Cakrawala


Hazen dan Raden duduk di gundukan pasir Pantai Pulau Bidadari. Sedikit jauh dari tempat tinggal mereka, namun Raden ingin perpisahannya dengan Hazen berkesan, menikmati waktu terakhir berdua saja. Bahkan Marvin pun mengijinkan ketika Hazen memberitahunya.

Marvin bilang, “Bermainlah sepuas kalian hari ini, Hevin biar gue yang jagain, Daddy sama Papa juga kepengen main sama Hevin. Lo bisa habisin waktu seharian bareng Raden.”

Hazen menatapnya sendu lalu memeluk Marvin. “Makasih banyak, lo nggak cemburu kan Kak? Lo tau kalau Raden—”

Marvin mengelus helaian rambut Hazen kemudian mencium tengkuk leher Hazen. “Nggakpapa, Raden ada lebih dulu buat lo daripada gue, dia sahabat terbaik lo kan? Gue percaya sama lo, lo sendiri yang nolak dia waktu itu. Kalian perlu menyelesaikan semuanya, diantara kalian masih belum ada yang selesai. Jadi, pakai waktu hari ini buat selesaiin kisah rumpang kalian ya?”

Hazen mengangguk di dalam pelukan Marvin. “Makasih banyak buat pengertiannya Kak, nggak tau kenapa hari ini gue ngerasa sedih. Seolah-olah hari ini adalah hari terakhir gue ketemu Raden.”

“Kalau itu beneran terjadi, lo harus ikhlas ya Zen? Apapun keputusan Raden nanti, tolong hargai, lo mungkin sedih, marah ataupun kecewa, tapi itu hak Raden buat lakuin apapun untuk hidupnya. Jadi, apapun yang terjadi nanti, lo harus lapang dada. Oke?”

“Ih, lo kayak lagi ngasih tau gue kalo Raden beneran bakal pergi tau Kak. Jangan gitu, gue makin sedih mikirinnya.”

Marvin tersenyum sendu, karena kenyataannya memang begitu. Raden sudah memberitahu semuanya kepadanya tentang pertemuan apa yang akan mereka lakukan. Marvin tidak berhak memberitahu Hazen, dia tidak berhak ikut campur. Marvin pikir biarkan Hazen dan Raden menyelesaikan semuanya berdua.

“Gue nggak bilang gitu, tadi lo yang ngerasa Raden mau pergi. Biasanya insting sahabat itu ada benernya. Jadi gue bilang, apapun yang terjadi, hargai keputusan Raden dan lo harus ikhlas. Oke sayang?”

Dengan polosnya Hazen mengangguk seperti anak kecil. “Iya.” Ucapnya merenggangkan pelukan lalu tanpa izin mencium bibir sang kekasih.

Tentu saja dengan senang hati, Marvin membalas ciuman itu. Marvin dan Hazen tidak pernah canggung lagi setelah menjalin status sebagai kekasih untuk melakukan skinship intim seperti ini. Hanya sampai cium bibir saja, belum sampai tahap yang lebih, karena Marvin bilang, dia mencintai Hazen, orangnya. Bukan hanya keindahan tubuhnya.

Setelah ciuman itu dirasa cukup mengurangi kecemasan Hazen, ia pun menyudahi pagutan bibir mereka. Hazen tersenyum lalu mencium pipi kanan Marvin. “I love you, gue pergi dulu ya? Titip salam buat Daddy sama Om Noah.”

Marvin mengangguk dan mengusak rambut Hazen. “Iya, nanti gue sampein. Oh iya, sampein salam juga ke Raden ya.”

“Okidoki, kalau gitu gue berangkat. Bye-bye.” Ucap Hazen melambaikan tangannya yang dibalas oleh Marvin juga.

Bye sweetheart, kayaknya gue harus siap-siap buat tenangin lo ntar malem.” Gumamnya dan menghela nafas.


