Last Night in Paris

“Vel, lagi pengen makan apa?” Harvel bertanya sambil scroll browser, tapi nggak jelas nyari apa.

“Di Pur' – Jean-François Rouquette yuk. Masih sempet kalau reserve jam segini, reserve jam 8 aja”

“Hah?” Harvel mengangkat alis. Setengah kaget karena yang disebut Marvel itu restoran fine dining di hotel bintang lima, setengahnya lagi karena pelafalan Marvel yang lancar. Bahkan lebih lancar dari dia yang udah tiga bulan ini di Paris.

“Kenapa?”

“Ya, nggak apa-apa sih” Harvel mengangkat bahu.

Masih ada satu setengah jam, emang pasti keburu. Lagian ini bukan high season, jadi nggak bakal full walaupun Jumat.

“Besok aja mau nggak? Hari ini pesen pizza aja”

“Yaudah. Kamu pesen aja, aku ngikut”

Harvel ngangguk, lalu sibuk mesen pizza dan berbagai sidedish sambil sesekali crosscheck ke Marvel kalau ada yang dia nggak setuju.

“Kamu bisa bahasa Perancis?”

Marvel mengangguk, “Kan aku tulis, di carrd”. Merujuk pada carrdnya buat Miguel Maximillian.

“Iya. Terus aku ceritain kamu ke kamu sendiri, nice” sahutnya, nyindir Marvel.

Marvel ketawa doang, “Waktu itu kan aku juga belum tau kamu”

“Tapi kan akun Miguel itu akun kamu. Terus anak-anak juga suka gibahin Miguel kan”

“Oh iya, kamu belum tau ya. Aku jadi BFR karena Tará”

“Gimana ceritanya?”

“Dia pernah cerita kalau dia pengen rent BFR gitu, tapi nggak tau mau nyoba siapa. Waktu itu juga BFR nggak serame sekarang, belum ada basenya. Terus yaudah, aku bikin terus rekomen akun aku sendiri, hehe” Marvel nyengir nggak berdosa.

“Lah, kalo gitu dia tau BFR dari mana? Terus kalo kamu jadi BFR karena dia, berarti dia client pertama? Kok dia bisa rent ga pake testimoni?” Harvel nanya bertubi-tubi, penasaran banget karena dia tau Tara baper banget sama Miguel.

“Temennya rent satu BFR, tapi dianya full mulu. Nah pas itu Tará cerita, terus aku bikin akunnya. Yaudah aku mutualan aja sama beberapa talent

“Dia berani rent nggak ada testimoni?” ulang Harvel

“Dia sempet nanya sih sama aku. Terus aku bilang suruh baca aja carrdnya, kali aja cocok. Eh, dia beneran rent. Lagian waktu itu kan talent juga baru dikit”

Harvel ngangguk-ngangguk. “Tará tau kamu? Maksudnya akun alter kamu satu owner sama Miguel

“Nggak” Marvel menggeleng.

“Kalian bisa cerita-cerita gitu, emang deket?”

Marvel mengangkat alis, terus senyum-senyum iseng. “Cemburu ya, karena Tará baper sama aku?”

“Dih” Harvel memutar bola matanya males.

“Lumayan deket. Dia sering dm aku buat cerita-cerita, tapi belakangan udah jarang soalnya aku sibuk juga kan”

“Kamu nggak aktifin akun alter lagi? Dicariin tuh, sama anak GDM”

“Ntar deh” Marvel nyautin, terdengar menimbang-nimbang.

Obrolan mereka terputus begitu aja karena suara bel yang menandakan kalau pizza mereka udah datang.

Malam itu dihabiskan dengan cerita yang nggak habis-habis dari mulut keduanya. Topiknya juga random aja, soalnya walaupun cuma nggak ketemu tiga bulan tapi rasanya banyak banget yang terlewat.

Dari pizza, sidedish yang sengaja Harvel pesen banyakan buat nemenin mereka Netflix yang malah nggak jadi nonton tapi sibuk ngobrol, masak indomie yang emang distok Helena tiap kali ada yang datang dari Indonesia, sampai susu cokelat panas yang dibuat karena keduanya laper lagi karena ternyata jam udah menunjukkan jam 4 pagi.

Keduanya baru tidur waktu langit udah mulai terang. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, baik Marvel maupun Harvel tidur dengan hati dan pikiran yang enteng. Lega karena semua yang selama ini menghantui mereka udah beres.


Helena masuk ke apartemen dengan bingung. Dia sengaja ngetuk pintu dulu, untuk ngasih tanda kalau ada orang yang datang. Udah siang sih, tapi siapa tau kakaknya dan Marvel lagi ngapain kan. Namanya juga kangen.

Sepatu Marvel masih ada di rak kayak waktu kemarin Marvel datang ke apartemen. Lalu ada sepatu kakaknya. Tapi kenapa apartemen sepi banget?

