The Untold Secret

Harvel sampai duluan di restoran bergaya Perancis yang disebut Miguel, eh- Marvel, sebagai tempat ketemuan dadakan mereka hari ini. Dia bahkan nggak bawa sekretarisnya karena tau bahwa percakapan mereka akan sangat pribadi. Restoran itu memang masih satu kawasan dengan kantornya, makanya dia bisa sampai duluan. Waktu Marvel nyebutin restorannya, Harvel nggak pakai lama dan langsung berjalan dengan tegang ke mobilnya di parkiran basement.

Pikirannya kacau dan berusaha memproses satu per satu informasi yang masuk. Miguel adalah Marvel, dan Marvel yang dikenalnya di akun alter adalah- Marvel juga? Mereka bertiga satu orang yang sama?

Selagi menunggu Marvel, Harvel membaca pelan-pelan chat dia dengan Marvel selama ini. Dia nggak begitu pusing dengan kenyataan bahwa Miguel adalah Marvel Dewantara karena dia sendiri nggak banyak cerita hal-hal details kepada Miguel. Tapi kalau Marvel? Dia bahkan ceritain tentang Marvel ke Marvelnya sendiri. Darah Harvel terasa naik ke kepala, memikirkan kenyataan kalau Marvel yang di akun alter udah tau kalau yang diceritain adalah dirinya sendiri.

Hold up– kalau Marvel yang di akun alter tau dirinya sendiri yang selama ini diceritain, berarti dia tau dong kalau Harvel adalah Harvel Dirgantara?

Kenyataan bahwa selama ini Harvel dibohongi benar-benar sebuah pukulan telak yang sanggup bikin Harvel kehilangan seluruh kosakata yang sudah dia pelajari selama 25 tahun hidupnya.

Seorang pelayan datang dan membawakannya air putih dingin, sesuai permintaannya tadi. Restoran sepi. Jelas aja, ini baru jam 10 pagi dan ACnya bahkan belum dingin karena baru dinyalain.

“Harvel”

Harvel menoleh, berdiri sebentar untuk menatap mata Marvel yang terlihat- merasa bersalah? Harvel langsung tau kalau percakapan mereka saat ini bukan percakapan, tapi pengakuan kebohongan yang disimpan Marvel. Oke, Harvel udah nyiapin diri untuk nonjok Yang Terhormat Putra Dewantara. Persetan dengan tata krama.

“Udah pesen makan?” Marvel bertanya saat mereka berdua udah duduk.

“Gue nggak pengen makan” Harvel mengatupkan rahang, bersandar pada sandaran kursi. “Jelasin”

Seorang pelayan datang dan Marvel bahkan sempat memesan Foie Gras dan beberapa entrees lainnya. Nggak tau buat apa, Harvel sendiri udah mual duluan bayangin makanan, apalagi disuruh makan.

Ceritanya mengalir begitu aja. Marvel menceritakan dengan runtut, kapan persisnya dia tau kalau Harvel adalah Harvel. Dari mana dia tau, terus mengakui kesalahannya karena bukannya jujur malah mendengarkan cerita-cerita Harvel tentang dirinya sendiri dan pura-pura jadi orang lain. Nggak ada satu hal pun yang dia tutupi, karena sebenarnya Marvel udah lama merencanakan ini, Hanya saja, waktunya nggak pernah tepat. Ketika dia mau jujur, selalu ada hal yang menahannya buat mengakuinya karena hubungan mereka dibangun susah payah sampai akhirnya Harvel mau membuka diri untuk kenal dengan Marvel- yang sebenarnya.

“Terus kenapa tadi pura-pura nggak tau waktu ngechat gue? Bukannya lu langsung tau kalau gue, ehm-” Harvel berdehem canggung.

“Yang ngechat lu tadi sekretaris gue”

“Terus gue nanya 'ini Miguel?', emang dia nggak bingung Miguel siapa?”