Raden dan Hazen hanya diam dan menikmati pemandangan birunya air pantai Bidadari. Pantai sedang sepi, mungkin karena ini masih siang. Biasanya akan ramai saat sore hari.

Angin pantai menerbangkan helaian rambut keduanya, suara deburan ombak mengiringi kesunyian diantara keduanya.

“Den.” Panggil Hazen, menoleh untuk melihat Raden yang melamun menatap pantai.

“Hm? Iya, kenapa Zen?” Raden menoleh juga untuk membalas panggilan Hazen.

Hazen menghela nafas. “Kayaknya ada sesuatu yang penting yang mau lo omongin ke gue. Nggak biasanya lo ngajak gue ke pantai sejauh ini berdua tanpa ajak anak-anak lain.”

Raden terkekeh lalu menatap ombak pantai lagi. “Emang, ternyata lo peka juga ya.”

“Jadi? Mau ngomong apa? Gue udah deg-deg an bahkan disaat lo belum ngomong apapun.”

Raden menundukkan kepalanya lalu mengambil ponsel dari sakunya, membuka sebuah situs web kampus yang menunjukkan daftar nama-nama mahasiswa yang terpilih beasiswa ke London.

“Gue mau kasih tau ini ke lo.” Ucapnya mengulurkan ponselnya kepada Hazen.

Hazen mengambil ponsel Raden dan membacanya dengan seksama, beberapa detik kemudian ia membelalakkan matanya dan menatap Raden sanksi. “Berangkat kapan?”

“2 hari lagi, besok gue mau pulang ke Malang, pamit sama Ibu.” Ucapnya lirih.

Hazen meremat ponsel Raden. “Kenapa lo baru bilang sekarang? Lo nggak bilang ke gue waktu mutusin buat daftar beasiswa, dan sekarang waktu lo kasih tau gue, udah mau berangkat aja. Nggak sekalian lo berangkat tanpa kasih tau gue gitu Den?” Sarkas nya sembari terkekeh.

Raden tertawa hambar. “Tadi sih pengennya gitu, langsung berangkat aja tanpa kasih tau lo.”

“Trus? Kenapa lo repot-repot kasih tau gue sekarang?”

“Karena lo sahabat gue. Lo masih jadi orang yang paling penting buat gue selain Ibu dan Golden Boyz. Gue nggak mau kabur, tapi gue mau pamit. And then, here we go.

Hazen teringat kata-kata Marvin tadi sebelum ia berangkat kesini, entah kekasihnya itu dukun atau apa, ternyata nasehatnya tadi berujung nyata sekarang. Raden benar-benar akan pergi jauh darinya.

“Selamat Den, gue bangga banget sama lo. Ini cita-cita lo sejak dulu, dan akhirnya sekarang lo bisa meraih itu. Gue seneng, terharu karena usaha lo membuahkan hasil. Gue—bahagia buat lo.”

Raden menoleh, di sampingnya Hazen tersenyum menatap dirinya. Raden sudah menahan tangis sejak tadi, dan kini tatapan tulus dari Hazen menggoyahkan pertahanannya.

Raden menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Raden bukan laki-laki cengeng, tapi dia bisa menangis tersedu-sedu jika menyangkut Ibunya dan Hazen. Memang seberarti itu Hazen untuknya, dan sekarang waktunya ia melepas Hazen, mengikhlaskannya dengan lapang dada. Karena Hazen kini sudah dimiliki oleh orang lain, ia tidak berhak lagi untuk memaksakan kehendaknya agar Hazen membalas perasaannya.

“Hiks Hazen hiks hiks maaf gue cengeng hiks gue—gue...”

Grep

Hazen memeluk tubuh kecil Raden, menumpukan dagunya di atas kepala Raden. “Lo nggak cengeng, nangis aja Den, sepuas lo.”

