Harvel dan Filosofi 'Losing Control'

Harvel menghapus setetes air mata yang jatuh ke kertas latihan soal di mejanya dengan kasar. Dia benci menangis, tapi hatinya sakit saat dia keluar dari chat roomnya dengan Marvel. Dia benci saat-saat dimana rasanya semua keputusan yang diambilnya salah.

Harvel melempar handphonenya ke kasur, lalu mendongakkan kepala dan menatap langit-langit kamarnya. Matanya perih karena dia menahan air matanya dari tadi, yang walaupun akhirnya lolos juga meski cuma setetes.

Dia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebuah coat. Pikirannya kusut dan dia ingin menenangkan dirinya sebentar.

Arc de Triomphe. Sejak Harvel menginjak Paris, tempat itu menjadi satu dari beberapa tempat favoritnya. Bagian atas Arc de Triomphe yang tidak terlalu ramai apalagi jika tidak sedang musim liburan selalu menjadi tempat terbaiknya untuk menenangkan diri. Harvel beberapa kali ke sana saat kepalanya penat karena terlalu banyak belajar atau ketika dia justru tidak bisa berkonsentrasi belajar karena pikirannya dipenuhi dengan Marvel.

Apa Marvel makan dengan teratur seperti reminder yang setiap hari dia berikan untuk Harvel? Apa Marvel beristirahat dengan cukup setelah beban kerjanya bertambah? Terakhir kali Marvel -eh, Miguel– bercerita kalau pekerjaannya luar biasa sibuk. Marvel tidak bercerita secara detail, tapi kemudian dia tahu kalau ada beberapa hal tambahan yang dikerjakannya. Biar bagaimanapun, laki-laki itu mengemban tugas menjadi seorang Chief Financial Officer di usia yang sangat muda. Atau sesederhana, apakah Marvel baik-baik saja? Dan; apakah Marvel merindukannya?

Marvel Dewantara; how dare this person steps into his damn fragile heart and not even stepping out now?

“Len, aku keluar bentar, ya. Ke Arc de Triomphe, terus cari kopi mungkin. Nanti aku kabarin kamu” Harvel berucap cepat, takut adiknya notice suara bindengnya.

“Oh- oke. Hati-hati, Kak” Helena terdengar seperti mau bertanya sesuatu, tapi diurungkannya. Harvel juga tidak berniat bertanya.


Harvel berbelok ke Avenue Mac-Mahon. Kakinya melangkah memasuki Café Latéral; salah satu cafe tidak jauh dari Arc de Triomphe. Di tengah perjalanan tiba-tiba dia berubah pikiran. Pilihannya jatuh pada salah satu cafe yang biasanya ramai pada saat weekend, tapi hari ini tidak begitu ramai dan Harvel tertarik untuk mencoba croissant atau tarte tatin mereka kalau dia tertarik.

Harvel memasang airpods ke telinganya, lalu tangannya memilih playlist lagu untuk menemaninya. Gerakan jarinya terhenti, ada playlist yang pernah dia buat untuk Marvel dulu, saat dia jatuh hati pada pribadi laki-laki itu melalui akun alternya. Lalu dia tidak merubah playlist itu dan menambah beberapa lagu yang mengingatkannya dengan Miguel.

Playlist ini juga yang diputarnya di mobil Marvel saat mereka memutuskan untuk berteman dan menghabiskan malam untuk makan nasi goreng, sate taichan, berkeliling Jakarta dan berakhir di Puncak.

Lucu sekali. No matter who Marvel is, he would always fall for him.

Jarinya bergerak, menyusun satu per satu lagu di dalamnya. Tadinya, dia sempat berpikir untuk menghapus playlist itu saat periode rent terakhirnya berakhir. Tapi itu sebelum dia tahu, kalau Marvel adalah Marvel dan Miguel.

Losing control; a forbidden story to tell. Untuk kisahnya di akun alter dan Miguel, yang mungkin akan disimpannya sendiri entah sampai kapan. Dunia akan meragukan perasaannya untuk orang dari dunia virtual, jadi cukup dia yang tahu.

“Can you be the one to hold and not let me go? I need to know; could you be the one to call when I lose control?” Kenyataan bahwa hatinya jatuh berkali-kali untuk orang yang sama, yang jika orang-orang tanya, jawabannya sederhana; Karena dirinya kehilangan kontrol atas hatinya.

“I'm like 'ooh, damn.' So suddenly, I'm in love with the strangers.” Untuk hatinya yang jatuh kepada Marvel yang bahkan belum dikenalnya, dan Marvel yang punya sejuta cara untuk mengulas senyum di bibirnya.

“Maybe we're perfect strangers, maybe we're not forever.” Marvel dan Miguel; orang-orang dari dunia virtual yang dia pikir hanya rasa sementara.

“All I want is to stay a little longer now.” Kalau malaikat mendengar doanya, Harvel ingin kisahnya dengan Marvel bertahan lebih lama lagi.

