Bandung dan Aku Rindu, Sayang.

—55;


Mark membaca pesan di grub imess nya yang mengatakan bahwa mereka sedang bersama dengan Haechan. Jeno yang mengatakan itu di grub, tentu saja Jeno bersama dengan Jaemin dan Renjun. Karena Chenle dan Jisung kini bersama dengannya, masih di tempat yang sama yaitu di depan toilet.

Jisung dan Chenle juga membaca pesan yang dikirimkan oleh Jeno itu. Mereka berdua saling menatap, berbicara lewat tatapan mata seperti bagaimana sekarang? Kita harus apa? Bawa Mark kesana?

“Mark...” panggil Chenle menepuk pundak Mark yang melamun menatap layar ponselnya.

“Hah?” Jawabnya, seperti orang linglung tak tau arah.

Chenle berdecak, “Lo beneran kayak orang tolol Mark, sumpah. Bisa biasa aja nggak sih? Gue bingung liat lo kayak gini, bangsat.”

Mark menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar. “Nggak bisa Le, lo bayangin deh. 6 tahun dia nggak ada kabar sama sekali, bener-bener hilang tanpa jejak, trus tetiba dia ada di deket gue sekarang. Lo pasti paham lah seberapa syok nya gue? Kayak... nggak percaya antara ini beneran atau mimpi karena saking rindunya gue sama Haechan. Gue takut, terlanjur bahagia, ternyata ini cuma mimpi. Karena kemarin-kemarin pun gue juga halu dan mimpi kalo Haechan dateng ke anniversary party nya Jeno dan Jaemin. Bahkan gue meluk dia erat banget disana. Gila kan?”

Jisung melirik Chenle yang juga meliriknya.

“Iya, gue paham lo syok karena kebanyakan haluin Haechan suatu saat nanti datang ke hadapan lo. Tapi ya panjul, yang ini tuh kenyataan alias nggak halu! Lo mau percaya ini bukan halu? Jangan pukul gue ya tapi kalo sakit.”

Belum sempat menjawab kata-kata Jisung, Mark sudah kaget duluan karena Jisung memukul pipinya lumayan keras.

“Brengsek!” Teriak Mark, memegangi pipinya yang membiru.

Jisung terkekeh, “Udah percaya kalau ini nyata? Sakit kan?”

Mark mendengus, “Enak di lo nya ya tai, pipi gue biru? Trus gimana mau ketemu Haechannya bodoh?”

“Nggak biru, nggak keliatan kok, santai.” Ucap Chenle.

“Yang bener? Awas lo berdua kibulin gue.”

“Iya Mark astaga, ngaca gih di toilet sana kalo nggak percaya.” Ujar Jisung yang sudah lelah menanggapi Mark.

“Oke gue percaya. Sekarang gimana?”

Chenle menepuk jidatnya. “Mboh lah sakkarepmu Mark, gue capek sama lo. Ayo Sung, kita temuin Haechan berdua aja.”

Jisung mengangguk dan menarik tangan Chenle, namun jas kedua lelaki itu ditarik oleh Mark. “Eitsss, sabar dong bro. Gue ini deg-deg an jadi atur nafas dulu.”

“Halah, dari tadi lo ngapain aja buset kalo kagak atur nafas? Alesan aja lu.” Ucap Jisung.

Mark tergelak tawa, hatinya sudah sedikit ringan meski masih deg-deg an luar biasa.

“Ayo, Mark. Kalau lo nggak jalan, beneran gue tinggal.” Ancam Chenle mengibaskan tangan Mark yang memegang jas nya.

“Iya iya, galak amat. Ayo deh, gue udah siap.”

Akhirnya mereka bertiga keluar dari area toilet, berjalan menuju Ballroom, tempat dimana Haechan dan teman-temannya berada.


Mark menghembuskan nafasnya berulang kali sambil mengekori Chenle dan Jisung.

“Chenle, Jisung!” Suara Renjun yang seperti toa ditambah suara Jaemin yang besar pun berhasil menembus ke gendang telinga sang empu di keramaian Ballroom yang super padat.

“Nah itu mereka.” Ucap Chenle menarik tangan Jisung dan Mark yang ada di belakangnya.

Deg deg deg

Deg deg deg deg

Suara detak jantungnya pun berdetak 2 kali lebih cepat dari sebelumnya saat jaraknya dengan teman-temannya semakin dekat. Haechan belum terlihat di matanya, karena Renjun, Jaemin dan Jeno yang menghalangi pandangan Mark.

Deg deg deg deg

Chenle dapat merasakan tangan Mark yang bergetar di genggamannya, ia hanya terkekeh merasakan itu. Apa hal juga ini bapak bapak kepala 3, seperti remaja baru jatuh cinta saja, segala pakai tremor.

Dan—boom!

Ketika Renjun, Jeno dan Jaemin menyingkir memberikan akses jalan untuk Chenle, Jisung dan Mark, kedua iris gelapnya kini bersitatap dengan iris secoklat madu milik mantan kekasihnya; Lee Haechan namanya.