Kedua tangan Raden yang tadinya digunakan untuk menutupi wajahnya pun beralih untuk memeluk pinggang Hazen, menumpahkan semua tangisnya di hoodie Hazen. Menangis sekencang-kencangnya. Karena sejujurnya hati Raden sakit menghadapi kenyataan bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Hazen, terakhir kalinya juga ia bisa memeluk Hazen. Semua serba terakhir—tentang Hazen.

Hazen menitikkan air matanya tanpa suara, diam dan hanya mendengar isakan kencang dari sahabatnya. Hazen sedih, sedih sekali. Karena bagaimanapun juga, ia sangat menyayangi Raden. Rasa sayangnya tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Terlalu komplek, namun seperti kata Marvin, ia harus rela dan lapang dada menerima perpisahan ini dengan Raden.

“Hiks Hazen, gue seneng bisa berangkat ke London hiks tapi gue sedih karena harus pisah sama lo hiks. Maaf, gue tamak dan lancang masih cinta sama lo hiks meski lo udah jadi milik Kak Marvin. Maaf hiks, jangan benci sama gue ya Zen? Beri gue waktu lagi buat hilangin perasaan gue.”

“Gue nggak benci, yang ada harusnya lo yang benci sama gue Den, gue brengsek banget nyakitin hati lo, gue nggak tau harus apa Den, gue bener-bener nggak ngerti sama hubungan kita yang rumit gini. Gue sayangggg banget sama lo, tapi gue nggak bisa Den, gue nggak bisa bales perasaan lo, rasa sayang gue ke lo beda, bukan dalam artian gue cinta sama lo. Tapi lebih ke—lo sama berartinya kayak Bunda, Ayah, dan Mas Devon buat gue. Yang artinya, gue nggak bisa buat kehilangan lo.”

Hazen menghela nafasnya dan mengusap rambut halus Raden penuh kelembutan. “Jangan hilang ya Den? Gue harap, disaat semua diantara kita udah selesai, kita bisa ketemu lagi. Ketemu dengan diri lo yang bahagia, gue mau liat lo bahagia Den.”

Raden sesenggukan, bahagia katanya? Apa yang harus Raden lakukan kalau orang yang buat dirinya bahagia saja tidak bisa digapainya?

“Lo kebahagiaan gue Zen, kalo lo mau buat gue bahagia, biarin gue hilang sebentar aja, sampai gue siap buat lihat lo lagi nantinya. Dan—lo juga harus bahagia disini, sama Kak Marvin dan anak kalian. Kalo lo bahagia, gue juga bahagia Zen. Meski gue harus nangis berulang kali nantinya, gue nggak akan nyesel lepasin lo. Karena tujuan gue buat pergi selain meraih cita-cita juga untuk lo agar bebas dari bayang-bayang gue. Makasih untuk 6 tahun nya Zen, selama 6 tahun ini, lo masih jadi satu-satunya orang yang ajarin gue apa itu bahagia.”

Hazen mengangguk dan mengeratkan pelukannya. “Maaf, dan terimakasih Raden, gue berdoa untuk kesuksesan lo. Gue yakin lo akan jadi orang hebat disana, nanti—kalau lo udah siap, tolong hubungi gue, kasih tau gue kalo lo nggak lupa dan masih inget gue Den, maaf kalo gue egois, tapi please jangan lupain gue, lo boleh lupain perasaannya tapi jangan gue nya.”

“Iya, gue nggak lupa. Kecuali kalo gue amnesia hahaha.” Kekehnya hambar, karena air matanya masih saja menetes.

“Raden, jangan ngomong gitu. Lo buat gue takut.”

“Zen, boleh gue minta satu permintaan terakhir dari lo sebelum gue bener-bener pergi?”

Hazen menghapus air matanya dan merenggangkan pelukannya, lalu menyisir poni Raden yang menjuntai dan mengangguk. “Boleh.”

Raden berdiri lalu menawarkan bantuan kepada Hazen agar ikut berdiri dengannya, yang dituruti Hazen tentu saja.

