Epilogue

“Diem kek, nyebelin banget deh” Harvel nyap-nyap waktu Marvel terus-terusan melukin dia kayak anak koala ketemu pohon.

Harvel bukannya nggak suka, tapi mereka tuh di pesawat. Pesawatnya sih nyaman, soalnya kan first class. Orang lain naik first class sebagai pilihan alternatif, alternatif kalo punya uang maksudnya; sementara Marvel naik ekonomi sebagai pilihan alternatif, alias kalo terpaksa aja. Beda kelas, lah ya.

“Masa aku nyebelin?” Marvel protes. Bibirnya manyun, sebel dikatain.

“Ya aku mau tidur, ngantuk banget tau. Mana hari ini aku kesiangan” Harvel menekankan kata 'kesiangan', masih nyindir Marvel yang jadi penyebab dia kesiangan kerja di hari terakhirnya.

Sebenernya hari ini nggak terlalu menyebalkan. Senior-senior yang biasa julidin dia nggak berani berkutik waktu acara perpisahan kecil-kecilan tadi. Malah sebaliknya, sibuk tebar pesona. Kapan lagi acara farewell sama anak bawang dihadiri jajaran direksi dari yang tertinggi sampe yang terendah? Lumayan, kali aja dapet direktur kaya raya yang lagi nyari simpenan.

Tapi kan dia tetep aja capek. Cabut kantor jam 5, terus langsung dijemput Marvel buat ke rumahnya dan ngambil koper, terus pamitan sama Mama Papanya. Abis itu tancep gas ke bandara. Nggak sempet leha-leha dulu.

“Gitu deh, nyindir-nyindir mulu. Yaudah besok-besok nggak lagi, nggak usah aja sekalian” Marvel ngambek.

Badannya dibalik, memunggungi Harvel. Jadinya malah punggung-punggungan, persis kaya pasusu lagi ribut.

Marvel balik badan lagi, makin sebel karena Harvel nih, bukannya ngebujuk malah diem aja kaya batu karang, “Kok aku didiemin?”

Nggak ada jawaban. Lah, udah tidur ternyata.

Marvel menghela nafas, jadi ngerasa bersalah soalnya Harvel ketiduran dalam hitungan detik. Keliatan banget kecapekan. Marvel jadi kepikiran, apa dia keterlaluan ya maksain terbang malem ini? Tapi penerbangan ke London kan lama, belasan jam. Dia nggak mau ngabisin waktu di pesawat doang, lagian dia pikir Harvel bisa tidur karena pesawatnya nyaman banget.

Tangan Marvel bergerak, nyibakkin poni yang nutupin alis Harvel. Tanpa sadar, bibirnya melengkungkan senyum tipis.

Marvel jadi punya kebiasaan baru sekarang. Nggak tau sounds creepy or not, tapi dia hobi banget ngeliatin muka Harvel kalo lagi tidur. Bibir penuhnya sedikit terbuka, tapi keliatannya tenang dan kalem banget. Nggak ada aura-aura macan tutul yang biasa dikeluarkan kalo lagi bangun.

'Tok tok tok'

Pintu bilik mereka terbuka pelan, menampakkan Javier yang muncul dengan senyuman lebar. Javier emang bertugas di penerbangan first class maskapai yang ditumpangi mereka malam ini, tapi Marvel nggak request khusus buat nyari nomor pesawat tempat Javier.

Tadi pas ketemu waktu naik pesawat pertama kali, ketiganya sempet ngobrol singkat, basa-basi aja. Seneng juga, ketemu kenalan sendiri kan. Marvel juga sempet manas-manasin Julius di grup keluarga, bikin adiknya ngamuk-ngamuk bete nggak jelas.

“Eh maaf, aku nggak tau Harvel lagi tidur” Javier keliatan kaget.

“Nggak apa-apa, nggak bakal bangun”

Javier mengangguk. “Mau dibawain minuman apa, Kak?”

“Air putih dulu deh, gue nggak tau Harvel mau apa. Lemon tea atau soft drink ada, Javier?”

Sekali lagi, Javier ngangguk. “Vier aja, Kak. Lemon tea ada, esnya banyak atau nggak?”

“Dikit aja, dua atau tiga lah”

“Oke, Kak”

Javier keluar, nggak lama kemudian balik lagi dengan sebotol air mineral dan lemon tea.

“Bulan ini nggak ada off, Yer?” Marvel membuka percakapan.

Javier menggeleng. “High season, Kak. Nggak ada off sampai bulan depan”

“Oh” Marvel ngangguk.

“Apa?” Harvel membuka mata waktu Javier menutup pintu. Dia kira Marvel ngajak dia ngomong.

“Lah, kebangun ya. Bobo lagi aja, Sayang. Tadi Javier dateng bawain air, kamu mau minuman lain?”