Mark membeku di tempat, karena memang dirinya sudah sampai dan berdiri di samping teman-temannya, dan tepat di depannya, berdirilah Lee Haechan. Lelaki yang selalu menempati hati Mark Lee dari dulu hingga sekarang, tahta seorang Haechan tidak bisa digeser siapapun meski Mark berkali-kali mencobanya.

Sama persis, Haechan sama persis dengan foto yang ada di menfess tadi. Mantan kekasihnya itu sangat tampan, menawan, rupawan dan mempesona. Cantik, itu selalu tersemat pada Haechan bagi Mark, karena menurut Mark, Haechan itu indah dan cantik.

Haechan pun diam, ia juga hanya menatap Mark yang sedang menatap lekat dirinya tanpa kedip. Haechan tak tau harus berbuat apa sekarang, karena lidahnya pun terasa kelu hanya untuk menyapa 'Hai' kepada Mark.

Jeno dan teman-temannya saling lirik melihat keterdiaman mantan pasangan ini. Renjun pun berdeham membuat ajang tatap menatap Mark dan Haechan terputus.

“Ups sorry kalau gue ganggu acara saling mengagumi dan rindu kalian. Karena apa? Ya benar sekali, kami pamit undur diri dulu ya? Nanti kita balik kesini lagi. Kita mau nyapa anak-anak lain soalnya. Ya kan guys?” Tanya Renjun.

Kompak, mereka mengangguk.

“Eh tapi bentar, gue mau nyapa Haechan dulu. Kalian kan udah, gue belum.” Kata Chenle dan mendekati Haechan.

“Gue kok canggung banget sih bangsat sama lo, biasa juga dulu cak cok cak cok sama lo.” Ucap Chenle sebagai pembuka membuat Haechan tertawa.

Tawa Haechan untuk Chenle pun berdampak pada kesehatan jantung Mark, karena lelaki itu kini menahan nafasnya melihat senyum manis Haechan dan juga suara tawanya yang menggemaskan.

“Fuckkkkk, gue nggak kuatttt. Rasanya gue pengen duduk, gue nggak kuat berdiri Ya Tuhan...” batin Mark Lee saat ini.

“Hahaha santai aja Le, lo juga tetep bisa kayak gitu kok ke gue. Nggak mau meluk gue, lo? Kata mereka tadi, lo yang paling kangen sama gue.”

“Hoaxxxxx, aku yang paling kangen sama kamu, sayanggg. Mark Lee lah yang paling kangen sama Haechan di dunia ini!!!” lagi-lagi hanya batinnya yang bisa menjerit.

“Iya, gue kangen banget sama lo tai, lo kemana ajasih selama 6 tahun ini?” Tanya Chenle dan kini memeluk Haechan erat.

Haechan menepuk-nepuk punggung Chenle. “Gue pergi jauh pokoknya, maaf ya kalau gue nggak kabarin kalian selama ini. Gue belum siap buat bilang ke kalian kalau gue pergi, ntar kalian malah nyegah gue pergi yang ada.”

“Seenggaknya pas udah pergi tuh ya kasih tau lah kemana perginya lo, biar kita nggak kayak kehilangan lo gitu aja.” Ucap Chenle melepaskan pelukannya.

“Gue lagi cari jati diri Le, gue mau fokus sama tujuan hidup gue dulu, dan sekarang, gue baru berani tunjukin diri di depan kalian.”

“Artinya lo udah nemu jati diri lo, gitu?”

Haechan terkekeh. “Um—entah. Yang gue tau, tekad gue dateng kesini karena pengen ketemu kalian.”

“Le, gantian gue dong. Kasihan Mark nih lo liat, udah kayak patung pancoran dari tadi nungguin lo, suruh dia nafas coba, kayaknya dia nahan nafas dari tadi.” Ucap Jisung membuat Haechan melirik Mark.

Yang dilirik gelagapan dan memalingkan wajahnya. Haechan tersenyum tipis melihat itu. Ia tau jika Mark sedang salah tingkah, Haechan tidak akan pernah lupa kebiasaan Mark, contohnya seperti saat salah tingkah kayak gini, Mark akan memutuskan kontak mata dan memalingkan wajahnya.

Chenle mundur dan memberi jalan kepada Jisung untuk mendekat kepada Haechan.

“Hai, Chan. Nice to meet u again...”

“Hahaha, me too. Nice to see you, Sung.” Kemudian Haechan memeluk Jisung yang lebih tinggi darinya ini.

“Ih kok lo tinggi banget sih Sung? Lo makan apaan di Bandung? Perasaan 6 tahun lalu, lo masih se bahu gue.”

Jisung tertawa dan menepuk puncak kepala Haechan. “Rajin minum susu UHT aja, tinggi dah lo ntar.”