“Ayo buat kenangan indah sebagai tanda perpisahan. Gue mau perpisahan kita bukan berupa tangisan memilukan, gue mau perpisahan kita adalah tangisan kebahagiaan.” Ucap Raden menggenggam jemari Hazen dan membawanya lari menuju tepi Pantai.

Raden mengeluarkan handy cam dari tas slempangnya kemudian mulai merekam Hazen, Raden ingin menyimpannya jika ia merindukan Hazen nanti, ia akan melihat video ini nantinya.

“Lo ngapain Den?”

Record lo lah, emang ngapain lagi?”

“Gue harus ngapain?”

“Terserah lo aja sih, ngesot Kek, ngapain kek hahaha.”

“Anjir, mendingan sini lo record gue yang aesthetic gitu, vibes vibes pantai pokonya.”

Raden mengernyitkan dahinya. “Oh, lo berdiri di situ gih, ngapain aja ntar gue record.”

Hazen pun berdiri di depan Raden dan bergaya sesukanya, Raden merekam apapun yang dilakukan Hazen.

Putar dulu bestie lagunya, “Garis Terdepan by Fiersa Besari”

https://www.youtube.com/watch?v=pqu2ImwjAT8

Raden mengambil ponselnya ketika Hazen sedang selca, lalu merekam nya sembari bernyanyi beberapa lirik Garis Terdepan. Raden berniat akan mengeditnya setelah ini agar ada instrumennya, karena suara ombak pantai dan angin begitu kencang disini.

Bilur makin terhampar dalam rangkuman asa Kalimat hilang makna, logika tak berdaya Di tepian nestapa, hasrat terbungkam sunyi Entah aku pengecut, entah kau tidak peka

Raden bernyanyi dan terus merekam kegiatan Hazen dengan ponselnya, karena untuk ini, ia ingin menyimpan dalam ponselnya. Raden terkekeh ketika Hazen berjongkok bermain pasir yang basah seperti lumpur.

“Ya ampun Zen, lo ngapain sih?”

“Den, lihat ada keong! Lucu banget, jalan di tangan gue nih hahaha.” Ucap Hazen menunjukkan keong di telapak tangannya.

Raden tergelak tawa. “Gue jadi keinget waktu SD suka koleksi keong gitu deh sampe mati-mati, cangkangnya lucu digambarin gitu.”

“Bener, padahal ternyata bagus kalo alami gini. Idih geli tangan gue, dia jalan-jalan masuk hoodie gue Den, help!” Teriak Hazen mengibaskan tangannya.

“Hahahaha goblok sia, sumpah lo lucu banget Zen.”

“Bukannya di tolongin malah diketawain.” Sewot Hazen kemudian menghampiri Raden.

“Eitss tangan lo kotor, tolong jangan mendekat sebelum cuci tangan!”

Hazen menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum jahil. “Ayo kita kotor bersama hahaha.” Ucapnya mengejar Raden, dan jadilah mereka kejar-kejaran di pantai.

“Hazen jorok! Cuci tangan ihh, elo mahhhhh.”

“Nggak mau, mangkanya ayo kotor. Masa lo bersih daritadi cuma kena pasir putih pantai doang.” Katanya masih mengejar Raden di depannya.

Raden berhenti berlari karena ia kelelahan, lalu berbalik dan menarik tangan Hazen menuju pantai. “Cuci tangan! Astaga Zen, berasa gue lagi bawa anak kecil main deh.” Ucapnya mencelupkan tangan Hazen ke air pantai yang bening untuk membersihkan pasir di tangan Hazen.

Hazen hanya terkekeh saat Raden mengusap telapak tangannya untuk membersihkan pasir yang menempel. “Lo seneng nggak Den?”

“Sekarang?” Tanyanya menoleh untuk menatap Hazen.

“Iya, sekarang.”

Raden tersenyum tipis lalu mengangguk. “Seneng, dan itu harus. Gue bilang perpisahan kita nggak boleh menyedihkan. Kalo lo sendiri gimana? Seneng nggak?”