“Kak Harvel?” Helena memanggil sambil berjalan ke sofa. Rapi. Sampah-sampah dan piring gelas kotor emang udah dicuci sebelum Marvel dan Harvel tidur.

'Masa belum bangun?', Helena bertanya dalam hati. Matanya melirik jam dinding di atas TV, jam 1 siang. 'Main berapa lama sampai jam segini belum bangun?'

“Kak-” Helena membuka pintu kamar kakaknya waktu ketukannya nggak dijawab.

“Lah kamu balik?” Harvel bertanya dengan mata menyipit. Membiasakan cahaya yang masuk ke matanya. Keliatan banget baru bangun tidur. Tangan Marvel bahkan masih melingkar di pinggangnya.

Helena bingung sendiri. Kamar kakaknya bersih, nggak ada bau ehm- sperma, dan keduanya berpakaian lengkap sampai celana.

“Aku mau ketemu temen aku, tapi ada yang ketinggalan jadi aku balik dulu” jelasnya.

“Kok baru bangun sih?”

“Habis ngobrol sampe pagi. Kan kangen” kali ini Marvel yang menjawab sambil tersenyum tipis. “Well, hi, little sister”

“Apaan little sister” Harvel berdecak.

“Kamu nggak mau makan sama kita?” Marvel bertanya sambil bangun dari kasur.

“Yah, aku uda janjian sama temen aku. Malem deh”

“Malem kita mau pacaran. Anak kecil nggak boleh ikut” kali ini Harvel yang nyaut.

“Ih” Helena menautkan alis, jijik sama kata-kata kakaknya yang ternyata menggelikan kalau lagi punya pacar.

“Besok aja, kan kita flightnya Senin subuh” Marvel menengahi, lalu berjalan ke dapur untuk ngambil air.

Harvel dan Helena nyusul, lalu duduk di kursi meja bar.

“Kita? Emang aku juga balik?”

“Emang kamu nggak mau balik? Kan pengumumannya masih taun depan”

Helena cuma diem, ngeliatin kedua orang di depannya.

Harvel ngangkat bahu, “Nggak tau”

“Balik aja, di sini juga Kakak nganggur”

Harvel terlihat menimbang-nimbang, “Yaudah. Nanti aku pesen tiket”

“Aku udah pesenin”

“Lah? Kalau aku nggak mau balik gimana?”

“Hangus lah”

Enteng banget jawaban Marvel. Padahal Harvel tau kalau Marvel nggak mungkin pesen tiket kelas ekonomi, pasti minimal business class atau bahkan first class.

“Buang-buang duit aja, boros” Harvel berkomentar, lalu minum air yang disodorkan Marvel.

“Ntar malem tukeran dong. Aku di rumah, kalian di hotel aja. Masa udah booking hotel bagus malah aku yang pake” ucap Helena.

“Ntar malem kan di Place Vendôme. Kamu nggak mau?” Marvel menawarkan. Dia emang nggak jadi booking dua malam di hotel yang sama biar Helena bisa jadi princess dua hari dan ngerasain dua hotel berbeda. Iseng aja, biar ganti suasana kata Marvel.

“Nggak” Helena menggeleng.

“Makannya juga di situ kan?” Harvel mengingat-ingat lokasi restoran yang kemarin disebut Marvel.

“Iya” Marvel ngangguk.

“Yaudah pas kan. Tukeran ya, ntar abis makan nggak usah balik. Baliknya besok abis breakfast.”

Helena turun dari kursi, terus ke kamarnya ngambil sesuatu yang katanya ketinggalan tadi. “Aku jalan ya, bye


Malam terakhir mereka di Paris dihabiskan dengan makan malam di Pur' – Jean-François Rouquette, lalu keduanya ke supermarket untuk beli rokok dan beberapa barang-barang yang diperlukan. Setelah itu jalan-jalan sebentar menyusuri kota Paris sebelum akhirnya balik ke hotel karena udaranya udah semakin menusuk. Paris udah memasuki musim dingin, jadi mereka nggak mau ngambil resiko masuk angin kalau kelamaan di luar.

Sebenernya malem terakhirnya besok sih, tapi kan paginya udah langsung ke bandara. Jadi mereka menjadikan malam ini malam terakhir mereka.

Harvel merapatkan tubuhnya ke tubuh Marvel, membiarkan tangan Marvel melingkari tubuhnya penuh.

“Vel, kamu nggak marah sama aku?” Harvel tiba-tiba bertanya waktu Marvel udah merem, bikin yang ditanya melek lagi.

“Marah kenapa?”

I mean– ya gitu, I was damn stubborn

“Udah lewat juga. Yang penting sekarang kamu di sini” Marvel mengecup keningnya lama sebelum akhirnya ngajak Harvel tidur.

Harvel diam-diam tersenyum tipis. Keputusannya nggak salah, dan dia tau Marvel orang yang tepat. Dalam hati dia berucap, meminta agar hatinya dijatuhkan sejatuh-jatuhnya kepada Marvel, Marvelnya.