“Hahaha bisaan ae lo.” Haechan tertawa dengan candaan Jisung.

Dan perlu diketahui, setiap senyum dan tawa Haechan sangat membuat Mark Lee ingin jatuh pingsan. Alay memang, tapi yang namanya melihat pujaan hatinya yang makin menawan ada di depan mata sedang tersenyum dan tertawa, siapa yang kuat?

“Ya udah Chan, gue sama yang lain mau ngobrol sama yang lain dulu. Lo—sama Mark lama nggak ketemu kan? Take your time guys, kita pergi dulu. Bye-bye.” Ucap Renjun langsung menarik Jisung dan Chenle pergi dari sana diikuti Jeno dan Jaemin.

Krik krik krik

Seperti terdengar suara jangkrik saat ini padahal di sekitar mereka teramat sangat ramai.

“Sialan, kenapa gue ditinggal sendirian sama Haechan sih? Gue harus apa sekarang panjul???” teriak batin Mark untuk kesekian kalinya.

Haechan pun sama, lelaki manis itu hanya diam sambil matanya bergerak random asalkan tidak melihat Mark. Jantungnya lagi lagi berulah, Haechan dapat merasakan jantungnya seakan-akan ingin keluar dari rongga dadanya.

“Mark.” “Chan.”

Ucap mereka bersamaaan, membuat keduanya kembali saling bertatapan, menyelami manik mata masing-masing, melihat pantulan diri mereka dari manik sang lawan bicara.

Kemudian keduanya tertawa canggung. Demi Tuhan Mark Lee dan Lee Haechan... kalian pernah pacaran selama 4 tahun!!!

“Kamu—apa kabar, Chan?”

“Aaaakkk woi, itu Mark sama Haechan kan? Anjir, beneran ketemu akhirnya? Anjingggg momen langka, cepet foto!!!”

Seketika, Haechan menarik tangan Mark dan membawanya lari dari sana, keluar dari Ballroom. Yang ditarik pasrah saja, karena ia tidak bisa berkutik saat tangannya digenggam oleh Haechan.

Mark Lee lemah jika berhadapan dengan Lee Haechan

Haechan berhasil membawa Mark keluar dari Ballroom, kini keduanya sudah ada di dalam lift berdua saja, tidak ada siapa-siapa. Yah, kembali awkward deh suasananya.

“Lo bawa mobil nggak?” Tanya Haechan tiba-tiba, jantung Mark Lee barusan berasa berhenti berdetak selama 3 detik.

“Mark!” Haechan menggoyangkan lengan Mark yang masih diam saja dan hanya menatap dirinya.

“A-ah iya bawa kok. Kenapa emang?”

“Mau keluar aja nggak? Night drive misal? Atau kemanapun terserah, pokoknya nggak disini.”

Syok, Mark syok karena Haechan mengajaknya dahulu untuk pergi dari sini, menjauh dari keramaian.

“Ini beneran?” Tanya Mark.

Haechan mengernyitkan dahinya. “Beneran gimana?”

“Kam—lo beneran ajak gue pergi dari sini berdua aja?”

“Ya beneran, emang kenapa sih?”

Ting!

Pintu lift pun terbuka, lagi dan lagi Haechan menarik tangan Mark keluar dari lift menuju basement.

“Mobil lo yang mana? Gue males nyetir soalnya, udah agak lupa jalanan Bandung juga.”

Mark mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet tombol buka kunci otomatisnya, sehingga mobil Pajero nya pun berbunyi.

“Akhirnya kebeli juga ya Pajeronya.” Kata Haechan sembari terkikik, ia ingat betul jika Mark ingin punya mobil Pajero Sport, dan sekarang Mark sudah mempunyainya.

“Haha ya gitu deh, ayo masuk.” Mark membukakan pintu mobil untuk Haechan yang dibalas dengan senyuman manis serta ucapan terimakasih.

Mark Lee bahagia, setidaknya seperti itu yang ia rasakan saat ini.

Mobil Pajero Sport itu sudah keluar dari Hotel, melintasi jalanan Bandung di malam hari yang indah dan ramai.

“Mau kemana kita, Chan?” Ia menoleh ketika lampu lalu lintas berubah merah.

“Karena gue udah kenyang makan banyak di reunian tadi, gue pengen ke alun-alun aja deh.”

“Oh oke.” Jawab Mark singkat dan melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Karena sunyi, akhirnya Mark memutar musik dengan playlist spotify nya. Terputarlah lagu milik Judika yang berjudul 'Bagaimana Kalau Aku Tidak Baik-baik Saja'.

Putar dulu yuk, sambil baca harus di puter karena pas banget masa lirik sama alur ceritanya T_T mau nangis

https://www.youtube.com/watch?v=Mmey0uqmN7E

Bukan salah Mark, karena ia hanya memutar playlist lagi viral di spotifynya. Haechan mendengarkan setiap lirik yang terdengar masuk ke telinganya.

