Pertemuan Kedua

Marvel menyikut Julius yang berjalan memasuki area country club sambil menunduk. “Biasa aja sih, jangan nunduk-nunduk kayak buronan begitu, Jul”

Julius menonjok lengan Kakaknya. “Males diliatin, gue tau gue ganteng tapi matanya itu loh”

Marvel mendengus. “Gantengan gue, cuma kebetulan aja lu artis”

Julius mempercepat langkahnya karena Marvel berjalan cepat mendahuluinya. Papa udah turun duluan dan berjalan ke arah lain, nyamperin temen-temennya sesama bapak-bapak.

“Cepet banget sih, jalannya. Kayaknya lu lebih kayak buronan daripada gue” Julius protes.

Marvel ketawa singkat. Matanya menangkap pemandangan laki-laki yang jadi alasan kenapa dia bela-belain ke sini hari ini.

“Hai” Marvel menarik satu kursi tepat di samping Harvel yang lagi duduk dan ngobrol sama dua laki-laki yang Marvel perkirakan umurnya beberapa tahun lebih muda dari Julius.

Ketiganya menoleh, dan Marvel dapat melihat keterkejutan luar biasa di mata Harvel.

“J-Julius? Julius Dewantara?” Harvel sampai lupa mengontrol diri saking kagetnya, yang bikin Julius juga ikutan kaget campur bingung.

Julius menyodorkan tangannya, mengajak semua yang ada di meja bersalaman. Bibirnya melengkungkan senyum ramah, bahkan matanya ikut tersenyum. Manis sekali, sampai Harvel nggak sanggup mengalihkan pandangan dari Julius.

Marvel langsung sebel. Lupa kalau adiknya itu artis, mana ganteng lagi. Harvel terang-terangan ngeliatin Julius dengan pandangan kagum. Nggak lepas barang sedetikpun seolah-olah kalau Julius nggak diliatin bakal langsung poof– ngilang.

“Boleh foto nggak?” Harvel bertanya dengan penuh harap saat semuanya udah duduk lagi.

Mejanya bulat, dan mereka duduk melingkar dengan Marvel di sebelah kanan Harvel, sementara Julius di sisi kirinya, lalu kedua laki-laki yang tadi ngobrol dengan Harvel yang setelah sesi kenalan, Marvel tahu namanya Jevion dan Clinton; kembar fraternal dari keluarga Batara.

“Sama gue?” Julius bertanya.

Harvel mengangguk bersemangat, sampai rambutnya bergerak lucu. Matanya membulat, ketara sekali mengagumi ciptaan Tuhan yang sekarang memenuhi netranya.

Julius tertawa, “Boleh lah”

Harvel menyodorkan ponselnya ke laki-laki yang ada di sebelah Julius. “Fotoin, tolong, hehe”

Jevion yang duduk di sisi kiri Julius mengambil ponsel Harvel, “Sini”

Clinton geser dua bangku, jadi duduk di sebelah Marvel yang mukanya sepet. “Kenapa, Kak? Sakit perut?”

Marvel menoleh, tersenyum merasa bersalah karena ekspresinya kebaca. “Nggak kok”

Clinton nyengir. “Harvel cowok lu? tanyanya.

Marvel terkejut, 'to the point banget' komentarnya dalam hati.

“Bukan kok, kenapa?”

“Muka lu kayak orang yang lagi cemburu pacarnya ngeliatin orang lain” Clinton menjawab, kali ini agak berbisik. Seulas senyum jahil terbit di bibirnya.

Marvel mencebikkan bibir. “Sok tau ah” akhirnya Marvel tertawa. Asik juga, seenggaknya Clinton nggak kaku kayak anak-anak temen Papanya yang lain. Mungkin bisa jadi temen ngobrolnya.

“Kok gue nggak pernah ketemu lu sama- Jevion?” Marvel bertanya, tidak yakin dengan pengucapan nama kembaran Clinton. Takut salah nama.

“Emang baru kali ini ikut”

Marvel mengangguk-angguk paham. “Besok-besok, ikut lagi aja.” Detik berikutnya, Marvel bingung dengan dirinya sendiri. Biasanya kan, dia sendiri paling malas acara-acara beginian. Kenapa sekarang dia jadi seolah-olah promosi dan pengen berbaur?