“Dia nanya” Marvel mengakui, “Gue nggak sempat jawab karena Papa telfon dan gue biarin dia bales sendiri”

Sebenarnya Harvel masih sangsi sama jawaban Marvel, tapi mungkin nanti dia bisa tanya sendiri ke sekretaris Marvel. Nggak penting juga karena udah jelas, tapi dia penasaran aja.

“Gue sama sekretaris gue udah kayak temen. Jadi kadang kalo gue sibuk, gue biarin dia megang hp gue buat ngurus-ngurus sesuatu” Marvel menjelaskan waktu Harvel nanya kenapa dia biarin sekretarisnya chat dia pakai handphone pribadi.

Menit-menit selanjutnya dihabiskan dengan Harvel membaca percakapan dia dengan Marvel secara seksama. Menanyakan semua yang pengen dia tanyakan langsung ke orangnya.

Semakin dibaca, tanpa sadar kekecewaan Harvel kepada Marvel semakin besar. Lumayan banyak hal yang dia ceritakan ke Marvel tentang Marvel sendiri dan Marvel benar-benar bersikap seperti teman cerita yang baik.

Kenyataan bahwa dia ngata-ngatain Marvel tepat di depan orangnya langsung dengan fakta bahwa Marvel tau persis objeknya adalah dia, bikin Harvel benar-benar nggak punya muka untuk sekedar menatap mata Marvel.

Ketika dia cerita ke Rendra kalau dia pernah suka sama Marvel dan dia nggak mau berhubungan apa-apa karena dia menolak hubungan virtual, lalu dia cerita juga ke Rendra kalau dia seenggaknya udah baper sama kata-kata Miguel, berarti dia selama ini menyukai satu orang yang sama?

Alis Harvel terangkat saat dia menyadari satu hal yang lupa dipikirkannya dari tadi. Wajahnya terangkat dari handphone dan memandang Marvel yang sedang memainkan garpu di piring Foie Gras tanpa disentuh sama sekali.

“Lu suka sama gue?”

Pandangan Marvel bertemu dengannya.

Mau nggak mau, Harvel cerita. Tapi dia nggak cerita bagian dimana dia tau itu dari Rendra, karena Marvel jelas belum tau Ren yang di akun alter adalah manager adiknya sendiri. Dia terpaksa bilang kalau dia tau dari Sean yang cerita ke salah satu teman mereka. Kan, cepat atau lambat Marvel juga bakal tau kalau Sean yang ceritain hal itu.

“Gue tau Ren yang di alter manager Julius” Marvel meletakkan garpunya.

Alis Harvel terangkat semakin tinggi. Apa lagi yang Marvel tau, dan dia sembunyikan?

“Waktu Rendra nginep di rumah dan lagi main PS sama Julius, HPnya ditaro di meja. Gue liat notifikasi grup kita di HP dia dan gue coba nge-dm satu per satu orang yg gue curigain megang akun Rendra. Lagian nggak susah untuk nebak kalo nickname dia 'Ren'” jelas Marvel panjang lebar.

“Rendra tau kalau lu tau?”

“Nggak. Gue nggak tau apakah dia fine kalau gue tau akun alternya, it must be terrifying for him kalau akun itu safe placenya. Lagian gue nggak ada urusan sama dia”

Harvel membuang pandangannya. Seenggaknya, Marvel masih punya manner. Ya iyalah, dia dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi etika dan tata krama.

“Pertanyaan lu tadi, jawabannya iya. Gue suka sama lu, udah lama. Inget cerita gue waktu itu yang gue bilang pernah suka sama orang di virtual? Itu lu”

“Kok nggak bilang?”

“Lu sendiri, kenapa nggak pernah bilang?”

Harvel diem aja. Pikirannya makin rumit, nggak tau harus mulai mencerna dari mana.

“Gue balik ke kantor dulu. Banyak kerjaan” Harvel akhirnya pamit. Dia perlu berpikir jernih, menghubungkan setiap kejadian yang terjadi.

Marvel tau Harvel butuh waktu sendiri, jadi dia cuma mengiyakan dan memperhatikan punggung Harvel yang menjauh sampai laki-laki itu hilang di balik pintu restoran.