Tertohok, hati Haechan seperti diremat dengan keras mendengar liriknya. Ia tidak terlalu mendengarkan lagu Indonesia disana, karena ia lebih sering mendengarkan lagu artis-artisnya sekalian buat koreksi rekaman.

Sialan, Mark sendiri juga tertohok, karena lagu ini seperti ditujukan untuk Haechan dari Mark, atau mungkin juga sebaliknya?

Sepanjang lagu Judika itu terputar, keduanya hanya diam. Mark yang fokus menyetir sedangkan Haechan melihat jalanan Bandung dari jendela mobil.

“Mark Lee sialan, kenapa liriknya gini banget? Kenapa? Ini lirik lagu apa isi hati gue sih sebenernya?”

“Bangsat, ini lirik lagu berasa gue yang nyanyi, isi hati gue buat Haechan banget lah.”

4 menit sudah lagu itu terputar dan selesai, kini berlanjut ke lagu yang lain. Terputarlah lagu milik Ndarboy Genk yang berjudul 'Mendung Tanpo Udan'.

Lagi dan lagi, sepertinya lagu viral di spotify ini menggambarkan kisah cinta antara dirinya dan Haechan.

Meski agaknya kedua nya tidak terlalu mengerti artinya, namun mereka tetap paham apa maksud dari lagu tersebut. Yang mana bermakna, mereka pernah bersama dan saling mencintai, menyayangi, senang dan sedih dilalui bersama selama bertahun-tahun sampai mereka merancang masa depan berumah tangga dengan hubungan yang harmonis, romantis dan hangat. Namun kisah mereka hanya tinggal kenangan karena sudah beda jalan alias putus. Begitulah garis besar dari lagu bahasa jawa itu.

Bukankah itu sangat menggambarkan kisah cinta Mark dan Haechan? Iya, benar. Mereka dahulu juga begitu sebelum beda jalan, Haechan ke kanan, Mark ke kiri.

Mark bingung harus mengajak bicara apa, karena ini benar-benar awkward. Sampai lagu ketiga kini mulai terputar yang berjudul 'Roman Picisan' yang dinyanyikan oleh Hanin Dhiya dan Ahmad Dhani. Mark dan Haechan lelah, semua playlist itu seakan-akan mengejek mereka saat ini. Karena apa? Lirik lagu ketiga pun sangat menohok ulu hati keduanya.

“Mark, playlist lo kenapa lagu galau semua sih? Nggak ada yang lain apa?”

Cintaku tak harus... miliki dirimu.... Meski perih mengiris-iris segala janji...

Mark meringis, kenapa liriknya harus seperti itu ketika keduanya akan berbicara? Menyebalkan sekali.

“Itu playlist langsung dari spotify nya Chan, gue mana tau isinya begitu semua? Yang lagi viral lagu galau semua kali.”

Haechan mendengus, dan berakhir pasrah sepanjang jalan mendengarkan banyak lagu galau hingga sampai di alun-alun Bandung.


Mark dan Haechan duduk di salah satu kursi kosong yang ada di alun-alun tersebut, dimana tempat duduknya agak jauh dari area keramaian, hanya ada beberapa orang saja di sekitar mereka berdua. Cocok buat mengobrol santai atau bahkan deep talk.

Kedua anak adam itu masih diam, menatap lurus orang lalu lalang yang bermain, makan, piknik malam, bahkan ngegosip juga.

“Selamat datang di Bandung, Lee Haechan.” Ucap Mark sebagai pembuka, membunuh aura kecanggungan diantara mereka.

Haechan menoleh dan mengangguk kemudian tersenyum tipis. “Thanks, Mark.”

“Lo apa kabar?” Pertanyaan klasik semua orang jika lama tidak bertemu, dilontarkan oleh Haechan.

“Aku nggak baik-baik aja Chan, aku frustasi, sedih, stress banget mikirin kamu, aku berasa mau gila karena kangen sama kamu tiap harinya. Aku gelisah dan nggak tau harus apa karena sekarang aku bisa liat kamu ada di deket aku setelah 6 tahun lamanya aku nggak pernah denger nama kamu.” Inginnya Mark menjawab seperti itu di depan Haechan, namun tenggorokannya terlalu kering hanya untuk berkata jujur tentang keadaannya selama 6 tahun ini tanpa Haechan.

Mark benar-benar tidak baik-baik saja setelah ditinggal pergi Lee Haechan tanpa kabar.

Haechan menoleh lagi karena tidak ada jawaban dari Mark. “Mark?”

Mark tersadar dari lamunannya, ia linglung. Parah, Haechan sangat mempengaruhi fungsi kerja seluruh tubuhnya termasuk otaknya. “E-eh sorry gue nggak fokus. Kabar gue ya? Yang kayak lo liat aja sekarang gimana, Chan. Makin cakep, udah bisa cari duit sendiri, punya kerjaan, tetep temenan sama 5 cecunguk itu, bisa beli Pajero Sport, dan tentunya masih nafas sampai detik ini. Kesimpulannya adalah kabar gue baik.”

