Baiklah

—148;


Papa dan Mama Mark tidak ada di Bandung, mereka tinggal di Kanada, kota kelahiran Mark Lee. Berita di televisi, internet dan semua sosial media perihal Mark dan Haechan pun sampai ke Kanada juga membuat Papa dan Mama Mark murka.

Mereka tidak tau perihal Mark dan Haechan akhirnya bertemu kembali, karena Mark tau taktik orangtua nya untuk mengintainya bagaimana, sehingga ia memblokir semua akses media sosial intel orangtua nya termasuk orangtuanya sendiri. Mark tau yang mana kawan dan yang mana lawan, Mark lelaki yang pintar dalam urusan IT, sehingga dia pun handal dalam hacker. Ia belajar untuk melindungi dirinya sendiri dari tekanan orangtuanya.

Namun jika berita mereka disiarkan oleh wartawan media, Mark bisa apa? Beritanya menyebar begitu cepat, apalagi identitas Haechan sebagai Mr, HC sang CEO HM Entertainmet terungkap. Mungkin akan beda cerita jika identitas Haechan tidak terbongkar, tidak akan ada media yang memberitakan perihal Haechan dan Mark serta Zeline dan Ody.

Saat itu, Mark dan Haechan baru saja mengantar Ody sekolah dan ingin quality time berdua, jalan-jalan di Menara London untuk bersantai dan mengambil banyak foto.

Entah bagaimana bisa, Papa dan Mama Mark tiba-tiba datang menghampiri mereka disana. Mark dan Haechan tentu saja terkejut setengah mati.

“Mark, Papa ingin bicara sama kamu. Kamu juga, ikut saya.” Ucap Papa menunjuk Haechan, sedangkan Mama Mark hanya diam.

Mark menggenggam erat tangan Haechan dan membawanya mengikuti orangtuanya. Mereka duduk di tempat yang sepi, berteduh dari matahari yang tidak terlalu terik itu.

“Apa-apaan semua berita ini, Mark? Papa dan Mama selama ini sabar menunggu kamu membawakan perempuan cantik sebagai menantu, tidak memaksa kamu lagi untuk mengencani gadis-gadis pilihan kami. Tapi apa hasilnya? Sudah bertahun-tahun Mark, kamu tidak membawa siapapun kepada kami untuk mengenalkannya sebagai calon menantu.”

Haechan menundukkan kepalanya, jemarinya meremat jemari Mark dalam genggaman Mereka, Mama melirik tautan tangan itu dengan helaan nafas.

“Jawab Mark Lee!” Suara Papanya meninggi, untung disekitar mereka sepi.

Tak hanya Mark yang tersentak, Haechan juga.

Mark menatap Papa dan Mamanya dengan berani. “Sampai sini, Papa dan Mama masih nggak ngerti kenapa aku nggak bawa siapa-siapa selama bertahun-tahun untuk dikenalkan? Tau kenapa? Iya, Pa, Ma. Aku nggak bisa mencintai siapapun selain Haechan, aku cuma mau Haechan untuk jadi pendampingku seumur hidup. Papa sama Mama mana tau segila apa aku dan se frustasi apa mencari Haechan selama 6 tahun ini, nggak kan? Aku mati rasa Pa, Ma, cuma dengan Haechan jantung aku mau berdebar merasakan euforia, merasa tertarik, aku nggak tertarik dengan perempuan lagi, Pa, Ma. Bukan berarti aku tertarik dengan cowok juga, aku nggak tertarik sama mereka. Aku cuma tertarik dengan Haechan. Iya, aku gila, udah nggak ada rasa apapun ketika dengan orang lain, secantik atau setampan apapun dia, aku nggak bisa. Selembut apa atau sebaik apapun aku nggak bisa. Di hati aku cuma ada Haechan, tiap mimpiku isinya Haechan, pikiranku isinya Haechan, Haechan dan Haechan. Aku segila itu jatuh cinta dengannya. Bukan obsesi, karena aku mencintai semua yang ada pada Haechan, nggak ada seorangpun yang membuatku nyaman dan merasa sangat dicintai selain Haechan. Dia, satu-satunya orang yang memberiku arti apa itu sederhananya bahagia, arti kehidupan, dia mengajari aku banyak hal, Pa, Ma, yang nggak bisa aku temui di pribadi orang lain.”