“Gue ke depan dulu, Rendra udah sampe” Julius menyenggol Marvel.

Yang disenggol menoleh, lalu mengangguk. Julius emang ngajak manajernya buat nyamperin aja ke sini, karena acaranya bukan acara formal. Cuma kumpul-kumpul biasa. Lagian, Rendra dan Marvel juga udah kenal karena beberapa kali ketemu. Malam ini, Rendra juga bakal nginep di rumah mereka karena besok Julius harus terbang ke Makassar buat syuting film.


Harvel memainkan ponsel, gelisah entah karena apa tapi hatinya gelisah aja. Dia sadar banget, sejak Marvel dan Julius sampai, Marvel nggak berhenti menatapnya. Mereka udah sempet saling sapa, tapi nggak ngobrol karena Harvel keburu terpukau pas ketemu Julius.

Harvel sempet ngefans sama Julius. Dia nonton film-film yang dibintangi Julius, bahkan follow akun Twitter dan Instagram Julius segala. Nggak yang gimana-gimana sih, tapi selagi ada kesempatan emas ketemu Julius secara langsung, ya dia minta foto. Lumayan, buat pamer ke temannya atau siapapun yang bisa dipamerin.

Waktu Julius pamit dan bilang kalau mau jemput manajernya di lobby country club, Harvel tersentak. Dia nggak tau kalau Ren, temannya di akun alter suatu hari akan beneran ketemu di dunia nyata. Tapi yaudahlah, Harvel sadar dunia mereka emang sempit sih. Harvel juga lupa banget kalau Julius Dewantara anak keluarga Dewantara, yang berarti circlenya nggak jauh dengannya. Mereka nggak pernah ketemu karena Julius sibuk dengan jadwalnya dan nggak ngambil bagian apa-apa di Perusahaan. Tapi bukan berarti nggak ada kemungkinan ketemu.

“Seneng banget, ketemu adek gue” Marvel membuka percakapan.

Harvel menoleh, menahan senyum yang belum pudar karena bisa ketemu salah satu artis papan atas Indonesia yang yahh- bisa dibilang idolanya. “Seneng lah, ganteng banget” Harvel memuji, mengabaikan penekanan 'adek gue' yang diucapkan Marvel.

Marvel mendecakkan lidah. “Gantengan juga gue”

“Ih, beda”

“Gantengnya beda, soalnya Kak Marvel juga ganteng?” Clinton nimbrung, sok polos. Padahal dalam hati pengen ketawa, ngebatin kenapa dua orang ini kayaknya nggak bisa menutupi ekspresi sama sekali.

“Mulut lu nggak ditatar ya” Harvel misuh-misuh, males kalau Marvel sampai keluar kepedeannya.

Marvel ketawa-ketawa. “Yaudah, yang penting di mata lu, gue ganteng”

“Idih, pede banget”

Ketiganya tertawa, kecuali Harvel yang mukanya berubah sepet. Jevion menoleh ke arah kembarannya, yang setelah dijelasin singkat lewat kode-kodean langsung paham ceritanya dalam sekejap. Telepati kali, namanya juga kembar. Atau emang segitu saling kenal dengan pribadi kembarannya aja, makanya cepet banget nangkepnya.

“Kenalin nih, Rendra. Manajer gue”

Rendra nyalamin semuanya satu per satu, dengan cepat berbaur dengan Marvel, Clinton dan Jevion.

Harvel bertukar pandang dengan Rendra, yang dengan satu tatapan langsung paham semuanya. Seneng juga, akhirnya mereka kenal di dunia nyata. Nyatanya, nggak butuh waktu lama untuk mereka berenam bisa akrab dan ketawa-ketawa bareng walaupun umurnya pada beda-beda dan terpaut lumayan jauh.

“Javier nggak datang, ya?” Julius melempar pertanyaan ngambang entah buat siapa, berharap salah satunya bisa menjawab. Mereka udah duduk di meja selama 40 menitan dan laki-laki yang dia tunggu malah nggak keliatan batang hidungnya.