Haechan tergelak tawa mendengar jawaban Mark. Benar, yang Haechan lihat juga seperti itu, Mark sangat baik-baik saja.

“Bagus lah kalau gitu, gue ikut seneng dengernya.”

“Lo—sendiri gimana kabarnya, Chan? Selama 6 tahun ini kalau boleh gue tau, lo pergi kemana?”

“Gue baik baik aja as you see right now. Dan selama 6 tahun ini gue nggak tinggal di Bandung. Gue kejar S2 di luar negeri, tapi gue nggak mau kasih tau lo dimana nya.”

Mark terkejut, jadi selama ini Haechan ada di luar negeri? Pantas saja tidak ada yang pernah melihat mantan kekasihnya itu seliweran di Bandung selama 6 tahun.

“Rumah lo yang di Bandung gimana? Tante sama Om juga nggak ada disana kayaknya.”

“Lo sering lewat rumah gue, ya?” Dahinya berkerut mendengar jawaban Mark, kenapa Mark bisa tau jika Papa Mama nya tidak ada di rumah itu?

Mark mengerjapkan kedua matanya, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe, sering karena kantor gue ngelewatin rumah lo.”

“Ah gitu, lo kerja dimana emang?”

“Gue punya studio desain, Chan.”

“Wah, lo CEO nya dong kalau punya studio?”

Mark mengangguk dan tertawa kecil. “Ya gitu lah.”

“Studio desain apa emangnya? Grafis?”

“Banyak, studio gue ada cabangnya. Jadi mulai studio desain grafis ada, studio desain interior ada, studio desain ilustrasi ada, studio desain typeface buat brand ada, studio web design ada, studio identitas kayak mengacu ke visual branding dan visual merchandising ada. Emm gue juga punya studio foto dan studio musik juga sih.”

Haechan melongo, Mark sesukses itu sampai semua macam studio punya? Wow, speechless, Haechan jadi insecure melihat kesuksesan Mark. Dirinya saja hanya CEO 1 perusahaan Entertainment.

Ah harusnya Haechan tidak heran mengapa Mark mengambil jurusan DKV, ternyata memang Mark menekuni dunia yang berkaitan dengan sebuah desain.

“Wow, lo keren banget, Mark. Gue sampe bingung harus bereaksi kayak apa.”

Mark terkekeh, sejujurnya ia ingin memeluk Haechan saking gemasnya. Tapi sekarang statusnya hanyalah mantan, ia tidak bisa berbuat seperti itu sesuka hatinya seperti dulu.

“Puji Tuhan, Chan. Tuhan baik banget sama gue dalam semua hal. Kecuali satu sih.”

Sebelah alis Haechan terangkat. “Kecuali 1? Apa itu?”

“Kamu, Chan. Tuhan nggak kasih aku kebahagiaan buat milikin kamu.” Mark hanya bisa menjerit dalam batin setiap menjawab pertanyaan Haechan.

“Hahaha, bukan apa-apa. Ada pokoknya.” Jawab Mark kemudian.

Haechan hanya mengangguk, ia tidak akan bertanya jika Mark memang tidak ingin memberitahu.

Dipikiran keduanya saat ini sama, ingin bertanya apakah sudah menikah? Kalau sudah, punya anak berapa? Pertanyaan itu kini bercokol di otak keduanya, namun tak berani mengungkapkannya. Tidak tau kenapa terasa berat untuk bertanya, mungkin Mark dan Haechan takut kecewa mendengar jawabannya nanti?

Karena sudah dapat dipastikan, Mark lah yang akan kecewa dan terluka disini jika Haechan menjawab pertanyaannya yang itu.

Akhirnya, mereka memendam dalam-dalam pertanyaan itu. Mereka takut, takut kecewa karena tidak sesuai harapan.

“Kalau lo sendiri udah lulus S2 kan pasti?” Tanya Mark pada akhirnya.

“Udah, gue langsung ambil S2 waktu pergi dari Bandung.”

“Sekarang lo kerja apa di luar negeri sana?”

“Gue kerja jadi staff di industri musik sih.” Bohongnya, ia tidak ingin ditanya apa nama perusahaan hiburan nya jika menjawab sebagai CEO.

“Oh ya? Pantes sih soalnya lo dulu juga S1 nya ambil Seni. S2 lo juga ambil seni?”

“Iya, jurusan Musik.”

“Lo jadi staff apa?”

“Produser Musik.”

Mark mengaga, demi Tuhan Haechan menjadi produser musik? Artinya Haechan benar-benar multitalent. Ya seperti yang diketahui banyak orang. Pekerjaan produser musik itu tak hanya satu. Seorang produser musik melakukan pencarian bakat untuk menjaring artis, mencari komposer dan penulis lagu, menentukan arah musik, melatih artis dan musisi di studio (perusahaan), mengendalikan proses rekaman, menentukan strategi untuk marketing artis-artisnya.