Harvel beringsut dikit, menyamankan posisi buat senderan di dada Marvel. “Nggak”

Tangannya meraih botol air mineral, terus nyicipin lemon tea. Ujungnya ngajak Marvel tukeran, soalnya kata Harvel lemon teanya enak kayak yang di bioskop. Padahal mah, emang satu merek mungkin.

“Aku baru inget” suara Harvel mengejutkan Marvel yang lagi sibuk milih film.

“Apa?”

“Kamu ngapain?”

“Mau nonton. Aku nggak bisa tidur jam segini”

Kalau menurut waktu Jakarta, emang sekarang baru jam 9 malam. Belum waktunya Marvel tidur, ntar aja dia tidur kalau ngantuk.

“Kamu tau aku dari mana? Kan aku rent kamu pake akun alter, bukan PA”

Marvel menoleh. Ini anak kalo lagi random, topiknya random banget. Mereka udah nggak pernah bahas tentang itu selama berbulan-bulan, kenapa nanyanya baru sekarang?

Marvel nginget-inget sebentar, “Oh”

Harvel ngeliatin, keliatan penasaran banget.

“Kan waktu rent, kamu cerita kalau kamu di D&G. Terus, aku juga sempet nanya, kenapa kamu lembur terus padahal kamu bilang orang-orang muji hasil kerja kamu.

Waktu itu kamu bilang 'Buat ngebuktiin, kalau aku pantes jadi anaknya'

Aku nggak mikir kalau kamu automatically anak yang punya. Waktu itu, aku mikirnya mungkin orang tua kamu tipe orang tua yang nuntut anaknya buat kerja di kantor bergengsi atau gimana, lah. Terus setelah itu kita sempet call di discord. Tapi itu kejadiannya setelah di Kempinski.

Aku ngerasa suara kamu di discord itu mirip banget sama yang di Kempinski, mana namanya sama. Terus aku cek laporan keuangan kantor buat mastiin aja, ternyata bener kamu di D&G jadi auditor”

Marvel bercerita panjang lebar. Dia sendiri juga berusaha merangkai ceritanya. Soalnya waktu itu, dia cuma berbekal feeling aja.

Harvel bengong dulu, memproses setiap kata-kata yang masuk. Berusaha merangkai kejadian di otaknya. Berakhir dengan dia yang ngerasa bodoh karena dia dan Marvel udah berkali-kali call, bahkan dulu banget mereka juga pernah phone sex, tapi dia sama sekali nggak ngerasa kalau suara Marvel di discord dan di dunia nyata itu sama.

Ya tapi, siapa yang bakal mikir Marvel yang notabene anak keluarga Dewantara bakal main akun alter sih? Apalagi sampai jadi talent boyfriend rent segala.

“Tapi kamu pernah nyesel nggak, dulu kita pernah jadi phone sex partner pas awal kenal?”

Harvel mendelik. Pipinya memanas. Kenapa kata-kata Marvel kayaknya vulgar banget padahal emang kenyataannya dia pernah membayangkan sesi panas bareng Marvel cuma dari akun alternya?

“Biasa aja sih, partner aku nggak kamu doang”

“Dih” Marvel ketawa. “Yaudah sih, biasa aja dong. Aku tau kamu banyak daddynya”

“Ish” Harvel menepis tangan Marvel yang nyubit pipinya kenceng.

Mukanya ditenggelemin ke ceruk leher Marvel, malu diledekin. Tangan Marvel mengusap-usap punggungnya, terus nggak ngelanjutin percakapan lagi dan lanjut milih film.

“Aku lebih nyesel kenapa kita nggak kenal lebih awal”

Suara Harvel pelan, sampai Marvel kira dia lagi berhalusinasi.

Tangannya berhenti dari milih-milih film, beralih menangkup pipi Harvel yang masih nempel di lehernya.

“We have nothing to regret, anyway. Cerita kita udah ditakdirin kayak gini, kalau berubah nanti lain dong?”

Harvel terdiam. Kadang-kadang, memori tentang hari-harinya bersama Marvel sejak setahun yang lalu via akun alter emang suka berkelebat di otaknya. Terus berakhir dengan rasa bersalah karena berulang kali menyia-nyiakan usaha Marvel yang mati-matian menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Hm” akhirnya Harvel menjawab.

Bibir Marvel mendarat di kening Harvel. Lama, sampai Harvel mundur dan mendongak, kemudian mempertemukan bibir keduanya.

Di atas hamparan awan putih yang membentang, dalam perjalanan udara menuju Bandar Udara Heathrow, London; ada dua tangan yang bertaut.

Tahu kalau dunia memang jahat, tetapi selalu punya ruang untuk memaafkan.

Semesta memang penuh kejutan. Penuh dengan kisah bak rollercoaster; tetapi selama Marvel dan Harvel bersama, tidak ada yang terlalu mustahil untuk dijadikan harapan.

Harvel, dan semua jawaban yang dia butuhkan dalam hidup.

Marvel, dan semua yang dia pikir tidak akan ada yang pernah bisa melengkapi bagian rumpang dalam hidupnya.