa, emang attractive

Marvel menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Harvel. Tangan Harvel ngelus-elus kepalanya lembut.

“I'm sorry for getting you through this feeling. This must be horrible for you”

Marvel ngangkat kepalanya dari leher Harvel.

“Apa?” tanya Harvel.

“Emang kamu ngerti?”

Harvel mengangguk. “Sort of. Tapi beda dikit, soalnya Helena nggak kayak Julius”

Marvel menarik kepala Harvel, terus ditenggelemin ke dadanya. Bibirnya menghujani pucuk kepala Harvel dengan ciuman ringan sampai Harvel mendongak dan ciumannya mendarat di kening, terus ujung hidung, dan berakhir di bibir Harvel.

“Kapan kita mau makan?” Harvel bertanya waktu tangannya mendorong bahu Marvel pelan, nggak memberi Marvel waktu untuk memperdalam ciumannya.

“Kamu balik kantor?”

“Nggak. Tadi udah bilang Papa”

Senyum Marvel mengembang. “Kan, kamu tuh nggak sesibuk itu. Aku tau”

Harvel manyun. Bibirnya mencebik lucu.

“Makaaaan” kali ini dia merengek.

“Iya. Mau makan apa?”

“Nggak tau. Jalan aja dulu”

Keduanya pindah ke kursi depan setelah debat kusir nggak jelas soal siapa yang harus nyetir, terus berakhir dengan Harvel yang nyetir karena dia ngotot kalau itu mobilnya.

“Awas aja kalo kamu jawab terserah” Marvel sibuk scroll aplikasi zomato di handphonenya.

“Tapi aku beneran nggak kepikir mau makan apa, Vel”

Keduanya berakhir makan di sebuah restoran Italia di mall yang nggak jauh dari kantor Marvel karena udah laper dan males nunggu kelamaan.

Terus sengaja milih restoran yang ada smoking area karena awalnya berniat buat nyantai sampe sore, tapi akhirnya malah balik ke apartemen Marvel karena Harvel tiba-tiba bilang mau liat apartemen Marvel. Kan selama ini emang kalau tidur bareng, Marvel yang ke apartemennya. Jadi mumpung nggak jauh dan dia nggak harus balik ke kantor, dia minta ke apartemen aja.