Haechan tak sepenuhnya bohong. Ia sebagai CEO juga terlibat pekerjaan Produser Musik di HM Entertainment sana. Contohnya pendebutan boy group baru bernama Dreamer kemarin. Haechan turun tangan langsung dalam proses seleksi, menciptakan lagu, dan melatih para trainee Dreamer baik menyanyi ataupun menari berdampingan dengan staff koreografi, teknisi suara, penata musik dan komposer.

“Hebat. Lo keren banget, Haechan, sumpah. Maaf kalau gue kesannya kepo, tapi—lo kerja di perusahaan mana?”

“Hahaha rahasia, nanti ya Mark kalau gue udah siap kasih tau kalian semua dimana gue tinggal, gue bakalan kasih tau kok.”

“Ah okey...”

Suasana menjadi diam lagi, keduanya sama-sama sibuk berpikir, apa yang akan dilakukan selanjutnya.

“Chan, kita masih sama kan?”

Pertanyaan ambigu itu sukses keluar dari bibir tipis Mark.

“Sama lah. Lo sama gue tetep manusia.”

Mark terkadang geregetan dengan candaan Haechan ketika dirinya sedang serius.

“Bukan gitu Haechan, maksud gue—kita tetep bisa kayak dulu nggak? Maksud gue berteman baik.” Mark bingung sendiri, padahal niatnya ingin memperbaiki hubungan canggung keduanya, pelan-pelan, Mark tidak ingin membuat Haechan makin menjauhinya jika dirinya terang-terangan mendekati Haechan lagi.

“Kan kita emang berteman baik, Mark. Kapan kita musuhan sih?”

Mark menghela nafas kemudian menyerongkan tubuhnya untuk menghadap ke Haechan sepenuhnya. “Hubungan kita renggang selama 6 tahun, Haechan... kita nggak baik-baik aja dalam 6 tahun ini, aku masih nggak ngerti kenapa kamu mutusin aku waktu itu, Chan ketika kamu pernah ngomong bakalan siap hadapin semuanya bersama, just tell me why, Chan.” nada nya melirih, kedua matanya terlihat sendu saat mengatakannya membuat Haechan pun menolehkan kepala, menatap Mark.

Haechan dapat melihat dan merasakan sorot sendu dari mata Mark. Sialan, Haechan ingin menangis saja rasanya, tapi dirinya tidak boleh terlihat lemah di depan Mark, atau semuanya akan kacau.

“Kita udah nggak cocok Mark, jadi gue pengen kisah kita berakhir. Udah gitu aja.”

“Nggak cocok kata kamu? 4 tahun kita ngapain, Haechan? Kenapa kamu baru nemuin ketidakcocokan diantara kita setelah 4 tahun kita pacaran? Bahkan kita udah merancang masa depan, kita baik-baik aja selama 4 tahun, kita udah janji lawan dunia yang nggak restuin kita bersama, tapi pada akhirnya kamu yang nyerah dan ninggalin aku. Aku bingung, aku nggak bisa temuin dimana letak ketidak cocokan kita, Chan.”

“Lo nggak akan ngerti, Mark. Lo nggak ngerti.”

“Mangkanya jelasin ke aku, Haechan!” Nadanya meninggi, emosi Mark keluar karena pertanyaan sejak 6 tahun lalu akhirnya dapat diutarakannya di depan Haechan.

Para pengunjung alun-alun yang ada di sekitar mereka ikut terdiam, memusatkan perhatian kepada mereka berdua karena suara Mark. Haechan berdecak, ia tidak suka dijadikan pusat perhatian ketika suasana bertengkar seperti ini.

Haechan berdiri dan menarik tangan Mark pergi dari sana, menjauh ke area yang lebih sepi. Ia membawa Mark ke dalam mobil kembali.

“Kenapa kita di mobil? Kenapa nggak disana aja?” Tanya Mark setelah duduk di samping Haechan. Mereka berdua duduk di jok belakang.

“Dilihatin banyak orang, lo tuh bisa nggak jangan emosi duluan? Malu tau diliatin banyak orang kayak tadi.”

Mark mengusap wajahnya kasar kemudian menggenggam jemari Haechan. “Maaf, gue nggak sadar udah bentak lo kayak tadi. Gue kalut, Haechan.”

Haechan menatap tangannya yang digenggam Mark, rasanya masih sama. Hangat dan mendebarkan, jantung Haechan masih sama seperti dulu, selalu ribut jika bersama Mark.

Ia mengusap punggung tangan Mark kemudian tersenyum lembut. “Mark, kita nggak cocok, percuma kita terusin hubungan kita kalau banyak faktor yang nggak ngedukung kita buat bersama.”

“Tapi kan ini hidup kita, Haechan. Siapapun atau apapun nggak bisa ikut campur dalam pilihan hidup kita, kan? Dan kamu juga janji sama aku untuk lewatin semuanya bersama, kamu lupa?”