“Nggak.”

Jemari Raden yang sedang membasuh jemari Hazen pun terhenti, dan beralih memfokuskan untuk melihat dua manik hazel milik Hazen. “Maaf, gue—”

“Gue sedih banget karena lo beneran mau pergi Den, tapi gue seneng kok hari ini. Gue bahagia bisa habisin sisa waktu yang ada sebelum lo pergi, disini, berdua. Gue bahagia.” Katanya mengukir senyum yang lebar untuk sang sahabat.

Otomatis Raden pun ikut tersenyum. “Karena itu gue bilang, jangan sedih lagi. Waktu yang sisa sedikit ini kita gunain buat quality time berdua. Gue udah izin ke Kak Marvin kalo lo takut dicariin dia.”

“Eh? Lo kasih tau Kak Marvin kalo kita mau ketemu?”

“Uhum, dia yang kasih gue ijin buat culik lo seharian haha, katanya—selesaiin semua yang rumpang diantara kita, biar gue bisa pergi tanpa beban.”

“Sebentar, Kak Marvin tau lo mau pergi?”

“Gue kasih tau waktu gue minta ijin buat bawa lo kesini, jangan marah sama Kak Marvin karena dia nggak ngasih tau lo, itu gue yang minta.”

“Nggak marah, pantesan Kak Marvin bilang kayak gitu tadi sebelum gue berangkat.”

“Bilang gimana?”

Hazen tersenyum lalu menangkup tangan Raden ketika tangannya sudah bersih. “Apapun yang terjadi, semua adalah hak lo buat memilih. Jadi gue harus terima dengan lapang dada dan ikhlasin lo.”

Raden mengerjapkan matanya, tersenyum miris. Marvin orang baik, bahkan ia tidak cemburu dan mengizinkan Hazen bersama Raden untuk menghabiskan waktu bersama, belum lagi nasehat itu. Raden terkekeh, “Kalian berdua emang cocok, sama-sama orang baik. Gue lega dan tenang buat lepasin lo. Lo udah berada di tangan orang yang tepat Zen. Gue harap, lo sama Kak Marvin bahagia selalu ya?”

Hazen merengkuh si kecil ke dalam pelukannya. “Lo juga berhak bahagia, suatu saat nanti, akan ada orang yang sayang ke lo lebih dari gue, yang cinta sama lo dan anggap lo sebagai dunianya. Tunggu sebentar ya Den, karena semua orang berhak bahagia dengan porsi bahagia masing-masing, termasuk lo.”

“Iya, makasih Zen.”

Kemudian keduanya melanjutkan kegiatan bermain di pantai sampai Raden yang kelelahan pun memilih duduk di tepi pantai. Hazen pun ikut duduk di depan Raden, lalu merekam Raden yang sibuk bercerita tentang Ibu nya.

“Lo lagi rekam gue?”

“Iya.”

“Ishh, gue lagi curcol tentang Ibu loh.”

“Nanti gue edit, gue kasih backsound suara gue nyanyi, tenang aja.”

“Awas lo kalo ngibul.”

Raden terus berceloteh, sedangkan Hazen sibuk bernyanyi sembari merekam Raden tanpa henti.

Kumendambakanmu mendambakanku Bila kau butuh telinga 'tuk mendengar Bahu 'tuk bersandar, raga 'tuk berlindung Pasti kau temukan aku di garis terdepan Bertepuk dengan sebelah tangan

“Ishh malah nyanyi, gue lagi serius ini bangsat!”

“Hahaha oke oke. Btw lo jadi pulang ke Malang besok?”

“Jadi, gue kangen sama Ibu, udah berapa tahun dah gue nggak ketemu Ibu?”

“Kayaknya lo terakhir ketemu Ibu itu kelulusan SMP bukan?”