“Harusnya datang kok, tadi Papa ada nyebutin Papanya” Jevion menjawab.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Javier menghempaskan pantatnya di kursi, lalu basa-basi sebentar sebelum akhirnya memesan minuman.

“Adek lu kenal sama Javier dari mana?” Harvel bertanya, sedikit berbisik saat melihat Julius dan Javier ngobrol. Sepengetahuan Harvel, Javier kan pramugara. Jadi jarang ikut acara mereka, dan Julius juga baru sekali dua kali ikutan. Harvel yang di tiap kesempatan selalu ada nggak pernah liat interaksi keduanya.

“Yee kepo aja” Marvel menjawab iseng.

“Dih, yaudah”

Marvel mencubit pipi Harvel pelan. “Nggak usah ngarepin adek gue, tipenya nggak kayak lu”

Harvel menghapus jejak cubitan Marvel di pipinya, lalu mendelik galak. “Siapa juga yang ngarepin, orang gue cuma nanya”

“Tipenya bukan yang kayak lu” Marvel mendekatkan mulutnya ke telinga Harvel, kali ini berbisik lebih pelan biar nggak kedengeran siapapun.

“Soalnya yang tipenya kayak lu, itu gue”


“Vel”

Harvel yang lagi cuci tangan mengangkat mukanya, melihat orang yang memanggilnya dari cermin besar di depannya.

Harvel tersenyum. “Brightest night?”

Rendra ketawa singkat. “Bagi nomer lu dong, biar kalo mau ngobrol nggak perlu dm lagi”

Harvel dengan senang hati menyebutkan nomornya. Sejujurnya lega juga, dari temen virtual berubah jadi temen dunia nyata. Udah gitu bukan orang aneh-aneh.

“Lu dari kapan, jadi manajer Julius?”

“Sejak pertama kali Julius ngambil job. Gue sama Julius temen deket dari SMA”

Harvel belum sempat merespon saat ponsel Rendra berdering dan laki-laki itu ngasih kode kalau dia akan langsung balik ke meja, yang disambut dengan anggukan paham dari Harvel.

“Kok langsung kabur sih?” sebuah suara menyapa pendengaran Harvel. Samar-samar karena tabrakan dengan suara pengering tangan otomatis, tapi Harvel nangkep kata-katanya.

Harvel berbalik badan, agak kaget karena jarak Marvel lumayan deket sama dia.

“Kenapa lu? Darah rendah?” Marvel menyadari Harvel yang hampir limbung.

“Nggak”

Marvel memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya menatap Harvel dari kepala sampai ujung kaki. Bikin yang diperhatiin risih karena merasa dinilai.

“Dikit lagi gue colok mata lu”

“Galak banget sih”

“Biarin”

“Emang gue salah apa?”

Harvel tertegun. Sejujurnya, dia juga nggak tahu kenapa dia jadi galak banget sama Marvel. Padahal mereka kan cuma one night stand dan harusnya setelah itu dibawa profesional aja, nggak perlu galak-galak. Tapi kok bawaannya pengen jutekin Marvel, ya?

Harvel menghela nafas. “Nggak tau”

Marvel menaikkan alis, lalu maju satu langkah. Harvel refleks mundur, punggungnya membentur tembok.

“Apa?” Harvel bertanya, menutupi rasa gugup yang menyergap, nggak jelas juga apa penyebabnya.

“Kangen” Marvel berucap, sambil matanya memperhatikan bibir Harvel yang setengah terbuka. Marvel sendiri kaget habis ngomong, mulutnya kayak bergerak sendiri. Tapi dia berusaha mempertahankan posisinya, penasaran sama reaksi Harvel.

'Plak'

Pipi Marvel memanas. Tamparan Harvel cukup keras, kulit pipinya terasa perih.

Harvel nggak ngomong apa-apa setelah itu. Kakinya melangkah cepat meninggalkan toilet. Jantungnya berdegup nggak normal, otaknya berkali-kali merutuki tangannya yang refleks nampar Marvel padahal seharusnya dia nggak perlu bertindak sekasar itu.

Tapi bahkan untuk menyuarakan permintaan maaf, Harvel udah nggak punya muka lagi.