Haechan tidak berani mendongakkan kepalanya, ia sangat takut jika ini akan menjadi perpisahan untuk kedua kalinya. Setelah kehilangan Zeline, apakah ia akan kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya? Jika iya, ia tak akan sanggup, Ody butuh dirinya dan Mark, Haechan tidak bisa sendirian, bukan karena lemah, ia butuh dukungan dari orang terkasihnya untuk membimbing Ody.

“Papa kecewa sama kamu Mark. Lihatlah dia, Haechan adalah lelaki Mark, dia tidak bisa mengandung. Papa dan Mama ingin cucu dari kamu, Mark Lee. Apa kata dunia jika anak Papa dan Mama tidak bisa menghasilkan keturunan dan justru memilih pria untuk dijadikan teman hidup daripada seorang wanita?”

Mama Mark mengusap-usap pundak suaminya, sebagai Ibu, ia tau sekalut apa Mark saat ini, ia dapat melihat kputusasaan dan kepedihan dari sorot matanya.

“Maaf Pa, aku nggak bisa memberikan keturunan untuk kalian, tapi aku nggak peduli apa kata dunia, aku ingin bangun dunia aku sendiri bersama Haechan. Kalau dunia nggak kasih tempat ke kami, kami akan bangun sendiri, kami nggak butuh orang lain mengakui perasaan kami, karena aku hanya ingin bahagia, hidup bersama orang yang aku cintai, yaitu Haechan.”

“Tapi Haechan memiliki istri, Mark? Apa kamu nggak malu mau merebut suami orang, hah?”

“Pa, aku kenal dengan mendiang istri Haechan. Zeline, bahkan merestui kami, dia memberiku amanah untuk membahagiakan Haechan dan Ody, Zeline menitipkan Haechan dan Ody ke aku, Pa. Aku nggak bisa nolak, karena bagi aku membahagiakan Haechan dan Ody adalah tujuan hidup aku. Pa, Ma, aku sama Haechan cuma ingin bahagia di salah satu bagian kecil dunia ini, kenapa nggak boleh? Banyak orang yang seperti kami mendapatkan bahagianyam tapi kenapa dunia nggak adil sama kami? Apa salah kami, Pa? Kami hanya orang yang jatuh cinta dan memiliki mimpi untuk membangun rumah tangga yang harmonis, saling memberi cinta dan kasih. Apa permintaan kami terlalu serakah, Pa?”

“Mark...” panggil sang Mama.

“Mama nyesel punya anak kayak Mark? Mama, nggak mau lihat Mark bahagia?”

“Mark, udah...” Kata Haechan mengusap lengan Mark untuk menenangkan.

“Enggak Chan, kita harus berjuang kayak apa kata Zeline, kalau Papa dan Mama nggak kasih validasi ke kami, berarti Papa dan Mama emang nggak pernah anggap aku sebagai putranya, aku hanya minta kebahagiaan, dan itu bersama kamu, Chan. Tapi kenapa Papa dan Mama tidak memberikannya?”

“Lee Haechan.” Panggil Papa Mark.

Haechan mendongakkan kepalanya takut. “Iya, Om.”

“Ody itu, anak kamu dengan istrimu?”

Haechan menggeleng. “Bukan, sebelumnya istri saya sudah menikah sampai punya Ody namun bercerai beberapa tahun kemudian. Lalu 4 tahun yang lalu, saya menikahi dia.”

“Kamu menikahi dia, artinya kamu sudah tidak mencintai Mark, kan?”