“Ah iya, waktu itu Ibu berhenti jadi aktris karena banyak kontrofesi di sekolah kita tentang Ibu, dan Ibu milih pulang ke Malang dan buka toko sembako disana.”

“Masa lalu jangan diinget-inget lagi Den, lo harus buang jauh-jauh ingatan masa SMP yang bajingan itu. Gue kalo inget-inget seketika naik pitam sama kelakuan Asahi dan geng kurcilnya itu.”

Raden tergelak tawa. “Tuh orang kabar gimana? Nggak gangguin lo lagi kan sehabis malam natal?”

“Nggak, Kak Marvin buat mereka takut hahaha, asli deh Kak Marvin nyeremin waktu itu.”

“Lo belum cerita kejadian detailnya waktu itu.”

“Ya intinya Kak Marvin tiba-tiba nembakin peluru ke bohlam lampu diatas gue sama Asahi waktu lagi tonjok-tonjokan. Ngebuat kita semua kaget. Dan abis itu Kak Marvin ancem mereka kalo sampe berani dateng lagi temuin gue sama lo, mereka bakalan habis ditangan Kak Marvin, dia bilang gitu sambil nodongin pistolnya ke mereka.”

“Gue baru tau Kak Marvin mahir pake senjata api.”

Hazen tersenyum tipis mengingat cerita dibalik kenapa Marvin selalu membawa pistol. “Dia harus mahir, karena dia emang butuh itu buat lindungin diri.”


Hazen duduk selonjoran dan bersandar pada pohon kelapa, sedangkan Raden tiduran di paha Hazen. Hari sudah sore, namun mereka masih ingin menikmati Cakrawala di sini.

“Kita pulang abis sunset ya?” Tanya Raden.

“Iya, mau malem juga nggakpapa kalo lo nggak takut digondol wewe gombel.”

Raden memukul lengan Hazen, sang empu justru tertawa terbahak-bahak. “Sumpah deh, gue sahabatan sama lo sampe 6 tahun, tetep aja gue suka merinding kalo lo udah ngomongin setan. Jangan-jangan disini banyak setannya?”

“Ada, penjaga pantai nya lagi senyumin lo tuh.”

Raden langsung memeluk erat perut Hazen dan menyembunyikan wajahnya disana. “Hazen lo bisa diem nggak? Ini udah hampir malem goblok, jangan nakutin ngapa.”

“Hahaha, bercanda anjir. Lo mah nggak usah takut, selama ada gue akan aman kok. Gue kan bestie sama mereka.”

“Elo bestie, gue yang ketar-ketir, sialan.”

“Ssttt jangan ngomong kasar disini, nanti mereka marah.”

“Hazeeennnnnn.” Rengek Raden makin erat memeluk perut Hazen yang sedang tertawa terbahak-bahak.

Hazen mengelus kepala Raden. “Jangan takut, mereka nggak akan berani deketin lo karena ada gue yang lindungin lo.”

“Zen, untuk terakhir kalinya gue mau mencurahkan semua isi hati gue sekali lagi. Boleh?” Tanyanya mendongak untuk menatap Hazen.

“Iya, boleh. Dan untuk terakhir kalinya juga, lo bisa nangis. Karena setelah pulang dari sini gue ngelarang lo nangisin gue. Ini untuk terakhir kalinya.”

Raden menyamankan posisinya, ia memeluk perut Hazen lagi.

Seperti biasa, putar lagunya dulu bestie T_T kalau nangis berarti ya angst, kalau enggak berarti ya hanya cerita sedih. “Bulan dikekang Malam by Rossa”

https://www.youtube.com/watch?v=Yol5SlQQzv0

“Sejujurnya jauh di dalam lubuk hati gue, gue masih menyimpan secercah harapan Zen, harapan yang nggak akan pernah bisa terkabul. Harapan itu adalah, lo cinta sama gue, bukan sayang yang seperti ini, anggep gue sebagai bagian keluarga lo. Bukan kayak gitu.” Air mata Raden perlahan mulai berjatuhan, ia tidak menghentikannya karena ia ingin menangis sepuasnya untuk terakhir kali.