“Aku enggak lupa, Mark. Sama sekali nggak lupa, tapi nggak semua janji bisa ditepatin kan? Salah satunya janji aku buat kamu yang bisa lewatin semua pertentangan dunia terhadap hubungan kita. Nyatanya, aku nggak bisa, Mark. Dan kamu nggak ngerti apa yang aku rasain. Kamu nggak akan ngerti.”

“Kenapa aku nggak akan ngerti? Kamu bisa jelasin semuanya kan? Kita berdua Haechan, kamu nggak berjuang sendirian lawan dunia ini, ada aku yang dampingin kamu. Kenapa kamu nggak yakin sama kita dan memilih mundur?”

“Kamu nggak ngerti karena kamu bukan aku, Mark. Kamu bukan aku, kamu nggak tau posisi aku dalam melawan dunia ini, hal apa aja yang harus aku hadapi buat bisa terus sama kamu, kamu nggak ngerti dan nggak akan pernah bisa ngerti.”

Mark frustasi, Haechan terus mengatakan bahwa dirinya tidak akan mengerti. Bagaimana dirinya bisa mengerti jika Haechan tidak memberitahunya apa itu?

“Iya, aku nggak akan ngerti karena aku bukan kamu, tapi setidaknya kalau kamu kasih tau aku, aku bakalan ngerti, Chan. Tapi kamu putusin aku gitu aja karena merasa hubungan kita udah nggak bisa dipertahanin. Aku butuh alasan, kenapa kamu merasa hubungan kita nggak bisa dipertahanin? Karena Papa Mama aku? Iya?”

“Bukan, udah Mark jangan dibahas lagi. Kita udah selesai, udah 6 tahun lamanya kisah kita berakhir. Kamu dan aku punya kehidupan masing-masing, harusnya kamu tau itu. Kita bukan apa-apa lagi, Mark Lee. Hanya teman, itu aja.”

Sakit, hati Haechan sakit saat mengatakannya bahkan ia menahan getaran bibirnya yang ingin menangis. Matanya saja sudah berkaca-kaca dan Mark dapat melihatnya.

Mark tidak tau kenapa Haechan menahan tangisnya, apakah karena Haechan kesal padanya yang terus menanyakan alasan dirinya diputuskan atau menangis karena sedih, Mark tidak tahu. Akhirnya ia memilih untuk menarik tubuh Haechan ke dalam pelukannya.

Haechan tidak menolak, justru ia balik memeluk Mark, ia bisa merasakan debaran jantung Mark yang kencang seperti miliknya. Mark juga bisa merasakan debaran jantung Haechan, seirama dengan miliknya.

“Kamu sampai kapan di Bandung?”

“Sampai Senin, Selasa nya aku balik ke luar negeri.”

“Rumah kamu di Bandung, udah nggak dipakai?”

Haechan menggelengkan kepalanya, “Nggak, itu udah dijual.”

“Trus Om sama Tante tinggal sama kamu disana?”

“Iya.”

“Kamu tinggal dimana sekarang? Hotel kah?”

“Heem.”

“Dimana?”

Grand Mercure Bandung Setiabudi.

“Kenapa nggak di InterContinental sekalian sih? Kan reuni kita disitu.”

“Biar bisa jalan-jalan keliling Bandung yaelah.”

Mark terkekeh. Ia mengusap lembut rambut Haechan. “Aku udah bilang belum, kalau kamu makin manis, ganteng, memukau dan cantik?”

Haechan mendengus dan mencubit perut Mark, membuat si empu mendesis kesakitan. “Udah tua, gombal mulu. Malu sama umur.”

Mark tertawa kecil. “Lah aku beneran tau, itu pujian bukan gombal.”

“Iya deh makasih, kamu juga.”

“Aku juga kenapa?”

“Makin—cool maybe?

“Makin ganteng nggak?”

Haechan berdecak, “Hmm.”

Lantas keduanya tertawa, sejenak melupakan ketegangan yang baru saja terjadi.

“Chan, boleh aku minta waktu kamu yang tersisa disini selama 2 hari?”

“Mau ngapain?” Haechan mendongakkan kepalanya, itu membuat jarak wajah diantara mereka dekat sekali, bahkan hembusan nafas Mark menerpa kulit wajah Haechan.

Kedua mata mereka terpaku, dari jarak sedekat ini keduanya dapat melihat jelas bagaimana paras rupawan satu sama lain setelah 6 tahun lamanya tak pernah tau.

Glek

Tolong diputar lagunyaaa, pleaseee T_T kalau punya lagunya juga lebih mantap. “Jalan Tengah by Naura Ayu”

https://www.youtube.com/watch?v=3j5l33XMP7Y

Jantung Mark dan Haechan berdetak makin cepat. Ketika Haechan ingin melepaskan pelukannya, Mark menahan pinggang Haechan erat, tidak membiarkan Haechan lepas dari pelukannya.