“I don't even try looking for something new cause wherever I go, I'll be looking for you.” Mulai dari detik dia membuka mata, hingga detik dia menutup matanya setiap malam; ada Marvel Dewantara dalam setiap bagian dalam dirinya.

“Been waiting and waiting for you to make a move fefore I make a move.” Hatinya berteriak, memaki-makinya untuk setiap detik yang dibuangnya untuk mempertahankan egonya.

“I didn't know that I was starving till I tasted you.” Pipinya memanas. Malam yang dia lewati dengan Marvel; malam-malam paling indah yang pernah dialaminya selama hidupnya.

“We're just strangers in passing casually. It's not us no more, it's just you and me.” Hari-harinya dengan Marvel; sesaat lagi dia tutup.

“Don't ever want to see things change cause when I'm living on my own. I'll wanna take it back and start again.” Harvel lelah. Hati dan pikirannya terus menerus berperang. Dia merindukan Marvel; Marvelnya.

“And there goes the alarm ringin' in my head like somebody said, “Don't you trust him?” No.” Pikirannya berkali-kali mengingatkannya; tidak ada hubungan yang dibangun atas dasar ketidakjujuran. Hatinya berkali-kali mengingatkannya; tidak ada hubungan yang berjalan dengan sempurna tanpa kesalahan dan saling memaafkan.

“I tell you that I want you but it's complicated.” Ceritanya dengan Marvel terlalu rumit hingga dia bahkan tidak tahu harus memulainya dari mana.

“They expected me to find somewhere. Some perspective, but I sat and stared right where you left me.” Hari-harinya dengan Marvel di dunia virtual berputar kembali di otaknya. Berhenti pada malam di mana dia menceritakan bagian dari dirinya yang tidak pernah dia bagikan kepada siapapun, tapi malam itu dia bagikan kepada Marvel. He's stucked. Karena satu-satunya orang yang akhirnya bisa memahami dirinya; adalah Marvel.

“Life isn't like the movies but it sure will make you cry.” Air matanya hampir melesak keluar. Salahkah Harvel jika dia ingin merasakan happily ever after seperti dalam film-film?

“But my heart is so invested, I don't wanna face the truth.” Kalau hubungannya terjalin secara virtual, kenapa perasaannya terasa aktual?

“I know we didn't end it like we're supposed to and now we get a bit tense.” Harvel tersenyum sedih. Harvel dan Marvel; pictured in one sentence.

“I hope you'll understand in the morning that this is just my problem that I'm solving.” Harvel dengan idealisme kejujuran yang dipegangnya kuat-kuat. Harvel dengan hatinya yang memohon maaf dari sang pemilik hati.

“What if I fall? Then am I the monster?” Senjata yang selalu Harvel tusukkan pada dirinya sendiri untuk menghilangkan bayangan Marvel dari pikirannya; tapi kalau hatinya menolak, Harvel bisa apa?

“Don't know if I'll see you again someday but if you're out there, I hope that you're okay.” Harapan dan doa yang selalu Harvel panjatkan kepada malaikat. Dia ingin, Marvel baik-baik saja. Marvelnya; baik-baik saja.

“Just hold on tight, you're closer than you know.” Kalau Harvel boleh egois, dia ingin meminta agar Marvel bertahan.

“Hold me like you did before or just run away.” Biar Marvel yang memilih, karena Harvel lelah dengan pilihan yang dibuatnya untuk dirinya sendiri.

“I'd go to hell and back if I could go there with you.” Kali ini, Harvel tidak berbohong. Kalau Marvel bersedia, dia rela pergi kemanapun; bersama Marvel.

“All this time I was wasting hoping you would come around.” Harvel menelan café crème yang menemaninya sore ini. Perasaannya saja, atau kopi hari ini lebih pahit dari biasanya? Ck, dia sendiri yang meminta Marvel pergi dan dia sendiri juga yang mengharapkannya kembali.

“I let my ego swallow me and that's why I might never see you again.” Seperti ada sesuatu yang menghujam hatinya. Ketakutan merayapinya; ini adalah pertama kalinya Harvel takut Marvel meninggalkannya.

“Stranger, who knows all my secret, can pull me apart and break my heart.” Benarkah Marvel hanyalah strangers dalam hidupnya? Berkali-kali Harvel memikirkan jawaban atas pertanyaan ini.

“Cause I could fall for you if I wanted to but I can't.” Terlambat. Harvel sudah jatuh terlalu dalam dan kini dia tidak menemukan jalan keluar.

“Take a piece of my heart and make it all your own so when we are apart you'll never be alone.” Harvel menarik nafas panjang. Kali ini sungguh-sungguh berharap pada semesta; untuk memberikannya kesempatan kedua.

Harvel menyesap kopinya yang mendingin, bersiap untuk pulang ke rumah.

Marvel; jawaban dari semua yang Harvel butuhkan dalam hidup.