Hazen mendongak menatap langit yang mulai menggelap, lebih tepatnya sunset sudah terlihat di depan sana. Mendengarkan setiap kalimat yang dikatakan oleh Raden.

“Kata orang, mencintai tanpa dibalas itu merupakan hal yang sia-sia dalam hidup, buang-buang waktu. Tapi bagi gue nggak gitu Zen. Mencintai lo itu termasuk bagian terindah di hidup gue, lo—anugerah terindah yang Tuhan kasih buat gue, dan gue mensyukuri itu. Gue bahagia Tuhan baik karena mempertemukan kita, meski kita hanya jadi sebatas sahabat.”

“Setiap lo perlakukan gue dengan baik, menjaga gue kayak barang yang berharga dari SMP sampai sekarang, itu ngebuat gue terlena Zen, udah dari dulu gue nasehatin diri gue sendiri buat jangan jatuh cinta sama lo. Tapi ternyata gue lemah sama semua treatment lo ke gue dan berakhir gue jatuh cinta sama lo, perasaan gue tumbuh gitu aja dan makin meletup-letup setiap harinya.”

“Gue tau, gue aja yang kepedean karena lo begitu ke semua orang. Kenyataan menampar gue telak, saat lo nolak gue di Planetarium waktu itu. Harusnya gue sadar dari awal, gue nggak harusnya naruh perasaan lebih ke lo hanya karena lo yang memperlakukan gue dengan sangat baik, membuat gue bahagia, membuat gue tertawa, kehidupan gue yang abu-abu bener-bener jadi berawarna karena lo. Gue jatuh cinta sama lo karena itu Zen, no one can treatme like that except you, Zen. Gue merasa disayangi banget karena lo.”

“Setiap harinya gue kayak meluk bayang-bayang lo Zen, karena gue tau, lo nggak akan pernah bisa gue gapai seberapa kalipun gue mencoba. Karena bagi lo, gue Raden sahabat lo, bukan Raden orang lain. Pengennya gue bisa terus sama lo sampai tua, hidup bahagia berdua, tapi nyatanya itu nggak akan pernah bisa kewujud.” Raden tertawa lirih, tertawa miris lebih tepatnya.

“Karena gue harus pergi, nggak akan bisa bersama lo sampai tua, lo bakalan nikah sama kak Marvin, dan gue yang berusaha buat move on dari lo.” Terdengar isakan dari suara Raden yang bergetar.

Hazen mengusap air matanya berkali-kali sejak tadi, menangis dalam diam.

“Gue bisa menghapus perasaan cinta gue ke lo, tapi sampai kapanpun lo tetep harum di ingatan gue Zen, sebagai orang paling berharga selain Ibu. Lo yang selama 6 tahun ini selalu ada di sisi gue, nggak akan pernah bisa gue hapus dan gue lupain dari ingatan.”

“Seperti janji gue ke lo, gue akan ikhlasin dan relain lo dengan pilihan lo. Meski gue sakit hati, gue sedih, gue marah dan kecewa sama diri gue sendiri, tapi percayalah Zen, gue bahagia buat lo, karena lo jatuh cinta dengan orang yang tepat. Gue percaya kalau Kak Marvin bisa beri lo kebahagiaan yang berlimpah nantinya. Dia bisa buat lo senyum dan ketawa setiap hari, gue bisa lihat itu dari Kak Marvin, kalau dia—sangat mencintai lo. Dan gue rasa, cinta dia ke lo lebih besar dari rasa cinta gue ke lo.”

Hazen mengepalkan tangannya, meremat pasir pantai itu keras. Hatinya sesak, ia ingin menangis dan memeluk Raden, membiarkannya untuk tetap tinggal disini bersama dirinya.