“Haechan, aku rindu, banget. 6 tahun Chan aku nahannya. Aku masih nggak percaya sekarang kamu ada di hadapan aku, rasanya kayak mimpi yang biasanya aku alamin. Ketemu kamu, dan ketika aku bangun, semuanya hilang dan ternyata itu cuma mimpi. Se kangen itu aku sama kamu, Chan. Sampai kebawa mimpi hampir tiap hari.”

Kedua mata cantik Haechan mengerjap mendengarkan kalimat panjang dari mantan kekasihnya ini.

“Bukan cuma aku yang rindu sama kamu, tapi Bandung juga rindu liat kita berdua main kesana kemari menjelajahi Bandung.”

Haechan bingung harus menjawab apa, karena ia juga sangat merindukan Mark. Tidak hanya Mark yang selalu terbayang-bayang akan dirinya, tetapi Haechan juga, Mark sering menghantui alam mimpinya.

“Aku juga rindu, Mark. Bandung dan kamu.”

Mark menggigit bibirnya, menatap bibir pink alami Haechan. “Chan, boleh?”

Haechan tidak bodoh untuk tau apa maksud pertanyaan Mark, ia hafal gelagat Mark apalagi sekarang sedang menggigit bibir seperti itu. Haechan tidak munafik ia merindukan skinship dengan Mark. Biarkan sekali ini saja, ia tidak mempunyai banyak waktu bersama Mark sebelum dirinya kembali ke Inggris dan tak akan pernah kembali ke Indonesia lagi, yang artinya ia tidak akan bertemu Mark lagi setelah ini.

Tanpa menjawab pertanyaan Mark, Haechan mendorong tengkuk Mark dan menempelkan bibirnya di bibir tipis Mark.

Kedua mata mereka terpejam bersamaan, Mark mengangkat tubuh Haechan agar duduk di atas pahanya, memeluk erat pinggang ramping mantan kekasihnya itu sedangkan Haechan memeluk leher Mark.

Bibir mereka bergerak bersama, saling memagut lembut dengan tempo yang sedang. Menyalurkan rasa rindu yang terpendam selama 6 tahun. Kini mereka tumpahkan hari ini dengan pelukan dan ciuman mesra tanpa diikuti nafsu. Hanya penyaluran rindu yang teramat, membuncah menjadi letupan kembang api di dalam hati masing-masing dengan detak jantung yang seirama, sama-sama berdentum begitu cepat.

Telapak tangan kiri Mark mengusap tengkuk Haechan sedangkan tangan kanannya mengusap punggung. Sedangkan jemari Haechan menyisir rambut Mark dengan lembut dan pelan seirama dengan ciuman mereka.

Saliva manis itu perlahan tertukar, kepala miring bergantian untuk mencari posisi ternyaman untuk memperdalam ciuman. Menyesap lidah dan bibir kenyal itu untuk menambah kenikmatan berciuman di malam hari ini. Untung saja film kaca mobil Mark berwarna hitam, sehingga dari luar tidak terlihat apa-apa.

Ciuman itu berlangsung selama 5 menit, mungkin saking rindunya, mereka tidak merasa lelah untuk terus saling memagut bibir. Ciuman itu diakhiri dengan menempelkan dahi kemudian saling menatap disertai tawa kecil, tawa bahagia.

“Sekali lagi, selamat datang di Bandung, kota penuh kenangan antara aku dan kamu, Haechan.”

Haechan mengangguk dan memeluk Mark erat, menghidu aroma tubuh Mark yang menenangkan. “Terimakasih lagi, Mark Lee. Bandung masih indah.”

Mark mengusap rambut Haechan. “Iya, sekarang makin indah soalnya kamu ada disini.”

Haechan tergelak tawa, Mark masih sama. Kata-kata manisnya selalu membuat Haechan geleng-geleng kepala karena salah tingkah.

Drrrttt Drrrttt

Ponsel Mark bergetar terus menerus di saku jas nya.

“Hp kamu tuh geter terus.” Kata Haechan merenggangkan pelukannya.

“Tsk, siapa sih ganggu banget.”

Haechan tertawa lagi, “Cek aja dulu, siapa tau penting.”

Posisi Haechan masih duduk di atas paha Mark dan masih memeluk leher Mark.

Mark pun membuka ponselnya, ternyata ada pesan grub dari teman-temannya.

“Astaga ternyata 5 semprul, Chan.”

“Hahaha, oh iya mereka masih disana. Kita kembali aja ya?”

“Nggak usah, kita jalan-jalan lagi aja. Mereka bisa pulang sendiri lagian.”

Haechan mengerlingkan matanya. “Terserah lah, bales dulu itu mereka, biar nggak khawatir.”

“Iya, aku bales ini.”

Dan berakhir, Mark membawa Haechan night drive dan menikmati pemandangan kota Bandung di atas puncak Bukit Bintang.