“Masih, dari dulu hingga sekarang, perasaan saya cuma untuk Mark. Saya hanya mencintai Mark seorang hingga detik ini.”

“Haechan, segitu bercandanya pernikahan kamu? Kamu menikahi istrimu sebagai pelarian? Pelampiasan karena tidak bisa memiliki Mark?”

“Papa!!!” Mark emosi dengan kata-kata kejam Papanya.

Haechan menggeleng lagi. “Saya punya alasan kenapa saya menikahi istri saya. Bukan sebagai pelampiasan dan pelarian, namun saya diberikan amanah yang tak bisa saya tolak untuk menikahi istri saya. Ibunya, memohon pada saya sebelum beliau meninggal dunia, untuk menikahi putrinya. Karena beliau mempercayai saya bisa menjaga putri dan cucunya. Saya tidak punya pilihan lain selain mengatakan iya, Ibu istri saya orang yang baik, saya tidak tega hati menolak permintaan seorang Ibu. Karena semua Ibu ingin anak-anaknya bahagia bukan? Maka, jika Ibunya ingin saya menjadi menantu, maka saya tidak bisa menolaknya. Dan berakhir, saya menikahi istri saya dan menjadi ayah dari putrinya.”

“Istrimu tau jika kamu mencintai Mark?” Tanya sang Mama.

“Dia tau, sejak awal kami berteman, dia tau kalau saya mencintai Mark, ia mau menikah dengan saya juga karena amanah dari Ibunya. Kami, menikah karena sebuah janji yang harus ditepati, tante.”

“Kamu tidak memiliki anak dengan istrimu?”

“Tidak Om, saya tidak bisa menyentuh istri saya ketika saya tidak punya perasaan kepadanya. Saya sudah mencoba melupakan Mark setiap harinya, namun saya gagal. Hati saya tidak bisa berpaling lagi kepada siapapun, hanya Mark yang mampu membuat saya jatuh cinta, dengan Mark, saya merasa bahwa semua akan baik-baik saja asalkan kami bersama.”

Mama menatap Papa, keduanya berbicara lewat mata.

Mama mendekati Mark lalu memeluk putra semata wayangnya itu. “Mark, tidak ada seorang Ibu yang mau melihat anaknya sedih, semua Ibu menginginkan kebahagiaan anaknya, termasuk Mama. Mama ingin Mark bahagia, namun Mama dan Papa salah presepsi selama ini, kami pikir pilihan kami untuk kamu itu selalu yang terbaik, Mark. Kami pikir, dengan kamu jalan lurus menuruti kami, itu akan membuat hidup kamu bahagia, tapi ternyata kami salah ya, Mark? Kamu tidak bahagia dengan keinginan kami, Mark putraku sudah besar ya? Sudah bisa memutuskan jalan kehidupannya sendiri mengarah kemana, kamu nggak perlu Mama dan Papa sebagai kompas angin kamu untuk tau arah kebahagiaan kamu.”

“Mama...”

“Mark, jika kamu bahagia, Mama dan Papa bahagia. Kami minta maaf jika selama ini membuat kamu tertekan, stress dan merasa frustasi. Cara kami salah selama ini, maaf kami tidak berpikiran sejauh itu, yang kami inginkan hanya masa depan cerah kamu tanpa memikirkan perasaan kamu.”

“Mark, kalau kamu sudah memutuskan jalan kamu sendiri untuk bahagia, Mama dan Papa ikhlas Mark, kamu bisa cari dan dapatkan bahagiamu sendiri, Papa dan Mama tidak akan menutup jalannya lagi, kamu bebas Mark, kami melepaskan sangkar yang mengurung kamu selama ini.”

“Ma? Maksud Mama...”

“Iya, Mama dan Papa memberi restu untuk kamu dan Haechan. Kata kamu mau bangun dunia sendiri kalau dunia disekitarmu jahat kan? Sekarang, ada Papa dan Mama yang siap membangunkan kamu dunia untuk kamu dan Haechan.”