“Gue udah nerima takdir gue Zen, gue udah ikhlas dan mencoba lapang dada dengan jalan takdir yang ditulis Tuhan buat gue. Dan Tuhan pengen, gue pergi dari lo agar semuanya bisa bahagia. Mungkin ini juga jalan gue buat mencari kebahagiaan sendiri kan? Entah rencana apa yang Tuhan siapin buat gue, tapi gue udah pasrah, gue menerima semuanya. Asalkan semua orang yang gue sayang bahagia, terutama lo.”

“Suatu saat nanti, kalo ada yang berubah dari gue, lo harus percaya Zen. Dari semua perubahan gue, ada satu yang nggak akan pernah berubah. Rasa sayang gue ke lo, sebagai sahabat. Sampai kapanpun lo tetaplah sahabat terbaik gue, dan gue nggak akan lupa itu. Gue jadi Raden yang sekarang, juga karena lo.”

Tumpah sudah tangis Raden tak tertahankan, ia menangis sedikit kencang membuat Hazen tak kuasa, ia ikut menangis dengan isakan lirih.

Saat iti, langit pun sudah malam. Cakrawala menjadi gelap, sinar matahari pun digantikan oleh cahaya bulan purnama dan lautan bintang untuk menghiasi cakrawala.

Dengan suara paraunya, Hazen akhirnya mengucapkan sebuah kalimat setelah hanya terdiam mendengarkan pengakuan Raden. “Den, can I hug you for the last time?

Raden bangun dari tidurannya di paha Hazen, lalu dengan cepat merengkuh Hazen ke dalam pelukannya. Keduanya menangis bersama di bawah langit malam dan di tepi pantai.

“Terimakasih, karena lo udah sejauh ini buat bertahan dalam perasaan dan hubungan yang rumit diantara kita Den. Dengan ini, gue juga ikhlas serta lapang dada lepasin lo, tolong jaga diri baik-baik disana, cari kebahagiaan lo, bagaimanapun bentuknya. Nggak ada yang namanya kesedihan ketika disana, cukup tinggalin semua kesedihan lo di sini, jangan dibawa kesana. You deserved to be happy, Raden Bintang Kejora.

Raden menumpahkan air matanya di ceruk leher Hazen, membasahi leher itu dengan lelehan air matanya, ia juga menghidu aroma tubuh Hazen, aroma tubuh yang selalu membuatnya tenang setiap kali dirinya merasa gelisah dan gundah. Kehadiran Hazen di dekatnya adalah obatnya. Dan sekarang ini adalah kesempatan terakhir bagi Raden untuk bisa menghidu aroma Hazen, karena setelahnya ia hanya bisa menyimpannya dalam ingatan sebagai kenangan.

“Relain lo, gue merasa seperti bulan dikekang malam, Zen. Karena seberapa kalipun gue mau lari, gue emang nggak akan bisa hapus lo dari benak gue sampai ada orang lain yang tempatin itu. Sama kayak bulan, dia nggak akan bisa pergi kalo hari masih malam. Langit malam selalu bersama bulan, dan akan berganti jika langit sudah menemui pagi karena tergantikan oleh matahari.” Ucapnya dalam hati.

“Tapi, di bawah cakrawala tepi pantai ini, gue ucapin selamat tinggal dan sampai jumpa, Hazen Aditya Buana.” Tangisnya makin keras yang hanya bisa mengucapkan sebuah perpisahan dalam hatinya.

“Selamat tinggal sahabat terbaik, semoga sang cakrawala menyaksikan perpisahan kita lalu berbaik hati untuk menyampaikan kepada Tuhan agar kita berdua bisa bertemu lagi suatu hari nanti dalam keadaan tersenyum lebar dan sudah bahagia masing-masing.”

cakrawala/cak·ra·wa·la/ berarti lengkung langit; langit (tempat bintang-bintang); peredaran bintang di langit (kerap pula berarti sebagai bintang di langit); kaki langit; tepi langit; batas pemandangan; horizon.

@_sunfloOra