Harvel dan Pekerjaannya

Mata tajam Marvel tidak lepas sedetikpun dari Harvel yang berulang kali memainkan Apple pencil. Entah disentuh-sentuh asal ke layar iPad, atau diputar-putar atau digerakkan di sela-sela jarinya.

Sejak Marvel memasuki ruangan, Harvel nggak menatap matanya sama sekali kecuali saat dia harus berbicara dengan Marvel yang untungnya nggak banyak. Harvel menghitung dalam hati, dia cuma ngomong ke Marvel dua kali.

Harvel bisa merasakan suasana ruang rapat yang menegang, atau lebih tepatnya suasana di sekitarnya. Dia tahu Marvel menatapnya lekat-lekat sampai dia takut seluruh ruangan sadar kalau Marvel memperhatikannya seperti itu. Dalam hati, dia benar-benar menyumpahserapahi Marvel yang entah kenapa malah terlihat mengintimidasi hari ini.

Harvel memejamkan mata sekilas dan menarik nafas lega saat rapat ditutup. Satu per satu anggota rapat meninggalkan ruangan hingga tersisa Harvel dan sekretarisnya.

“Saya ingin bicara sebentar dengan Pak Harvel” suara Marvel terdengar di ambang pintu, mengisyaratkan sekretaris Harvel untuk memberinya waktu.

Yang namanya disebut mengangkat wajah, berhenti dari kegiatan merapikan barang-barangnya di atas meja.

“Tinggal aja” Harvel berucap pada sekretarisnya, menyisakan dirinya sendiri di dalam ruangan dengan Marvel yang masuk dan menutup pintu.

“Kenapa?”

“Ada yang mau gue omongin pas jam makan siang”

Harvel mengecek jam di pergelangan tangannya. Satu jam lagi. “Ngomongin apa?”

“Nanti aja, pas makan siang”

“Kalau bukan tentang kerjaan, kapan-kapan aja” Harvel mengangkat barang-barangnya, berjalan melewati Marvel.

“Lepas. Ini masih jam kerja” Harvel menatap sikunya yang ditahan Marvel.

“Gue ada salah?”

“Nggak”

“Terus kenapa?”

Harvel menyentak sikunya. “Karena gue tau yang lu omongin pasti bukan urusan kerjaan. Gue sibuk, Marvel. Banyak yang harus gue kerjain dan gue nggak punya waktu ngobrolin hal-hal diluar urusan kantor di jam kantor yang bahkan nggak pernah cukup buat kerjaan gue. Kita bisa ngobrol di lain waktu, yang jelas bukan hari ini, apalagi siang ini”

Marvel melepas siku Harvel, membiarkan laki-laki itu meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Batinnya bertanya-tanya, apa yang membuat Harvel kembali dingin kepadanya.

Jawabannya diperoleh Marvel waktu dia memasuki mobil. Sekretarisnya ternyata lumayan tau banyak hal tentang Harvel dan dia jadi tau kalau Harvel se-workaholic itu sampai dia bahkan nggak punya waktu untuk dirinya sendiri.

Marvel memasuki rumahnya. Dia harus packing karena besok dia, Julius dan Papa akan berangkat ke Paris. Marvel sempat minta buat nyusul aja karena lusa dia harusnya ketemu Harvel di kantornya untuk membicarakan perihal audit, tapi Papanya nggak memperbolehkan dan terpaksa pertemuannya akan diwakilkan.

Tadinya, Marvel berniat untuk ngobrol dengan Harvel. Apa aja, yang jelas dia pengen ngobrol. Kalau Harvel memperbolehkan, dia bahkan pengen menghabiskan malam ini dengan Harvel. Sekedar jalan-jalan keliling kota Jakarta sambil hunting street food. Tapi kalau laki-laki itu sibuk, Marvel juga nggak mau ganggu. Hubungannya dengan Harvel udah cukup baik dan dia nggak mau merusaknya hanya karena pengen jalan-jalan sebentar dengan laki-laki itu.


Di sisi lain, Harvel memusatkan perhatian pada laptop di mejanya. Dia nggak mau bersikap dingin kepada Marvel, terlebih ketika hubungan mereka sebenarnya udah bisa disebut “teman”. Tapi dia kenal Marvel dan dia tau dirinya sendiri. Sekali aja mereka makan siang bareng, bukan nggak mungkin besok-besok Marvel muncul di kantornya untuk ngajak dia makan siang lagi dan berakibat kerjaannya malah keteteran.

Periode audit memang memakan waktu. Kerja dari pagi ke pagi seolah-olah nggak pernah cukup. Tapi Harvel tau ini tanggung jawab dan pilihannya sendiri. Dia sebenarnya menikmati, dia cuma lagi nggak mau berdebat dengan Marvel perihal kebiasaan nggak sehatnya ini. Bukan kepedean sih, tapi Harvel tau aja. Tau Marvel akan komplain dengan cara hidupnya yang lembur tiap hari sampai lupa makan. Soalnya, semua orang kayak begitu. Harvel udah males dengerin saran orang lain karena buat dia, nggak ada yang paham kecuali orang itu juga akuntan publik. Jadi lebih baik dia aja yang menghindari perdebatan.

Satu hal yang Harvel masih penasaran sampai sekarang, kenapa laki-laki itu nggak kepikiran untuk meminta satupun social media atau minimal nomor handphonenya? Maksud Harvel, generasi millennials pasti orang-orang yang nggak bisa lepas dari komunikasi secara online tapi kok kayaknya Marvel nggak keberatan dengan kenyataan itu? Bingung aja, soalnya biasanya ketika dia kenalan dengan orang baru kan hal pertama yang diminta adalah nomor handphone. Yaudah lah, mungkin Marvel nggak kepikiran karena mereka selalu ketemu di acara-acara orang tua masing-masing.