Haechan menganga, apa ini mampi lagi? Ini terlalu mengejutkan untuk dirinya. Papa Mark menghampiri Haechan yang tampak terkejut dan syok.

“Kamu nggak usah kaget gitu, Haechan. Sejujurnya saya dan Mama Mark hanya mengetes kalian saja, seberani apa kalian menantang dunia yang kejam ini. Seberapa kuat dan sebesar apa usaha kalian untuk mencari tempat di salah satu bagian dunia ini. Kami menunggu kalian untuk datang dari jauh-jauh hari. Kami sadar, bahwa kehendak kami hanya melukai banyak orang, kami sedang menguji kalian dan menunggu kalian berjuang kembali. Namun bertahun-tahun kami tunggu kok nggak ada apa-apa. Saya cukup terkejut karena berita itu menyiarkan bahwa kamu adalah CEO HM Entertainment dan sudah memiliki istri serta anak.”

Blank

Keduanya merasa linglung mendengarkan penjelasan Papa Mark. Jadi, beberapa lama ini mereka sudah mendapat validasi?

Meski begitu, jika mereka tau pun tak akan bisa diusahakan karena Haechan masih memiliki Zeline.

“Saya ikut berduka cita atas meninggalnya istri kamu 6 bulan yang lalu, Haechan.” Ucap Mama.

“Terimakasih tante.”

“Saya juga turut berduka cita, Haechan. Sekarang, kamu tidak perlu sedih lagi, istrimu mau lihat kamu dan Mark bahagia kan?” Tanya Papa.

“Iya Om.”

“Maka, bahagialah kamu dengan Mark, kami memberi restu. Jika kalian ingin menikah, silahkan ke Kanada dulu, minta izin sama kami ya?” Kata Papa.

Mark memeluk erat Papa nya, diikuti sang Mama yang memeluk Mark. Haechan melihat itu menangis bahagia, ia tidak menyangka hari seperti ini akhirnya datang kepadanya. Mendapat validasi dari dunia.

“Ma, Pa, maafin Mark karena mengecewakan harapan Mama dan Papa. Terimakasih udah ijinin Mark bahagia, Pa, Ma. Aku dan Haechan akan ke Kanada segera, kami mempersiapkan diri dulu ya, Pa, Ma?”

“Iya Mark, kami bisa menunggu. Itu hak kamu dan Haechan ingin membawa hubungan kalian kemana, kalian sudah dewasa, tau arah yang benar kemana.” Ucap Mama.

“Papa ingin lihat Ody, nanti saat ke Kanada bawa Ody ya?”

“Iya, Pa. Aku bawa Ody nanti kesana, sekali lagi terimakasih Pa, Ma. Mark sayang kalian.”

“Kami juga sayang sama Mark.”

“Chan, sini. Kamu nggak mau kami peluk?” Ucap Mama.

Haechan salah tingkah, ia mengusap air matanya. “Boleh, tan?”

“Boleh, sini. Saya juga turut berduka cita atas meninggalnya orangtua kamu, Haechan. Kamu lelaki hebat, baik, kuat. Kamu selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain daripada diri kamu sendiri. Mulai sekarang, pikirin bahagia kamu juga ya, Chan? Sekarang, saya juga Mama kamu.”

Haechan menangis lagi, lalu ikut berpelukan dengan keluarga itu. “Hiks makasih banyak Om dan Tante.”

“Panggil saya Papa, kan istri saya jadi Mama kamu, berarti saya ya Papa kamu.”

Haechan mengangguk dan tersenyum simpul. “Terimakasih Ma, Pa.”

Mark tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini, yang jelas, ia berterimakasih dengan Tuhan dan semesta. Ia memeluk Haechan erat yang tengah dipeluk oleh Papa dan Mamanya.

“Haechan, kita berhasil melawan dunia, aku bahagia.” ucap Mark dalam hati.

“Mark, semesta berpihak pada kita, aku bahagia.” Kata Haechan dalam batinnya.